I. Pengantar Surah Al-Fath: Pintu Kemenangan yang Terbuka
Surah Al-Fath, yang dikenal pula dengan permulaan ayatnya “Innā fataḥnā laka fatḥan mubīnā” (Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata), adalah Surah ke-48 dalam Al-Qur'an. Surah ini diturunkan di Madinah, tepatnya setelah peristiwa monumental Perjanjian Hudaibiyah. Secara kronologis, Surah ini berada pada titik balik krusial dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ, mengubah persepsi "kekalahan diplomatik" menjadi "kemenangan strategis dan spiritual" yang disahkan langsung oleh wahyu ilahi.
Nama Surah Al-Fath sendiri—Kemenangan—sepenuhnya merefleksikan inti pesan yang terkandung di dalamnya. Walaupun para sahabat pada awalnya merasa kecewa dengan klausul-klausul Perjanjian Hudaibiyah yang tampak merugikan kaum Muslimin (seperti kewajiban mengembalikan setiap Muslim Makkah yang melarikan diri ke Madinah, sementara Quraisy tidak wajib mengembalikan Muslim yang kembali ke Makkah), Surah ini datang untuk menegaskan bahwa keputusan Allah SWT jauh melampaui perhitungan manusia. Kemenangan yang dimaksud bukanlah kemenangan militer instan, melainkan pembukaan jalur perdamaian yang pada akhirnya mengarah pada penaklukan Makkah tanpa pertumpahan darah dua tahun kemudian.
Tujuan utama Surah ini adalah menanamkan ketenangan (Sakīnah) di hati orang-orang beriman, memisahkan barisan mukmin sejati dari orang-orang munafik yang absen, serta memberikan penghargaan abadi kepada mereka yang bersumpah setia di bawah pohon (Bay’at ar-Ridhwan). Ia merupakan piagam kehormatan bagi kesabaran, keikhlasan, dan kepatuhan mutlak kepada Rasulullah ﷺ.
Latar Belakang Historis: Peristiwa Hudaibiyah
Pada tahun keenam hijriyah, Rasulullah ﷺ bersama sekitar 1.400 hingga 1.500 sahabat berangkat menuju Makkah dengan niat tunggal untuk melaksanakan ibadah umrah. Perjalanan ini dilakukan tanpa niat perang, ditandai dengan pakaian ihram dan membawa hewan kurban. Namun, kaum Quraisy Makkah menghalangi mereka di Hudaibiyah. Negosiasi yang panjang dan alot pun terjadi, menghasilkan perjanjian yang oleh banyak sahabat dianggap sebagai penghinaan.
Klausul-klausul yang paling memberatkan bagi para sahabat adalah penundaan umrah hingga tahun berikutnya, dan ketentuan pengembalian kaum Muslimin yang lari ke Madinah. Umar bin Khattab, salah satu sahabat terkemuka, secara terbuka menunjukkan kekecewaannya kepada Rasulullah ﷺ. Pada saat kondisi psikologis para sahabat sedang di ambang batas frustrasi inilah, Surah Al-Fath diturunkan, memberikan validasi ilahi bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana besar menuju Kemenangan yang Nyata (*Fathul Mubīn*).
Kemenangan yang digariskan Surah ini memiliki tiga dimensi utama:
- Kemenangan Politik-Diplomatik: Pengakuan resmi Quraisy terhadap eksistensi negara Madinah.
- Kemenangan Spiritual: Penurunan Sakīnah (ketenangan) ke dalam hati mukmin.
- Kemenangan Dakwah: Jeda perang memungkinkan dakwah menyebar luas, sehingga banyak tokoh Quraisy masuk Islam dalam dua tahun berikutnya.
II. Tafsir Ayat demi Ayat (Ayat 1-10): Janji, Ampunan, dan Ketenangan
A. Janji Kemenangan dan Pengampunan (Ayat 1-3)
Ayat 1: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata (Fathul Mubīn).
Pernyataan ini langsung dari Allah SWT, menggunakan bentuk penekanan (*Innā*) yang menunjukkan kepastian mutlak. Penggunaan kata *fatḥan mubīnā* sangat penting. *Al-Fath* bukan sekadar pembukaan, melainkan kemenangan total. Kata *mubīn* (nyata, jelas) menekankan bahwa kemenangan ini tidak ambigu, meskipun wujudnya saat itu masih terselubung oleh syarat-syarat perjanjian. Imam Az-Zuhri dan mayoritas ulama tafsir kontemporer sepakat bahwa kemenangan nyata yang dimaksud di sini adalah Perjanjian Hudaibiyah itu sendiri.
Alasan mengapa Hudaibiyah disebut kemenangan nyata adalah karena perjanjian tersebut mengakhiri permusuhan aktif dan memberikan pengakuan resmi pertama dari Quraisy, memungkinkan kaum Muslimin berinteraksi dan berdakwah secara terbuka. Ini adalah kemenangan ideologi dan politik atas kebuntuan militer.
Ayat 2: Agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya atasmu, dan menunjukimu ke jalan yang lurus.
Ayat ini sungguh luar biasa, menghubungkan kemenangan diplomatik dengan pengampunan dosa Rasulullah ﷺ. Para ulama berpendapat bahwa dosa di sini tidak merujuk pada kesalahan moral sebagaimana yang dipahami manusia biasa, karena para nabi adalah ma'sum (terjaga). Sebaliknya, ini merujuk pada hal-hal yang mungkin dianggap 'kurang utama' oleh Allah, atau terkait dengan beban dan risiko yang harus ditanggung Rasulullah dalam menjalankan risalahnya, termasuk kekhawatiran dan tekanan psikologis.
Penyempurnaan nikmat (*yutimmā ni’matahū*) adalah puncak dari risalah, yaitu penaklukkan Makkah dan penyebaran Islam ke seluruh Jazirah Arab, yang dimulai dengan dibukanya jalan oleh Hudaibiyah. Pengampunan ini sekaligus membebaskan Rasulullah ﷺ dari beban psikologis yang sangat berat dalam memimpin umat di tengah krisis dan keraguan.
Ayat 3: Dan agar Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (Azīzā).
Pertolongan yang bersifat *Azīzā* berarti pertolongan yang mulia, dominan, dan tidak terkalahkan. Ini adalah jaminan bahwa dukungan Allah tidak bersifat sementara, melainkan abadi dan berwibawa, memastikan kelanjutan dan kejayaan risalah Islam.
B. Penurunan Sakīnah (Ketenangan) dan Penghargaan kepada Mukmin Sejati (Ayat 4-7)
Ayat 4: Dialah yang menurunkan ketenangan (Sakīnah) ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada. Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini adalah inti spiritual Surah Al-Fath. *Sakīnah* adalah ketenangan batin, kedamaian, atau ketenteraman jiwa yang diberikan Allah saat menghadapi tekanan, ketakutan, atau keraguan. Turunnya Sakīnah di Hudaibiyah sangat penting karena saat itu para sahabat sedang mengalami gejolak emosi akibat kekecewaan terhadap perjanjian. Ketenangan inilah yang membuat mereka akhirnya patuh pada perintah Rasulullah ﷺ untuk bertahallul (melepas ihram) meskipun umrah gagal.
Peningkatan iman (*li yazdādū īmānan*) menunjukkan bahwa iman bukanlah entitas statis, melainkan dinamis, yang bertambah melalui pengalaman dan kepatuhan dalam menghadapi ujian. Dengan mengingatkan bahwa tentara langit dan bumi adalah milik Allah, ayat ini memberikan jaminan kekuatan abadi kepada para mukmin, menegaskan bahwa kemenangan tidak bergantung pada jumlah pasukan atau klausul perjanjian, melainkan pada kehendak Ilahi.
Ayat 5: (Tujuannya adalah) supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan menghapuskan dari mereka dosa-dosa mereka. Dan yang demikian itu adalah kemenangan yang besar di sisi Allah.
Ayat ini menetapkan ganjaran hakiki bagi mereka yang bertahan dalam keimanan dan ketenangan selama Hudaibiyah: surga dan pengampunan total. Allah menempatkan pengampunan dosa (*yukaffira ‘anhum sayyi’ātihim*) sejajar dengan janji surga, menunjukkan betapa besarnya ujian kepatuhan yang mereka hadapi saat itu.
C. Ancaman Bagi Orang Munafik dan Musyrik (Ayat 6-7)
Ayat 6: Dan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran kebinasaan yang amat buruk, dan Allah memurkai mereka, melaknat mereka, serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (Jahanam) itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Setelah memuji para mukmin, Allah beralih kepada pihak yang kontra, yaitu orang-orang munafik dan musyrik, yang dicirikan oleh prasangka buruk terhadap Allah (*ẓanna as-saw’*). Dalam konteks Hudaibiyah, prasangka buruk ini berupa keyakinan bahwa Allah akan membiarkan Rasulullah ﷺ dan para sahabat dikalahkan atau dipermalukan. Mereka meragukan janji Allah dan menganggap perjalanan ke Makkah itu adalah keputusan yang salah dan fatal.
Ayat ini menjanjikan bahwa bencana (*dā’iratu as-saw’*) akan menimpa mereka, bukan mukminin. Kontras ini berfungsi sebagai peringatan: krisis adalah alat untuk memilah antara iman sejati dan kepura-puraan. Siapa pun yang meragukan kebijaksanaan dan pertolongan Allah, terlepas dari labelnya, akan dihukum.
Ayat 7: Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pengulangan frasa ini (juga di Ayat 4) menekankan bahwa keputusan dan kekuatan Allah bersifat absolut. Tidak ada kekuatan, baik di dunia maupun di Akhirat, yang dapat menentang kehendak-Nya. Ini adalah penutup yang kuat untuk bagian yang membahas ganjaran dan hukuman, menempatkan semua hasil di bawah otoritas Ilahi.
D. Misi Kenabian dan Baiat Ar-Ridhwan (Ayat 8-10)
Ayat 8-9: Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakannya, dan mengagungkannya, serta bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Ayat-ayat ini merangkum tiga fungsi utama Rasulullah ﷺ. Yang menarik adalah bagaimana kepatuhan kepada Rasulullah (memuliakan dan mengagungkan beliau) diletakkan sejajar dengan bertasbih kepada Allah. Ini menunjukkan hubungan erat antara Risalah dan Utusan-Nya. Kemenangan sejati (Al-Fath) hanya dapat dicapai melalui ketaatan mutlak kepada petunjuk kenabian, meskipun petunjuk tersebut (seperti menerima Perjanjian Hudaibiyah) tampak tidak logis secara militer pada awalnya.
Ayat 10: Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia (Bai’at) kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janji, sesungguhnya ia melanggar atas (janji) dirinya sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Ayat ini adalah penghargaan tertinggi bagi para sahabat yang terlibat dalam *Bay'at ar-Ridhwan* (Perjanjian Keridhaan) di bawah pohon sebelum penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah. Baiat ini dilakukan saat tersiar kabar palsu bahwa Utsman bin Affan telah dibunuh oleh Quraisy. Para sahabat bersumpah untuk berperang sampai mati demi membela kehormatan Islam.
Allah menyatakan bahwa Baiat kepada Rasulullah ﷺ sama dengan Baiat kepada Allah SWT. Frasa “Yadullāhi Fawqa Aidīhim” (Tangan Allah di atas tangan mereka) adalah metafora yang kuat, menunjukkan bahwa kehadiran Allah secara spiritual mengesahkan dan memberkati sumpah tersebut. Mereka yang menunaikannya dijanjikan pahala agung, sedangkan yang melanggar hanya merugikan diri mereka sendiri.
III. Tafsir Ayat demi Ayat (Ayat 11-17): Ujian Keikhlasan dan Munafik Arab Badui
Bagian kedua Surah Al-Fath secara tajam membedakan antara mereka yang memiliki keikhlasan dan mereka yang hanya mencari keuntungan duniawi. Kontras ini sangat mencolok setelah pujian yang diberikan kepada *Ahlul Bay’at* (peserta Baiat).
A. Alasan dan Sikap Orang-orang Badui yang Absen (Ayat 11-14)
Ayat 11: Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak ikut ke Hudaibiyah) akan berkata kepadamu: "Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami." Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada dalam hati mereka. Katakanlah: "Maka siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagimu atau Dia menghendaki manfaat bagimu? Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Ketika Rasulullah ﷺ berangkat ke Hudaibiyah, banyak suku Arab Badui di sekitar Madinah menolak ikut serta, yakin bahwa perjalanan itu akan berakhir dengan kekalahan atau pemusnahan total kaum Muslimin. Mereka memberikan alasan duniawi: sibuk mengurus harta dan keluarga. Allah menyingkap kepalsuan alasan mereka. Mereka hanya mengucapkan permohonan istighfar secara lisan, padahal hati mereka dipenuhi keraguan dan ketakutan.
Teguran dari Allah sangat keras: jika Allah menghendaki kerugian atau keuntungan, tidak ada yang bisa mencegahnya. Kehadiran di Hudaibiyah bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi ujian keteguhan hati. Mereka yang mengutamakan kepentingan duniawi di atas panggilan Allah telah gagal dalam ujian keikhlasan ini.
Ayat 12-14: Bahkan kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka untuk selamanya. Dan kamu telah dihiasi (prasangka itu) dalam hatimu dan kamu telah berprasangka buruk. Dan sesungguhnya kamu adalah kaum yang binasa. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Sa'īr bagi orang-orang kafir. Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah mengungkap prasangka buruk internal kaum munafik Badui: mereka berharap (dan menyangka) bahwa seluruh rombongan Muslimin akan tewas di tangan Quraisy. Mereka melihat perjalanan tersebut sebagai upaya bunuh diri, sehingga mereka merasa lega karena tidak ikut. Prasangka ini adalah inti dari kemunafikan mereka. Mereka dicap sebagai 'kaum yang binasa' (*qauman būrā*) karena keraguan mereka telah merusak tauhid mereka.
Ayat-ayat ini menggarisbawahi prinsip ilahi: kerajaan adalah milik Allah, dan hak untuk mengampuni atau menghukum ada pada-Nya. Ini memperjelas bahwa keberhasilan atau kegagalan Perjanjian Hudaibiyah tidak ada hubungannya dengan kekuatan manusia, tetapi murni tergantung pada kehendak Allah.
B. Godaan Harta Rampasan (Ayat 15-17)
Ayat 15: Orang-orang yang tertinggal (munafik) akan berkata, apabila kamu berangkat untuk mengambil harta rampasan (ghanā'im): "Biarkanlah kami ikut serta denganmu." Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak boleh ikut serta dengan kami. Demikianlah yang telah ditetapkan Allah sebelumnya." Mereka akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada kami." Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit saja.
Ayat ini adalah nubuat langsung tentang perilaku munafik di masa depan. Setelah Hudaibiyah, Allah menjanjikan harta rampasan (Ghanā'im) yang tidak signifikan di Khaybar. Ketika kaum Muslimin berangkat ke Khaybar (sekitar enam bulan kemudian), kaum munafik Badui ingin ikut serta. Mereka ingin menuai hasil dari pengorbanan yang tidak pernah mereka lakukan.
Allah melarang mereka ikut serta, karena harta rampasan Khaybar secara spesifik dialokasikan hanya untuk mereka yang berpartisipasi dalam Hudaibiyah (disebut *Ahlul Bay’at*). Ini adalah hukuman ilahi dan pemurnian barisan. Ketika dilarang, orang-orang munafik itu akan menuduh mukminin dengki. Jawaban Al-Qur'an adalah bahwa mereka tidak memahami esensi iman; mereka hanya memahami keuntungan materi sesaat.
Ayat 16-17: Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal: "Kamu akan dipanggil untuk (memerangi) kaum yang sangat kuat, kamu memerangi mereka atau mereka menyerah. Jika kamu patuh, Allah akan memberimu pahala yang baik; jika kamu berpaling seperti yang kamu lakukan sebelumnya, Dia akan mengazabmu dengan azab yang pedih." Tidak ada dosa atas orang buta, tidak ada dosa atas orang pincang, dan tidak ada dosa atas orang sakit. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan barangsiapa yang berpaling, Dia akan mengazabnya dengan azab yang pedih.
Sebagai kesempatan kedua bagi kaum Badui, Allah menawarkan mereka ujian yang lebih besar: memerangi kaum yang sangat kuat (kemungkinan merujuk pada Persia atau Romawi, atau suku-suku kuat lainnya di masa depan). Keterlibatan di masa depan ini adalah jalan untuk membuktikan keikhlasan mereka yang hilang di Hudaibiyah.
Ayat 17 memberikan pengecualian bagi mereka yang berhalangan secara fisik (buta, pincang, sakit), menunjukkan keadilan syariat yang tidak membebani mereka yang tidak mampu. Garis pemisah tetap jelas: pahala besar bagi yang taat, azab pedih bagi yang berpaling.
IV. Tafsir Ayat demi Ayat (Ayat 18-24): Ridha Allah dan Ghanā’im
A. Keridhaan Allah terhadap Peserta Baiat (Ayat 18-19)
Ayat 18: Sesungguhnya Allah telah rida kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, karena Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu Dia menurunkan ketenangan atas mereka, dan menganugerahi mereka kemenangan yang dekat (Fathun Qarīb).
Ayat ini adalah salah satu ayat paling mulia dalam Al-Qur'an, yang memberikan sertifikat keridhaan abadi dari Allah SWT kepada 1.400-1.500 sahabat yang hadir dan berbaiat di Hudaibiyah. Keridhaan ini didasarkan pada pengetahuan Allah tentang keikhlasan dan kesungguhan yang ada di dalam hati mereka (*fa ‘alima mā fī qulūbihim*). Ini adalah pujian tertinggi yang membedakan mereka dari kaum munafik yang hanya berbicara di lidah.
Kemenangan yang dekat (*Fatḥan Qarībā*) sering ditafsirkan sebagai merujuk pada penaklukan Khaibar. Khaibar adalah benteng Yahudi yang kuat yang ditaklukkan segera setelah kepulangan dari Hudaibiyah, yang secara material menguatkan Muslimin setelah kekecewaan di Makkah.
Ayat 19: Dan harta rampasan yang banyak (ghanā’im kathīrah) yang mereka peroleh. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Penghargaan duniawi berupa harta rampasan Khaybar diberikan kepada *Ahlul Bay’at* sebagai kompensasi atas kesabaran dan sebagai penanda pemisahan dari kaum munafik yang absen. Ini menunjukkan bahwa kesabaran dalam urusan spiritual dan diplomatik akan selalu diikuti oleh rezeki dan kemenangan material, asalkan motivasinya murni.
B. Nubuat Mengenai Ghanā’im dan Pencegahan Konflik (Ayat 20-22)
Ayat 20-21: Allah menjanjikan kepadamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka Dia menyegerakan harta rampasan ini untukmu. Dia menahan tangan manusia dari (memerangi)mu, agar itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin, dan supaya Dia membimbing kamu ke jalan yang lurus. Dan (ada lagi) harta rampasan lain yang kamu belum sanggup menguasainya yang sungguh telah dikuasai Allah. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah menegaskan bahwa harta rampasan Khaybar (*hādhīhī*) adalah hadiah segera atas kepatuhan mereka. Lebih lanjut, Allah menahan tangan musuh (baik Quraisy maupun Badui yang ingin menyerang Muslimin di Madinah saat mereka pergi) adalah bukti mukjizat. Allah melindungi mereka agar kemenangan ini menjadi tanda (*āyah*) yang jelas bagi kaum mukminin.
Ayat 21 merujuk pada harta rampasan yang belum dapat dikuasai Muslimin saat itu—yaitu harta Makkah, Persia, dan Romawi—yang menunjukkan bahwa janji kemenangan Allah akan meluas jauh melampaui Khaybar, menegaskan visi kenabian tentang kekuasaan global Islam.
Ayat 22: Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu, pastilah mereka akan berbalik melarikan diri, kemudian mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan tidak pula penolong.
Ini adalah jaminan ilahi. Jika Quraisy memilih berperang di Hudaibiyah, mereka pasti akan kalah. Penundaan perang melalui perjanjian bukanlah karena kelemahan Muslimin, melainkan karena keputusan strategis ilahi untuk mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu dan menunggu waktu yang lebih tepat untuk penaklukan Makkah.
C. Hukum Allah yang Tak Berubah (Ayat 23-24)
Ayat 23: Sebagai sunah Allah yang berlaku sejak dahulu. Dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunah Allah.
Ayat ini menegaskan bahwa pertolongan dan hukuman Allah adalah bagian dari hukum kosmik dan sejarah (*sunnatullāh*) yang tidak pernah berubah. Jika Allah menjanjikan kemenangan bagi mukminin yang ikhlas, janji itu pasti terpenuhi. Ketetapan Allah adalah keadilan abadi.
Ayat 24: Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (memerangi) kamu dan tangan kamu dari (memerangi) mereka di tengah kota Makkah sesudah Dia memenangkan kamu atas mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini merujuk pada insiden kecil yang terjadi di Hudaibiyah di mana sejumlah kecil pemuda Makkah mencoba menyerang perkemahan Muslimin. Mereka ditangkap dan diampuni oleh Rasulullah ﷺ. Allah menahan tangan kedua belah pihak, padahal Muslimin sudah memiliki keunggulan. Tujuannya adalah untuk menjaga perdamaian dan mencegah pertumpahan darah, karena ada mukmin yang menyembunyikan iman mereka di Makkah. Jika perang terjadi, mukmin yang tersembunyi itu mungkin akan ikut terbunuh, dan ini adalah hal yang ingin dihindari oleh Allah.
V. Tafsir Ayat demi Ayat (Ayat 25-29): Pemenuhan Visi dan Karakteristik Mukmin Sejati
A. Pemenuhan Visi (Ayat 25-27)
Ayat 25: Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari Masjidil Haram dan menghalangi kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Dan sekiranya bukan karena ada laki-laki mukmin dan perempuan mukmin yang tidak kamu ketahui, niscaya kamu akan membunuh mereka (tanpa sengaja), yang menyebabkan kamu mendapat kesulitan tanpa pengetahuanmu. Itu agar Allah memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Seandainya mereka berpisah, tentu Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.
Ayat ini menjelaskan mengapa Allah menahan tangan kedua belah pihak di Makkah (mengulangi tema Ayat 24). Alasan utamanya adalah keberadaan mukmin yang menyembunyikan iman mereka di Makkah (*rijālun mu’minūna wa nisā’un mu’mināt*). Jika perang meletus, Muslimin di luar Makkah akan membunuh mukmin di dalam Makkah tanpa sengaja, yang akan menyebabkan penyesalan mendalam (*ma’arrah*). Keengganan Allah untuk mengizinkan perang di Hudaibiyah adalah manifestasi dari rahmat-Nya yang menyelamatkan nyawa mukmin yang tersembunyi.
Ayat 26: Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (*ḥamiyyah*), yaitu kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan-Nya (*Sakīnah*) kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin dan mewajibkan kepada mereka kalimat takwa. Dan mereka lebih berhak dengan kalimat takwa itu dan memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
*Ḥamiyyah al-Jāhiliyyah* merujuk pada kebanggaan buta yang mendorong kaum Quraisy untuk menolak penulisan 'Bismillahir Rahmanir Rahim' dan gelar 'Rasulullah' dalam perjanjian Hudaibiyah. Mereka merasa superior dan terhina jika mengakui gelar tersebut. Di sisi lain, Allah menurunkan Sakīnah (ketenangan) kepada Muslimin, memungkinkan mereka menerima syarat-syarat yang merugikan. Ketenangan ini berakar pada *kalimatu at-taqwā* (kalimat takwa), yaitu kesaksian tauhid dan kepatuhan mutlak. Mukmin terbukti lebih layak dan berhak atas ketenangan dan ketakwaan tersebut.
Ayat 27: Sesungguhnya Allah telah membenarkan kepada Rasul-Nya mimpi dengan sebenar-benarnya (dengan janji): bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan sebelum itu kemenangan yang dekat (Fathun Qarīb).
Ayat ini memberikan jawaban definitif atas kekecewaan para sahabat di Hudaibiyah. Rasulullah ﷺ memang bermimpi bahwa mereka akan masuk Makkah dengan aman. Mimpi itu pasti benar. Kekecewaan hanyalah penundaan. Mimpi itu akan terpenuhi (terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah, umrah qada'). Allah menunda pemenuhan mimpi itu untuk satu tahun, dan sebagai gantinya, Dia memberikan *Fathun Qarīb* (Khaibar) sebagai hadiah segera. Ini mengajarkan bahwa janji Allah selalu benar, namun waktu dan cara pemenuhannya berada di tangan-Nya, bukan di tangan manusia.
B. Karakteristik Mukmin Sejati (Ayat 28-29)
Ayat 28: Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk Dia menangkan atas agama-agama yang lain. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup dan penegasan tujuan akhir risalah. Tujuan Hudaibiyah, Khaibar, dan Baiat ar-Ridhwan, semuanya mengarah pada dominasi agama Islam di atas semua sistem kepercayaan lainnya. Janji ini adalah janji universal yang melampaui batas-batas waktu dan geografi.
Ayat 29: Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka (sīmāhum) ada pada wajah mereka dari bekas sujud. Itulah sifat mereka dalam Taurat. Dan sifat mereka dalam Injil adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Ayat penutup ini adalah deskripsi karakter yang paling komprehensif tentang para sahabat dan semua mukmin sejati. Karakteristik ini dibagi menjadi dua aspek utama:
1. Sifat Antar Manusia (Horizontal)
- Ashiddā’u ‘ala al-kuffār: Keras dan tegas dalam menghadapi musuh Islam. Ketegasan ini bukan berarti kejam, melainkan ketidakkompromian terhadap prinsip tauhid.
- Ruḥamā’u bainahum: Penuh kasih sayang dan rahmat di antara sesama mukmin. Keseimbangan antara ketegasan eksternal dan kelembutan internal inilah yang membuat komunitas Muslimin kuat.
2. Sifat Hubungan dengan Allah (Vertikal)
- Rukka’an sujjadā: Selalu terlihat ruku' (rukuk) dan sujud (sujud), menunjukkan keistiqamahan dalam salat. Salat adalah sumber kekuatan dan ketenangan mereka (Sakīnah).
- Yabtaghūna Faḍlan min Allāhi wa Riḍwānā: Tujuan mereka hanyalah mencari karunia Allah (rezeki, pertolongan) dan keridaan-Nya. Motivasi mereka murni, bukan kepentingan duniawi seperti yang dituduhkan oleh kaum munafik.
- Sīmāhum fī wujūhihim min athari as-sujūd: Tanda-tanda mereka terlihat di wajah mereka karena bekas sujud. Ini bisa ditafsirkan sebagai cahaya spiritual, ketenangan batin yang memancar di wajah (Nur), atau secara literal sebagai bekas fisik sujud yang menunjukkan keuletan ibadah.
3. Sifat Metaforis (Dalam Kitab Suci Lain)
Ayat ini mengakhiri dengan metafora pertumbuhan yang indah, yang merujuk pada gambaran kaum Muslimin di Taurat dan Injil:
Mereka seperti benih yang tumbuh. Awalnya lemah (seperti Islam di Makkah atau di awal Madinah), lalu mengeluarkan tunas (*shat’ahū*), menjadi kuat (*fāzarahū*), menjadi besar (*fastaghlaẓa*), dan akhirnya tegak lurus (*istawā ‘alā sūqihī*). Pertumbuhan yang kokoh ini menyenangkan hati penanam (para nabi dan mukmin sejati), tetapi bertujuan untuk menjengkelkan orang-orang kafir (*līghaẓa bihimu al-kuffār*) karena demonstrasi kekuatan kolektif dan spiritual yang tak tertandingi.
Dengan demikian, Surah Al-Fath ditutup, bukan hanya dengan kemenangan Perjanjian Hudaibiyah atau Khaibar, melainkan dengan penggambaran visi kosmologis tentang kejayaan umat yang didasarkan pada Tauhid, ibadah, dan kasih sayang yang murni.
VI. Pelajaran Utama dan Kedalaman Teologis Surah Al-Fath
Surah Al-Fath jauh melampaui narasi historis Perjanjian Hudaibiyah. Ia menetapkan prinsip-prinsip teologis dan metodologis yang abadi bagi umat Islam.
A. Konsep Fathul Mubīn: Kemenangan yang Melampaui Definisi Material
Fathul Mubīn (Kemenangan yang Nyata) mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan selalu berupa hasil yang memuaskan secara instan di mata manusia, melainkan hasil yang sesuai dengan kehendak Allah. Bagi para sahabat, mengakhiri perjalanan umrah tanpa melihat Ka'bah adalah 'kekalahan', namun Allah menyebutnya 'kemenangan'. Alasannya terletak pada konsekuensi strategisnya:
- Pengakuan Status: Quraisy setuju berdialog, yang berarti mereka mengakui Muhammad ﷺ sebagai pemimpin negara, bukan sekadar pelarian.
- Keamanan Dakwah: Gencatan senjata selama dua tahun membuka ruang bagi Islam untuk menyebar tanpa ancaman perang konstan. Selama masa inilah Islam mengalami pertumbuhan massa terbesar.
- Pemurnian Barisan: Krisis Hudaibiyah menyaring para mukmin sejati yang taat mutlak (Ahlul Bay’at) dari kaum munafik yang absen karena ketakutan.
Ini adalah pelajaran fundamental dalam manajemen krisis: ketika hasil tampak buruk, seorang mukmin harus melihat dengan kacamata ketuhanan, percaya bahwa Allah telah merencanakan kebaikan di baliknya.
B. Pentingnya Sakīnah dan Ketakwaan
Pengulangan penekanan pada *Sakīnah* (ketenangan) di saat menghadapi tekanan (Ayat 4 dan 26) menegaskan bahwa peperangan terbesar adalah peperangan batin melawan keraguan dan keputusasaan. Allah menganugerahkan ketenangan hanya kepada mereka yang hatinya bersih dan tunduk. Ketenangan batin ini adalah pilar utama kemenangan. Kepatuhan para sahabat untuk mencukur rambut dan menyembelih kurban di tengah kekecewaan adalah bukti puncak dari kepatuhan yang dihasilkan oleh *Sakīnah* ilahi.
C. Kontras antara Keikhlasan dan Munafik
Surah ini berfungsi sebagai mikroskop yang menunjukkan anatomi kemunafikan. Kaum munafik Badui gagal dalam dua hal:
- Gagal dalam Ujian Pengorbanan: Mereka tidak mau berkorban di Hudaibiyah karena takut.
- Gagal dalam Ujian Ketamakan: Mereka ingin mengambil bagian dalam harta rampasan Khaybar.
Mereka dicirikan oleh *ẓanna as-saw’* (prasangka buruk terhadap Allah). Ini mengajarkan bahwa keraguan terhadap janji dan kekuasaan Allah adalah akar dari semua kemunafikan dan kemurtadan. Iman sejati menuntut keyakinan penuh, bahkan ketika jalannya terjal dan hasilnya meragukan secara kasat mata.
D. Model Umat Terbaik: Al-Jami' bainal Quwwah wa ar-Rahmah
Ayat 29 memberikan formula bagi umat terbaik (*khairu ummah*): keseimbangan sempurna antara kekuatan (ashiddā’u ‘ala al-kuffār) dan kasih sayang (ruḥamā’u bainahum), yang ditopang oleh fondasi spiritual yang kuat (rukuk dan sujud). Kekuatan tanpa kasih sayang adalah tirani; kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan. Komunitas Muslimin harus menunjukkan wajah keras terhadap ketidakadilan dan kekafiran (ideologi), tetapi penuh empati, kehangatan, dan solidaritas di antara anggota internalnya.
Kekuatan mereka bukan hanya di medan perang, tetapi dalam ibadah. Bekas sujud (*sīmāhum*) melambangkan bahwa cahaya mereka berasal dari koneksi vertikal (dengan Allah), yang kemudian memancarkan keindahan (kasih sayang) dalam koneksi horizontal (dengan sesama). Ini adalah definisi umat yang teguh yang dicari Allah.
VII. Implementasi Ajaran Surah Al-Fath dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun Surah Al-Fath secara spesifik membahas kejadian di abad ke-7, prinsip-prinsipnya tetap relevan dan vital bagi Muslim modern dalam menghadapi tantangan pribadi dan kolektif.
A. Menghadapi 'Hudaibiyah' Pribadi
Dalam kehidupan pribadi, kita sering menghadapi 'Perjanjian Hudaibiyah' yang terasa seperti kemunduran, kegagalan bisnis, atau kekecewaan besar. Saat itulah kita diuji dengan keraguan dan *ẓanna as-saw’*.
Pelajaran dari Surah Al-Fath adalah: di tengah keputusasaan, seorang mukmin harus mengaktifkan *Sakīnah*, menerima hasil yang ditetapkan, dan percaya bahwa di balik 'kegagalan' itu terdapat *Fathul Mubīn* (kemenangan nyata) berupa pengalaman, pemurnian niat, atau pembukaan jalan yang tidak terduga di masa depan (seperti Khaibar menyusul Hudaibiyah).
B. Menjaga Keseimbangan Karakter
Tuntutan Ayat 29—keras pada prinsip, lembut pada sesama—adalah kunci untuk menjaga kesehatan komunitas. Dalam dunia yang penuh polarisasi, umat Islam dituntut untuk menjadi tegas dalam mempertahankan identitas dan nilai-nilai Islam (anti-kemunafikan dan anti-kebatilan), namun pada saat yang sama, menjadi sumber kasih sayang, toleransi, dan dukungan bagi saudara seiman.
Karakteristik *sīmāhum fī wujūhihim* juga harus dipahami secara kontekstual: bukan hanya bekas fisik, tetapi cahaya yang dihasilkan oleh keikhlasan, ibadah yang mendalam, dan ketenangan hati. Wajah yang tenang dan terpercaya di tengah kekacauan adalah cerminan dari hati yang bersujud.
C. Kedudukan Amal Saleh dan Pengorbanan
Surah ini mengajarkan bahwa janji pahala dan ghanā’im tidak datang kepada mereka yang malas dan hanya mencari keuntungan. Itu diberikan hanya kepada *Ahlul Bay’at*, mereka yang berani mengambil risiko dan membuktikan komitmen mereka ketika situasi paling sulit. Ini menegaskan prinsip: tidak ada kemenangan tanpa pengorbanan yang tulus. Allah menjamin bahwa pengorbanan yang tulus pasti akan diberi penghargaan, baik di dunia (Khaibar) maupun di akhirat (Surga dan keridaan Allah).
Surah Al-Fath adalah sebuah deklarasi kemenangan, bukan hanya atas musuh fisik, tetapi atas keraguan, ketakutan, dan kepentingan diri. Ia adalah peta jalan menuju keridhaan Allah, yang hanya bisa dicapai melalui kesabaran, keikhlasan, dan kepatuhan mutlak kepada petunjuk kenabian, meskipun hasilnya menuntut penundaan pemenuhan harapan manusiawi. Inilah esensi abadi dari kemenangan nyata yang dijanjikan dalam Innā fataḥnā laka fatḥan mubīnā.