Pendahuluan: Surah Hud dan Pilar-pilar Tauhid
Surah Hud, yang merupakan surah Makkiyah, secara umum berfokus pada pilar-pilar akidah (kepercayaan) dan kisah-kisah para nabi terdahulu sebagai penegasan terhadap prinsip tauhid (keesaan Allah) dan ancaman terhadap mereka yang mendustakan risalah. Surah ini sering disebut sebagai surah yang membuat Nabi Muhammad SAW beruban, karena mengandung beban peringatan yang sangat berat dan mendalam.
Di antara ayat-ayat fundamental yang menjadi pondasi ketenangan jiwa dan keimanan, Surah Hud Ayat 6 berdiri sebagai mercusuar keyakinan akan Ar-Razaq (Sang Pemberi Rezeki). Ayat ini bukan sekadar pernyataan tentang pemberian makan; ia adalah deklarasi komprehensif tentang kekuasaan, ilmu, dan jaminan mutlak Allah SWT terhadap setiap makhluk hidup di alam semesta.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Ayat ini menyatukan tiga konsep teologis utama yang harus dipegang teguh oleh seorang Mukmin: Jaminan Rezeki (Rizq), Kesempurnaan Ilmu Allah (Al-’Ilm), dan Ketetapan Mutlak (Al-Qadar) yang termaktub dalam Kitab yang Nyata (Al-Kitab Al-Mubin). Pemahaman mendalam terhadap ketiga pilar ini membawa ketenangan jiwa yang hakiki dan mengikis rasa cemas berlebihan terhadap urusan duniawi.
Pilar Pertama: Jaminan Mutlak atas Rezeki Setiap ‘Dabbah’
Bagian pertama ayat ini, وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا, adalah inti dari jaminan eksistensial bagi seluruh kehidupan. Analisis mendalam terhadap frase ini mengungkap keluasan makna dan kedalaman janji Ilahi.
1. Definisi dan Keluasan Makna ‘Dabbah’
Kata دَآبَّةٍ (Dabbah) berasal dari kata kerja دَبَّ (dabba) yang berarti 'merayap' atau 'bergerak perlahan'. Secara bahasa, *dabbah* merujuk pada setiap makhluk hidup yang bergerak di permukaan bumi, termasuk manusia, hewan, serangga, dan bahkan makhluk mikroorganisme. Penggunaan kata *dabbah* di sini sangat inklusif, mencakup semua spesies, baik yang kecil maupun yang besar, yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam At-Tabari menegaskan bahwa cakupan *dabbah* mencakup semua entitas yang bernyawa dan bergerak. Ini menunjukkan bahwa janji rezeki Allah tidak hanya terbatas pada manusia yang cerdas dan berupaya keras, tetapi meluas hingga makhluk paling sederhana yang tidak memiliki akal atau kemampuan perencanaan yang kompleks. Ini adalah manifestasi keagungan rububiyah (ketuhanan) Allah.
2. Makna 'Rezeki' dan Tanggung Jawab ('Ala)
Frasa إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا (melainkan Allahlah yang memberi rezekinya) menggunakan preposisi عَلَى ('ala) yang dalam konteks ini membawa makna 'kewajiban' atau 'tanggung jawab yang harus dipenuhi'. Ini adalah jaminan yang ditegaskan, bukan sekadar kemungkinan atau janji biasa. Allah, melalui ayat ini, menetapkan bagi Diri-Nya sendiri suatu kewajiban suci untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi seluruh ciptaan-Nya.
Jaminan ini tidak hanya mencakup makanan dan minuman fisik (rezeki *hissi*), tetapi juga rezeki spiritual (rezeki *maknawi*), seperti hidayah, ilmu, ketenangan, dan kesembuhan. Semua bentuk kebutuhan, baik untuk kelangsungan hidup fisik maupun spiritual, berada dalam domain jaminan Allah SWT. Jaminan ini menghilangkan alasan bagi siapa pun untuk berputus asa atau melakukan tindakan yang melanggar syariat karena rasa takut akan kemiskinan.
Sub-Topik: Rezeki dan Kasb (Upaya Manusia)
Penting untuk memahami bahwa jaminan rezeki ini tidak meniadakan pentingnya usaha (kasb). Islam mengajarkan tawakkal (ketergantungan penuh kepada Allah) yang diiringi dengan usaha yang maksimal. Sebagai contoh, seekor burung yang dijamin rezekinya oleh Allah, tetap harus terbang keluar dari sarangnya di pagi hari untuk mencarinya. Jika jaminan rezeki itu mutlak tanpa usaha, maka semua makhluk akan pasif menunggu makanan jatuh dari langit.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis yang menyatakan, "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung; ia pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang." Hadis ini mengaitkan tawakkal yang benar dengan aktivitas, yaitu pergi di pagi hari. Usaha adalah bentuk ibadah dan ketaatan, sementara hasilnya adalah urusan dan jaminan Allah.
Visualisasi tangan yang menerima rezeki, melambangkan jaminan Ilahi.
Pilar Kedua: Kesempurnaan Ilmu Allah (Mustaqarr dan Mustawda’)
Ayat ini kemudian beralih dari isu rezeki ke isu ilmu dan pengawasan. Allah berfirman: وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا (dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya).
Bagian ini menegaskan sifat Al-Alim (Maha Mengetahui) Allah secara sempurna. Ilmu Allah tidak hanya mencakup keberadaan makhluk saat ini, tetapi juga seluruh dimensi waktu dan ruang yang terkait dengannya. Kata kunci dalam bagian ini adalah *Mustaqarr* dan *Mustawda’*.
1. Makna dan Interpretasi Mustaqarr (Tempat Berdiam)
مُسْتَقَرَّهَا (Mustaqarr) berasal dari kata *qarra* yang berarti menetap atau berdiam. Mayoritas mufassir sepakat bahwa *mustaqarr* merujuk pada tempat di mana makhluk hidup itu menetap secara permanen atau jangka panjang selama hidupnya.
- Interpretasi Biologis: Tempat berdiamnya fisik makhluk tersebut di dunia (misalnya sarang burung, liang semut, rumah manusia).
- Interpretasi Waktu: Jangka waktu di mana makhluk itu berada di permukaan bumi, yaitu batas umurnya di dunia.
Pengetahuan Allah meliputi setiap lekukan bumi, setiap kedalaman lautan, dan setiap sudut udara di mana makhluk itu hidup dan bergerak. Ini menunjukkan bahwa meskipun makhluk itu bersembunyi atau sangat kecil, ia tetap berada dalam pengawasan langsung Ilahi, dan rezekinya akan sampai kepadanya, di mana pun ia berada.
2. Makna dan Interpretasi Mustawda’ (Tempat Penyimpanan)
وَمُسْتَوْدَعَهَا (Mustawda’) lebih kompleks dan memiliki interpretasi yang lebih luas dalam tafsir, karena berasal dari kata *wada’a* yang berarti menyimpan atau menitipkan.
- Tempat Lahir (Origin): Sebagian mufassir, seperti Qatadah dan Mujahid, menafsirkan *mustawda’* sebagai tempat asal penciptaan makhluk tersebut, yaitu tulang sulbi bapak atau rahim ibu, sebelum ia keluar sebagai *dabbah*. Ini mencakup pengetahuan Allah tentang materi genetik awal kehidupan.
- Tempat Kematian/Peristirahatan (Akhir): Interpretasi lain, yang kuat di kalangan ulama seperti Ibn Kathir, adalah bahwa *mustawda’* merujuk pada tempat makhluk itu akan dimakamkan atau tempat ia berakhir setelah mati. Ini adalah tempat di mana ia "disimpan" setelah masa hidupnya berakhir.
- Tempat Sementara: *Mustawda’* juga dapat merujuk pada tempat singgah sementara, berbeda dengan *mustaqarr* yang permanen. Misalnya, tempat seekor ikan bersembunyi sementara di balik karang.
Apapun interpretasinya, poin utama adalah bahwa ilmu Allah meliputi: *keberadaan* (mustaqarr) dan *asal-usul atau akhir* (mustawda’). Tidak ada satu pun momen dalam siklus kehidupan makhluk yang luput dari pengetahuan dan perhitungan-Nya. Ilmu ini adalah prasyarat bagi jaminan rezeki, karena hanya yang mengetahui segala sesuatu yang dapat menjamin rezeki untuk setiap partikel kehidupan di tempat dan waktu yang tepat.
Implikasi Teologis Ilmu Allah
Penggabungan *mustaqarr* dan *mustawda’* dalam satu ayat menciptakan gambaran holistik tentang ilmu Allah: ilmu yang meliputi awal, tengah, dan akhir dari setiap eksistensi. Ini menghilangkan konsep kebetulan atau kelalaian. Ketika seorang Mukmin menyadari bahwa Allah mengetahui tempat persembunyian seekor cacing di dalam batu hitam di malam yang gelap (sebagaimana ilustrasi ulama), maka ia akan merasa sangat terawat dan diawasi.
Pilar Ketiga: Kitab yang Nyata (Al-Kitab Al-Mubin) dan Ketetapan
Ayat keenam Surah Hud ditutup dengan pernyataan yang sangat kuat tentang penetapan takdir dan ilmu terdahulu: كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ (Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata).
1. Identitas Kitab yang Nyata (Lauh Mahfuzh)
Kitab yang Nyata (*Al-Kitab Al-Mubin*) adalah sinonim yang sering digunakan untuk Lauh Mahfuzh (Lempengan yang Terpelihara), yang merupakan catatan kosmis segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi, sejak zaman azali hingga hari kiamat. Ini adalah sumber ilmu dan ketetapan Allah.
Klausa كُلٌّ (kullun, semuanya) merujuk kembali kepada semua poin yang disebutkan sebelumnya dalam ayat ini: *Dabbah* itu sendiri, rezekinya, tempat berdiamnya (*mustaqarr*), dan tempat penyimpanannya (*mustawda’*). Tidak ada detail sekecil apa pun dari kehidupan seekor semut, hingga sistem tata surya yang besar, yang tidak tercatat di sana.
Fungsi Lauh Mahfuzh
- Sumber Ketetapan (Qadar): Lauh Mahfuzh adalah bukti bahwa Allah telah menetapkan takdir seluruh alam semesta sebelum penciptaannya.
- Keakuratan Mutlak: Catatan ini tidak pernah berubah, tidak pernah salah, dan tidak ada yang terlewat. Ini menegaskan kesempurnaan ilmu Allah.
- Landasan Kepastian: Bagi seorang Mukmin, keberadaan Lauh Mahfuzh memberikan kepastian bahwa segala kesulitan atau kemudahan yang menimpa adalah bagian dari rencana Ilahi yang telah terukur.
2. Korelasi antara Rezeki, Ilmu, dan Qadar
Penempatan frasa tentang Lauh Mahfuzh di akhir ayat ini berfungsi sebagai penutup logis dan teologis terhadap jaminan rezeki. Jaminan rezeki itu mungkin di mata manusia karena Allah Maha Mengetahui segalanya, dan Dia Maha Mengetahui segalanya karena Dia telah mencatatnya sejak azali. Tiga pilar ini saling menguatkan:
- Rezeki dijamin karena Allah berjanji.
- Janji itu pasti terpenuhi karena Dia mengetahui keberadaan makhluk secara detail (Ilmu).
- Ilmu-Nya sempurna dan mencakup masa lalu dan masa depan karena semuanya telah ditetapkan dan dicatat dalam Lauh Mahfuzh (Qadar).
Visualisasi Kitab yang Nyata, tempat segala ketetapan diabadikan.
3. Mengatasi Kekhawatiran Eksistensial
Dalam kehidupan modern yang didominasi oleh kecemasan ekonomi, Ayat 6 Surah Hud berfungsi sebagai penawar spiritual yang ampuh. Jika jaminan rezeki itu berlaku untuk setiap makhluk melata—yang tidak memiliki akal, perencanaan, atau tabungan—maka jaminan itu jelas lebih ditekankan lagi bagi manusia, makhluk termulia (asyraful makhluqat), asalkan mereka memenuhi syarat tawakkal dan usaha yang benar.
Rasa takut akan kelaparan, kemiskinan, atau kehilangan pekerjaan seringkali mengarah pada perbuatan tercela, seperti korupsi, penipuan, atau meninggalkan kewajiban agama. Ayat ini mengingatkan bahwa sumber rezeki sejati bukanlah perusahaan, bank, atau jabatan, melainkan Allah, yang telah menuliskan jaminan tersebut dalam Kitab-Nya yang abadi.
Analisis Komparatif Tafsir Klasik dan Modern
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, penting meninjau bagaimana para ulama besar menafsirkan Surah Hud Ayat 6, terutama mengenai istilah *dabbah* dan pasangan *mustaqarr/mustawda’*.
1. Tafsir Ibn Katsir (Klasik)
Imam Ibnu Katsir menekankan aspek umum dan universal dari *dabbah*. Beliau menyatakan bahwa Allah telah menjamin rezeki semua makhluk, besar maupun kecil, di daratan maupun di lautan. Penekanan beliau pada *mustaqarr* dan *mustawda’* cenderung mengarah pada pengetahuan Allah mengenai tempat tinggal makhluk (di darat atau laut) dan tempat mereka mati atau dikuburkan.
Ibnu Katsir juga mengutip hadis-hadis yang menguatkan korelasi antara tawakkal dan rezeki, menegaskan bahwa keyakinan terhadap ayat ini harus membebaskan hati manusia dari kekhawatiran yang tidak perlu, karena bahkan janin di dalam perut ibu pun dijamin rezekinya tanpa perlu berusaha.
2. Tafsir Al-Qurtubi (Fiqih dan Bahasa)
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya *Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an*, memberikan perhatian lebih pada aspek linguistik dan fiqih. Beliau membahas secara ekstensif makna عَلَى ('ala) sebagai kewajiban mutlak. Al-Qurtubi memperluas definisi *dabbah* untuk mencakup segala yang bergerak, termasuk manusia.
Mengenai *mustawda’*, Al-Qurtubi mencatat perbedaan pendapat ulama mengenai apakah itu adalah asal-usul di sulbi dan rahim, ataukah tempat berakhirnya di kubur. Namun, kesimpulannya tetap pada kesempurnaan ilmu Allah, yang mencakup semua tahapan eksistensi makhluk, dari partikel pertama hingga menjadi debu kembali.
3. Tafsir Sayyid Qutb (Modern dan Sosial)
Sayyid Qutb, dalam *Fi Zhilal al-Qur’an*, menafsirkan ayat ini dari sudut pandang pembinaan jiwa dan pembebasan manusia dari perbudakan materi. Beliau melihat ayat ini sebagai seruan revolusioner bagi kaum Muslim untuk melepaskan diri dari ketakutan akan kemiskinan yang seringkali menjadi alat penindasan sosial atau diktator.
Menurut Qutb, ketika hati seseorang benar-benar yakin bahwa rezekinya dijamin oleh Allah, ia akan berani berjuang demi kebenaran tanpa takut kehilangan kenyamanan duniawi. Jaminan ini adalah landasan kemerdekaan spiritual dan keberanian dalam berdakwah. Beliau menekankan bahwa jaminan rezeki yang tercatat dalam Kitab Mubin harus menumbuhkan keyakinan total (tawakkal) sehingga hati tidak perlu bergantung pada manusia lain.
Implikasi Praktis dan Filosofis Ayat 6 Surah Hud
Ayat ini memiliki dampak signifikan pada cara seorang Muslim memandang kehidupan, pekerjaan, dan hubungannya dengan Allah.
1. Peningkatan Kualitas Tawakkal (Ketergantungan)
Tawakkal adalah buah dari keyakinan terhadap Ayat 6. Tawakkal sejati adalah kondisi hati yang menyerahkan sepenuhnya hasil akhir kepada Allah setelah melakukan perencanaan dan usaha terbaik. Keyakinan bahwa rezeki sudah dijamin dan tercatat menghilangkan sifat tamak (rakus) dan dengki terhadap rezeki orang lain. Tidak ada gunanya mendengki rezeki orang lain, karena bagian rezeki kita sendiri tidak akan pernah bisa diambil oleh orang lain, dan begitu pula sebaliknya.
Aspek Spiritual Tawakkal:
Tawakkal yang didasarkan pada Hud 6 menghasilkan kedamaian batin (sakinah). Kekhawatiran tentang hari esok, inflasi, atau kegagalan bisnis menjadi ringan, karena kepastian rezeki adalah janji Ilahi yang terlepas dari fluktuasi pasar atau kebijakan manusia. Hal ini mengarahkan energi Mukmin dari kecemasan ke arah ketaatan dan ibadah.
2. Etika Kerja dan Profesionalisme
Meskipun rezeki dijamin, Ayat 6 tidak mengajarkan fatalisme. Sebaliknya, ia memotivasi kerja keras dengan etika yang tinggi. Seorang Muslim harus bekerja keras karena usaha adalah perintah, tetapi ia tidak boleh menggunakan cara haram. Mengapa? Karena jika ia menggunakan cara haram, ia berarti tidak percaya pada jaminan rezeki yang telah ditetapkan Allah, padahal rezeki yang ditakdirkan untuknya akan sampai, baik melalui jalan halal maupun haram. Dengan memilih jalan halal, ia mendapatkan rezeki sekaligus pahala; dengan memilih haram, ia mendapatkan rezeki yang sama (karena sudah tertulis), tetapi dibarengi dosa dan hilangnya keberkahan.
Konsep ini melahirkan profesionalisme Islami: melakukan yang terbaik, bekerja dengan jujur, dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah. Ini adalah kebebasan dari mentalitas ‘hasil harus sesuai dengan usaha’ yang sering kali membawa kekecewaan, menuju mentalitas ‘usaha adalah ibadah, hasilnya adalah karunia’.
3. Pandangan Terhadap Makhluk Lain (Ekologi Islam)
Ayat ini secara eksplisit mencakup semua *dabbah* (makhluk melata). Hal ini memiliki implikasi besar terhadap etika lingkungan dalam Islam. Karena Allah menjamin rezeki setiap makhluk, manusia, sebagai khalifah di bumi, memiliki tanggung jawab untuk tidak merusak ekosistem atau menghalangi rezeki makhluk lain.
Misalnya, penangkapan ikan secara berlebihan, perusakan hutan yang merupakan rumah bagi *dabbah* lain, atau polusi yang mematikan kehidupan mikro, adalah pelanggaran terhadap rububiyah Allah. Manusia harus menjadi agen yang memfasilitasi janji rezeki Allah bagi seluruh ciptaan, bukan perusak yang menghambatnya.
Kedalaman Ilmu Bahasa dalam Ayat
Kekuatan ayat ini sebagian besar terletak pada konstruksi gramatikal Arabnya yang tegas dan tidak ambigu. Mari kita tinjau kembali konstruksi penolakan dan pengecualian yang digunakan:
1. Struktur Nafyi (Penolakan) dan Istitsna’ (Pengecualian)
Ayat dimulai dengan وَمَا مِن دَآبَّةٍ (Wa mā min dābbatin), yang merupakan penolakan total (tidak ada satu pun *dabbah*). Kemudian, diikuti oleh pengecualian إِلَّا (illā, melainkan). Struktur 'mā... illā...' dalam bahasa Arab adalah salah satu cara terkuat untuk menyatakan penegasan atau pengkhususan (Hashr). Dalam hal ini, penegasan mutlak bahwa Rezeki *hanya* milik Allah. Tidak ada sumber rezeki lain yang patut diandalkan.
2. Makna ‘Ala (Tanggung Jawab)
Seperti yang telah dibahas, penggunaan عَلَى ('ala) daripada preposisi lain (seperti *li* atau *inda*) sangat signifikan. عَلَى mengindikasikan beban atau tanggung jawab yang harus dipenuhi. Contoh: "utang itu wajib atas saya" (الدين على). Dalam konteks Hud 6, Allah secara tegas menggariskan bahwa penyediaan rezeki adalah tanggung jawab yang Dia ambil atas Diri-Nya sendiri, yang menjadikannya janji yang tak mungkin diingkari.
3. Pasangan Sempurna Mustaqarr dan Mustawda’
Pasangan istilah ini menunjukkan dikotomi yang sempurna dalam ilmu Allah: yang nampak versus yang tersembunyi, yang permanen versus yang sementara, yang hidup versus yang telah mati. Keseimbangan ini mencerminkan keagungan Allah dalam mengatur seluruh siklus kehidupan.
- Jika *mustaqarr* adalah kehidupan di dunia, maka *mustawda’* adalah penyimpanan di akhirat (kubur).
- Jika *mustaqarr* adalah wujud fisik di bumi, maka *mustawda’* adalah esensi di Lauh Mahfuzh.
Kombinasi ini menegaskan keutuhan ilmu Allah, dari dimensi fisik, dimensi temporal, hingga dimensi metafisik (Lauh Mahfuzh).
Penutup: Pesan Abadi Ayat Jaminan
Surah Hud Ayat 6 adalah salah satu ayat paling menenangkan dalam Al-Qur'an. Ia adalah obat penenang bagi jiwa yang cemas dan sebuah pondasi bagi keyakinan yang kokoh. Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari tawhid rububiyah (keesaan Allah dalam pengurusan alam) adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang menjamin rezeki dan Dia melakukannya berdasarkan ilmu-Nya yang sempurna, yang tercatat dalam ketetapan-Nya yang abadi.
Bagi setiap *dabbah* di muka bumi, termasuk manusia, tidak ada alasan untuk khawatir akan kelaparan, karena jaminan telah diberikan, dan catatan telah disegel. Tugas manusia hanyalah beribadah, berusaha sesuai syariat, dan memelihara etika. Ketika hati seorang Mukmin sepenuhnya meresapi makna Surah Hud Ayat 6, ia akan menemukan kebebasan sejati—kebebasan dari kekhawatiran duniawi yang membelenggu, dan ketenangan dalam menjalani hidup sebagai hamba yang dijamin, diawasi, dan dicintai oleh Rabb-nya.
Pengulangan dan pendalaman makna ini harus terus dilakukan, mengingat fitrah manusia yang mudah lupa dan mudah cemas. Keyakinan pada jaminan rezeki ini adalah ujian akidah, apakah kita benar-benar percaya bahwa Allah adalah Sang Pemberi Rezeki (Ar-Razaq) yang tidak pernah lalai, ataukah kita masih menggantungkan diri pada kekuatan selain Dia.
Setiap desah nafas, setiap tetes air, setiap butir makanan, dan setiap momen keberadaan kita, dari asal-usul di *mustawda’* hingga peristirahatan akhir di *mustaqarr*, semuanya berada di bawah jaminan dan pengawasan-Nya yang sempurna, dan telah termaktub secara pasti dalam *Al-Kitab Al-Mubin*.
Kesimpulan Akhir
Ayat ini adalah undangan untuk hidup dengan martabat dan ketenangan. Martabat karena kita tidak perlu merendahkan diri demi mencari rezeki yang sudah dijamin. Ketenangan karena hasil akhir dari usaha kita sudah tertulis dan berada di tangan Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Pemurah. Keyakinan pada Surah Hud Ayat 6 mengubah perspektif kehidupan: dari perjuangan untuk bertahan hidup menjadi perjalanan penuh ibadah dan syukur, karena jaminan hidup kita telah diurus oleh Sang Pencipta Semesta.