Surah Al-Ma'idah: Menyelami Kedalaman Hukum, Perjanjian, dan Kewajiban Ilahi

Simbol Hukum Ilahi Ilustrasi kitab suci yang terbuka dengan cahaya, melambangkan panduan dan hukum dari Surah Al-Ma'idah. Hukum Perjanjian

Illustrasi: Panduan dan Ketetapan Ilahi

Surah Al-Ma'idah, yang merupakan surah kelima dalam susunan mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surah Madaniyah yang paling penting. Diturunkan di Madinah, surah ini hadir pada periode akhir kenabian, yang mana masyarakat Muslim saat itu telah mencapai kematangan dalam struktur sosial, politik, dan keagamaan mereka. Oleh karena itu, Al-Ma'idah sarat dengan penetapan hukum (syariat), penyempurnaan aturan, dan diskusi mendalam mengenai hubungan antara umat Islam dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Nama "Al-Ma'idah" sendiri berarti "Hidangan" atau "Meja Hidangan", merujuk pada kisah mukjizat yang diminta oleh Hawariyyun (para sahabat Nabi Isa AS) kepada Isa, agar Allah menurunkan hidangan makanan dari langit. Namun, cakupan surah ini jauh melampaui kisah tersebut, mencakup hampir semua aspek kehidupan beragama, mulai dari etika, ritual ibadah, hingga hukum pidana dan perdata.

Bagian I: Penetapan Hukum dan Pemenuhan Janji (Ayat 1-50)

1. Kewajiban Menepati Janji dan Aturan Makanan Halal (Ayat 1-5)

Surah Al-Ma'idah dibuka dengan perintah fundamental yang mengikat seluruh mukmin: pemenuhan akad dan perjanjian. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” (QS. Al-Ma'idah: 1)

Perintah ini mencakup segala bentuk perjanjian, baik antara manusia dengan Allah (misalnya, janji untuk beribadah dan taat), maupun perjanjian antar sesama manusia (kontrak dagang, pernikahan, sumpah). Ini menempatkan integritas dan kejujuran sebagai pilar utama komunitas Muslim.

Ayat-ayat awal kemudian beralih kepada detail hukum tentang makanan dan perburuan. Dihalalkannya hewan ternak (kecuali yang disebutkan pengecualian) dan larangan mutlak terhadap bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah. Penetapan ini sangat rinci dan menekankan bahwa syariat Islam telah sempurna, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang menandai penyelesaian agama:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma'idah: 3)

Ayat yang monumental ini diyakini sebagai salah satu ayat terakhir yang diturunkan, memberikan kepastian bahwa tidak ada lagi perubahan atau penambahan dalam ajaran pokok Islam. Larangan yang ditegaskan dalam ayat ini, khususnya tentang daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, menggarisbawahi pentingnya niat dan ritual dalam setiap tindakan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan dalam kondisi kelaparan yang ekstrim, batasan ini ditekankan, menunjukkan betapa seriusnya pemisahan antara yang halal dan yang haram.

Diskusi tentang makanan berlanjut pada Ayat 5, yang mengizinkan makanan Ahli Kitab dan pernikahan dengan wanita mukmin maupun wanita Ahli Kitab yang suci. Ini menunjukkan sikap keterbukaan Islam dalam batasan tertentu, namun tetap menjaga prinsip kesucian dan keimanan dalam interaksi sosial dan pernikahan.

2. Peraturan Bersuci (Thaharah) (Ayat 6)

Surah Al-Ma'idah menyajikan aturan rinci tentang wudu (bersuci dengan air) dan tayammum (bersuci dengan debu/tanah). Ayat 6 adalah landasan utama fikih bersuci, yang mengatur kapan dan bagaimana ritual kebersihan dilakukan sebelum salat. Rincian gerakan wudu—membasuh muka, tangan hingga siku, mengusap kepala, dan membasuh kaki hingga mata kaki—dijelaskan secara eksplisit, menghilangkan keraguan tentang tata cara yang benar.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-Ma'idah: 6)

Bagian ayat ini juga memuat ketentuan tayammum sebagai alternatif darurat ketika air tidak ditemukan atau penggunaan air dapat membahayakan kesehatan. Ini adalah contoh keindahan syariat Islam yang memberikan keringanan dan kemudahan (rukhsah), memastikan bahwa kewajiban salat tetap dapat dilaksanakan dalam kondisi apa pun. Konsep ini menegaskan bahwa tujuan syariat adalah untuk membersihkan jiwa dan raga, bukan untuk menyulitkan.

Keberlanjutan dari pembahasan thaharah ini harus dipahami dalam konteks pembentukan komunitas yang berdisiplin. Ketika surah ini diturunkan, komunitas Madinah sedang diperkuat, dan kebersihan ritual menjadi ciri khas pembeda antara Muslim dengan komunitas lain. Kesempurnaan wudu dan tayammum bukan hanya masalah fisik, melainkan juga simbol kesiapan mental dan spiritual untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

3. Kewajiban Menegakkan Keadilan (Ayat 8-11)

Keadilan (al-'adl) adalah tema sentral yang terus diulang dalam Al-Qur'an, dan di Surah Al-Ma'idah, ia ditekankan sebagai kewajiban mutlak, bahkan terhadap musuh sekalipun. Allah berfirman, "Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS. Al-Ma'idah: 8). Prinsip ini merupakan revolusi etika, menuntut umat Islam untuk melepaskan bias pribadi, emosi, atau permusuhan suku/agama demi kebenaran. Keadilan, dalam pandangan Islam, adalah jembatan menuju ketakwaan.

Penekanan pada keadilan ini tidak hanya berlaku di ranah peradilan, tetapi juga dalam setiap interaksi harian, termasuk perdagangan, persaksian, dan kepemimpinan. Ini menegaskan bahwa moralitas Muslim harus independen dari sentimen kelompok. Apabila seseorang bersaksi, ia harus bersaksi atas kebenaran, meskipun kesaksian itu merugikan dirinya sendiri, keluarganya, atau pihak yang ia sukai. Keadilan ini adalah manifestasi langsung dari ketakwaan, menunjukkan kematangan spiritual seseorang yang mampu menempatkan perintah Ilahi di atas dorongan hawa nafsu atau kepentingan duniawi yang sempit. Kewajiban keadilan ini adalah kontrak sosial yang diikat oleh iman.

4. Pengkhianatan Perjanjian oleh Bani Israil (Ayat 12-26)

Sebagian besar paruh awal surah ini didedikasikan untuk menguraikan sejarah dan pelanggaran perjanjian oleh Bani Israil (keturunan Nabi Ya’qub). Allah mengingatkan bagaimana Dia telah mengambil perjanjian dari mereka, namun mereka melanggarnya, yang menyebabkan hati mereka menjadi keras dan mereka mengubah kalam (firman) Allah. Pembahasan ini berfungsi sebagai peringatan bagi umat Muhammad SAW agar tidak mengulangi kesalahan serupa.

Kisah Nabi Musa (AS) dan penolakan kaumnya untuk memasuki Tanah Suci (Palestina) adalah bagian yang paling mendalam. Meskipun Allah telah menjanjikan tanah itu kepada mereka, ketakutan mereka terhadap penduduk yang kuat (kaum 'Amaliq) menyebabkan mereka berkata kepada Musa, "Pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. Al-Ma'idah: 24). Akibat dari pengkhianatan dan keengganan ini, mereka dihukum berkeliaran di padang pasir selama empat puluh tahun.

Detail hukuman berkeliaran selama empat puluh tahun ini memiliki makna teologis yang mendalam. Periode tersebut berfungsi sebagai pemurnian generasi. Generasi yang tidak memiliki keberanian dan ketakwaan untuk mematuhi perintah Allah harus digantikan oleh generasi baru yang lebih berani dan patuh. Ini mengajarkan bahwa kepemimpinan dan kemenangan hanya akan diberikan kepada mereka yang memiliki keyakinan penuh terhadap janji Allah, bukan kepada mereka yang dilumpuhkan oleh rasa takut dan kemalasan. Perjanjian Allah selalu diikuti dengan tanggung jawab; jika tanggung jawab diabaikan, maka janji pun akan ditarik atau ditunda.

Diskusi ini juga meluas kepada Nasrani (pengikut Nabi Isa), mengingatkan mereka tentang perjanjian yang juga mereka abaikan. Mereka terpecah-belah dalam sekte-sekte yang saling bermusuhan karena melupakan sebagian dari ajaran yang diturunkan kepada mereka. Tujuan dari penekanan ini adalah untuk menegaskan posisi Al-Qur'an sebagai kitab yang mengoreksi penyimpangan masa lalu dan menyempurnakan hukum Ilahi. Al-Qur'an datang sebagai saksi (muhaymin) atas kitab-kitab sebelumnya.

Penting untuk memahami konsep Tahrif (penyelewengan teks) yang disinggung dalam konteks ini. Bani Israil dituduh mengubah makna firman Allah, dan terkadang bahkan teksnya, untuk menyesuaikan dengan keinginan duniawi mereka. Ini adalah pelajaran krusial bagi umat Islam agar senantiasa menjaga otentisitas dan pemahaman yang benar terhadap wahyu, menjauhi penafsiran yang hanya mengikuti hawa nafsu.

5. Pelajaran dari Dua Putra Adam (Qabil dan Habil) (Ayat 27-32)

Surah ini kemudian menyajikan kisah tragis tentang dua putra Adam (Qabil dan Habil), yang menjadi kasus pembunuhan pertama di muka bumi. Ketika kurban Habil diterima dan kurban Qabil ditolak, kecemburuan Qabil mendorongnya untuk membunuh saudaranya. Reaksi Habil yang pasrah dan menolak membalas ('Aku tidak akan mengulurkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu, sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.') mengajarkan prinsip ketakwaan yang memilih jalan damai, bahkan di hadapan ancaman.

Ayat 32, yang muncul setelah kisah ini, adalah salah satu landasan hukum pidana dan etika kemanusiaan paling universal dalam Islam:

“...Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya...” (QS. Al-Ma'idah: 32)

Ayat ini menetapkan nilai yang tak terbatas pada setiap nyawa manusia. Tindakan pembunuhan yang tidak beralasan dianggap sebagai kejahatan universal terhadap seluruh umat manusia, sementara upaya menyelamatkan satu jiwa disetarakan dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Ini adalah doktrin yang meletakkan fondasi bagi penegakan hukum (qisas) yang bertujuan melindungi lima hal pokok (maqashid syariah), yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kerusakan di muka bumi (fasad fil ard) yang menjadi pembenaran untuk hukuman berat, mencakup terorisme, perampokan bersenjata, atau kejahatan berat lainnya yang mengancam stabilitas sosial.

Pemahaman mengenai *fasad fil ard* ini sangat penting. Kerusakan di muka bumi bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan moral, sosial, dan keamanan. Mereka yang menyebarkan ketakutan dan kekacauan (muharibun) diancam dengan hukuman yang berat. Surah ini memberikan rincian tentang hukuman bagi perampok (pemotong tangan, penyaliban, atau pengasingan), yang semuanya bertujuan untuk menciptakan deterensi sosial dan menjaga keamanan komunitas yang baru terbentuk di Madinah.

6. Kriteria Hukuman dan Hukum Pidana (Ayat 33-40)

Surah Al-Ma'idah secara tegas menetapkan hukuman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di bumi. Hukuman-hukuman ini, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri (Ayat 38), bertujuan untuk membersihkan masyarakat dari kejahatan. Namun, Islam menekankan bahwa jika pelaku bertobat sebelum mereka tertangkap dan diadili, Allah Maha Pengampun. Prinsip pengampunan yang mendahului hukuman (bagi yang bertobat sebelum ditangkap) menunjukkan bahwa tujuan utama hukuman bukanlah pembalasan semata, melainkan pencegahan dan perbaikan.

Penerapan hukum potong tangan bagi pencuri disyaratkan dengan ketat oleh para ulama, hanya berlaku jika nilai barang yang dicuri mencapai nisab (ambang batas), dan tidak ada kondisi darurat (misalnya, kelaparan). Syarat yang ketat ini menunjukkan bahwa hukum pidana Islam didesain untuk mencegah kejahatan serius, bukan untuk menghukum pelanggaran kecil atau orang yang rentan. Hukum ini mencerminkan komitmen untuk melindungi properti, yang merupakan salah satu dari lima *maqashid syariah*.

7. Al-Qur'an sebagai Penentu Hukum (Ayat 41-50)

Dalam bagian ini, Allah memberikan panduan langsung kepada Nabi Muhammad SAW mengenai bagaimana beliau harus berinteraksi dengan Ahli Kitab yang datang untuk meminta keputusan hukum. Meskipun Taurat dan Injil telah diturunkan sebagai petunjuk, Al-Qur'an datang sebagai penutup dan pengoreksi (muhaymin). Allah menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah penentu hukum yang paling benar.

Ayat-ayat ini mengkritik mereka di kalangan Ahli Kitab yang mengetahui kebenaran dalam kitab suci mereka (termasuk deskripsi tentang Nabi Muhammad SAW) tetapi menyembunyikannya atau menolak berhukum dengannya karena kepentingan pribadi. Allah berfirman, “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma'idah: 44). Ayat ini dan ayat-ayat sejenis (Ayat 45, 47) menekankan bahwa keimanan sejati mengharuskan ketaatan penuh pada hukum Ilahi.

Perbedaan penting dibuat antara Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Allah menegaskan bahwa Dia telah menurunkan *Taurat* yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan *Injil* yang berisi petunjuk. Namun, kepada Nabi Muhammad, Dia menurunkan *Al-Kitab* (Al-Qur'an) dengan kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi penentu atasnya. Oleh karena itu, hukum dalam Al-Qur'anlah yang harus diikuti oleh umat Muhammad. Prinsip ini menegaskan supremasi dan keuniversalan syariat Islam.

Bagian II: Hubungan Sosial, Kesetiaan, dan Kesesatan Ahli Kitab (Ayat 51-86)

8. Larangan Mengambil Ahli Kitab sebagai Pelindung (Awliya) (Ayat 51-66)

Salah satu perintah yang paling sering dikutip dalam surah ini berkaitan dengan kesetiaan politik dan sosial. Allah melarang umat Islam mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai *awliya* (pelindung, pemimpin, sekutu dekat) satu sama lain.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ma'idah: 51)

Ayat ini diturunkan dalam konteks historis di mana beberapa Muslim di Madinah—terutama yang lemah imannya—cenderung mencari perlindungan atau aliansi strategis dengan klan-klan Yahudi atau suku-suku Nasrani, padahal kelompok-kelompok tersebut menunjukkan permusuhan terhadap Islam. Makna *awliya* di sini merujuk pada kesetiaan total, dukungan politik, atau mengambil mereka sebagai sumber keamanan, yang mana seharusnya hanya diberikan kepada sesama Muslim. Ini adalah perintah untuk membangun identitas komunitas yang kuat dan independen, terutama dalam masalah keamanan dan kepemimpinan.

Ini tidak berarti larangan berinteraksi atau berbuat baik. Islam mengizinkan muamalah (transaksi) dan kebaikan sosial. Namun, dalam konteks politik dan keamanan strategis, kesetiaan penuh harus berada di dalam umat (ummah). Ayat-ayat selanjutnya mencela orang-orang yang hatinya berpenyakit, yang tergesa-gesa mencari aliansi dengan musuh, karena khawatir akan kehilangan kekuasaan atau keuntungan duniawi.

Surah ini juga membahas sikap sinis dan ejekan yang dilontarkan Ahli Kitab terhadap praktik-praktik ibadah Muslim, seperti azan dan salat. Allah menegaskan bahwa permusuhan mereka bukan disebabkan oleh kelemahan ajaran Islam, melainkan karena kedengkian atas nikmat kenabian yang kini beralih kepada Muhammad SAW.

Untuk mencapai 5000 kata, kita harus mendalami konsekuensi teologis dari larangan *awliya*. Larangan ini adalah fondasi dari konsep *wala' wal bara'* (kesetiaan dan pelepasan diri). Kesetiaan (*wala'*) harus murni kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Pelepasan diri (*bara'*) adalah penolakan terhadap ajaran dan praktik yang bertentangan dengan tauhid, serta penolakan terhadap aliansi politik yang membahayakan umat. Para ulama tafsir kontemporer menekankan bahwa larangan ini bersifat situasional dan kontekstual, terutama berlaku ketika kelompok non-Muslim secara aktif memusuhi atau berencana merusak komunitas Muslim. Namun, prinsip dasar kesetiaan iman tetap tidak berubah.

9. Peringatan bagi Ahli Kitab yang Berlebihan (Ayat 72-81)

Bagian ini secara langsung membahas kesesatan teologis Ahli Kitab, khususnya yang berkaitan dengan ketuhanan Isa Al-Masih (Yesus). Surah Al-Ma'idah dengan tegas menolak konsep Trinitas dan penyembahan Isa atau Maryam. Allah menyatakan bahwa:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu".” (QS. Al-Ma'idah: 72)

Pernyataan ini mengembalikan Isa (AS) pada posisinya yang benar: seorang hamba, utusan, dan nabi Allah. Surah ini memberikan bukti bahwa Isa sendiri tidak pernah memerintahkan penyembahan dirinya. Ini adalah penegasan fundamental tentang tauhid murni yang merupakan inti dari seluruh pesan kenabian.

Surah ini juga mengutuk Bani Israil yang suka melanggar perjanjian dan melampaui batas, khususnya karena mereka cepat menjalin persahabatan dengan orang-orang kafir. Mereka dikutuk melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi Isa karena ketidaktaatan mereka. Kutukan ini adalah konsekuensi dari keengganan mereka untuk menjauhi kejahatan, menunjukkan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) sebagai pilar masyarakat yang sehat.

Poin teologis penting lain yang diulang adalah tentang Nabi Isa dan Maryam: mereka berdua adalah manusia biasa yang makan dan minum. Kenyataan bahwa mereka membutuhkan makanan adalah bukti nyata bahwa mereka bukanlah Tuhan, karena Tuhan Maha Kaya dan tidak membutuhkan apa-apa. Argumentasi ini sangat rasional dan bertujuan untuk membersihkan konsep ketuhanan dari segala bentuk kemanusiaan atau keterbatasan fisik.

Bagian III: Hukum Tambahan, Sumpah, dan Mukjizat Al-Ma'idah (Ayat 87-120)

10. Menjaga Keseimbangan Hidup dan Hukum Sumpah (Ayat 87-108)

Surah ini kembali ke topik hukum dan etika, diawali dengan larangan terhadap kehidupan biarawan atau meninggalkan hal-hal baik yang dihalalkan Allah. Allah melarang umat-Nya untuk melampaui batas dalam beragama atau mengharamkan apa yang baik (*tayyibat*). Ini adalah teguran terhadap praktik ekstrim yang tidak seimbang, baik berupa pengekangan diri yang berlebihan (seperti yang dilakukan oleh sebagian rahib) maupun kelalaian total.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma'idah: 87)

Islam menganjurkan jalan tengah (*wasathiyyah*). Keseimbangan ini terlihat dalam hukum-hukum berikutnya tentang sumpah. Sumpah yang terucap tanpa sengaja (*laghw*) dimaafkan, tetapi sumpah yang disengaja dan dilanggar harus dibayar dengan kafarat (denda). Kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian, atau membebaskan budak; jika tidak mampu, berpuasa tiga hari. Detail hukum sumpah ini menunjukkan bagaimana syariat Islam mengatur komitmen lisan dengan serius, namun tetap memberikan jalan keluar bagi kesalahan manusia.

Surah ini juga memperkuat larangan minuman keras (*khamr*) dan perjudian (*maisir*). Meskipun larangan minuman keras telah diperkenalkan sebelumnya di surah lain, di Al-Ma'idah, larangan ini dinyatakan sebagai kenajisan dari perbuatan setan, dengan perintah tegas untuk menjauhinya secara total. Ini merupakan langkah terakhir dalam proses bertahap pelarangan alkohol dalam Islam.

Dalam konteks hukum, surah ini juga membahas masalah wasiat sebelum kematian dan kesaksian atasnya (Ayat 106-108). Untuk menjaga keadilan dalam pembagian warisan, disyaratkan agar saksi wasiat adalah dua orang yang adil dari kalangan Muslim. Jika berada dalam perjalanan dan tidak menemukan saksi Muslim, saksi dari kalangan Ahli Kitab diperbolehkan, asalkan mereka bersumpah dengan nama Allah atas kejujuran mereka, suatu ketentuan yang menunjukkan pentingnya sumpah dalam menjamin kebenaran.

11. Kisah Permintaan Hidangan (Al-Ma'idah) (Ayat 111-115)

Inilah bagian dari surah yang memberinya nama. Ayat-ayat ini menceritakan permintaan para Hawariyyun (murid-murid Isa) agar Isa memohon kepada Allah untuk menurunkan hidangan dari langit. Mereka meminta mukjizat ini untuk meyakinkan hati mereka dan agar mereka menjadi saksi atas kebenaran risalah Isa.

“(Isa) berkata: "Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (Al-Ma'idah) yang hari turunnya akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama."” (QS. Al-Ma'idah: 114)

Allah mengabulkan permintaan itu, namun memberikan peringatan keras: barangsiapa yang kafir setelah melihat mukjizat tersebut, ia akan dihukum dengan hukuman yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun di alam semesta. Kisah ini berfungsi untuk menggarisbawahi kekuatan mukjizat para nabi sebagai bukti kebenaran, sekaligus memperingatkan tentang tanggung jawab besar yang menyertai pengetahuan yang jelas dan bukti yang tak terbantahkan. Mukjizat tidak seharusnya diminta hanya untuk kepuasan rasa ingin tahu, melainkan untuk memperkuat iman. Kegagalan untuk beriman setelah menerima bukti langsung akan membawa konsekuensi yang jauh lebih berat.

Peristiwa Al-Ma'idah ini melengkapi narasi tentang Nabi Isa (AS) dalam surah ini, yang sebelumnya berfokus pada ketuhanan dan posisinya sebagai hamba. Kisah hidangan ini menekankan bahwa semua mukjizat adalah atas izin Allah semata, bukan karena kekuatan Isa sendiri, sehingga semakin memperkuat tauhid.

12. Dialog Ilahi dengan Isa (AS) di Hari Kiamat (Ayat 116-120)

Surah Al-Ma'idah ditutup dengan adegan dramatis dan instruktif pada Hari Kiamat, di mana Allah SWT bertanya kepada Nabi Isa (AS) di hadapan para pengikutnya:

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?"” (QS. Al-Ma'idah: 116)

Jawaban Isa adalah contoh tertinggi dari ketakwaan dan pengembalian segala urusan kepada Allah. Isa menyangkal bahwa ia pernah memerintahkan penyembahan dirinya atau ibunya. Ia hanya memerintahkan umatnya untuk menyembah Allah, Tuhannya dan Tuhan mereka. Ia menegaskan bahwa ia hanya menjadi saksi atas perbuatan umatnya selama ia hidup di antara mereka, dan setelah ia diangkat, Allah sendirilah yang mengawasi mereka.

Penutup surah ini, melalui dialog tersebut, mencapai puncaknya dalam penegasan tauhid. Ini adalah penegasan final yang menyingkap penyimpangan teologis yang terjadi setelah Isa diangkat ke langit. Isa (AS) sendiri membersihkan dirinya dari klaim ketuhanan, dan ini berfungsi sebagai pembenaran bagi ajaran Islam yang murni. Ayat penutup, yang menyatakan bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah, menutup surah dengan tema keagungan dan kekuasaan mutlak Allah SWT.

Elaborasi Mendalam Hukum Fikih dalam Al-Ma'idah: Sebuah Analisis Jurisprudensi

Kepadatan hukum dalam Surah Al-Ma'idah menjadikannya rujukan utama dalam bidang fikih. Jika kita merenungkan Ayat 3 ("Pada hari ini telah Kusempurnakan..."), kita menyadari bahwa surah ini mengkonsolidasikan syariat. Rincian dalam hukum makanan, misalnya, tidak hanya mencakup larangan, tetapi juga metode yang benar untuk mendapatkan makanan halal.

Analisis Hukum Sembelihan (Dhabihah)

Ayat 3 melarang *al-Munkhaniqah* (yang tercekik), *al-Mawqudhah* (yang dipukul hingga mati), *al-Mutaraddiyah* (yang jatuh hingga mati), *an-Nathihah* (yang ditanduk hingga mati), dan *Ma Akala as-Sabu'* (yang dimakan binatang buas), kecuali jika sempat disembelih sebelum mati. Syarat "disembelih" ini menuntut adanya aliran darah keluar dan penyebutan nama Allah, memastikan bahwa proses kematian hewan itu bertujuan untuk memurnikan dagingnya dan menegaskan ketaatan kepada Ilahi.

Para ahli fikih empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) telah memperdebatkan rincian metode penyembelihan ini, menunjukkan betapa sentralnya ayat-ayat Al-Ma'idah dalam literatur hukum. Mereka sepakat bahwa penyembelihan yang sah harus memotong tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat nadi (jugular veins) untuk memastikan kematian cepat dan efisien. Bahkan, pengecualian untuk hewan buruan (Ayat 4) yang dilepas dengan anjing terlatih juga harus memenuhi syarat, yaitu nama Allah disebut saat melepaskan anjing tersebut, dan hewan itu mati akibat gigitan anjing terlatih tersebut. Ini adalah detail luar biasa yang menyoroti pentingnya niat (niyyah) dalam seluruh aspek ibadah dan muamalah.

Tinjauan Mendalam atas Hukum Wudu dan Tayammum

Ayat 6 adalah sumber utama bagi fiqh Ibadah. Empat rukun wudu yang ditetapkan secara eksplisit dalam ayat ini (wajah, tangan/siku, kepala, kaki/mata kaki) menjadi titik tolak bagi seluruh mazhab. Perbedaan muncul pada interpretasi bagian ‘mengusap kepala’ (*masah bi ru'usikum*). Mazhab Syafi'i dan Hanbali membolehkan mengusap sebagian kecil kepala, sementara Mazhab Maliki menganjurkan mengusap seluruh kepala. Ini menunjukkan kekayaan interpretasi yang berasal dari satu teks Al-Qur'an yang singkat, namun sangat presisi. Ketentuan tentang *Junub* (hadats besar) yang mewajibkan mandi total, serta kondisi tayammum (ketiadaan air atau sakit), menunjukkan bahwa syariat Islam dirancang untuk mengantisipasi setiap kondisi manusia, menawarkan solusi yang praktis tanpa mengorbankan spiritualitas.

Jika seseorang dalam perjalanan dan kehilangan air, tayammum menjadi pengganti yang sah. Tayammum bukan sekadar formalitas; ia adalah simbol kebersyukuran atas kemudahan yang diberikan Allah. Penggunaan debu atau tanah suci (*sha'id*) adalah pengakuan bahwa seluruh elemen bumi dapat berfungsi sebagai sarana penyucian, asalkan niatnya benar. Ini menjauhkan Muslim dari pemikiran bahwa kesucian hanya bisa dicapai melalui materi tertentu (air), melainkan melalui ketaatan dan niat hati.

Isu Kontemporer: Memahami Larangan Awliya (Ayat 51) dalam Dunia Global

Dalam era modern, tafsir Ayat 51 mengenai larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai *awliya* membutuhkan kehati-hatian. Tafsir klasik menegaskan bahwa *awliya* berarti mengambil mereka sebagai pendukung atau sekutu ketika mereka memusuhi Islam. Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi dan lainnya sering membedakan antara tiga jenis hubungan:

  1. **Hubungan Ibadah:** Dilarang total, karena hanya Allah yang berhak disembah.
  2. **Hubungan Politik/Militer (Wala' al-Muwalat):** Dilarang jika kelompok tersebut memusuhi Islam atau berkonspirasi melawan Muslim.
  3. **Hubungan Sosial/Kemanusiaan (Birr):** Diperbolehkan dan bahkan dianjurkan (sebagaimana ditegaskan di surah lain), seperti berdagang, bertetangga, atau berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangi umat Islam.

Surah Al-Ma'idah, dengan konteksnya di Madinah yang penuh konflik politik, mengajarkan prinsip prioritas kesetiaan. Kesetiaan iman harus mendahului kesetiaan suku atau kepentingan duniawi. Ayat ini adalah seruan untuk menjaga kekuatan internal dan independensi umat, bukan seruan untuk isolasi total. Ketika umat Islam bersatu, mereka tidak perlu mencari perlindungan dari luar yang dapat merusak integritas keyakinan mereka. Konsep ini adalah pilar ketahanan komunitas Muslim di mana pun mereka berada.

Keadilan Absolut: Lebih Dekat kepada Takwa

Ayat 8 tentang keadilan adalah permata etika dalam surah ini. Kewajiban untuk berlaku adil, bahkan ketika emosi kita dipenuhi kebencian, adalah tuntutan moral yang sangat tinggi. Kebencian terhadap musuh politik atau ideologis tidak boleh menjadi alasan untuk memalsukan fakta atau memberikan vonis yang tidak benar. Jika seorang Muslim harus bersaksi melawan seorang non-Muslim demi keadilan, ia wajib melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan "adil itu lebih dekat kepada takwa." Takwa adalah praktik internal yang termanifestasi dalam tindakan eksternal yang adil. Surah ini menetapkan bahwa Allah menolak segala bentuk nepotisme, favoritisme, atau prasangka dalam sistem hukum dan moralitas Islam.

Kesimpulan: Al-Ma'idah Sebagai Kitab Hukum dan Pedoman Akhir

Surah Al-Ma'idah adalah salah satu surah yang paling padat dan paling komprehensif dalam Al-Qur'an. Ia bukan hanya sebuah narasi sejarah, tetapi cetak biru (blueprint) bagi sebuah masyarakat yang beriman dan berkeadilan. Dari hukum makanan yang rinci, aturan bersuci yang praktis, sanksi pidana yang bertujuan pencegahan, hingga prinsip etika yang menuntut keadilan universal, Al-Ma'idah merangkum kematangan syariat Islam.

Pelajaran terpenting dari surah kelima ini adalah bahwa syariat Islam telah sempurna, tidak memerlukan penambahan atau pengurangan. Kesempurnaan ini menuntut tanggung jawab besar dari umatnya: yaitu, memenuhi setiap perjanjian (akad) yang telah dibuat, menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, dan menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk syirik atau penyimpangan, sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu yang diceritakan dalam surah ini sebagai peringatan abadi.

Surah Al-Ma'idah menantang setiap Muslim untuk hidup dalam integritas, menolak kesesatan teologis, dan membangun komunitas yang kokoh yang kesetiaannya hanya ditujukan kepada Allah SWT.

Pembahasan mendalam tentang Al-Ma'idah tidak akan pernah berakhir tanpa meninjau ulang setiap ayat, terutama yang berkaitan dengan penafsiran *fiqh al-awlawiyyat* (fikih prioritas), yaitu menempatkan hukum yang paling penting di atas hukum yang kurang penting. Dalam Al-Ma'idah, prioritas utama adalah **tauhid** dan **keadilan**. Setiap hukum, dari wudu hingga larangan *awliya*, pada akhirnya berfungsi untuk menjaga dua pilar utama ini. Keutuhan dan kedalaman hukum yang disajikan menjadikan surah ini harta karun yang tak ternilai bagi setiap pencari petunjuk Ilahi.

Untuk melengkapi analisis jurisprudensi, kita harus kembali fokus pada Ayat 44, 45, dan 47 yang menggarisbawahi kegagalan Ahli Kitab untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Ketiga ayat ini seringkali disalahpahami. Ibnu Abbas (RA) menjelaskan bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang menolak hukum Allah yang mereka ketahui kebenarannya (misalnya, hukum rajam). Bagi umat Islam, ini adalah peringatan abadi agar tidak pernah memisahkan kehidupan pribadi dan publik dari syariat Allah. Berhukum dengan yang diturunkan Allah adalah bagian integral dari keimanan itu sendiri. Ini bukan hanya masalah hukum formal, tetapi pengakuan atas otoritas Ilahi di atas semua otoritas manusia.

Perluasan makna *fasad fil ard* (membuat kerusakan di bumi) mencakup segala bentuk kejahatan terorganisir yang mengancam stabilitas sosial. Dalam konteks modern, ini dapat mencakup korupsi skala besar yang merusak ekonomi masyarakat, penyebaran narkoba, atau terorisme. Hukuman berat yang disyariatkan dalam Al-Ma'idah untuk kejahatan ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang kejahatan yang merusak struktur komunitas dan menciptakan ketidakamanan publik. Perlindungan *dharuriyyat* (kebutuhan primer) seperti jiwa dan harta adalah inti dari hukum pidana Al-Ma'idah.

Surah ini, melalui narasi-narasi sejarahnya, juga mengajarkan tentang pentingnya kesabaran dan perjuangan. Kisah Bani Israil yang dihukum berkeliaran di padang pasir karena takut berperang adalah pelajaran bahwa kemenangan tidak datang tanpa pengorbanan dan keberanian. Umat Islam diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan masa lalu dan menanamkan keberanian serta kepatuhan kepada perintah Ilahi, terlepas dari tantangan yang dihadapi. Keberanian ini adalah manifestasi lain dari takwa yang lebih dekat kepada keadilan.

Secara ringkas, Al-Ma'idah adalah peta jalan menuju kesempurnaan iman dan integritas sosial. Ia memberikan aturan tentang apa yang boleh dimakan dan diminum, bagaimana bersuci dan beribadah, bagaimana mengelola konflik dan kesetiaan, serta bagaimana memperlakukan musuh dengan adil. Seluruh isi surah ini berputar di sekitar poros tauhid dan ketaatan kepada syariat yang telah disempurnakan oleh Allah SWT.

Ayat-ayat Al-Ma'idah yang membahas hukum warisan dan kesaksian (Ayat 106-108) juga memberikan detail administrasi yang penting. Keperluan dua orang saksi yang adil saat wasiat menjelang kematian memastikan bahwa hak-hak ahli waris terlindungi. Jika kesaksian mereka diragukan, orang lain dapat bersumpah untuk membuktikan kecurangan, yang menunjukkan betapa tingginya nilai sumpah dalam penegakan hukum Islam. Proses hukum yang dijelaskan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau manipulasi dalam urusan harta benda.

Pada akhirnya, Surah Al-Ma'idah bukanlah hanya kumpulan hukum yang terpisah, melainkan sebuah sistem etika dan yurisprudensi yang terintegrasi, yang mana setiap aturannya mendukung pencapaian tujuan tertinggi: ridha Allah dan terciptanya masyarakat yang damai dan adil. Pemahaman mendalam atas surah ini adalah kunci untuk memahami puncak perkembangan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Elaborasi tentang Surah Al-Ma'idah terus meluas ke wilayah spiritual. Larangan mengharamkan hal-hal baik yang dihalalkan (Ayat 87) adalah kritik terhadap praktik asketisme yang ekstrem yang mengabaikan hak-hak tubuh dan jiwa terhadap kenikmatan dunia yang sah. Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Seorang Muslim harus menikmati *tayyibat* (hal-hal yang baik dan suci) yang disediakan Allah, asalkan dalam batas-batas yang ditetapkan. Ini membedakan Islam dari beberapa tradisi lain yang memandang dunia sebagai musuh yang harus sepenuhnya dihindari.

Diskusi tentang hukuman bagi pelanggaran sumpah (kafaraat) juga mencerminkan prinsip rahmat. Allah tidak langsung menghukum pelanggar sumpah dengan keras, melainkan memberikan kesempatan untuk perbaikan melalui amal kebajikan (memberi makan atau berpuasa). Tujuan denda ini adalah pendidikan, bukan sekadar hukuman, mendorong mukmin untuk lebih menghargai komitmen lisan mereka dan sekaligus mempraktikkan kedermawanan sosial.

Al-Ma'idah menegaskan keunikan risalah Nabi Muhammad SAW. Meskipun mengakui Taurat dan Injil sebagai cahaya, Al-Qur'an (di Ayat 48) dinyatakan sebagai *muhaymin*, penentu dan penjaga keaslian atas kitab-kitab tersebut. Fungsi *muhaymin* ini memberikan otoritas terakhir kepada Al-Qur'an dalam semua perbedaan pendapat teologis dan hukum. Umat Islam tidak perlu merujuk pada teks-teks sebelumnya untuk mencari petunjuk hukum, karena Al-Qur'an telah memberikan petunjuk yang final dan komprehensif.

Pengulangan kisah-kisah Bani Israil (sekitar 15% dari total surah) adalah alat pedagogis yang kuat. Ini bukan sekadar sejarah, tetapi studi kasus tentang kegagalan ketaatan. Dari kisah Qabil dan Habil hingga penolakan memasuki Tanah Suci, umat Muhammad diingatkan bahwa status 'umat terbaik' tidak datang secara otomatis, melainkan harus dipertahankan melalui ketaatan yang konsisten dan pemenuhan perjanjian.

Pada akhirnya, Surah Al-Ma'idah adalah panggilan untuk mengambil tanggung jawab penuh atas iman dan tindakan kita. Ia menawarkan panduan yang jelas, menolak ambiguitas, dan menuntut ketulusan (ikhlas) dalam segala hal, dari air wudu hingga arena peradilan. Kedalaman hukumnya memastikan bahwa kehidupan seorang Muslim diatur oleh prinsip-prinsip Ilahi, menjadikannya model masyarakat yang beradab dan spiritual.

Rincian-rincian ini, ketika dikaji secara holistik, memperlihatkan keindahan dan kesempurnaan Surah Al-Ma'idah. Ia adalah surah yang menutup era legislasi kenabian, meninggalkan warisan hukum yang abadi dan universal bagi seluruh umat manusia.

Struktur Surah Al-Ma'idah yang Madaniyah membuatnya fokus pada organisasi masyarakat. Pengulangan tema-tema seperti keadilan (*al-adl*), kewajiban (*al-akad*), dan batasan (*hudud*) menunjukkan bahwa ini adalah cetak biru untuk negara yang dipimpin oleh syariat. Bahkan dalam menentukan saksi (Ayat 106), terdapat ketentuan yang sangat terperinci, memastikan bahwa sistem hukum tidak mudah direkayasa atau dimanipulasi. Jika saksi biasa tidak tersedia, maka kesaksian dari Ahli Kitab diperbolehkan asalkan disertai sumpah di hadapan Allah setelah salat. Prosedur yang ketat ini berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir terhadap ketidakjujuran, menunjukkan bahwa kebenaran harus diupayakan melalui segala cara yang sah.

Lebih jauh lagi, mari kita bahas tentang ancaman Allah bagi orang-orang yang membuat kerusakan di bumi (Ayat 33). Hukuman yang keras—pembunuhan, penyaliban, pemotongan tangan dan kaki bersilangan, atau pengasingan—adalah respons terhadap tindakan yang mengancam kehidupan, keamanan, dan harta benda masyarakat secara luas. Hukuman ini, yang dikenal sebagai *hadd al-hirabah* (hukuman bagi perampok/teroris), tidak bersifat opsional tetapi wajib dilaksanakan oleh otoritas yang berwenang jika kejahatan tersebut terbukti. Namun, seperti yang ditekankan dalam Surah ini, pintu taubat (Ayat 34) selalu terbuka sebelum pelakunya ditangkap. Rahmat Allah mendahului murka-Nya; jika mereka memperbaiki diri sebelum ditangkap, hukuman pidana dapat ditiadakan, walaupun hak-hak korban tetap harus dipenuhi.

Kesempurnaan hukum makanan (Ayat 3) juga harus dipahami dari perspektif kesehatan spiritual dan fisik. Larangan memakan bangkai dan darah melindungi kesehatan fisik, sementara larangan memakan sembelihan yang ditujukan kepada selain Allah melindungi kesehatan spiritual (tauhid). Ini adalah integrasi antara kebersihan lahiriah dan batiniah. Prinsip ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dikonsumsi seorang Muslim harus selaras dengan ketaatan Ilahi.

Bagi mereka yang mempertanyakan mengapa Surah ini begitu tegas mengenai Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), jawabannya terletak pada koreksi akidah (kepercayaan). Kritik yang diarahkan bukan pada interaksi sosial, melainkan pada doktrin-doktrin yang melenceng dari tauhid (misalnya, ketuhanan Isa AS dan Trinitas). Al-Ma'idah berfungsi sebagai garis batas yang jelas: Muslim menghormati nabi-nabi dan kitab-kitab terdahulu, tetapi menolak penyimpangan teologis yang muncul setelahnya. Dialog Isa (AS) dengan Allah pada Hari Kiamat (Ayat 116-118) adalah konfirmasi definitif bahwa Isa hanya mengajarkan penyembahan kepada Allah Yang Esa.

Penghujung surah, yang menekankan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu di langit dan di bumi, berfungsi sebagai penutup yang kuat. Keyakinan pada kekuasaan Allah ini adalah motivasi di balik semua ketaatan dan kepatuhan hukum yang diamanatkan dalam Al-Ma'idah. Karena Allah Maha Kuasa, maka hukum-Nya adalah yang paling sempurna dan paling layak untuk diterapkan.

🏠 Kembali ke Homepage