Jual beli atau tijarah adalah denyut nadi perekonomian umat manusia. Dalam pandangan Islam, aktivitas perdagangan bukan hanya sekadar sarana mencari keuntungan materi, melainkan juga merupakan ibadah yang terikat erat dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan bersama. Al-Qur'an sebagai sumber hukum tertinggi, memberikan panduan yang sangat rinci dan mendasar mengenai etika, tata cara, dan batasan-batasan dalam bertransaksi.
Kajian ini akan menelusuri secara mendalam ayat-ayat kunci yang menjadi landasan utama Fiqh al-Muamalat (hukum transaksi), mulai dari pengakuan sahnya jual beli, kewajiban pencatatan utang-piutang, hingga larangan tegas terhadap praktik zalim, terutama riba, yang dianggap merusak tatanan sosial ekonomi.
I. PENGAKUAN HUKUM JUAL BELI DAN KONTRAK
Islam mengakui jual beli sebagai sarana yang sah untuk pertukaran nilai dan pengalihan kepemilikan. Namun, pengakuan ini disertai dengan syarat yang sangat ketat: transaksi harus dilakukan atas dasar kerelaan dan keadilan, memisahkan secara jelas antara keuntungan yang sah (hasil perdagangan) dan praktik eksploitatif (riba).
Keadilan (Mizan) adalah inti dari setiap transaksi Islami.
A. Ayat tentang Kerelaan dan Larangan Memakan Harta secara Batil (QS. An-Nisa: 29)
Ayat ini merupakan fondasi etika transaksi dalam Islam. Ia menetapkan dua pilar utama: larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar, dan pengecualian untuk perdagangan yang dilandasi kerelaan.
Tafsir dan Implikasi Fiqh:
- Larangan Batil (Perbuatan Tidak Benar): Mencakup segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penipuan (tadlis), spekulasi berlebihan (gharar), pemaksaan, pencurian, suap, dan riba. Intinya, segala cara yang melanggar syariat adalah batil.
- Perdagangan atas Dasar Kerelaan (An Taradhin Minkum): Prinsip ini mensyaratkan bahwa ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) harus dilakukan secara sadar, tanpa paksaan, dan kedua belah pihak harus memahami objek akad serta konsekuensinya. Kerelaan menjadi syarat sahnya akad (rida’ al-‘aqdain).
- Penerapan: Ayat ini menuntut adanya transparansi informasi (tidak boleh menyembunyikan cacat barang) dan kejelasan dalam harga, volume, dan waktu penyerahan. Tanpa kerelaan penuh, akad menjadi fasid (rusak).
II. PEMISAHAN JUAL BELI DARI RIBA
Pemisahan yang tegas antara jual beli yang sah (halal) dan riba (haram) adalah salah satu penekanan terpenting dalam ekonomi Islam. Al-Qur'an secara eksplisit mengutuk riba dan menetapkan bahwa Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba, sebuah prinsip yang termaktub dalam Surat Al-Baqarah.
A. Ayat Fondasi Larangan Riba (QS. Al-Baqarah: 275)
Ayat ini adalah inti dari Fiqh Muamalat terkait keuangan. Ayat ini tidak hanya melarang riba tetapi juga memberikan pembenaran filosofis mengenai mengapa riba dilarang, yaitu karena ia menolak hukum alamiah yang berlaku dalam perdagangan.
Analisis Ayat dan Perbedaan Jual Beli vs. Riba:
- Kesalahan Logika: Orang-orang Jahiliah (dan kini) beranggapan bahwa menaikkan harga jual barang (keuntungan) sama dengan menaikkan beban utang karena penangguhan waktu (bunga/riba). Al-Qur'an menolak persamaan ini.
- Jual Beli (Al-Bai'): Melibatkan pertukaran komoditas atau jasa dengan risiko (khatar). Keuntungan adalah imbalan atas risiko, usaha, dan kepemilikan. Nilai tambah tercipta dari proses produksi, distribusi, atau penyimpanan.
- Riba: Adalah pertambahan yang disyaratkan tanpa adanya imbalan yang sebanding, biasanya terjadi pada transaksi utang-piutang (riba nasi'ah) atau pertukaran komoditas ribawi yang tidak sama takarannya (riba fadl). Riba tidak menciptakan nilai, melainkan memindahkan kekayaan dari yang lemah (debitur) kepada yang kuat (kreditur).
- Konsekuensi Spiritual: Ayat ini menggambarkan kondisi orang yang memakan riba di Hari Kiamat dalam keadaan gila atau kacau, sebagai hukuman karena kekacauan sosial yang mereka timbulkan di dunia.
B. Ancaman Keras terhadap Pelaku Riba (QS. Al-Baqarah: 279)
Setelah menetapkan haramnya riba, Allah SWT memberikan peringatan yang sangat serius, yang menunjukkan betapa besar dosa ini dalam pandangan syariat.
Ancaman "perang terhadap Allah dan Rasul-Nya" menunjukkan bahwa riba adalah kejahatan finansial yang dampaknya meluas dan merusak sendi-sendi masyarakat, sehingga ia setara dengan dosa besar. Ayat ini juga memberikan solusi: tobat berarti hanya berhak atas modal pokok (ra'sul mal) tanpa tambahan bunga.
III. KEWAJIBAN PENCATATAN DAN KONTRAK (QS. AL-BAQARAH: 282)
Ayat terpanjang dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai Ayat Ad-Dayn (Ayat Utang), secara spesifik mengatur detail mengenai akad utang piutang, dan secara umum memberikan panduan tentang dokumentasi dalam seluruh transaksi keuangan. Ini adalah landasan hukum tertulis dalam muamalat.
A. Pentingnya Dokumentasi Transaksi Jual Beli Kredit
Meskipun ayat ini fokus pada utang-piutang, implikasinya meluas ke seluruh transaksi jual beli yang tidak tunai (kredit, cicilan, salam, istishna'). Dokumentasi bertujuan mencegah perselisihan, melanggengkan keadilan, dan menjaga hak kedua belah pihak.
Detail Kewajiban Pencatatan:
- Kewajiban Menulis: Ini adalah perintah utama. Penulisan kontrak harus jelas mengenai jumlah, batas waktu, dan spesifikasi barang (jika barangnya belum ada, seperti dalam akad salam).
- Kehadiran Juru Tulis: Harus ada penulis yang adil dan tidak memihak. Juru tulis dilarang menolak menulis dan harus menulis dengan jujur.
- Kewajiban Pendiktean: Pihak yang berutang (debitur) wajib mendiktekan isi perjanjian, karena ia yang memikul beban kewajiban.
- Kehadiran Saksi: Diperlukan dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Fungsi saksi adalah memastikan keabsahan dan keadilan perjanjian jika terjadi sengketa.
- Pengecualian Transaksi Tunai: Ayat ini memberikan keringanan. Jika transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan serah terima dilakukan saat itu juga, maka tidak ada kewajiban untuk menuliskannya.
B. Fiqh Kontrak dan Akibat Hukum
Ayat Ad-Dayn membentuk dasar bagi teori akad dalam fiqh muamalat. Syarat sahnya suatu kontrak (akad) dalam jual beli meliputi:
- Rukun (Pilar) Akad: Adanya pihak yang berakad (penjual dan pembeli), objek akad (barang/jasa dan harga), dan sighat (ijab qabul).
- Syarat Objek Akad (Ma'qud 'Alaih): Objek harus suci, bermanfaat, dimiliki oleh penjual, dan jelas spesifikasinya (tidak mengandung gharar).
- Aspek Keadilan (‘Adalah): Kontrak harus mencerminkan keseimbangan hak dan kewajiban. Jika satu pihak merasa dirugikan karena penipuan atau penyembunyian cacat, ia memiliki hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan akad.
Pencatatan adalah jaminan keadilan dalam transaksi.
IV. ETIKA BISNIS ISLAMI: INTEGRITAS DAN KEJUJURAN
Jual beli yang dihalalkan harus dilakukan dengan etika yang sempurna. Al-Qur'an secara berulang kali menekankan pentingnya kejujuran dalam menakar, menimbang, dan dalam penyampaian informasi. Pelanggaran terhadap etika ini dianggap sebagai kezaliman sosial yang serius.
A. Ayat tentang Menyempurnakan Timbangan (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)
Surat Al-Muthaffifin secara eksplisit diturunkan untuk mengecam para pedagang yang curang dalam timbangan. Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak kecurangan kecil dalam bisnis.
Konteks dan Penerapan Etika Modern:
- Kecurangan Tersembunyi: Ayat ini mengecam sifat egois dalam bisnis: ingin mendapat hak penuh tetapi enggan memberi hak penuh kepada orang lain.
- Timbangan Modern: Dalam konteks modern, prinsip ini meluas ke segala bentuk kecurangan informasi: mengurangi kualitas produk, memalsukan label, menyembunyikan cacat elektronik, atau memanipulasi laporan keuangan perusahaan.
- Aspek Ibadah: Menjaga timbangan dan takaran adalah bagian dari menunaikan amanah, dan merupakan syarat diterimanya perdagangan sebagai ibadah yang diridhai.
B. Anjuran Berdagang dengan Transparan (QS. Hud: 85)
Perintah untuk berbuat adil dalam timbangan juga diulang di berbagai surat, termasuk melalui kisah Nabi Syu'aib A.S. kepada kaum Madyan, yang terkenal karena kecurangan bisnis mereka.
"Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi." (QS. Hud: 11:85)
Ayat ini mengaitkan kecurangan bisnis dengan "kerusakan di bumi" (fasad fil ardh), menunjukkan bahwa kezaliman ekonomi memiliki konsekuensi ekologis dan sosial yang luas, bukan hanya kerugian finansial individual.
V. PRINSIP-PRINSIP JUAL BELI YANG DILARANG (GHARAR, MAYSIR, IHTIKAR)
Untuk memastikan keadilan dan menghindari unsur eksploitasi, Syariat Islam melarang jenis-jenis transaksi tertentu yang mengandung risiko berlebihan, spekulasi, atau monopoli yang merugikan publik. Walaupun larangan ini umumnya diperkuat oleh hadis (Sunnah), landasan awalnya tetap berpijak pada prinsip "larangan memakan harta secara batil" (QS. An-Nisa: 29).
A. Larangan Gharar (Ketidakjelasan atau Risiko Berlebihan)
Gharar adalah ketidakpastian yang dapat menyebabkan kerugian bagi salah satu pihak. Larangan gharar sangat penting dalam jual beli Islam, melingkupi:
- Ketidakjelasan Objek: Menjual barang yang belum ada atau tidak pasti keberadaannya (misalnya: menjual ikan yang masih di laut, atau buah yang belum matang).
- Ketidakjelasan Harga: Menetapkan harga yang bersifat spekulatif atau bergantung pada kondisi yang tidak pasti.
- Konteks Modern: Larangan gharar menjadi dasar pengharaman sebagian besar derivatif keuangan, asuransi konvensional (yang menjual risiko), dan spekulasi pasar saham yang didasarkan pada informasi yang tidak jelas atau belum final.
B. Larangan Maysir (Perjudian)
Maysir adalah segala bentuk transaksi yang keuntungannya diperoleh dari keberuntungan semata, tanpa adanya kontribusi usaha atau risiko bisnis yang sejati. Maysir sering kali melekat pada gharar, di mana keuntungan satu pihak selalu setara dengan kerugian total pihak lain. Hal ini dilarang mutlak, sebagaimana firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah: 5:90)
Jual beli harus berbasis usaha, risiko, dan pertukaran nilai yang nyata, bukan semata-mata bergantung pada hasil undian atau spekulasi murni.
C. Larangan Ihtikar (Penimbunan)
Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam bentuk ayat larangan jual beli, prinsip keadilan dan larangan merusak tatanan sosial (fasad) yang disebutkan dalam QS. Hud: 85, menjadi dasar larangan ihtikar. Ihtikar adalah menahan peredaran barang-barang pokok (seperti makanan atau kebutuhan publik) untuk menaikkan harga secara tidak wajar, sehingga merugikan masyarakat luas. Ini dianggap sebagai pelanggaran etika sosial yang berat karena bertentangan dengan prinsip kemaslahatan (kesejahteraan publik).
VI. HAK KHIYAR DAN PENYELESAIAN SENGKETA
Dalam memastikan bahwa jual beli benar-benar didasarkan pada kerelaan, Syariat Islam memberikan hak opsi (khiyar) kepada pembeli dan penjual untuk membatalkan akad dalam kondisi tertentu. Konsep ini menjamin bahwa akad tidak akan merugikan salah satu pihak secara tidak adil.
A. Konsep Khiyar (Hak Memilih)
Hak khiyar memberikan fleksibilitas dan perlindungan konsumen. Beberapa jenis khiyar yang diakui dalam fiqh, yang sejalan dengan semangat keadilan Qurani, meliputi:
- Khiyar Majlis: Hak membatalkan transaksi selama kedua pihak masih berada di tempat akad (majelis akad), sebelum berpisah badan.
- Khiyar Syarat: Hak membatalkan akad jika salah satu pihak mensyaratkan durasi waktu tertentu untuk memikirkannya (misalnya 3 hari).
- Khiyar 'Aib (Cacat): Hak membatalkan akad jika ditemukan cacat tersembunyi pada barang yang tidak diketahui saat akad dilakukan. Ini adalah manifestasi langsung dari larangan penipuan dan kezaliman dalam transaksi.
B. Kewajiban Menyelesaikan Sengketa dengan Adil
Jika terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui hak khiyar, Syariat Islam mewajibkan penyelesaian sengketa melalui jalur hukum yang adil, sebagaimana diperintahkan Allah untuk kembali kepada sumber hukum:
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS. An-Nisa: 4:59)
Dalam konteks jual beli, ini berarti sengketa harus dibawa ke pengadilan syariah atau badan arbitrase yang berpedoman pada Fiqh Muamalat, yang bertujuan mencapai keadilan sejati dan mengembalikan hak kepada yang berhak, tanpa memandang status sosial atau kekuasaan.
VII. JUAL BELI SEBAGAI SARANA MENCARI KEBERKAHAN
Jual beli yang sesuai syariat bukan hanya sekadar legal, tetapi juga mengandung nilai keberkahan (barakah). Keberkahan ini diperoleh melalui kesempurnaan etika, kejujuran, dan menjauhi praktik yang mengandung syubhat (keraguan).
A. Keutamaan Jujur dalam Berdagang
Meskipun tidak berupa ayat Al-Qur'an, konsep kejujuran dalam berdagang ditegaskan kuat dalam Sunnah dan merupakan interpretasi dari perintah umum Al-Qur'an tentang ketaatan. Pedagang yang jujur dijanjikan kedudukan mulia.
"Pedagang yang jujur dan terpercaya (amanah) akan bersama para Nabi, para Shiddiqin, dan para Syuhada di Hari Kiamat." (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa keberkahan tidak hanya diukur dari besarnya laba, tetapi dari kualitas moral dan spiritual saat memperoleh laba tersebut.
B. Anjuran Memberi Tangguh Bagi yang Kesulitan (QS. Al-Baqarah: 280)
Keadilan dalam jual beli juga mencakup aspek kemanusiaan, terutama ketika berhadapan dengan utang piutang atau transaksi kredit. Ayat ini mendorong belas kasih dan solidaritas sosial:
Ayat ini mengajarkan bahwa dalam jual beli yang melibatkan pembayaran tertunda, jika pembeli (debitur) mengalami kesulitan finansial yang nyata, kreditur wajib memberikan penangguhan waktu. Lebih jauh lagi, jika kreditur memilih untuk menghapuskan utang tersebut (menyedekahkan), maka itu adalah perbuatan yang sangat utama dan mendatangkan pahala besar. Ini adalah manifestasi etika Islam yang menyeimbangkan hak ekonomi dengan kewajiban sosial dan kemanusiaan, jauh berbeda dari praktik riba yang menekan orang yang sedang kesulitan.
Penerapan dalam Lembaga Keuangan:
Prinsip penangguhan ini harus diterapkan oleh lembaga keuangan syariah. Dalam kasus gagal bayar karena kondisi tak terduga (bukan karena kesengajaan), lembaga syariah wajib memberikan restrukturisasi tanpa menambah beban (denda atau bunga tambahan), sesuai dengan prinsip la tazhlimuuna wa la tuzhlamuun (tidak menganiaya dan tidak dianiaya).
VIII. JUAL BELI ISLAMI DI ERA MODERN DAN DIGITAL
Prinsip-prinsip yang termaktub dalam ayat-ayat Al-Qur'an bersifat universal dan relevan di setiap zaman. Dalam konteks ekonomi modern dan digital, fiqh muamalat terus beradaptasi untuk memastikan bahwa transaksi kontemporer tetap berada dalam koridor syariat.
A. Jual Beli Online (E-Commerce)
Transaksi e-commerce melibatkan tantangan unik terkait gharar, terutama karena penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majelis fisik, dan pembeli tidak dapat memeriksa barang secara langsung.
- Prinsip Kerelaan (QS. An-Nisa: 29): Dipastikan melalui informasi produk yang sangat detail, gambar yang akurat, dan kebijakan pengembalian barang yang jelas.
- Khiyar Ru'yah (Hak Melihat): Fiqh mengakui hak pembeli untuk membatalkan akad jika barang yang diterima tidak sesuai dengan deskripsi online, atau tidak sesuai harapan setelah melihatnya. Ini menjadi landasan bagi jaminan pengembalian uang (money back guarantee).
- Jual Beli Salam (Pemesanan di Awal): Banyak transaksi e-commerce, khususnya untuk barang custom atau pre-order, menggunakan prinsip salam (pembayaran di awal, barang diserahkan di kemudian hari). Syaratnya, barang harus jelas spesifikasinya untuk menghindari gharar.
B. Pasar Modal Syariah dan Transaksi Saham
Perintah Al-Qur'an untuk menjauhi riba dan maysir menjadi pedoman utama dalam pasar modal syariah.
- Screening Emiten: Hanya saham dari perusahaan yang aktivitas utamanya halal dan rasio utang ribawinya rendah yang dianggap memenuhi syarat. Ini adalah penerapan langsung dari larangan riba.
- Larangan Spekulasi Murni: Transaksi saham dilarang jika bertujuan murni untuk spekulasi jangka pendek tanpa mempertimbangkan nilai riil perusahaan (mirip dengan maysir). Praktik seperti short selling (penjualan kosong) dilarang karena melibatkan penjualan barang yang belum dimiliki, yang bertentangan dengan prinsip kepemilikan yang disyaratkan dalam jual beli Islam.
- Kontrak Riba vs. Bagi Hasil: Instrument keuangan syariah (seperti Sukuk) menggunakan konsep bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) dan sewa (ijarah), bukan bunga tetap, sebagai alternatif yang sah terhadap transaksi berbasis riba.
C. Menjamin Keadilan Global dalam Perdagangan
Skala perdagangan modern bersifat global. Ayat-ayat tentang timbangan dan kejujuran menuntut bahwa praktik jual beli yang halal harus diterapkan secara internasional. Ini mencakup larangan terhadap:
- Eksploitasi Tenaga Kerja: Mengambil untung dengan menzalimi hak pekerja (gaji rendah atau kondisi kerja buruk) adalah bentuk memakan harta orang lain secara batil.
- Perdagangan Curang: Dumping, penetapan harga predator, dan pelanggaran hak kekayaan intelektual (HAKI) dianggap sebagai bentuk kecurangan yang melanggar prinsip keadilan dan kejujuran yang diamanahkan Al-Qur'an.
IX. KESIMPULAN: INTEGRITAS SEBAGAI PONDASI EKONOMI
Ayat-ayat Al-Qur'an mengenai jual beli, terutama dari Surat An-Nisa, Al-Baqarah, dan Al-Muthaffifin, menawarkan kerangka hukum yang kokoh, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan. Jual beli bukanlah sekadar mekanisme ekonomi, melainkan ajang pengujian integritas moral seorang Muslim.
Islam menghalalkan perdagangan karena ia menciptakan nilai dan mendorong perputaran kekayaan, namun mengharamkan riba dan segala bentuk kezaliman karena ia merusak keadilan distribusi dan menyebabkan konflik sosial. Kunci utama dalam semua hukum muamalat adalah implementasi prinsip laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun (kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya). Dengan mematuhi hukum Allah, pedagang tidak hanya meraih keuntungan di dunia, tetapi juga keberkahan dan pahala abadi di akhirat.
Penekanan pada pencatatan, saksi, kerelaan, dan larangan praktik curang seperti gharar dan ihtikar, memastikan bahwa sistem ekonomi Islam adalah sistem yang paling stabil, etis, dan berkelanjutan, yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat manusia secara menyeluruh.