Gema Syahdu di Pagi Buta: Mengupas Tuntas Bacaan Tarhim Subuh

Di keheningan sepertiga malam terakhir, saat dunia masih terbuai dalam lelap, seringkali terdengar alunan suara merdu yang memecah sunyi dari menara-menara masjid. Suara itu bukanlah azan, melainkan sebuah seruan syahdu yang dikenal sebagai Tarhim. Bagi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia dan beberapa negara lainnya, lantunan Tarhim Subuh adalah penanda spiritual yang tak terpisahkan dari rutinitas fajar. Ia adalah jembatan antara tidur dan kesadaran, antara istirahat duniawi dan panggilan ilahi. Gema suaranya membangkitkan nostalgia, menenangkan jiwa, dan yang terpenting, mempersiapkan hati untuk menyambut kewajiban agung: shalat Subuh.

Namun, lebih dari sekadar pengingat waktu, bacaan Tarhim menyimpan lapisan makna yang mendalam, sejarah yang menarik, dan kearifan yang tak lekang oleh waktu. Artikel ini akan membawa kita menyelami setiap aspek dari tradisi yang indah ini, mulai dari lafadznya yang penuh pujian, sejarah penyebarannya yang unik, hingga hikmah spiritual yang terkandung di dalamnya. Memahami Tarhim secara utuh berarti memahami salah satu denyut nadi kebudayaan Islam Nusantara yang kaya dan penuh warna.

Ilustrasi siluet masjid di waktu fajar dengan bulan sabit dan bintang, melambangkan suasana syahdu sebelum Subuh.

Teks Lengkap Bacaan Tarhim Subuh

Inti dari Tarhim adalah serangkaian kalimat pujian (shalawat) kepada Nabi Muhammad SAW dan doa yang ditujukan kepada Allah SWT. Meskipun ada variasi kecil di beberapa tempat, bacaan yang paling umum dan dikenal luas, terutama yang sering diputar di stasiun radio, adalah sebagai berikut. Teks ini disajikan dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk kemudahan pembacaan, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk pemahaman makna.

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

يَا إِمَامَ الْمُجَاهِدِيْنَ

يَا رَسُوْلَ الله

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

يَا نَاصِرَ الْهُدَى

يَا خَيْرَ خَلْقِ الله

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

يَا نَاصِرَ الْحَقِّ يَا رَسُوْلَ الله

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

يَا مَنْ أَسْرَى بِكَ الْمُهَيْمِنُ لَيْلًا

نِلْتَ مَا نِلْتَ وَالْأَنَامُ نِيَامُ

وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى

كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَأَنْتَ الْإِمَامُ

وَعَلَى الْعَرْشِ قِيْلَ مَنْ هَذَا فَقِيْلَ

هَذَا حَبِيْبُ الْإِلَهِ خَيْرُ الْأَنَامِ

هَذَا سَيِّدُ الْعَالَمِيْنَ

هَذَا سَيِّدُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ

فَعَلَيْكَ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ

يَا رَسُوْلَ اللهِ

يَا حَبِيْبَ اللهِ

أَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

قُوْمُوْا إِلَى الصَّلَاةِ

يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Ash-shalātu was-salāmu ‘alāik
Yā imāmal mujāhidīn, Yā Rasūlallāh
Ash-shalātu was-salāmu ‘alāik
Yā nāshiral hudā, Yā khaira khalqillāh
Ash-shalātu was-salāmu ‘alāik
Yā nāshiral haqqi, Yā Rasūlallāh
Ash-shalātu was-salāmu ‘alāik
Yā man asrā bikal muhaiminu lailan
Nilta mā nilta wal anāmu niyāmu
Wa taqaddamta lish-shalāti fa shallā
Kullu man fis-samāi wa antal imāmu
Wa ‘alal ‘arsyi qīla man hādzā fa qīla
Hādzā habībul ilāhi khairul anāmi
Hādzā sayyidul ‘ālamīna
Hādzā sayyidul awwalīna wal ākhirīna
Fa ‘alaikash-shalātu was-salāmu
Yā Rasūlallāh
Yā Habīballāh
Ash-shalātu khairum minan-naūm
Qūmū ilash-shalāh
Yā Arhamar Rāhimīn

Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu
Wahai pemimpin para pejuang, wahai utusan Allah
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu
Wahai pembawa petunjuk, wahai makhluk Allah yang terbaik
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu
Wahai pembela kebenaran, wahai utusan Allah
Rahmat dan keselamatan semoga tercurah atasmu
Wahai engkau yang diperjalankan oleh Yang Maha Melindungi di waktu malam
Engkau memperoleh apa yang kau peroleh (kemuliaan) saat semua manusia tidur
Dan engkau maju untuk memimpin shalat, maka bershalatlah (di belakangmu)
Semua yang ada di langit, dan engkaulah imamnya
Dan di atas 'Arsy ditanyakan, "Siapakah ini?", maka dijawab
"Ini adalah kekasih Allah, sebaik-baik manusia"
"Ini adalah pemimpin seluruh alam"
"Ini adalah pemimpin orang-orang terdahulu dan yang terakhir"
Maka atasmu tercurah rahmat dan keselamatan
Wahai utusan Allah
Wahai kekasih Allah
Shalat itu lebih baik daripada tidur
Bangunlah untuk mengerjakan shalat
Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih

Mengurai Makna di Balik Setiap Bait Tarhim

Setiap kalimat dalam bacaan Tarhim bukanlah untaian kata biasa. Ia merupakan kristalisasi dari rasa cinta, pengagungan, dan kerinduan kepada sosok Nabi Muhammad SAW, serta pengakuan atas kebesaran Allah SWT. Mari kita bedah makna yang terkandung di dalamnya.

Pujian Agung kepada Sang Rasul

Bagian awal Tarhim didominasi oleh shalawat dan salam yang diulang-ulang. Kalimat "Ash-shalātu was-salāmu ‘alāik" adalah bentuk penghormatan tertinggi. "Shalat" dalam konteks ini berarti rahmat dan pujian dari Allah, sementara "salam" berarti keselamatan dan kesejahteraan. Kita memohon kepada Allah agar senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan-Nya kepada Rasulullah. Ini adalah implementasi langsung dari perintah Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 56: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya."

Selanjutnya, Tarhim menyematkan gelar-gelar mulia kepada Nabi Muhammad. "Yā imāmal mujāhidīn" (Wahai pemimpin para pejuang) mengakui peran beliau sebagai komandan tertinggi dalam menegakkan kalimat Allah, bukan hanya di medan perang fisik, tetapi juga dalam perjuangan spiritual melawan hawa nafsu dan kebatilan. Gelar "Yā nāshiral hudā" (Wahai pembawa petunjuk) dan "Yā nāshiral haqqi" (Wahai pembela kebenaran) menegaskan fungsi utama kenabiannya, yaitu membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari kejahilan menuju ilmu, dan dari kesesatan menuju kebenaran. Puncaknya adalah pengakuan "Yā khaira khalqillāh" (Wahai makhluk Allah yang terbaik), sebuah keyakinan dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling mulia yang pernah diciptakan Allah.

Kisah Isra' Mi'raj yang Agung

Bagian tengah Tarhim adalah sebuah narasi puitis yang merujuk pada peristiwa paling luar biasa dalam sejarah hidup Rasulullah, yaitu Isra' Mi'raj. Kalimat "Yā man asrā bikal muhaiminu lailan" (Wahai engkau yang diperjalankan oleh Yang Maha Melindungi di waktu malam) adalah pembuka yang indah untuk kisah perjalanan suci ini. Peristiwa ini terjadi saat manusia lain, "wal anāmu niyāmu" (saat semua manusia tidur), mengisyaratkan betapa eksklusif dan agungnya anugerah yang Allah berikan kepada Nabi-Nya. Di saat semua terlelap, beliau diangkat ke sidratul muntaha untuk menerima perintah shalat lima waktu.

Bait selanjutnya, "Wa taqaddamta lish-shalāti fa shallā, kullu man fis-samāi wa antal imāmu" (Dan engkau maju untuk memimpin shalat, maka bershalatlah semua yang ada di langit, dan engkaulah imamnya), menggambarkan puncak kepemimpinan beliau. Dalam peristiwa Mi'raj, Rasulullah SAW menjadi imam bagi para nabi dan rasul terdahulu, sebuah simbol bahwa risalah yang dibawanya adalah penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Bait ini memperluas makna kepemimpinan itu hingga mencakup seluruh makhluk di langit, sebuah pengagungan yang luar biasa.

Dialog imajiner di 'Arsy, "Wa ‘alal ‘arsyi qīla man hādzā" ("Siapakah ini?"), yang dijawab dengan serangkaian gelar seperti "Hādzā habībul ilāh" (Ini adalah kekasih Allah) dan "Hādzā sayyidul ‘ālamīn" (Ini adalah pemimpin seluruh alam), adalah puncak dari glorifikasi terhadap kedudukan Nabi Muhammad di sisi Allah. Ini menegaskan statusnya yang tak tertandingi oleh siapapun, baik dari kalangan manusia, jin, maupun malaikat.

Panggilan untuk Menunaikan Kewajiban

Setelah membangkitkan semangat spiritual melalui pujian kepada Nabi, Tarhim beralih ke tujuan utamanya: membangunkan umat untuk shalat. Kalimat "Ash-shalātu khairum minan-naūm" (Shalat itu lebih baik daripada tidur) diambil langsung dari lafadz azan Subuh. Ini adalah pengingat yang tegas namun lembut bahwa kenikmatan ruhani dalam sujud jauh lebih berharga daripada kenikmatan jasmani dalam tidur. Di saat jiwa sedang lembut dan terkondisikan oleh alunan shalawat, seruan ini terasa lebih meresap dan persuasif.

Diakhiri dengan perintah "Qūmū ilash-shalāh" (Bangunlah untuk mengerjakan shalat) dan ditutup dengan seruan kepada Allah, "Yā Arhamar Rāhimīn" (Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih), Tarhim secara sempurna merangkum perjalanannya. Dari memuji makhluk terbaik, ia kembali kepada Sang Pencipta, memohon rahmat-Nya untuk memberikan kekuatan kepada hamba-hamba-Nya yang lemah agar mampu bangkit dari tempat tidur dan memenuhi panggilan suci-Nya.

Sejarah dan Penyebaran Tradisi Tarhim

Meskipun lafadz shalawat dan doa di dalamnya berakar kuat pada tradisi Islam, komposisi Tarhim sebagai sebuah lantunan pra-azan Subuh memiliki sejarah yang relatif modern. Tradisi ini tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW maupun para sahabat. Kemunculannya lebih terkait dengan perkembangan budaya Islam di abad-abad berikutnya, terutama di Mesir.

Peran Syaikh Mahmoud Khalil Al-Hussary dan Radio Mesir

Lantunan Tarhim yang paling ikonik dan menjadi standar di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah rekaman suara Syaikh Mahmoud Khalil Al-Hussary (1917-1980). Beliau adalah seorang qari' legendaris dari Mesir yang suaranya diakui sebagai salah satu yang terindah di dunia. Pada pertengahan abad ke-20, Radio Kairo, Mesir, mulai menyiarkan lantunan shalawat dan ibtihal (doa-doa puitis) sebelum azan Subuh. Rekaman Syaikh Al-Hussary membawakan Tarhim dengan nagham (melodi) yang khas dan menyentuh hati menjadi sangat populer.

Penyebaran rekaman ini ke seluruh dunia Islam terjadi seiring dengan meningkatnya pengaruh media massa, khususnya radio. Stasiun radio di negara-negara Muslim lainnya, termasuk Radio Republik Indonesia (RRI), turut memutar rekaman ini. Di Indonesia, suara Syaikh Al-Hussary yang mengalunkan Tarhim menjadi begitu akrab di telinga masyarakat, terutama generasi yang tumbuh pada era 1970-an hingga 1990-an. Suara itu seolah menjadi "suara resmi" fajar, membangkitkan kenangan masa kecil bagi banyak orang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Ramadhan.

Adaptasi dan Perkembangan di Nusantara

Seiring waktu, tradisi melantunkan Tarhim tidak hanya terbatas pada pemutaran rekaman. Para muazin dan bilal di masjid-masjid lokal mulai melantunkannya secara langsung. Meskipun banyak yang berusaha meniru gaya Syaikh Al-Hussary, muncul pula berbagai variasi dan adaptasi yang disesuaikan dengan cengkok dan langgam lokal. Hal ini menunjukkan bagaimana sebuah tradisi global dapat diinternalisasi dan diberi sentuhan lokal, menjadikannya terasa lebih dekat dan menjadi milik bersama komunitas.

Di beberapa daerah, Tarhim tidak hanya dilantunkan sebelum Subuh, tetapi juga sebelum shalat Jumat atau pada acara-acara keagamaan lainnya. Ini menunjukkan fleksibilitas dan penerimaan luas terhadap tradisi ini sebagai media untuk mengingatkan dan mengajak umat kepada kebaikan melalui pujian kepada Rasulullah SAW.

Perspektif Fikih: Antara Bid'ah dan Kearifan Lokal

Sebagai sebuah praktik yang tidak ada pada zaman Nabi, status hukum Tarhim dalam pandangan syariat Islam menjadi topik diskusi di kalangan para ulama. Terdapat perbedaan pendapat yang perlu dipahami secara bijaksana.

Pandangan yang Membolehkan (Bid'ah Hasanah)

Sebagian besar ulama, terutama dari kalangan tradisionalis dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah di banyak negara, memandang Tarhim sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik). Argumen utama mereka adalah sebagai berikut:

Dari perspektif ini, Tarhim dipandang sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang kreatif dalam menyebarkan syiar Islam dan membantu umat dalam menjalankan ibadahnya. Ia adalah manifestasi cinta kepada Rasulullah yang diungkapkan dalam bentuk yang indah dan fungsional.

Pandangan yang Melarang atau Tidak Menganjurkan

Di sisi lain, sebagian ulama, terutama dari kalangan yang lebih puritan atau skripturalis, berpendapat bahwa Tarhim adalah bid'ah yang tercela dan harus ditinggalkan. Argumen mereka biasanya berpusat pada poin-poin berikut:

Pandangan ini menekankan pentingnya menjaga kemurnian ajaran dan menghindari segala bentuk penambahan yang tidak dicontohkan secara langsung oleh generasi terbaik umat Islam.

Menyikapi Perbedaan Pendapat

Menghadapi perbedaan pandangan ini, sikap yang paling bijaksana adalah tasamuh (toleransi) dan saling menghormati. Ini adalah masalah dalam ranah ijtihadiyah (interpretasi para ahli), bukan pada pokok-pokok akidah. Selama sebuah komunitas merasa bahwa tradisi Tarhim membawa lebih banyak maslahat (kebaikan) daripada mudarat (keburukan), dan melaksanakannya dengan adab yang benar (misalnya, dengan volume suara yang wajar dan tidak berlebihan), maka ia bisa menjadi syiar yang indah. Sebaliknya, jika di suatu tempat tradisi ini menimbulkan konflik atau gangguan yang nyata, maka meninggalkannya bisa menjadi pilihan yang lebih bijak demi menjaga kerukunan.

Hikmah Spiritual dan Dampak Psikologis Tarhim

Di luar perdebatan fikih, Tarhim menawarkan sejumlah hikmah dan manfaat spiritual yang dirasakan oleh banyak orang. Ia bukan sekadar alarm, melainkan sebuah terapi jiwa di awal hari.

Transisi yang Lembut Menuju Ibadah

Bangun dari tidur seringkali merupakan proses yang sulit. Tubuh dan pikiran memerlukan waktu untuk beralih dari kondisi istirahat total ke kondisi siaga. Tarhim, dengan alunan melodinya yang tenang dan tidak menghentak seperti alarm modern, berfungsi sebagai jembatan transisi yang lembut. Ia membangunkan jiwa terlebih dahulu sebelum raga. Suaranya yang merdu masuk ke alam bawah sadar, mempersiapkan hati dan pikiran untuk menyambut panggilan shalat dengan kondisi yang lebih tenang dan siap.

Menyuburkan Cinta kepada Rasulullah

Membuka hari dengan mendengarkan dan melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah cara yang sangat efektif untuk menyuburkan rasa cinta (mahabbah) kepada beliau. Mengingat kembali perjuangan, kemuliaan, dan kasih sayang beliau kepada umatnya dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi untuk memulai hari dengan semangat meneladani akhlaknya. Tarhim adalah dosis spiritual pagi hari yang mengingatkan kita pada sosok panutan utama.

Menciptakan Atmosfer Sakral

Suara Tarhim yang menggema di keheningan fajar menciptakan sebuah atmosfer yang sakral dan khusyuk. Ia seolah membersihkan udara dari kesibukan duniawi yang telah berlalu di hari sebelumnya dan mempersiapkannya untuk aktivitas spiritual. Bagi banyak orang, mendengarkan Tarhim sambil berwudhu atau bersiap ke masjid adalah sebuah pengalaman meditatif yang membantu meningkatkan kualitas kekhusyukan dalam shalat Subuh.

Pengingat Kolektif dan Pembangun Komunitas

Di era yang semakin individualistis, Tarhim tetap menjadi salah satu pengingat kolektif yang kuat. Ketika suara Tarhim terdengar, ia tidak hanya ditujukan pada satu orang, tetapi pada seluruh komunitas di sekitar masjid. Ada rasa kebersamaan yang muncul, mengetahui bahwa tetangga-tetangga kita juga sedang bangun dan bersiap untuk melakukan ibadah yang sama. Ia memperkuat ikatan sosial-religius, mengingatkan bahwa kita adalah bagian dari sebuah umat yang besar.

Kesimpulan: Sebuah Warisan yang Terus Bergema

Bacaan Tarhim Subuh adalah sebuah fenomena yang jauh lebih kompleks dan kaya makna daripada sekadar tradisi membangunkan orang. Ia adalah perpaduan indah antara ekspresi cinta kepada Rasulullah, kearifan dalam berdakwah, jejak sejarah penyebaran Islam melalui teknologi, serta medium pembentukan atmosfer spiritual. Melalui lantunan shalawatnya, ia mengisahkan kembali kemuliaan Nabi. Melalui seruannya, ia mengajak pada kewajiban utama. Dan melalui gemanya yang syahdu, ia menenangkan jiwa dan mempersiapkan hati untuk menghadap Sang Pencipta.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai status hukumnya, eksistensi Tarhim yang telah mengakar kuat di hati masyarakat Muslim Nusantara menunjukkan bahwa ia telah berhasil mengisi sebuah ruang kebutuhan spiritual. Ia menjadi penanda waktu, pengingat ibadah, dan sumber ketenangan di ambang fajar. Selama ia dilantunkan dengan niat yang tulus dan adab yang terjaga, gema Tarhim akan terus menjadi warisan berharga yang membimbing jiwa-jiwa dari kegelapan malam menuju cahaya Subuh yang penuh berkah.

🏠 Kembali ke Homepage