Al-Maidah Ayat 48: Pilar Keimanan dan Keragaman Syariat

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan) dan menjadi *Muhaimin* (pengawas, pemelihara, penentu) atasnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan *syir’atan* (aturan) dan *minhajan* (jalan yang terang). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan. (QS. Al-Maidah: 48)

Makna Inti Ayat: Qur'an sebagai Muhaimin

Surah Al-Maidah ayat 48 merupakan salah satu ayat terpenting yang menjelaskan posisi fundamental Al-Qur'an dalam rangkaian wahyu Ilahi dan menegaskan prinsip keadilan, serta memperkenalkan konsep keragaman syariat sebagai ujian (ibtilâ') bagi umat manusia. Ayat ini diturunkan pada periode Madaniyah, ketika komunitas Muslim mulai berinteraksi secara intensif dengan komunitas Yahudi dan Nasrani, sehingga penetapan otoritas hukum dan sumber kebenaran menjadi sangat vital.

Kata kunci yang mendominasi ayat ini, dan yang memerlukan pendalaman mendalam, adalah Muhaimin. Secara etimologi, Muhaimin memiliki beberapa makna yang saling melengkapi: pengawas, penjaga, penentu, pelindung, dan otoritas tertinggi. Ketika Al-Qur'an digambarkan sebagai Muhaiminan ‘alaihi (pengawas atas kitab-kitab sebelumnya), ini berarti bahwa Al-Qur'an tidak hanya membenarkan keberadaan Taurat dan Injil (mushaddiqan limâ baina yadaihi) dalam bentuk aslinya, tetapi juga berfungsi sebagai standar, penentu keabsahan, dan rujukan akhir. Jika ada perselisihan atau penyimpangan dalam kitab-kitab terdahulu, Al-Qur'an yang lurus dan tidak tercemar menjadi hakimnya.

Konsep Muhaimin menempatkan Al-Qur'an pada posisi tertinggi. Ia adalah penjaga kebenaran wahyu yang universal, sekaligus penentu mana dari ajaran terdahulu yang masih relevan dan mana yang telah disempurnakan atau dinasakh (dihapus/diganti) oleh syariat terakhir. Kedudukan ini meniscayakan ketaatan mutlak terhadap hukum yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad ﷺ, menolak rayuan hawa nafsu atau tradisi lain yang bertentangan dengan ajaran Ilahi.

Simbol Muhaimin dan Keadilan القُرآن

Representasi Visual Al-Qur'an sebagai Muhaimin (Hakim dan Penentu Kebenaran)

Prinsip Keragaman Syariat: Syir’atan wa Minhajan

Bagian kedua ayat 48 memberikan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika sejarah kenabian dan hukum-hukumnya. Allah berfirman, “Liku lli ja’alnā minkum syir’atan wa minhājan” (Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan syir’atan dan minhajan). Dua istilah ini sering kali dianggap sinonim, namun para ulama tafsir membedakannya untuk menunjukkan nuansa yang kaya dalam hukum Ilahi.

Syir’ah (Syariat): Merujuk pada hukum-hukum praktis yang mengatur kehidupan sosial dan ritual. Ini mencakup aturan halal dan haram, tata cara ibadah (seperti shalat, puasa), dan sanksi hukum (hudud). Syariat merupakan tubuh hukum yang sifatnya bisa berubah atau disesuaikan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan umat dan kebutuhan spesifik mereka. Contohnya adalah perbedaan dalam tata cara qurban antara syariat Musa dan syariat Muhammad ﷺ, atau perbedaan larangan kerja pada hari Sabat (bagi Yahudi) dibandingkan dengan perintah shalat Jumat (bagi Muslim).

Minhaj (Jalan Terang/Metodologi): Merujuk pada jalan yang jelas dan terbuka, metode, atau cara yang ditetapkan oleh Allah untuk mencapai tujuan yang sama—yaitu ketaatan kepada-Nya. Minhaj ini mencakup prinsip-prinsip moral, etika, dan dasar-dasar akidah (tauhid, kenabian, hari akhir). Bagian ini bersifat universal dan tidak berubah di setiap zaman. Semua nabi, dari Nuh hingga Muhammad ﷺ, membawa minhaj yang sama dalam hal akidah dan moralitas inti.

Ayat ini mengajarkan bahwa keragaman dalam syariat (aturan praktis) adalah kehendak Ilahi, bukan kegagalan dalam wahyu. Allah berfirman, “Walau syā’allāhu laja’alakum ummatan wāhidah” (Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja). Namun, Dia tidak melakukannya. Mengapa? Karena adanya perbedaan syariat adalah bagian integral dari rencana ujian (ibtilâ') Allah.

Hikmah di Balik Keragaman

Hikmah dari keragaman syariat sangatlah luas, mencakup dimensi sosiologis, psikologis, dan teologis. Perbedaan hukum yang diturunkan kepada umat-umat terdahulu disesuaikan dengan tingkat kematangan spiritual, kondisi geografis, dan tantangan sosial yang mereka hadapi. Umat yang baru mengenal tauhid mungkin memerlukan aturan yang sangat ketat untuk mendisiplinkan mereka (seperti yang diturunkan kepada Bani Israil), sementara umat terakhir menerima syariat yang lebih fleksibel, komprehensif, dan cocok untuk seluruh ruang dan waktu hingga hari kiamat.

Al-Qur'an sebagai Muhaimin, meskipun mengakui keberadaan syir'ah dan minhaj yang berbeda di masa lalu, menetapkan Syariat Islam sebagai syariat penutup yang paling sempurna dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Keragaman di masa lalu berfungsi sebagai jembatan yang menunjukkan evolusi dan penyempurnaan hukum menuju kesempurnaan dalam Islam.

Falsafah keragaman syariat ini mengajarkan umat Muslim untuk memahami bahwa esensi agama adalah satu—penyerahan diri kepada Allah (Islam)—sementara metode praktis untuk mencapai penyerahan tersebut dapat berbeda-beda, hingga tibalah syariat akhir yang universal.

Ujian Ilahi: Liya Bluwa Kum dan Fastabiqul Khairat

Puncak dari ayat Al-Maidah 48 adalah pengungkapan tujuan dari keragaman ini: “Walakin liyabluwakum fī mā ātākum” (tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu). Keberadaan berbagai syariat, dan penetapan Al-Qur'an sebagai hakim atas semuanya, adalah arena ujian bagi umat manusia. Ujian ini memiliki dua dimensi utama.

1. Ujian Kepatuhan dan Penundukan Diri

Ujian pertama adalah menguji sejauh mana setiap umat akan patuh kepada syariat yang diturunkan kepada mereka, dan bagi umat Muhammad ﷺ, sejauh mana mereka akan tunduk kepada hukum Al-Qur'an sebagai Muhaimin, meskipun mereka memiliki kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu atau tradisi leluhur (walā tattabi’ ahwā’ahum). Allah menguji apakah manusia akan menerima aturan yang diturunkan dari Langit, bahkan ketika aturan tersebut tampaknya memberatkan atau bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok.

Bagi pengikut kitab-kitab sebelumnya, ujiannya adalah mengakui kenabian Muhammad ﷺ dan beralih kepada syariat yang lebih sempurna, Al-Qur'an, yang menjadi standar tertinggi. Bagi umat Muhammad ﷺ, ujiannya adalah konsistensi dalam menegakkan keadilan dan hukum Ilahi dalam setiap aspek kehidupan, mengakui bahwa syariat Islam adalah karunia terbesar yang harus dipertahankan dan diaplikasikan.

2. Perintah Berkompetisi dalam Kebaikan (Fastabiqul Khairat)

Setelah menjelaskan keragaman hukum sebagai ujian, ayat ini memberikan solusi dan arahan praktis: “Fastabiqul khairāt” (Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan). Ini adalah perintah yang monumental. Jika Allah menciptakan perbedaan dalam hukum ritual dan prosedur (syir’ah), perbedaan ini tidak boleh menjadi alasan untuk permusuhan, stagnasi, atau perdebatan yang tidak berkesudahan. Sebaliknya, energi harus dialihkan sepenuhnya untuk berkompetisi dalam amal saleh dan kebaikan universal.

Konsep Fastabiqul Khairat mengajarkan bahwa meskipun kita mungkin berbeda dalam praktik atau pemahaman sekunder (furu'), fokus utama haruslah pada tujuan bersama: mencari keridaan Allah melalui perbuatan baik. Berlomba-lomba dalam kebaikan berarti melampaui batas-batas perbedaan syariat masa lalu dan menunjukkan siapa yang paling baik amalannya di bawah naungan syariat terakhir, yaitu Al-Qur'an.

Simbol Keragaman Jalan Menuju Satu Sumber ALLAH Syariat Masa Lalu Syariat Lain Syariat Islam (Muhaimin)

Visualisasi Syir’atan wa Minhajan: Berbagai Jalan Menuju Tujuan Akhir yang Sama

Perintah fastabiqul khairat adalah penangkal terhadap kefanatikan buta (ashabiyyah) dan legalisme sempit. Ia menggeser fokus dari debat mengenai perbedaan historis syariat menjadi tindakan nyata yang mendatangkan manfaat bagi individu dan masyarakat. Ayat ini memastikan bahwa energi umat beriman selalu diarahkan pada hal yang paling konstruktif: kebaikan murni.

Pendalaman Konsep Muhaimin: Otoritas Absolut Al-Qur'an

Untuk benar-benar memahami peran Al-Qur'an sebagai Muhaimin, kita perlu mengkaji kedalaman makna istilah ini dalam tradisi tafsir. Al-Qur'an tidak sekadar membenarkan kitab-kitab sebelumnya; ia adalah manifestasi sempurna dari kebenaran yang dibawa oleh semua nabi. Taurat (kepada Musa) dan Injil (kepada Isa) adalah cahaya bagi umat mereka pada masanya, namun Al-Qur'an adalah cahaya yang abadi, yang memandu seluruh alam semesta.

Para mufasir, seperti Imam Ar-Razi, menjelaskan bahwa posisi Al-Qur'an sebagai Muhaimin mencakup empat aspek penting:

  1. Al-Hāfiz (Penjaga): Al-Qur'an menjaga prinsip-prinsip tauhid dan moralitas yang terkandung dalam kitab-kitab terdahulu. Ia memastikan bahwa esensi ajaran para nabi tetap lestari, meskipun terjadi distorsi pada teks-teks sebelumnya yang berada di tangan manusia.
  2. As-Syāhid (Saksi): Al-Qur'an bersaksi atas kebenaran kitab-kitab sebelum ia mengalami perubahan. Ia menjadi saksi yang adil, memisahkan antara wahyu Ilahi yang murni dengan interpretasi atau penambahan manusia.
  3. Al-Hākim (Penghukum/Arbiter): Ketika terjadi perselisihan atau ketidakjelasan dalam hukum-hukum lama, Al-Qur'an memiliki otoritas untuk memutuskan perkara. Ia adalah standar keadilan yang tidak bisa dibantah.
  4. An-Nāsikh (Penyempurna/Pengganti): Al-Qur'an menyempurnakan syariat-syariat parsial sebelumnya. Syariat Islam mencakup dan mengganti ketentuan hukum yang hanya berlaku untuk periode waktu atau lokasi tertentu, menjadikannya syariat yang universal dan final.

Implikasi dari Al-Qur'an sebagai Muhaimin sangat besar dalam konteks penetapan hukum. Ayat ini secara tegas memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ dan, setelahnya, umat Muslim: “Fahkum bainahum bimā anzalallāh” (Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah). Perintah ini mengikat, menunjukkan bahwa dalam konteks hukum, tidak ada kompromi terhadap syariat yang diturunkan, terlepas dari tekanan sosial atau kepentingan politik.

Menghindari Ahwā’ (Hawa Nafsu)

Perintah untuk menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah diiringi dengan larangan keras: “Walā tattabi’ ahwā’ahum ‘ammā jā’aka minal-ḥaqq” (dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu). Ayat ini tidak hanya menargetkan nafsu pribadi pemimpin atau hakim, tetapi juga menargetkan tuntutan atau keinginan kelompok lain (ahwā’ahum) yang bertentangan dengan wahyu. Ini adalah peringatan abadi terhadap relativisme hukum dan kompromi doktrinal.

Dalam sejarah umat manusia, godaan terbesar bagi pemimpin agama dan politik adalah mengikuti hawa nafsu, yaitu mengutamakan kesenangan duniawi, popularitas, atau keuntungan sesaat daripada kebenaran absolut yang diturunkan oleh Allah. Al-Maidah 48 secara jelas memposisikan Wahyu (Al-Haqq) berlawanan dengan Hawa Nafsu (Al-Ahwā’), menetapkan keduanya sebagai pilihan moral yang fundamental. Ketaatan kepada Muhaimin berarti penolakan total terhadap Al-Ahwā’.

Dimensi Filosofis Keragaman: Mencari Keseimbangan

Ayat 48 Surah Al-Maidah seringkali digunakan sebagai dasar teologis untuk membahas isu toleransi dan pluralisme dalam Islam. Namun, pemahaman yang benar harus menempatkan keragaman (syir’atan wa minhajan) dalam kerangka yang ditetapkan oleh ayat itu sendiri: kerangka Muhaimin dan Liyabluwakum.

Keragaman yang diakui oleh ayat ini adalah keragaman hukum di masa lalu yang merupakan bagian dari rencana Ilahi untuk menguji umat. Ini bukan pengakuan terhadap pluralisme mutlak di mana semua jalan dianggap setara di hadapan Allah saat ini. Sebab, Al-Qur'an telah datang sebagai penyempurna dan penentu akhir.

Penting untuk dipahami bahwa, meskipun syariat (hukum praktis) berbeda, tauhid (pokok akidah) selalu sama. Prinsip dasar moralitas, seperti keadilan, kejujuran, dan penyembahan hanya kepada Allah, adalah minhaj yang universal. Perbedaan muncul dalam bagaimana prinsip-prinsip ini diterjemahkan menjadi undang-undang ritual dan sosial yang spesifik, yang disesuaikan dengan kondisi mental dan fisik suatu umat.

Mengapa Allah Menguji Melalui Keragaman?

Para ulama tafsir kontemporer, dalam menganalisis liyabluwakum, sering menekankan bahwa ujian ini adalah untuk mengembangkan potensi terbaik manusia. Keragaman syariat membuat manusia harus berpikir, memilih, dan berjuang. Jika semua hukum sama dan identik sejak awal waktu, tidak akan ada tantangan untuk beralih dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna. Ujian ini mengukur:

  1. Kemauan untuk Beradaptasi: Kesediaan untuk menerima syariat baru yang dibawa oleh nabi berikutnya.
  2. Motivasi Internal: Bukti nyata bahwa ketaatan dilakukan bukan karena keterpaksaan tradisi, melainkan karena keyakinan terhadap sumber wahyu.
  3. Dedikasi Kebaikan: Kesempatan untuk membuktikan diri dalam 'perlombaan kebaikan' (fastabiqul khairat) melebihi apa yang dituntut oleh syariat lain.

Oleh karena itu, keragaman adalah katalisator bagi perkembangan moral dan spiritual umat manusia. Keragaman syariat pada akhirnya berfungsi untuk menonjolkan keunggulan dan kesempurnaan syariat terakhir, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Alamin).

Meraih Kemuliaan Melalui Fastabiqul Khairat

Inti dari kehidupan beragama, menurut ayat ini, bukanlah memenangkan perdebatan doktrinal mengenai perbedaan hukum masa lalu, tetapi memenangkan perlombaan amal saleh. Perintah ini mengajak umat Islam untuk menjadi garda terdepan dalam setiap aspek kebaikan, baik dalam dimensi spiritual (seperti kualitas ibadah) maupun dimensi sosial (seperti sedekah, keadilan, dan pelayanan publik).

Fastabiqul khairat adalah cara untuk menyalurkan energi yang mungkin terbuang dalam konflik perbedaan menjadi tindakan yang membangun. Jika umat Islam menempatkan fokus utama mereka pada persaingan dalam kebaikan, maka mereka akan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Hal ini secara otomatis akan memverifikasi otoritas Al-Qur'an sebagai Muhaimin—karena buah dari syariat yang benar adalah masyarakat yang adil dan berakhlak mulia.

Pertanggungjawaban Akhir dan Kesatuan Tujuan

Ayat 48 ditutup dengan pengingat yang serius dan mengharukan tentang pertanggungjawaban di hari akhir: “Ilallāhi marji’ukum jamī’an fayunabbi’ukum bimā kuntum fīhi takhtalifūn” (Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan). Ini adalah penutup yang menenangkan namun tegas, yang menegaskan kembali otoritas Ilahi sebagai hakim pamungkas.

Jika di dunia ini Allah memberikan keragaman syariat dan umat, serta menguji mereka, pada akhirnya, semua akan dikumpulkan di hadapan-Nya. Perselisihan mengenai hukum, ritual, dan jalan yang benar (syir’ah dan minhaj) akan diungkapkan dan diputuskan oleh Yang Maha Mengetahui. Ini memberikan motivasi tambahan bagi umat beriman untuk bersabar dalam menghadapi perbedaan dan fokus pada kebaikan, karena kepastian hukum dan kebenaran mutlak hanya akan terwujud sepenuhnya pada Hari Kiamat.

Pernyataan penutup ini secara implisit memperkuat peran Muhaimin yang telah diletakkan pada Al-Qur'an di awal ayat. Meskipun Al-Qur'an adalah hakim tertinggi di dunia ini, otoritas tertinggi dan keputusan akhir mengenai semua perselisihan dan interpretasi hukum yang berlarut-larut ada pada Allah SWT sendiri.

Ayat Al-Maidah 48 adalah piagam agung yang mendefinisikan hubungan Al-Qur'an dengan wahyu-wahyu terdahulu, menetapkan aturan dasar bagi penetapan hukum di bumi, menjelaskan filosofi keragaman syariat, dan memberikan arah tindakan yang paling mulia bagi umat manusia: berkompetisi dalam kebaikan. Ia adalah fondasi teologis yang mengajarkan bahwa perbedaan hukum adalah ujian, dan kesatuan tujuan (mencapai keridaan Allah) adalah perintah universal yang harus diwujudkan melalui amal saleh.

Tafsir yang mendalam terhadap ayat ini mengajarkan kita bahwa Islam adalah agama yang berdiri di atas kebenaran absolut (Al-Haqq), memegang otoritas universal (Muhaimin), mengakui dinamika sejarah dan konteks (Syir'ah dan Minhaj), dan menuntut aktivisme moral yang tidak pernah berhenti (Fastabiqul Khairat). Ini adalah panggilan untuk selalu menempatkan hukum Allah di atas hawa nafsu dan tradisi, menyadari bahwa setiap umat telah diberi karunia untuk diuji, dan pada akhirnya, semua akan kembali kepada Sang Pengadil Sejati untuk menerima keputusan akhir.

Setiap detail dalam ayat ini, mulai dari pengakuan atas kitab-kitab sebelum Islam hingga perintah untuk tidak mengikuti hawa nafsu, menunjukkan sebuah tata kelola Ilahi yang sangat terstruktur, di mana setiap unsur, termasuk perbedaan, memiliki peran penting dalam menguji dan menyempurnakan keimanan manusia. Dengan memahami ini, umat Muslim dapat menjalankan perannya di dunia sebagai umat yang moderat (ummatan wasathan), yang memegang teguh kebenaran wahyu yang final sambil menghargai prinsip dasar kebaikan yang diajarkan kepada semua umat manusia.

Keputusan untuk menerima Al-Qur'an sebagai Muhaimin bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi adalah komitmen total untuk menjadikan syariatnya sebagai penentu dalam urusan pribadi, sosial, dan kenegaraan. Ini adalah pengejawantahan dari keimanan yang sejati, yang diuji melalui sejauh mana umat mampu mengesampingkan perbedaan minor dan bersatu dalam perlombaan mencapai kebaikan universal.

Keagungan ayat ini terletak pada kemampuannya menyatukan konsep ketetapan (hukum Allah yang tidak boleh diganggu gugat) dengan konsep dinamika (pengakuan atas syariat yang berubah seiring waktu) dan konsep motivasi spiritual (perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan). Ini adalah blueprint bagi umat yang ingin mencapai keseimbangan sempurna antara ketaatan kepada syariat dan aktivisme moral yang produktif.

Sesungguhnya, ketika kita melihat kepada sejarah umat-umat terdahulu yang diceritakan dalam Al-Qur'an, kita menyadari bahwa kegagalan terbesar mereka sering kali berakar pada dua hal yang dilarang dalam ayat 48: pertama, mereka mengubah hukum Ilahi (Syariat) atau menolaknya; dan kedua, mereka mengikuti hawa nafsu (Ahwā’) mereka sendiri atau pemimpin mereka, daripada mematuhi kebenaran yang diturunkan. Al-Maidah 48 berfungsi sebagai peringatan keras agar umat terakhir tidak mengulangi kesalahan fatal tersebut, melainkan mengambil pelajaran dari ujian yang telah diberikan kepada umat-umat sebelum mereka.

Oleh karena itu, penekanan pada Muhaimin adalah penekanan pada kesempurnaan. Al-Qur'an adalah penjamin bahwa ajaran pokok para nabi tetap terjaga. Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah puncak dari evolusi hukum Ilahi. Kehidupan seorang Muslim harus senantiasa diwarnai oleh semangat persaingan dalam kebaikan, sebagai bukti nyata bahwa mereka telah menerima karunia terbesar: petunjuk yang sempurna dan abadi.

Jika setiap Muslim merenungkan makna mendalam dari li yablūwakum fī mā ātākum (Dia hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu), mereka akan menyadari bahwa karunia terbesar itu adalah syariat yang jelas dan otoritas yang mutlak dari Al-Qur'an. Maka, cara terbaik untuk lulus dari ujian ini adalah dengan secara konsisten menerapkan Fastabiqul Khairat, memanfaatkan setiap momen dan kesempatan untuk berbuat lebih baik, lebih adil, dan lebih taat dibandingkan siapapun di sekitar mereka, sebagai persiapan untuk hari di mana segala perselisihan akan diungkapkan dan kebenaran akan berdiri tegak tanpa tabir.

🏠 Kembali ke Homepage