I. Esensi Mengiaskan: Jembatan Antara Konsep dan Pemahaman
Tindakan mengiaskan—sebagai proses penggunaan simbol, metafora, dan alegori untuk mewakili gagasan yang lebih besar, kompleks, atau abstrak—merupakan salah satu fungsi kognitif paling fundamental dalam evolusi bahasa dan budaya manusia. Kemampuan untuk tidak hanya mendeskripsikan realitas secara harfiah, tetapi juga untuk melampaui literalitas dan menyentuh makna yang tersembunyi, membedakan komunikasi manusia dari bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Seni mengiaskan adalah pilar utama dalam filsafat, sastra, teologi, dan bahkan disiplin ilmu pengetahuan modern, menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan ide-ide yang tidak terjangkau oleh bahasa lugas dapat diakses oleh khalayak luas.
1.1. Definisi dan Spektrum Bahasa Kiasan
Mengiaskan bukanlah sekadar menghias bahasa; ia adalah mekanisme vital yang memungkinkan penyampaian gagasan yang secara inheren resisten terhadap definisi yang kaku. Ketika kita berbicara tentang simbolisme, kita merujuk pada objek atau tindakan tunggal yang mewakili ide (misalnya, mawar mengiaskan cinta). Namun, ketika kita berbicara tentang alegori, proses mengiaskan diperluas menjadi narasi atau sistem yang koheren, di mana setiap karakter, peristiwa, atau latar mewakili konsep filosofis, moral, atau politik yang berkelanjutan. Proses mengiaskan ini menciptakan kedalaman semantik yang berlapis, menantang pembaca atau pendengar untuk berpartisipasi aktif dalam proses interpretasi, menjadikannya sebuah dialog intelektual daripada sekadar transmisi informasi satu arah.
Sejak peradaban kuno, mulai dari mitos Yunani hingga hikayat Timur Tengah, kebutuhan untuk mengiaskan telah mencerminkan keterbatasan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari efektif untuk urusan praktis, tetapi gagal ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial, transendental, atau kondisi emosional yang intens. Di sinilah peran mengiaskan mengambil alih, mengubah pengalaman subjektif yang tak terucapkan menjadi bentuk yang dapat dibagikan, memungkinkan individu untuk berhubungan dengan pengalaman universal yang sama.
1.2. Kebutuhan Kognitif untuk Mengiaskan
Psikolog kognitif berpendapat bahwa manusia secara alami cenderung berpikir secara metaforis. Pikiran kita sering kali menggunakan pemetaan konseptual—menggunakan domain yang konkret (sumber) untuk memahami domain yang abstrak (target). Misalnya, kita mengiaskan waktu sebagai uang ("membuang waktu") atau argumen sebagai perang ("menyerang posisi lawan"). Mekanisme ini bukanlah pilihan stilistik, melainkan strategi pemrosesan informasi yang efisien.
Ketika kita diminta untuk memahami konsep yang sangat kompleks—seperti relativitas, takdir, atau kesadaran—pikiran kita secara otomatis mencari analogi yang familiar. Proses mengiaskan berfungsi sebagai alat bantu memori dan pemahaman yang sangat kuat, mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam skema kognitif yang sudah ada. Tanpa kemampuan ini, banyak bidang pengetahuan manusia, terutama yang bersifat spekulatif dan transenden, akan tetap berada di luar jangkauan pemahaman umum. Oleh karena itu, mengiaskan adalah inti dari pedagogi, di mana guru harus menerjemahkan konsep-konsep kering menjadi cerita atau perbandingan yang relevan dan mudah diakses.
II. Landasan Filosofis: Mengiaskan Sebagai Alat Eksistensial
Dalam sejarah filsafat, tindakan mengiaskan selalu memainkan peran sentral dalam mendefinisikan dan mempertanyakan realitas. Filsuf kuno sering kali menggunakan perumpamaan (parable) dan mitos untuk menyampaikan doktrin yang mendalam, mengakui bahwa kebenaran mutlak seringkali terlalu cemerlang untuk dilihat secara langsung dan karenanya harus dipantulkan melalui cermin perumpamaan.
2.1. Alegori Gua Plato dan Batasan Persepsi
Contoh klasik dari penggunaan mengiaskan untuk tujuan filosofis adalah Alegori Gua karya Plato. Alegori ini tidak hanya sekadar cerita; ia adalah kerangka kerja yang menyeluruh yang mengiaskan kondisi manusia dalam kaitannya dengan pengetahuan dan ilusi. Para tahanan yang melihat bayangan sebagai realitas mewakili orang-orang yang terikat pada indra mereka dan percaya pada dunia fisik yang tampak (dunia indra). Perjalanan keluar dari gua dan melihat matahari mengiaskan proses filosofis yang menyakitkan menuju pemahaman murni (Dunia Bentuk).
Plato menggunakan Alegori Gua untuk menantang pembaca agar mempertanyakan apa yang mereka anggap nyata. Ia mengiaskan bahwa mayoritas populasi hidup dalam keadaan ketidaktahuan yang nyaman, menerima bayangan yang dilemparkan oleh kekuasaan dan tradisi. Alegori ini menunjukkan bahwa tugas filsuf—yaitu orang yang berhasil keluar dari gua—adalah tugas yang berbahaya dan tidak populer, karena ia harus kembali ke kegelapan untuk mencoba membebaskan mereka yang masih terikat. Proses mengiaskan ini memastikan bahwa gagasan tentang Bentuk Ideal dan realitas transenden tetap relevan dan dipahami secara intuitif oleh generasi yang berbeda, jauh lebih kuat daripada jika Plato hanya memberikan definisi logis yang kering.
2.2. Simbolisme dalam Hermeneutika Filosofis
Dalam tradisi hermeneutika—ilmu penafsiran—tindakan mengiaskan menjadi kunci. Filsuf seperti Paul Ricoeur menyoroti bagaimana simbol dan metafora memiliki ‘daya ganda’ (double potency), yaitu kemampuan untuk menunjuk pada hal yang tampak sambil secara simultan membuka dimensi makna baru. Simbol mengiaskan bukan karena ditugaskan secara sewenang-wenang (seperti tanda), tetapi karena ia memiliki resonansi yang melekat dengan pengalaman manusia.
Misalnya, simbol "air" secara harfiah adalah cairan, tetapi dalam konteks filosofis dan mitologis, ia mengiaskan pemurnian, kelahiran kembali, atau kekacauan primordial. Tugas hermeneutika adalah mengungkap bagaimana simbol-simbol dasar ini beroperasi dalam bahasa dan struktur kesadaran kita, mengungkapkan bagaimana kita secara tak sadar menggunakan kiasan untuk memahami keberadaan. Dengan kata lain, kita tidak hanya menggunakan simbol; kita hidup di dalam dunia yang sebagian besar dibangun oleh simbol dan kiasan yang telah diwariskan secara kultural. Keberadaan manusia adalah keberadaan yang kaya akan representasi yang sering kali melampaui deskripsi harfiah, memaksa kita untuk mengiaskan pengalaman sehari-hari.
III. Mengiaskan dalam Tradisi Sastra dan Narasi Global
Sastra adalah arena utama tempat seni mengiaskan mencapai puncaknya. Setiap genre sastra—mulai dari puisi liris hingga novel epik—mengandalkan kemampuan pembaca untuk memahami apa yang tidak terucapkan secara langsung, untuk melihat hutan di balik pepohonan, atau untuk menangkap maksud moral yang tersembunyi di balik petualangan heroik. Proses mengiaskan dalam sastra adalah yang mengubah kisah sederhana menjadi karya yang memiliki dampak abadi.
3.1. Puisi: Intensitas Metafora dan Kondensasi Makna
Dalam puisi, mengiaskan menjadi teknik utama untuk mencapai intensitas emosional dan kepadatan makna. Puisi modern, khususnya, sering meninggalkan narasi linier demi serangkaian simbol dan metafora yang sangat padat. Misalnya, dalam puisi Symbolisme Prancis, objek-objek sehari-hari (kabut, jam, jendela) mengiaskan keadaan batin penyair yang kompleks dan sulit didefinisikan. Penyair tidak mengatakan "Aku sedih," tetapi mungkin mengiaskan kesedihan itu melalui gambaran "kota yang diselimuti kabut yang dingin" atau "langit tanpa bintang."
Metafora yang digunakan dalam puisi seringkali merupakan cara tercepat dan paling efisien untuk menyampaikan konsep yang multi-dimensi. Metafora berfungsi sebagai pintasan kognitif, mengaktifkan jaringan asosiasi yang kaya dalam pikiran pembaca. Tanpa metafora, puisi akan kehilangan resonansi dan kekuatannya untuk menggugah perasaan yang mendalam. Kemampuan penyair untuk menyandingkan dua entitas yang tampaknya tidak berhubungan (misalnya, hati dan batu karang) memaksa pikiran untuk mencari tautan, dan dalam pencarian tautan itulah keindahan dan kedalaman makna kiasan ditemukan.
3.2. Fabel dan Alegori Naratif
Fabel, mitos, dan perumpamaan adalah bentuk naratif tertua yang secara eksplisit dirancang untuk mengiaskan kelas-kelas sosial dan tokoh-tokoh spesifik dari Revolusi Rusia. Keberhasilan karya semacam ini terletak pada kemampuannya untuk beroperasi pada dua tingkat sekaligus: sebagai cerita yang menarik tentang hewan peternakan, dan sebagai komentar politik yang pedas dan abadi tentang bahaya totalitarianisme.
IV. Dimensi Sakral: Mengiaskan Kitab Suci dan Transendensi
Mungkin tidak ada bidang lain di mana mengiaskan memiliki kepentingan yang lebih besar selain dalam teologi dan agama. Ketika teks-teks sakral berusaha menggambarkan sifat Tuhan, surga, atau konsep spiritual yang melampaui pengalaman inderawi, mereka harus menggunakan bahasa kiasan dan simbol. Tuhan, sebagai entitas yang tak terbatas, tidak dapat dijelaskan dengan bahasa yang diciptakan untuk dunia fisik yang terbatas.
4.1. Tafsir Alegoris Kitab Suci
Sejak awal, para penafsir teks-teks agama (Yahudi, Kristen, Islam) telah berjuang dengan pertanyaan tentang sejauh mana suatu teks harus dibaca secara harfiah. Tafsir alegoris (atau midrash dalam tradisi Yahudi) muncul sebagai metode untuk mengiaskan peristiwa historis yang keras dan spesifik menjadi kebenaran moral dan spiritual yang universal dan abadi. Tokoh-tokoh seperti Philo dari Alexandria dan Origen dari Aleksandria adalah pelopor utama dalam penafsiran yang melihat setiap detail narasi (misalnya, penciptaan dunia dalam enam hari) bukan sebagai laporan ilmiah, tetapi sebagai kiasan tentang perkembangan jiwa atau alam semesta spiritual.
Metode ini sangat penting karena ia memungkinkan teks-teks kuno untuk tetap relevan dalam konteks budaya dan ilmiah yang terus berubah. Jika semua deskripsi tentang surga dan neraka dibaca secara literal, maka teks tersebut berisiko menjadi usang atau bertentangan dengan pengetahuan empiris. Dengan mengiaskan deskripsi tersebut menjadi keadaan spiritual atau hasil moral, teks tersebut mempertahankan kekuatan etisnya terlepas dari perubahan pandangan kosmik.
4.2. Perumpamaan Kristus dan Makna Ganda
Perumpamaan yang diceritakan oleh Yesus Kristus dalam Injil adalah contoh sempurna dari seni mengiaskan yang digunakan untuk tujuan pedagogi spiritual. Perumpamaan tentang Penabur, atau Anak yang Hilang, atau Ragi, menggunakan situasi sehari-hari yang mudah dipahami (pertanian, keluarga, memasak) untuk mengiaskan konsep yang sangat kompleks mengenai Kerajaan Surga, anugerah, atau pertobatan.
Perumpamaan berfungsi sebagai filter ganda: ia menarik pendengar umum dengan cerita yang menghibur, tetapi ia hanya mengungkapkan makna terdalamnya kepada mereka yang mau merenungkan kiasan tersebut. Dengan demikian, mengiaskan berfungsi sebagai mekanisme inklusi dan eksklusi simultan, memastikan bahwa kebenaran yang sakral tidak disalahgunakan atau dilecehkan oleh mereka yang tidak siap menerimanya, sambil tetap dapat diakses oleh mereka yang mencari kedalaman spiritual.
Dalam tasawuf Islam (Sufisme), simbolisme mencapai tingkat yang sangat tinggi. Penyair sufi seperti Rumi menggunakan simbol-simbol profan (anggur, kekasih, pesta) untuk secara intens mengiaskan penyatuan jiwa dengan Tuhan. Ciuman yang dicari bukan ciuman fisik, tetapi penyatuan mistik; anggur bukan minuman keras, tetapi mabuk spiritual yang disebabkan oleh kehadiran ilahi. Tanpa pemahaman tentang tradisi mengiaskan ini, puisi sufi akan kehilangan semua makna transendentalnya dan hanya menjadi deskripsi kehidupan sehari-hari yang biasa. Simbolisme dalam tasawuf adalah cara untuk mengekspresikan pengalaman ilahi yang pada dasarnya tidak dapat diungkapkan (ineffable).
V. Komunikasi Visual: Mengiaskan dalam Seni Rupa dan Arsitektur
Seni rupa dan arsitektur telah lama menggunakan prinsip mengiaskan untuk menyampaikan narasi, status, atau nilai-nilai budaya tanpa menggunakan kata-kata. Sebuah patung, lukisan, atau bahkan tata letak sebuah kota dapat berfungsi sebagai teks alegoris yang kaya, menunggu untuk ditafsirkan oleh mata yang berpengetahuan.
5.1. Simbolisme Ikonografi dalam Seni Renaisans
Selama periode Renaisans dan Barok, seni ikonografi mencapai puncaknya. Setiap elemen dalam sebuah lukisan besar tidak hanya ada untuk alasan komposisional, tetapi juga untuk mengiaskan makna moral, religius, atau mitologis. Misalnya, burung phoenix mengiaskan kebangkitan; tengkorak (memento mori) mengiaskan kefanaan hidup; dan timbangan mengiaskan keadilan. Seorang seniman tidak hanya melukis objek, tetapi melukis ide yang dilekatkan pada objek tersebut.
Seni potret, khususnya, menggunakan simbolisme untuk mengiaskan status dan sifat subjek. Jika seorang bangsawan digambarkan memegang pedang, itu mengiaskan kekuatan militer; jika ia mengenakan laurel, itu mengiaskan kemenangan dan pencapaian. Pemahaman akan kode kiasan ini sangat penting bagi masyarakat pada masa itu, karena ia memungkinkan komunikasi yang kompleks dan bernuansa tentang hierarki sosial dan nilai-nilai etika melalui medium visual yang statis.
5.2. Mengiaskan Kekuatan dalam Arsitektur Monumental
Arsitektur, terutama arsitektur monumental (istana, kuil, gedung pemerintahan), adalah bentuk mengiaskan yang sangat kuat. Bentuk, skala, dan material yang digunakan secara sadar atau tidak sadar mengiaskan kekuasaan, keabadian, atau keilahian. Katedral Gotik, dengan menara-menaranya yang menjulang tinggi, mengiaskan aspirasi spiritual manusia menuju surga. Skala bangunan yang masif dimaksudkan untuk membuat manusia merasa kecil dan, karenanya, menyadarkan mereka akan kebesaran Tuhan.
Demikian pula, penggunaan kolom klasik dalam arsitektur Barat modern sering mengiaskan otoritas dan demokrasi yang diwarisi dari Yunani dan Roma kuno. Arsitek mengiaskan ideologi politik atau budaya melalui bahasa bentuk geometris dan proporsi yang spesifik, mengubah beton dan baja menjadi pernyataan filosofis yang dapat bertahan selama berabad-abad.
VI. Abstraksi dan Kiasan: Mengiaskan Ilmu Pengetahuan
Meskipun ilmu pengetahuan sering diperjuangkan sebagai domain rasionalitas dan literalitas murni, kenyataannya adalah bahwa disiplin ilmu yang paling abstrak—matematika, fisika, biologi molekuler—sangat bergantung pada seni mengiaskan untuk menyampaikan ide-ide mereka. Bagaimana menjelaskan gelombang kuantum atau struktur genetik kepada seseorang tanpa menggunakan metafora?
6.1. Model dan Metafora Sains
Model ilmiah pada dasarnya adalah kiasan. Model atom Bohr, yang mengiaskan atom sebagai sistem tata surya mini (elektron mengorbit nukleus), sangat efektif dalam membantu generasi ilmuwan awal memvisualisasikan struktur yang tidak terlihat. Meskipun model ini kemudian terbukti tidak sepenuhnya akurat secara harfiah, kekuatan kiasannya terletak pada kemampuannya untuk menjembatani jurang antara yang dapat dirasakan dan yang tidak dapat dirasakan.
Dalam biologi, kita secara rutin mengiaskan sel sebagai ‘pabrik’ dan DNA sebagai ‘kode’ atau ‘cetak biru kehidupan.’ Kiasan-kiasan ini sangat kuat sehingga sulit dibayangkan bagaimana kita dapat mengajarkan biologi molekuler tanpa menggunakannya. Kiasan-kiasan ini membantu kita memahami fungsi, peran, dan interaksi yang terjadi di tingkat mikro, dengan memproyeksikannya ke dalam kerangka kerja yang sudah dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
6.2. Mengiaskan dalam Komunikasi Populer
Komunikasi sains yang sukses hampir selalu bergantung pada kemampuan komunikator untuk mengiaskan konsep yang rumit. Astrofisikawan menjelaskan ‘lubang hitam’ sebagai ‘corong’ di ruang-waktu, atau ‘Big Bang’ sebagai ‘ledakan kosmik’ (meskipun bukan ledakan dalam arti tradisional). Kiasan-kiasan ini menarik perhatian publik dan memberikan titik masuk yang intuitif ke dalam topik-topik yang mungkin terasa menakutkan jika disajikan hanya dengan persamaan matematis.
Namun, penggunaan kiasan dalam sains juga memerlukan kehati-hatian. Ketika sebuah kiasan terlalu kuat, ia dapat mengarahkan pemikiran publik ke arah yang salah. Misalnya, kiasan ‘gen egois’ yang digunakan oleh Richard Dawkins sangat efektif, tetapi dapat disalahartikan untuk mengiaskan bahwa gen secara sadar memiliki motif egois, padahal ia hanya metafora yang kuat untuk seleksi alam. Tantangan dalam mengiaskan sains adalah memilih kiasan yang cukup kuat untuk menjelaskan, tetapi tidak terlalu kuat sehingga menghilangkan nuansa teknis yang penting.
VII. Kritik dan Batasan: Bahaya Salah Tafsir Kiasan
Meskipun seni mengiaskan adalah kekuatan pendorong di balik kreativitas dan pemahaman, ia juga memiliki batasannya dan rentan terhadap penyalahgunaan. Bahaya terbesar dari bahasa kiasan adalah bahwa ia selalu membawa risiko salah tafsir, terutama ketika kiasan dilihat sebagai literalitas, atau ketika makna kiasan disalahgunakan untuk tujuan retoris tertentu.
7.1. Jatuh ke Dalam Literalitas
Kesalahan paling umum dalam menafsirkan kiasan—terutama dalam konteks agama atau mitologi—adalah mengambilnya secara harfiah. Ketika Alegori Gua Plato diambil sebagai deskripsi fisik tentang gua, alih-alih kondisi epistemologis, seluruh makna filosofis hilang. Demikian pula, jika teks-teks kuno yang mengiaskan penciptaan atau akhir zaman dibaca sebagai laporan sejarah atau ilmiah yang kaku, mereka kehilangan daya spiritual mereka dan malah menciptakan konflik yang tidak perlu dengan pandangan dunia modern.
Fenomena literalitas ini seringkali menghambat dialog lintas budaya dan interdisipliner. Mereka yang berpegang pada interpretasi literal gagal untuk melihat bahwa kiasan adalah perangkat fleksibel yang dirancang untuk beradaptasi dengan kebutuhan pemahaman. Kiasan bersifat dinamis; maknanya berkembang seiring waktu, tetapi literalitas mengikat makna pada satu titik waktu, membekukannya dan menghilangkan potensi pencerahannya.
7.2. Penyalahgunaan Kiasan sebagai Propaganda
Retorika politik modern sering menggunakan kiasan dan alegori yang kuat untuk tujuan memobilisasi atau mendehumanisasi lawan. Dengan mengiaskan sekelompok orang sebagai ‘hama,’ ‘penyakit,’ atau ‘musuh di dalam selimut,’ narator politik menggunakan kekuatan kiasan untuk memicu emosi primal, melewati pertimbangan rasional. Kiasan yang dirancang untuk memecah-belah ini sangat berbahaya karena ia beroperasi di bawah sadar, menanamkan asosiasi negatif tanpa perlu menyajikan bukti faktual.
Dalam konteks ini, kiasan berhenti menjadi alat pemahaman dan berubah menjadi senjata manipulasi. Kemampuan kritikus dan pembaca modern adalah untuk menanggalkan lapisan kiasan ini, untuk melihat apa yang secara harfiah dikatakan (atau tidak dikatakan), dan untuk menganalisis mengapa narator memilih kiasan tertentu. Literasi kiasan (figurative literacy) adalah keterampilan yang sangat penting untuk melawan penyebaran disinformasi yang didasarkan pada retorika yang kuat tetapi kosong secara faktual.
VIII. Epistemologi Kiasan: Mengiaskan sebagai Cara Mengetahui
Akhirnya, kita harus mengakui bahwa tindakan mengiaskan bukan hanya tentang menyampaikan pengetahuan yang sudah ada, tetapi merupakan cara fundamental untuk menghasilkan pengetahuan baru. Epistemologi (teori pengetahuan) harus memperhitungkan peran penting yang dimainkan oleh metafora dalam penemuan dan inovasi.
8.1. Mengiaskan dan Penemuan Ilmiah
Banyak penemuan ilmiah lahir dari loncatan imajinatif yang didorong oleh kiasan. Kekuatan kiasan terletak pada kemampuannya untuk mengambil dua domain yang sebelumnya terpisah dan menyatukannya. Ketika ahli fisika mulai mengiaskan cahaya sebagai "partikel sekaligus gelombang," mereka memaksa diri mereka untuk berpikir di luar kategori yang ada. Kiasan yang tampaknya paradoks ini justru membuka jalan bagi teori kuantum.
Demikian pula, kiasan ‘jaring laba-laba’ yang digunakan untuk mendeskripsikan internet atau ‘pohon kehidupan’ yang mengiaskan evolusi, tidak hanya menjelaskan konsep, tetapi juga memandu penelitian. Model kiasan memberikan kerangka kerja hipotetis yang dapat diuji dan diperluas, menunjukkan bahwa imajinasi kiasan adalah mitra penting bagi logika ketat dalam proses penemuan ilmiah. Mengiaskan adalah alat untuk membayangkan apa yang belum ada, atau apa yang terlalu kompleks untuk dijelaskan dalam bahasa sehari-hari.
8.2. Mengiaskan dan Pembentukan Identitas Budaya
Kiasan dan simbol adalah perekat yang mengikat identitas budaya dan kolektif. Bendera, lagu kebangsaan, monumen, dan mitos pendirian semuanya adalah bentuk kiasan yang sangat kuat. Mereka mengiaskan nilai-nilai bersama, sejarah kolektif, dan aspirasi masa depan suatu bangsa. Simbol-simbol ini memungkinkan jutaan orang, yang tidak pernah bertemu satu sama lain, untuk merasakan koneksi emosional dan loyalitas terhadap entitas abstrak seperti 'negara' atau 'komunitas'.
Mitos dan narasi yang mengiaskan asal-usul kita memberikan makna pada penderitaan dan kemenangan. Dengan mengiaskan masa lalu sebagai perjuangan heroik atau pengorbanan suci, sebuah masyarakat membentuk karakter moralnya. Proses mengiaskan ini adalah konstan dan berkelanjutan; setiap generasi harus menemukan cara baru untuk menafsirkan dan mewarisi simbol-simbol lama, memastikan bahwa kiasan-kiasan tersebut tetap hidup dan relevan dalam menghadapi perubahan zaman.
IX. Kedalaman Semantik: Mengiaskan dan Struktur Kesadaran
Jika kita menerima bahwa pikiran manusia beroperasi secara inheren melalui metafora dan kiasan, maka studi tentang mengiaskan menjadi studi tentang kesadaran itu sendiri. Bahasa figuratif bukanlah lapisan gula di atas kue komunikasi, melainkan tepung dan airnya. Ia membentuk cara kita merasakan, mengingat, dan merencanakan.
9.1. Kiasan dalam Bahasa Sehari-hari yang Tak Disadari
Sejumlah besar bahasa sehari-hari kita adalah kiasan yang telah mati (dead metaphors), yaitu kiasan yang telah digunakan berulang kali sehingga kita lupa bahwa mereka pernah berupa kiasan. Contohnya termasuk ‘memahami’ (secara harfiah ‘berdiri di bawah’) atau ‘perdebatan yang panas.’ Ketika kita mengatakan ‘kehidupan ini adalah perjalanan,’ kita menggunakan kiasan master (orientational metaphor) yang secara mendalam membentuk pandangan kita tentang tujuan dan waktu.
Analisis yang mendalam terhadap bagaimana kita mengiaskan pengalaman menunjukkan bahwa kita cenderung menggunakan kiasan spasial untuk memahami emosi. Kita mengiaskan kebahagiaan sebagai 'naik' (euforia, suasana hati yang tinggi) dan kesedihan sebagai 'turun' (depresi, suasana hati yang rendah). Pola kiasan yang universal ini menunjukkan adanya hubungan mendalam antara struktur tubuh dan pemahaman konseptual. Ini menegaskan bahwa mengiaskan bukanlah aksesoris linguistik, melainkan kerangka kerja kognitif yang memungkinkan pemikiran kompleks.
9.2. Mengiaskan Keterbatasan: Keindahan Ketidaksempurnaan
Paradoks terbesar dari seni mengiaskan adalah bahwa ia mencapai kejelasan melalui ketidakjelasan yang disengaja. Metafora yang baik tidak sepenuhnya menjelaskan; sebaliknya, ia memberikan ruang bagi pembaca untuk mengisi kekosongan, memungkinkan adanya berbagai interpretasi yang valid.
Ini adalah keindahan dari kiasan dalam puisi atau seni: ia tidak memberikan jawaban pasti, tetapi mendorong refleksi pribadi. Dalam menghadapi misteri terbesar kehidupan—cinta, kematian, makna—kita menyadari bahwa tidak ada bahasa literal yang memadai. Kita harus menggunakan perumpamaan, simbol, dan alegori, yaitu kita harus mengiaskan apa yang tak terucapkan, menerima bahwa komunikasi yang paling mendalam seringkali adalah komunikasi yang paling figuratif.
Proses mengiaskan adalah pengakuan abadi manusia terhadap kompleksitas realitas. Ia adalah kesaksian bahwa meskipun kita terbatas oleh bahasa, kita terus berjuang untuk melampaui keterbatasan tersebut melalui kekuatan imajinasi dan penafsiran. Dengan menggunakan simbol dan alegori, kita tidak hanya berbicara tentang dunia, tetapi juga secara aktif membentuk maknanya, memastikan bahwa warisan pemikiran dan spiritualitas kita akan terus bergema melintasi ruang dan waktu.
Seni mengiaskan adalah warisan yang tak ternilai harganya. Ia adalah mekanisme yang memungkinkan kita untuk menginternalisasi ide-ide besar dan abstrak, mengubah konsep yang dingin dan jauh menjadi pengalaman yang hangat dan pribadi. Tanpa kiasan, budaya kita akan menjadi datar, pengetahuan kita akan menjadi kering, dan spiritualitas kita akan kehilangan daya tariknya yang mendalam dan misterius. Oleh karena itu, kemampuan untuk mengiaskan adalah keterampilan tertinggi dalam berkomunikasi dan memahami.
Proses menyeluruh ini, di mana pikiran manusia secara konstan mencari padanan, analogi, dan representasi figuratif untuk memahami struktur yang lebih besar dari eksistensi, adalah bukti kecerdasan adaptif kita. Setiap kali kita menggunakan metafora, kita tidak hanya berbicara; kita sedang membangun dunia konseptual baru. Setiap alegori yang kita ceritakan memperkuat fondasi moral dan filosofis yang menjadi sandaran peradaban. Inilah mengapa mengiaskan tetap menjadi pusat dari semua upaya manusia untuk mencari makna.
Sebagai penutup, kita kembali pada gagasan bahwa realitas tidak hanya diserap, tetapi juga diciptakan melalui lensa kiasan. Kekuatan untuk mengiaskan adalah kekuatan untuk menamai yang tak bernama, untuk melihat yang tak terlihat, dan untuk berbagi kebenaran yang terlalu besar untuk diucapkan secara harfiah.