Surah Al-Isra, atau yang juga dikenal dengan nama Surah Bani Israel, merupakan salah satu surah Makkiyah yang memiliki kedudukan fundamental dalam Al-Qur'an. Dengan 111 ayat, surah ini menjadi jembatan yang menghubungkan peristiwa monumental sejarah Islam dengan fondasi etika, moralitas sosial, dan teologi yang mutlak. Diturunkan pada fase krusial perjuangan Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, surah ini hadir sebagai penguat iman, penetapan hukum dasar, dan penegasan janji Ilahi.
Nama ‘Al-Isra’ diambil dari ayat pertama yang menceritakan perjalanan malam Nabi Muhammad ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sementara nama ‘Bani Israel’ mencerminkan fokus signifikan surah ini pada sejarah, peringatan, dan takdir kaum Nabi Musa, menjadikannya sebuah cermin historis bagi umat Islam.
Ayat pertama Surah Al-Isra adalah proklamasi teologis dan sejarah yang luar biasa, memuat mukjizat terbesar yang diberikan kepada Rasulullah ﷺ sebelum hijrah:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidilharam ke Al-Masjidilaksa…” (QS. Al-Isra: 1)
Penggunaan kata ‘Subhana’ (Mahasuci) di awal ayat menandakan bahwa peristiwa yang akan dijelaskan adalah sesuatu yang melampaui batas nalar dan hukum alam, hanya dapat diwujudkan oleh kekuasaan Allah yang mutlak. Perjalanan ‘Isra’ (perjalanan malam) dari Makkah (Masjidil Haram) menuju Baitul Maqdis di Yerusalem (Masjidil Aqsa) terjadi secara fisik dan spiritual.
Tafsir menyoroti bahwa perjalanan ini bukan sekadar wisata, melainkan penetapan status Baitul Maqdis sebagai tempat suci ketiga dalam Islam dan menegaskan ikatan antara kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan kenabian Muhammad. Peristiwa ini adalah pengesahan kenabian Muhammad sebagai pewaris seluruh risalah samawi yang mendahuluinya.
Disebutkannya Nabi sebagai ‘abdihi’ (hamba-Nya) adalah bentuk penghormatan tertinggi. Jabatan hamba (penyembah total) lebih mulia daripada sekadar penyandang gelar Nabi atau Rasul, menekankan kerendahan hati dan kepatuhan mutlak Rasulullah di tengah mukjizat besar yang dianugerahkan kepadanya.
Gambaran Simbolis Perjalanan Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Setelah ayat pembuka yang mengagungkan Nabi Muhammad, surah ini bergeser tajam ke sejarah kaum Bani Israel. Bagian ini mengingatkan bahwa Al-Qur’an bukanlah wahyu baru yang terpisah, tetapi kelanjutan dari bimbingan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa (Ayat 2). Namun, Allah memperingatkan Bani Israel tentang dua kali kerusakan besar yang akan mereka lakukan di muka bumi.
Ayat 4 hingga 8 merinci perjanjian (ketetapan) Allah mengenai Bani Israel. Allah telah menetapkan bahwa mereka akan berbuat kerusakan besar sebanyak dua kali, dan setiap kali kerusakan itu terjadi, Allah akan mengirimkan kaum lain yang memiliki kekuatan militer besar untuk menghukum mereka.
Ayat 7 memberikan harapan jika mereka kembali kepada kebaikan: "Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." Ini adalah prinsip fundamental pertanggungjawaban personal dalam Islam.
Pusat Surah Al-Isra terletak pada bagian ini, sering disebut sebagai "Sepuluh Perintah" versi Islam. Ayat 23 hingga 39 merangkum fondasi moralitas, sosial, dan ekonomi yang menjadi landasan kehidupan seorang Muslim. Struktur perintah ini dimulai dari hak Allah (tauhid) dan berlanjut ke hak orang tua, masyarakat, hingga hak individu.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23)
Ayat ini menyandingkan tauhid (keesaan Allah) langsung dengan kewajiban berbakti kepada orang tua. Ini menunjukkan bahwa setelah kewajiban kepada Tuhan, hak orang tua adalah kewajiban yang paling utama. Larangan mengucapkan ‘ah’ (mengeluh) mencakup segala bentuk ketidaksetujuan, kejengkelan, atau kata-kata kasar, bahkan yang paling ringan. Perintah ini menuntut pelayanan yang dilakukan dengan rasa hormat, kerendahan hati, dan kasih sayang yang mendalam, terutama saat mereka memasuki usia renta yang membutuhkan kesabaran ekstra.
Setelah menegaskan pentingnya tauhid dan birrul walidain (berbakti kepada orang tua), surah ini beralih ke tatanan masyarakat yang adil:
Perintah untuk memberikan hak kepada kerabat dekat, orang miskin, dan musafir adalah penekanan pada jejaring sosial yang kuat. Namun, ayat ini menyeimbangkan antara kedermawanan dan prinsip ekonomi yang bertanggung jawab. Dilarang bersikap boros (tabzir), karena pemboros adalah saudara setan (Ayat 27). Demikian pula, dilarang bersikap kikir (bukhul). Kewajiban ini menekankan jalan tengah: tidak terlalu pelit sehingga melalaikan kewajiban, namun tidak pula terlalu royal hingga menyebabkan diri jatuh miskin.
Al-Qur'an secara tegas melarang pembunuhan anak (infanticide) karena takut kemiskinan (Ayat 31). Allah menjamin rezeki mereka dan rezeki orang tua mereka. Ini adalah penegasan terhadap nilai kehidupan di atas kekhawatiran materi. Selanjutnya, dilarang membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar (hukum). Syariat memberikan penekanan luar biasa pada perlindungan darah manusia.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Perhatikan frasa “Janganlah kamu mendekati”, bukan sekadar “Janganlah kamu berzina.” Ini adalah larangan preventif (sadd adz-dzariah) yang mencakup semua perbuatan yang dapat mengarah pada perzinahan, seperti pandangan yang tidak senonoh, sentuhan yang tidak halal, atau pergaulan bebas. Larangan ini melindungi kesucian garis keturunan, kehormatan individu, dan stabilitas keluarga.
Harta anak yatim harus dijaga dan diurus dengan cara yang paling baik hingga mereka mencapai kedewasaan dan kecerdasan (rasyid). Surah ini juga menekankan pentingnya menepati janji (akad), karena janji itu akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat.
Perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan ketika berdagang. Keadilan ekonomi adalah inti dari peradaban Islam. Jujur dalam transaksi adalah ibadah yang menumbuhkan kepercayaan dalam masyarakat.
Ayat 36 melarang mengikuti sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya ("Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui"). Ini adalah fondasi etika penelitian, larangan menyebarkan fitnah, dan pentingnya verifikasi (tabayyun).
Ayat 37 melarang kesombongan: "Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung." Kesombongan adalah penyakit spiritual yang memutus hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah inti ajaran Al-Isra.
Setelah meletakkan dasar hukum praktis, surah kembali ke masalah teologi dan akidah, menantang kepercayaan politeistik yang berkembang di Makkah.
Ayat-ayat ini menyangkal klaim bahwa Allah memiliki anak perempuan (seperti anggapan sebagian kaum musyrik tentang malaikat atau anggapan Nasrani tentang Isa). Allah menekankan bahwa jika Dia menghendaki adanya Tuhan lain di samping-Nya, pasti mereka akan berusaha mencari jalan kepada Pemilik Singgasana (Allah) karena keagungan-Nya. Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih memuji Allah, menunjukkan keselarasan kosmik yang bertentangan dengan konsep kemusyrikan.
Ketika Nabi Muhammad membaca Al-Qur'an, Allah menjelaskan bahwa Dia meletakkan tirai (penghalang) gaib antara Rasulullah dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tirai ini adalah metafora untuk kebutaan spiritual dan ketidakmauan untuk memahami. Mereka mendengarkan dengan hati yang tertutup, dan menganggap Nabi sebagai orang yang ‘terkena sihir’ atau ‘gila’, menunjukkan penolakan mereka yang didasarkan pada keangkuhan, bukan pada kurangnya bukti.
Salah satu ayat paling misterius dan terkenal dalam surah ini adalah ketika Al-Qur'an membahas pertanyaan mengenai hakikat Ruh (Roh/Jiwa):
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.’” (QS. Al-Isra: 85)
Ayat ini menetapkan batas pengetahuan manusia. Meskipun manusia maju dalam ilmu fisika dan biologi, hakikat energi Ilahi yang menghidupkan (Ruh) tetap merupakan rahasia yang sepenuhnya menjadi otoritas Allah. Ini mengajarkan kerendahan hati intelektual dan pengakuan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami dimensi metafisika yang mutlak.
Bagian ini mengisahkan kembali dialog dramatis antara Allah dan Iblis (Setan) setelah penciptaan Adam. Kisah ini berfungsi sebagai peringatan bahwa godaan dan kesombongan adalah bahaya nyata dalam perjalanan spiritual manusia.
Ketika Allah memerintahkan para malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam, Iblis menolak karena kesombongan, mengklaim bahwa ia diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah liat (Ayat 61). Penolakan ini adalah akar dari segala dosa. Iblis bersumpah untuk menyesatkan sebagian besar keturunan Adam, kecuali "hamba-hamba-Mu yang ikhlas" (Ayat 65).
Pengecualian ini sangat penting. Perlindungan dari godaan Iblis diberikan kepada mereka yang memiliki keikhlasan sejati dalam ibadah dan kepatuhan mereka kepada Allah. Ini mengajarkan bahwa benteng terkuat melawan bisikan setan adalah pemurnian niat dan ketaatan yang konsisten.
Ayat-ayat ini menggambarkan betapa lemahnya manusia ketika dihadapkan pada bahaya besar, seperti di lautan. Saat badai menerjang, manusia hanya berdoa kepada Allah semata (tauhid fitri). Namun, ketika mereka diselamatkan dan kembali ke daratan, sebagian dari mereka kembali berpaling (syirik). Ini menunjukkan inkonsistensi manusia dan sifat mudah lupa terhadap anugerah keselamatan, kecuali mereka yang teguh dalam iman.
Surah Al-Isra kemudian beralih fokus pada posisi Nabi Muhammad ﷺ dan wahyu yang diturunkan kepadanya, menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran yang tidak mungkin diganti atau diselewengkan.
Allah mengingatkan Nabi tentang tipu daya kaum musyrikin yang berusaha memalingkannya dari sebagian wahyu. Jika Nabi tunduk sedikit saja pada permintaan mereka untuk ‘melunakkan’ ajaran, ia akan mendapat siksa yang berlipat ganda di dunia dan akhirat. Ayat-ayat ini menunjukkan perlindungan mutlak Allah terhadap Rasulullah dari kesalahan syariat, memastikan bahwa risalah yang disampaikan murni dari campur tangan manusia.
“Dirikanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sungguh, salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra: 78)
Ayat ini secara eksplisit menetapkan waktu-waktu shalat wajib (dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh). Selain itu, ayat 79 menganjurkan shalat malam (Tahajjud) sebagai ibadah tambahan, yang dijanjikan akan mengangkat Nabi ke posisi yang terpuji (Maqamam Mahmuda) pada Hari Kiamat. Penetapan shalat adalah tiang agama, sebuah praktik yang menghubungkan hamba secara langsung dengan Penciptanya.
Ayat 81 menyatakan kemenangan kebenaran atas kebatilan: "Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sungguh, yang batil itu pasti lenyap." Al-Qur’an digambarkan sebagai penyembuh (syifa’) dan rahmat bagi orang-orang mukmin (Ayat 82), menunjukkan fungsi ganda wahyu: sebagai pedoman hukum dan penyembuh spiritual dari penyakit hati.
Ayat 88 adalah tantangan linguistik yang terkenal:
“Katakanlah, ‘Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu.’” (QS. Al-Isra: 88)
Ini adalah bukti kemukjizatan Al-Qur'an (I’jaz Al-Qur’an). Tidak ada karya sastra, hukum, atau pengetahuan lain yang dapat menandingi keindahan bahasa, kedalaman ajaran, dan ketepatan ramalan dalam Al-Qur’an. Tantangan ini menegaskan otoritas ilahiah yang mutlak dari wahyu.
Al-Qur'an sebagai Cahaya dan Penyembuh.
Kaum musyrikin Makkah menuntut agar Nabi Muhammad menunjukkan mukjizat material yang sensasional, serupa dengan mukjizat yang diberikan kepada nabi terdahulu. Mereka meminta agar Nabi membuat mata air memancar dari bumi, memiliki kebun kurma dan anggur yang subur, atau bahkan menaiki langit dengan tangga yang terlihat dan membawa kitab suci yang mereka bisa baca.
Tanggapan Allah sangat tegas: Nabi diperintahkan untuk menjawab bahwa ia hanyalah seorang manusia yang diutus sebagai Rasul (Ayat 93). Mukjizat terbesar adalah Al-Qur’an itu sendiri. Jika Allah menghendaki, Dia bisa saja mengutus malaikat, tetapi hikmah Ilahi adalah mengutus manusia dari kalangan mereka agar mereka dapat meneladaninya. Hal ini menggarisbawahi pentingnya uswatun hasanah (contoh teladan yang baik) di dalam diri Rasulullah ﷺ.
Pada bagian penutup, surah ini kembali menyajikan kisah Nabi Musa dan mukjizat sembilan tanda (Ayat 101), yang ditujukan kepada Firaun. Pengulangan kisah Musa ini berfungsi sebagai penghubung Surah Bani Israel/Al-Isra dengan sejarah nubuwwah (kenabian) secara umum, menegaskan bahwa penolakan terhadap Nabi Muhammad adalah pengulangan penolakan yang sama yang ditunjukkan oleh Firaun terhadap Musa.
Ayat-ayat ini mengingatkan akan nasib orang-orang yang menolak kebenaran. Orang yang diberi petunjuk oleh Allah adalah yang mendapat petunjuk, dan siapa pun yang disesatkan oleh-Nya tidak akan mendapatkan penolong selain Dia. Mereka akan dikumpulkan pada Hari Kiamat dalam keadaan buta, bisu, dan tuli, dan tempat mereka adalah Neraka Jahanam.
Kekafiran mereka didasarkan pada anggapan mustahilnya kebangkitan kembali setelah tulang-belulang menjadi hancur. Allah menjawab dengan logika penciptaan pertama: Dia yang mampu menciptakan dari ketiadaan, tentu lebih mudah mengembalikannya (Ayat 99).
Al-Qur'an diturunkan secara bertahap (berangsur-angsur) agar Nabi dapat membacakannya kepada manusia secara perlahan, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dakwah. Prinsip penurunan bertahap (tanjim) ini memungkinkan pemahaman, penghafalan, dan penerapan ajaran yang lebih baik.
Surah ini diakhiri dengan pujian yang mendalam kepada Allah dan perintah untuk selalu memuji-Nya. Orang-orang yang beriman akan segera bersujud (berserah diri) ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan. Ini kontras dengan kaum kafir yang menolak dan mengejek.
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan, dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.’” (QS. Al-Isra: 111)
Ayat penutup ini adalah pernyataan tegas mengenai Tauhid rububiyyah (ketuhanan) dan uluhiyyah (peribadatan). Allah Maha Esa, tidak butuh sekutu, tidak butuh anak, dan tidak butuh bantuan karena kelemahan. Dia adalah Raja Mutlak yang harus diagungkan (Takbir) sepenuhnya.
Surah Al-Isra merupakan miniatur lengkap dari risalah Islam. Surah ini dimulai dengan mukjizat kosmik (Isra’ Mi’raj), menegaskan superioritas nubuwwah Muhammad, dan mengakhiri dengan penetapan tauhid yang mutlak.
Namun, inti fungsional surah ini terletak pada bagian tengahnya: fondasi etika sosial dan individu. Islam bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga panduan moralitas yang mendalam yang mencakup hubungan dengan Tuhan, orang tua, kerabat, anak yatim, dan masyarakat secara keseluruhan. Surah ini mengajarkan bahwa kesombongan (seperti Iblis) dan pengabaian etika (seperti Bani Israel pada masa kerusakan mereka) adalah pangkal dari kehancuran di dunia dan akhirat.
Bagi umat Islam, Al-Isra adalah cetak biru untuk membangun peradaban yang tegak di atas keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap kehidupan—suatu peradaban yang selalu berpegang teguh pada Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk, penyembuh, dan rahmat.