Surah ke-74 dalam Al-Qur'an | Diturunkan di Mekkah
Pengantar Umum Surah Al-Muddassir
Surah Al-Muddassir (المُدَّثِّر) secara harfiah berarti "Orang yang Berselimut" atau "Yang Berkemul". Surah ini terdiri dari 56 ayat dan termasuk dalam golongan surah Makkiyah. Kedudukannya dalam sejarah Islam sangat monumental karena banyak ulama tafsir yang menyepakati bahwa Al-Muddassir merupakan wahyu kedua yang diterima oleh Rasulullah Muhammad ﷺ, menandai berakhirnya periode *Fatra al-Wahy* (masa jeda wahyu) setelah Surah Al-Alaq ayat 1-5.
Jika Surah Al-Alaq memberikan perintah pertama untuk membaca dan belajar, Surah Al-Muddassir memberikan perintah yang jauh lebih berat: perintah untuk bangkit dan berdakwah secara terang-terangan. Surah ini adalah deklarasi perang terhadap kemalasan dan ketidakpedulian. Ia memindahkan Nabi Muhammad ﷺ dari status penerima wahyu pasif menjadi seorang utusan aktif yang harus memperingatkan kaumnya.
Tema Utama Surah
Struktur Surah Al-Muddassir dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, masing-masing membawa pesan yang mendalam:
Ayat 1–7: Perintah untuk Bangkit dan Berdakwah (Kewajiban Risalah). Ini adalah inti dari panggilan kenabian, mencakup perintah membersihkan diri, menjaga kesucian amal, dan bersabar demi Allah.
Ayat 8–31: Peringatan Hari Kiamat dan Kisah Walid bin al-Mughirah (Penolakan dan Azab). Bagian ini menguraikan kekejaman Hari Kiamat, mengisahkan tokoh pembangkang Quraisy yang menolak kebenaran setelah merenungkannya, dan menggambarkan Saqar (Neraka) secara rinci.
Ayat 32–56: Sumpah Ilahi, Dialog Penghuni Neraka, dan Penegasan Al-Qur'an (Pelaran dan Peringatan). Bagian penutup berisi sumpah-sumpah Allah atas ciptaan-Nya untuk menegaskan kebenaran, menjelaskan mengapa para pendurhaka masuk Neraka, dan menegaskan kembali bahwa Al-Qur'an adalah peringatan bagi semua manusia.
Ilustrasi Perintah Allah kepada Sang Berselimut untuk Bangkit dan Menyampaikan Peringatan.
Tafsir Ayat per Ayat (Ayat 1-7): Panggilan Kenabian
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنذِرْ (2)
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! (1) Bangunlah, lalu berilah peringatan! (2)
Tafsir Mendalam: Ayat ini adalah pembuka yang sangat dramatis. Diriwayatkan bahwa setelah Jibril menyampaikan wahyu pertama, Rasulullah ﷺ pulang dalam keadaan ketakutan, meminta Khadijah untuk menyelimutinya (*daththarani*). Ketika ketakutan itu mereda, perintah kedua datang. Panggilan ini, "Yaa ayyuhal muddassir", berfungsi sebagai teguran lembut sekaligus pengangkat derajat. Teguran karena Nabi berdiam diri, dan pengangkatan derajat karena tugas berat telah menanti. Perintah "Qum fa anzir" (Bangunlah, lalu berilah peringatan) adalah perintah untuk meninggalkan kenyamanan pribadi, meninggalkan selimut istirahat, dan memulai misi publik yang penuh bahaya. Ini adalah transisi dari kenabian internal (penerimaan wahyu) ke kenabian eksternal (penyampaian risalah). Ini bukan hanya peringatan kepada kaum Quraisy, tetapi juga peringatan kepada umat Islam sepanjang masa untuk tidak berpuas diri dengan ibadah pribadi; tugas dakwah adalah kewajiban yang mendesak.
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3)
Dan agungkanlah Tuhanmu, (3)
Tafsir Mendalam: Setelah perintah berdakwah, datang perintah pengagungan. "Wa Rabbaka fakabbir". Ini berarti mengagungkan Allah melebihi segala sesuatu, menolak pengagungan terhadap berhala, harta, atau kekuasaan duniawi. Pengagungan ini harus tercermin dalam ucapan (*Allahu Akbar*), niat, dan tindakan. Dalam konteks dakwah, ini berarti menegaskan bahwa tidak ada kekuatan lain yang patut ditakuti selain Allah, dan tugas kenabian harus dilakukan hanya demi kebesaran Allah semata, tanpa mengharapkan imbalan dunia. Pengagungan ini adalah fondasi moral yang diperlukan agar seorang da'i tetap teguh menghadapi penolakan.
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4)
dan pakaianmu bersihkanlah, (4)
Tafsir Mendalam: Ayat ini memiliki dua makna penting:
Makna Fisik: Menjaga kebersihan pakaian dan tubuh. Seorang utusan Allah harus tampil bersih dan rapi, mencerminkan kesucian ajaran yang dibawanya.
Makna Metaforis (Spiritual): Membersihkan jiwa dan amal dari segala bentuk kotoran, terutama syirik, dusta, dan maksiat. Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah cenderung menafsirkan *tsiyab* (pakaian) di sini sebagai amal, hati, atau moralitas. Jika Nabi diperintahkan untuk berdakwah, ia harus memiliki integritas moral yang tidak tercela. Pakaian di sini melambangkan apa yang menutupi diri, yaitu perilaku dan reputasi. Membersihkannya berarti menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak citra kebenaran.
وَٱلرُّجْزَ فَٱهْجُرْ (5)
dan tinggalkanlah perbuatan dosa (maksiat/berhala), (5)
Tafsir Mendalam: Kata "Ar-Rujz" sering ditafsirkan sebagai azab, tetapi dalam konteks Makkiyah awal, sebagian besar ulama (seperti Imam Malik) menafsirkannya sebagai patung atau berhala, yang merupakan sumber utama dosa besar. Perintah "Fahjur" (tinggalkanlah/jauhilah) merupakan penegasan pemutusan total hubungan dengan praktik kemusyrikan dan segala bentuk kotoran spiritual yang dianut oleh masyarakat Quraisy. Perintah ini relevan bagi Nabi dalam dua hal: pertama, menjauhkan diri dari peribadatan syirik, dan kedua, menjauhkan diri dari tempat-tempat atau majelis-majelis di mana praktik syirik ini dilakukan, demi menjaga integritas dakwah.
وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ (6)
dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (6)
Tafsir Mendalam: Ayat ini mengajarkan keikhlasan mutlak dalam beramal dan berdakwah. Makna harfiahnya terkait dengan memberi hadiah atau berbuat baik dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih besar. Namun, dalam konteks kenabian dan dakwah, ini berarti: Janganlah engkau menganggap amalmu atau usahamu dalam berdakwah sebagai hal yang besar yang memberimu hak untuk menuntut balasan yang lebih banyak, baik dari Allah maupun dari manusia. Dakwah harus dilakukan semata-mata karena kewajiban dan cinta kepada Allah. Ini menetapkan etika bagi setiap da'i: kesabaran tanpa pamrih. Nabi harus bersiap memberikan segalanya (waktu, tenaga, harta, bahkan nyawa) tanpa mengharapkan hasil instan atau pengakuan dari kaumnya, apalagi imbalan materi.
وَلِرَبِّكَ فَٱصْبِرْ (7)
Dan karena Tuhanmu, bersabarlah. (7)
Tafsir Mendalam: Ayat ini menjadi penutup tujuh perintah fundamental. Setelah diperintahkan untuk bangun, memperingatkan, mengagungkan, membersihkan diri, menjauhi dosa, dan beramal tanpa pamrih, Nabi diperintahkan untuk bersabar. Kesabaran (As-Sabr) di sini tidak hanya kesabaran menanggung kesulitan hidup, tetapi kesabaran total dalam menghadapi cemoohan, penolakan, intimidasi, dan siksaan yang pasti akan datang sebagai konsekuensi dari dakwah yang terang-terangan. Kesabaran ini harus dilakukan "Wa li Rabbika" (dan karena Tuhanmu), menekankan bahwa sumber dan tujuan kesabaran adalah keridaan Allah semata. Ini adalah pilar moralitas yang memungkinkan Nabi bertahan selama 13 tahun di Mekkah dalam menghadapi segala bentuk permusuhan.
Tafsir Ayat per Ayat (Ayat 8-31): Peringatan dan Kisah Walid
Setelah meletakkan dasar-dasar dakwah, Surah ini beralih ke tema peringatan Hari Akhir, yang merupakan substansi dari 'Anzir' (berilah peringatan).
Maka apabila sangkakala ditiup (8) maka itulah hari yang sulit (9) bagi orang-orang kafir tidak mudah (10)
Tafsir Mendalam: Allah mengingatkan bahwa semua perintah dakwah ini mendesak karena waktu (Hari Kiamat) akan datang tiba-tiba. "Nuqira fin Naaqur" merujuk pada tiupan sangkakala (sur) yang menandakan permulaan Kiamat dan kebangkitan. Hari itu digambarkan sebagai "Yaumun 'Asir" (hari yang sulit). Pentingnya penegasan "ghayru yasiir" (tidak mudah) menunjukkan betapa mengerikannya hari itu bagi mereka yang ingkar. Mereka yang menolak peringatan Nabi akan menghadapi kesusahan yang luar biasa, berbanding terbalik dengan kemudahan dan kenyamanan yang mereka nikmati di dunia.
Kisah Walid bin al-Mughirah (Ayat 11-30)
Ayat-ayat berikutnya (11-30) adalah studi kasus tentang penolakan terhadap kebenaran yang paling keras. Kebanyakan mufassir sepakat bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada Walid bin al-Mughirah, salah satu pemimpin Quraisy yang sangat kaya, berpengaruh, dan arogan, yang menolak Islam meskipun ia mengakui keindahan retorika Al-Qur'an.
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku ciptakan dalam keadaan sendiri (11) kemudian Aku jadikan harta benda yang melimpah baginya (12) dan anak-anak yang selalu bersamanya (13) dan Aku mudahkan baginya (jalan mencapai kekayaan dan kekuasaan) semudah-mudahnya (14) kemudian dia ingin sekali agar Aku menambahinya (15) Sekali-kali tidak! Karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (Al-Qur'an) (16)
Tafsir Mendalam: Kekuatan dan Ketidakpuasan Walid. Allah memulai dengan perintah tegas kepada Nabi untuk menyerahkan urusan Walid kepada-Nya. Ayat 12–14 merinci karunia besar yang telah diberikan Allah kepada Walid: kekayaan yang melimpah (*maalammaamduudaa*), anak-anak yang hadir bersamanya (terkadang mencapai 10 atau 12 anak laki-laki yang dewasa dan mampu membela dirinya), dan kekuasaan yang dimudahkan (*mahhhadtu lahu tamhiidaa*). Ironisnya, setelah semua nikmat ini, Walid masih serakah (*yathma’u an aziid*) dan menuntut lebih banyak. Penolakan tegas "Kallaa!" (Sekali-kali tidak!) menunjukkan bahwa keserakahan Walid bukanlah masalah harta, tetapi akibat dari sikapnya yang keras kepala menentang kebenaran (*kaana li ayaatinaa ‘aniidaa*), meskipun ia tahu kebenaran itu.
سَأُرْهِقُهُ صَعُودًا (17)
Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan (17)
Tafsir Mendalam: Hukuman yang Berat. Hukuman ini, "sa'urhiquhu sa'uudaa", mengacu pada hukuman di Akhirat. *Sa'uud* adalah pendakian yang sangat terjal dan memayahkan. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa ini adalah siksaan di Neraka di mana penghuninya dipaksa mendaki bukit api yang licin dan ketika sampai di puncak, mereka dilemparkan kembali ke bawah. Ini melambangkan azab yang terus-menerus dan tanpa henti, sebuah kontras dari kemudahan yang ia nikmati di dunia.
Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang akan dikatakannya) (18) maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? (19) kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? (20) Kemudian dia memandang (21) lalu dia bermuka masam dan merengut (22) kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri (23) lalu dia berkata, "Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang terdahulu) (24) Ini hanyalah perkataan manusia biasa." (25)
Tafsir Mendalam: Proses Penolakan. Ayat 18–25 menggambarkan momen krusial ketika Walid bin al-Mughirah diminta Quraisy untuk memberikan definisi resmi tentang Al-Qur'an (apakah itu sihir, ramalan, atau puisi). Ia berpikir keras (*fakkarawa qaddara*). Allah mengutuk proses pemikirannya ini dua kali: "Fuqtilakayfa qaddar" (Celakalah dia, bagaimana dia menetapkan?). Ia tahu kebenaran Al-Qur'an—diriwayatkan ia berkata: "Demi Allah, dalam ucapan Muhammad ada kemanisan, akarnya kuat dan cabangnya berbuah"—namun karena kesombongan, ia menolak. Ekspresi wajahnya yang merengut (*'abasa wa basara*) menunjukkan pergulatan batin antara mengakui kebenaran dan menjaga status sosialnya. Akhirnya, demi mempertahankan kekuasaan, ia memilih menolak, menyebutnya sihir yang diwariskan atau ucapan manusia, padahal ia tahu persis bahwa itu jauh melampaui kemampuan manusia.
Aku akan memasukannya ke (neraka) Saqar (26) Dan tahukah kamu apakah Saqar itu? (27) Ia (Saqar) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan (apa-apa) (28) (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia (29) Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga) (30)
Tafsir Mendalam: Deskripsi Saqar dan Misteri Angka 19. Karena penolakannya, Allah menjanjikan Walid masuk neraka Saqar. Pertanyaan retoris "wa maa adraaka maa saqar?" menekankan kengerian Neraka tersebut. Saqar digambarkan tidak meninggalkan apa pun yang dilemparkan ke dalamnya dan tidak membiarkannya mati (*laa tubqii wa laa tadhar*); ia terus menyiksa tanpa mematikan korban, sehingga siksaan itu abadi. Ia menghanguskan kulit (*lawwaahatun lil bashar*) secara total, menunjukkan azab yang sangat intensif. Puncak deskripsi ini adalah penyebutan "Alaia tisa'ata 'ashar" (Di atasnya ada sembilan belas). Angka 19 ini menjadi fokus perhatian yang mendalam, karena ini adalah angka spesifik pertama yang Allah sebutkan terkait penjaga Neraka, memicu perdebatan sengit di antara kaum musyrikin saat itu, dan juga menjadi ujian bagi Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mengetahui angka ini dari kitab suci mereka sebelumnya.
Tafsir Ayat per Ayat (Ayat 31-56): Sumpah, Tujuan, dan Pelajaran
Setelah menyebutkan angka 19, Allah menjelaskan mengapa angka tersebut disebutkan, menghubungkannya dengan sumpah atas benda-benda kosmik, dan diakhiri dengan dialog yang mengungkap akar penyebab kekafiran.
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tiada Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi Al Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu; dan supaya orang-orang (munafik) yang ada penyakit dalam hatinya dan orang-orang kafir mengatakan: "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai perumpamaan?" Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia. (31)
Tafsir Mendalam: Hikmah Angka 19. Ayat ini adalah salah satu ayat terpanjang di Surah Al-Muddassir, menjelaskan hikmah ilahi di balik angka spesifik 19. Penyebutan angka ini memiliki empat fungsi utama:
Fitnah (Cobaan) bagi Orang Kafir: Orang Quraisy, khususnya Abu Jahal, Walid, dan lainnya, mencemooh dan menganggap enteng jumlah 19, bahkan menawarkan untuk mengalahkan mereka hanya dengan 10 orang setiap satu malaikat. Hal ini menunjukkan kesombongan mereka.
Meyakinkan Ahlul Kitab: Jumlah 19 ini diklaim sesuai dengan apa yang tertulis dalam Taurat dan Injil (yang telah diubah, tetapi informasi spesifik ini masih ada), sehingga menjadi konfirmasi kenabian Muhammad bagi mereka yang jujur.
Menambah Iman Orang Mukmin: Melihat konfirmasi dari Ahlul Kitab dan kebenaran wahyu, keimanan kaum Muslimin semakin teguh.
Mengekspresikan Keraguan Kaum Munafik: Mereka yang hatinya berpenyakit (*alladziina fii quluubihim maradh*) akan bertanya dengan sinis, "Apa maksud Allah dengan bilangan ini?"
Allah menutup dengan menegaskan bahwa Dia menyesatkan atau memberi petunjuk sesuai kehendak-Nya, dan bahwa tentara-Nya (malaikat penjaga) tidak diketahui jumlah pastinya oleh siapa pun kecuali Dia. Saqar hanyalah peringatan bagi semua manusia.
Sumpah dan Penegasan (Ayat 32-47)
Allah bersumpah atas beberapa ciptaan-Nya untuk menegaskan kengerian Saqar dan kebenaran ancaman yang telah disampaikan.
Sekali-kali tidak! Demi bulan (32) dan malam ketika telah berlalu (33) dan subuh apabila mulai terang (34) Sesungguhnya (Saqar) itu adalah salah satu (bencana) yang paling besar (35) sebagai peringatan bagi manusia (36) (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang ingin maju (berbuat kebaikan) atau mundur (berbuat kejahatan). (37)
Tafsir Mendalam: Sumpah Kosmik dan Keadilan Pilihan. Allah bersumpah dengan fenomena yang teratur dan agung: Bulan, malam yang berlalu, dan pagi yang menyingsing. Sumpah ini menguatkan pernyataan berikutnya: "Innahaa la ihdal kubar" (Sesungguhnya ia adalah salah satu bencana yang paling besar). Saqar, yang baru saja dijelaskan, adalah bukti keagungan Allah dan kepastian janji-Nya. Ayat 37 menekankan konsep kebebasan memilih (*free will*): peringatan ini disampaikan kepada manusia, siapa pun yang ingin maju (memeluk Islam dan beramal saleh) atau mundur (tetap dalam kekafiran). Tanggung jawab atas pilihan sepenuhnya berada di tangan manusia.
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya (38) kecuali golongan kanan (39) berada di dalam surga, mereka saling bertanya (40) tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa (41) "Apakah yang menyebabkan kamu masuk ke dalam Saqar (neraka)? (42)
Tafsir Mendalam: Pertanggungjawaban dan Dialog di Surga. Ayat 38 menyatakan prinsip dasar Islam: "Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah" (Setiap jiwa terikat oleh apa yang telah dikerjakannya). Setiap individu adalah sandera (gadai) bagi amalnya sendiri. Pengecualian adalah "Ashab al-Yamin" (Golongan Kanan), yaitu para penghuni Surga yang tebusan mereka telah dibayar melalui rahmat Allah dan amal mereka. Ayat 40–42 menggambarkan pemandangan kontras: para penghuni Surga menikmati kenikmatan dan, dalam kegembiraan mereka, mereka bertanya kepada para penghuni Neraka (Al-Mujrimiin) mengenai penyebab siksaan mereka. Pertanyaan ini, "Maa salakakum fii Saqar?" (Apa yang memasukkanmu ke dalam Saqar?), adalah klimaks naratif yang memaksa orang-orang berdosa mengakui kegagalan mereka di dunia.
Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat (43) dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin (44) bahkan kami tenggelam dalam pembicaraan batil, bersama orang-orang yang tenggelam (45) dan kami mendustakan hari pembalasan (46) sampai datang kepada kami kematian (47)
Tafsir Mendalam: Empat Dosa Utama Penghuni Neraka. Ini adalah pengakuan jujur dari penghuni Neraka Saqar, merangkum empat pilar kegagalan mereka di dunia:
Lam naku minal mushallin (Tidak shalat): Kegagalan dalam hak Allah (ibadah). Shalat adalah tiang agama dan pembeda utama antara mukmin dan kafir. Mengabaikan shalat berarti mengabaikan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Wa lam naku nut'imul miskiin (Tidak memberi makan orang miskin): Kegagalan dalam hak sesama manusia (kemanusiaan). Ini menunjukkan keegoisan dan ketiadaan empati sosial, yang merupakan kebalikan dari perintah membersihkan diri dan berbuat baik tanpa mengharap balasan (Ayat 4 dan 6).
Wa kunnaa nakhuudhu ma'al khaa'idhiin (Tenggelam dalam pembicaraan batil): Ini mencakup penyebaran fitnah, mengolok-olok kebenaran, dan berdebat kosong, yang persis dilakukan oleh Walid bin al-Mughirah (Ayat 24). Ini adalah kegagalan menjaga lisan dan waktu.
Wa kunnaa nukadzdzibu bi Yaumid Diin (Mendustakan Hari Pembalasan): Ini adalah akar dari semua dosa di atas. Ketidakpercayaan pada Akkhirat membuat mereka berani meninggalkan shalat dan bersikap egois. Keingkaran ini terus berlanjut "hattaa ataanal yaqiin" (sampai datang kematian), barulah mereka menyadari kebenaran, namun sudah terlambat.
Pengakuan ini menegaskan bahwa keselamatan memerlukan keseimbangan antara ibadah pribadi (shalat) dan tanggung jawab sosial (memberi makan).
Ilustrasi api Saqar, simbol azab abadi bagi orang-orang yang menolak kebenaran.
Penutup Surah (Ayat 48-56)
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ (48)
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat. (48)
Tafsir Mendalam: Ketiadaan Syafaat. Setelah pengakuan, Allah menegaskan bahwa bagi mereka yang mendustakan Hari Pembalasan dan meninggalkan empat pilar amal di dunia, tidak ada syafaat (pertolongan) yang akan bermanfaat. Ini mengeliminasi kepercayaan kaum musyrikin Mekkah yang percaya bahwa berhala atau nenek moyang mereka dapat memberi pertolongan. Ayat ini menunjukkan bahwa syafaat pada Hari Kiamat hanya berlaku bagi mereka yang telah memenuhi syarat keimanan dasar.
Mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Al-Qur'an)? (49) Seakan-akan mereka adalah keledai liar yang terkejut (50) lari dari singa (51)
Tafsir Mendalam: Perumpamaan Keledai Liar. Allah menggunakan perumpamaan yang sangat keras untuk menggambarkan keengganan orang kafir menerima peringatan Al-Qur'an. Keledai liar (*humurun mustanfirah*) dikenal sebagai hewan yang bodoh, keras kepala, dan mudah terkejut, berlarian tanpa arah saat dikejar pemangsa (*qaswarah*, singa). Perumpamaan ini menyiratkan bahwa mereka menolak kebenaran bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena kebodohan dan ketakutan irasional terhadap perubahan status quo yang ditawarkan Islam. Peringatan (Al-Qur'an) diibaratkan sebagai singa yang mengancam kenyamanan mereka.
Bahkan setiap orang dari mereka ingin agar diberikan kepadanya lembaran-lembaran (wahyu) yang terbuka (52) Sekali-kali tidak! Bahkan mereka tidak takut kepada akhirat. (53)
Tafsir Mendalam: Tuntutan Kesombongan. Ayat ini mengungkap tuntutan aneh para pembangkang: mereka ingin agar wahyu diturunkan langsung kepada mereka dalam bentuk lembaran terbuka yang dapat mereka baca, seolah-olah Nabi Muhammad ﷺ tidak pantas menerima wahyu. Ini adalah puncak kesombongan mereka. Allah menolak tuntutan itu (*Kallaa*) dan menjelaskan akar masalahnya: bukan karena mereka kurang bukti, tetapi karena "ballaa yakhaa fuunal aakhirah" (bahkan mereka tidak takut kepada akhirat). Jika rasa takut akan pertanggungjawaban di Akhirat ada, mereka pasti akan menerima wahyu yang sudah jelas.
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu benar-benar suatu peringatan (54) Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran darinya (55) Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali (jika) dikehendaki Allah. Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan yang berhak memberikan ampunan. (56)
Tafsir Mendalam: Penegasan dan Kekuasaan Ilahi. Surah ini ditutup dengan penegasan kembali peran Al-Qur'an sebagai peringatan (*tadzkiirah*) yang jelas. Meskipun ada kebebasan memilih manusia (*faman shaa'a dzakarah*), pilihan itu tetap berada di bawah kehendak universal Allah (*illlaa an yashaa'a Allah*). Ayat ini menyelaraskan kehendak manusia dengan kekuasaan Allah. Manusia memilih kebaikan, tetapi kemampuan untuk melakukannya berasal dari taufik Allah. Penutup ini juga menetapkan dua atribut utama Allah: Dia adalah "Ahlu at-Taqwaa" (Yang pantas ditakuti/ditaati) dan "Ahlu al-Maghfirah" (Yang berhak memberi ampunan). Ini memberikan keseimbangan: ketakutan akan azab-Nya (Saqar) mendorong ketaatan, sementara harapan akan ampunan-Nya memotivasi tobat dan perbaikan diri.
Implikasi dan Relevansi Modern Surah Al-Muddassir
Surah Al-Muddassir bukan hanya catatan sejarah tentang awal dakwah, tetapi merupakan panduan abadi tentang metodologi dakwah dan urgensi spiritual. Kedalaman makna dalam setiap ayatnya memberikan pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan kontemporer umat Islam.
1. Dari Kenyamanan Menuju Kewajiban
Perintah "Qum fa anzir" (Bangunlah, lalu berilah peringatan) adalah seruan terhadap umat Islam agar tidak berdiam diri dalam zona nyaman. Jika Rasulullah ﷺ yang baru menerima wahyu pertama dan sedang diliputi kekhawatiran diperintahkan untuk segera bangkit, apalagi umatnya yang telah lama mendapatkan petunjuk. Ini menuntut aktivisme sosial dan dakwah, menolak pemahaman bahwa Islam hanya soal ritual pribadi. Dakwah adalah tanggung jawab kolektif.
2. Prinsip Kesucian Total (Tathir)
Perintah "Wa tsiyaabaka fathahhir" (dan pakaianmu bersihkanlah) menegaskan bahwa integritas seorang dai haruslah menyeluruh. Jika pakaian (*tsiyab*) diartikan sebagai moral dan amal, maka seorang Muslim yang menyeru kepada kebaikan harus memastikan bahwa akhlaknya, sumber hartanya, dan tindakannya bersih dari segala kotoran. Kebersihan spiritual adalah prasyarat keberhasilan dakwah.
3. Bahaya Kesombongan dan Kepentingan Pribadi
Kisah Walid bin al-Mughirah adalah peringatan keras bahwa kecerdasan, kekayaan, dan kekuasaan tidak akan menyelamatkan seseorang jika kebenaran telah sampai padanya, tetapi ia menolaknya karena kesombongan. Walid menolak karena ia takut kehilangan status sosial dan kekuasaan, bukan karena ia tidak yakin. Ini relevan bagi setiap individu yang menolak kebenaran karena terikat pada kepentingan duniawi atau status profesional.
4. Keseimbangan Hak Vertikal dan Horizontal
Pengakuan penghuni Saqar (Ayat 43-46) memberikan formula konkret mengenai kegagalan moral: (1) Meninggalkan Shalat (Hak Allah) dan (2) Tidak Memberi Makan Orang Miskin (Hak Manusia). Ayat ini mengajarkan bahwa Islam menuntut keseimbangan antara hubungan vertikal (ibadah) dan hubungan horizontal (amal sosial). Seseorang yang taat dalam shalat tetapi mengabaikan kemiskinan dan ketidakadilan sosial, atau sebaliknya, berada dalam bahaya besar.
5. Nilai Waktu dan Lisan
Dosa ketiga yang diakui penghuni Saqar, "Wa kunnaa nakhuudhu ma'al khaa'idhiin" (Tenggelam dalam pembicaraan batil), sangat relevan di era informasi saat ini. Terlibat dalam ghibah, menyebarkan berita bohong (hoaks), atau menghabiskan waktu dengan sia-sia di majelis atau media sosial, dianggap sebagai dosa yang mampu menjerumuskan seseorang ke dalam Neraka. Ayat ini menyeru pada pengendalian lisan dan pemanfaatan waktu untuk hal yang bermanfaat.
Penutup
Surah Al-Muddassir merupakan salah satu surah paling esensial dalam Al-Qur'an. Ia memuat landasan fundamental risalah kenabian: bangkit, peringatkan, sucikan diri, dan bersabarlah karena Allah. Dari perintah agung ini, lahirlah sebuah peradaban. Peringatan tentang Saqar, sumpah atas keteraturan kosmik, dan dialog antara penghuni Surga dan Neraka, semuanya berfungsi sebagai pengingat yang kuat, bahwa keberuntungan dan kesengsaraan abadi ditentukan oleh bagaimana kita merespons panggilan untuk bertakwa di dunia ini.
Sebagai *tadzkiirah* (peringatan), Surah ini mengundang setiap pembacanya untuk memeriksa kembali dirinya: Apakah kita masih nyaman berselimut dalam kemalasan atau kesibukan duniawi? Atau, apakah kita telah bangkit untuk menunaikan amanah risalah, membersihkan jiwa kita, dan menjaga diri dari kesombongan, sebagaimana yang dituntut oleh Allah ﷻ.