Kajian Komprehensif Surah Al-Maidah Ayat 6: Pilar Thaharah dan Hukum Fiqihnya

Ilustrasi Tangan Berwudu Thaharah

Air mengalir, simbol penyucian dan kesiapan ibadah.

Pendahuluan: Kedudukan Surah Al-Maidah dan Konteks Ayat 6

Surah Al-Maidah, yang berarti 'Hidangan', adalah salah satu surah Madaniyah yang diturunkan setelah hijrah, menandakan bahwa isinya sebagian besar berfokus pada penetapan hukum, peraturan sosial, dan penyempurnaan syariat Islam. Ayat-ayat dalam surah ini secara khusus mengatur hubungan umat Islam dengan sesama, baik Muslim maupun Ahlul Kitab, serta mendetailkan berbagai aspek ibadah dan muamalah.

Ayat ke-6 dari surah Al-Maidah adalah salah satu fondasi utama dalam ilmu fiqih, khususnya dalam bab Thaharah (bersuci). Ayat ini tidak hanya memberikan perintah langsung mengenai tata cara bersuci sebelum shalat—baik dengan air (Wudu dan Ghusl) maupun dengan debu (Tayammum)—tetapi juga menetapkan batasan-batasan hukum yang sangat krusial yang menjadi landasan bagi seluruh mazhab fiqih dalam Islam.

Thaharah adalah kunci menuju shalat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kunci shalat adalah bersuci.” Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini mutlak diperlukan bagi setiap Muslim untuk memastikan ibadahnya diterima. Ayat ini memuat rukun-rukun (fardhu) wudu dan ghusl, serta menjelaskan kondisi-kondisi pengecualian di mana tayammum dibolehkan.

Teks Ayat Suci dan Terjemahnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu, dan (basuhlah) kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu/tanah yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu/tanah) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)

Tafsir dan Analisis Linguistik (Fiqih Wudu)

Ayat ini dibagi menjadi tiga bagian utama: Rukun Wudu, Kewajiban Ghusl, dan Kebolehan Tayammum. Fokus utama kajian fiqih terletak pada empat rukun wudu yang disebutkan secara eksplisit.

1. Seruan Umum dan Syarat Shalat (إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ)

Lafazh ‘إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ’ (apabila kamu hendak melaksanakan shalat) memunculkan perdebatan fiqih penting. Apakah ayat ini memerintahkan wudu setiap kali hendak shalat, meskipun seseorang masih dalam keadaan suci (wudu sebelumnya belum batal)?

Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur): Wudu hanya wajib bagi mereka yang *hadats* (tidak suci). Mereka berpegangan pada hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ terkadang melaksanakan beberapa shalat dengan satu wudu, selama beliau tidak batal. Perintah ‘apabila kamu hendak’ di sini dimaknai sebagai ‘apabila kamu hendak shalat dan kamu berada dalam keadaan tidak suci.’

Pandangan ini diperkuat oleh fakta bahwa tujuan utama wudu adalah mengangkat hadats, bukan hanya ritual persiapan.

2. Rukun Pertama: Membasuh Wajah (فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ)

Membasuh wajah adalah rukun pertama. Batasan wajah yang wajib dibasuh adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala bagian atas hingga dagu di bawah, dan dari telinga ke telinga.

Perdebatan Fiqih tentang Wajah:

3. Rukun Kedua: Membasuh Tangan Sampai Siku (وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ)

Kata kunci di sini adalah ‘إِلَى الْمَرَافِقِ’ (sampai ke siku). Ini menetapkan batas akhir dari pencucian tangan.

Perdebatan Fiqih tentang Batas Siku:

Pertanyaan yang muncul: apakah siku (marāfiq) harus ikut dibasuh, atau batas pencucian berakhir tepat sebelum siku?

Secara praktis, dianjurkan untuk melebihkan sedikit pembasuhan di atas siku untuk memastikan batas wajib telah terpenuhi (tahjil).

4. Rukun Ketiga: Mengusap Kepala (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ)

Ini adalah rukun yang paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat di antara empat mazhab besar, terutama terkait huruf ‘باء’ (ba’) yang dilekatkan pada kata ‘biru’ūsikum’ (kepala kalian).

Huruf ‘باء’ (bi) dapat diartikan sebagai ‘sebagian’ (tab’idh) atau ‘seluruh’ (isti’ab). Inilah inti dari perbedaan fiqih:

Mazhab Hanafi: Wajib mengusap seperempat (1/4) dari kepala, berdasarkan riwayat Mughirah bin Syu’bah tentang Nabi mengusap ubun-ubunnya.

Mazhab Maliki: Wajib mengusap seluruh kepala, karena huruf ‘ba’ di sini dimaknai sebagai keseluruhan, untuk meneladani praktik Nabi yang paling sering (mayoritas hadis menunjukkan Nabi mengusap dari depan ke belakang).

Mazhab Syafi’i: Cukup mengusap sebagian kecil kepala, meskipun hanya beberapa helai rambut, berdasarkan interpretasi ‘ba’ sebagai tab’idh (sebagian). Ini adalah pandangan yang paling longgar.

Mazhab Hanbali: Wajib mengusap seluruh kepala. Jika seseorang hanya mengusap sebagian, wudunya dianggap tidak sah, kecuali jika dia sedang memakai penutup kepala yang sulit dilepas, maka boleh mengusap di atas penutup kepala (seperti sorban).

Mengingat variasi tafsir ini, kebanyakan ulama merekomendasikan mengusap seluruh kepala sebagai tindakan kehati-hatian (ihtiyat).

5. Rukun Keempat: Membasuh Kaki Sampai Mata Kaki (وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ)

Lafazh ‘وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ’ (dan kakimu sampai kedua mata kaki) kembali memunculkan perdebatan yang mirip dengan tangan, yaitu apakah batas mata kaki (ka’bain) ikut dibasuh.

Aspek Pembacaan (Qira’at) yang Memengaruhi Fiqih:

Ayat ini memiliki dua qira’at (cara membaca) yang terkenal:

  1. Qira’at Nashab (أَرْجُلَكُمْ): Menyambung kata ‘kakimu’ dengan ‘basuhlah wajahmu’ (فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ), yang berarti kaki harus dibasuh (ghasl), bukan diusap. Ini adalah qira’at yang digunakan oleh Jumhur (mayoritas).
  2. Qira’at Jar (وَأَرْجُلِكُمْ): Menyambung kata ‘kakimu’ dengan ‘usaplah kepalamu’ (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ), yang bisa diartikan kaki hanya diusap (masah). Ini adalah pandangan Syi’ah dan beberapa sahabat terdahulu.

Mayoritas ulama Sunni menggunakan Qira’at Nashab, dan diperkuat oleh sunnah mutawatir (hadis yang sangat kuat) dari Nabi ﷺ yang selalu membasuh kakinya secara penuh. Bahkan, Nabi sangat keras mengingatkan para sahabat tentang pentingnya membasuh tumit. Beliau bersabda, “Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka!”

Seperti halnya siku, mata kaki wajib dicuci dan disarankan melebihkan batas pembasuhan.

Bagian Kedua: Hukum Ghusl (Mandi Wajib)

Ayat ini melanjutkan dengan perintah: ‘وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا’ (Jika kamu junub, maka mandilah). Junub adalah keadaan tidak suci besar yang disebabkan oleh keluarnya mani atau berhubungan suami istri.

Perintah ‘فَاطَّهَّرُوا’ (maka bersucilah/mandilah) secara umum diartikan sebagai Ghusl (mandi wajib). Ghusl mewajibkan perataan air ke seluruh tubuh, termasuk rambut dan kulit, setelah membersihkan najis. Berbeda dengan wudu yang rukunnya terpisah, rukun ghusl lebih sederhana, yaitu niat dan meratakan air.

Ayat ini memberikan penegasan bahwa tidak ada shalat, tawaf, atau menyentuh mushaf Al-Qur’an dalam keadaan junub. Ghusl adalah satu-satunya cara untuk mengangkat hadats besar.

Bagian Ketiga: Kebolehan Tayammum (Bersuci dengan Debu)

Bagian terakhir ayat 6 memberikan keringanan (rukhsah) bagi umat Islam ketika air tidak tersedia atau tidak bisa digunakan. Tayammum adalah pengganti wudu dan ghusl (thaharah sughra dan kubra).

Kondisi-Kondisi yang Membolehkan Tayammum

Ayat ini menyebutkan empat kondisi utama yang membolehkan tayammum:

  1. Sakit (مَّرْضَىٰ): Jika menggunakan air dapat memperburuk penyakit atau menunda kesembuhan. Ulama sepakat bahwa sakit yang dimaksud adalah sakit yang parah atau dikhawatirkan parah jika terkena air.
  2. Dalam Perjalanan (عَلَىٰ سَفَرٍ): Jika air sulit ditemukan dalam jumlah yang cukup untuk thaharah. Walaupun ayat menyebutkan safar, jumhur ulama sepakat bahwa ketiadaan air (faqdul mā’) adalah syarat utama, baik di perjalanan maupun di tempat tinggal.
  3. Setelah Buang Air (جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ): Ini merujuk pada hadats kecil (seperti buang air atau kentut). Jika hadats kecil terjadi, dan air tidak ada, maka tayammum dibolehkan.
  4. Menyentuh Wanita (لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ): Ini adalah bagian yang paling kompleks dan menjadi perdebatan sengit dalam fiqih.

Perdebatan Mengenai ‘Lāmastumun Nisā’ (Menyentuh Perempuan)

Bagaimana seharusnya menafsirkan kata ‘Lāmasa’ (menyentuh) dalam konteks membatalkan wudu? Empat mazhab memiliki pandangan berbeda, yang semuanya didasarkan pada penafsiran ayat ini dan hadis-hadis terkait:

Mazhab Syafi’i:

Kata ‘Lāmasa’ diartikan secara harfiah sebagai sentuhan fisik kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tanpa pembatas. Sentuhan ini secara mutlak membatalkan wudu, meskipun tanpa syahwat (nafsu), karena ayat menggunakan lafazh sentuhan kulit.

Mazhab Maliki:

Sentuhan membatalkan wudu hanya jika disertai syahwat (nafsu) dan sentuhan itu menghasilkan kenikmatan. Jika sentuhan terjadi secara tidak sengaja atau tanpa syahwat, wudu tidak batal. Mereka menafsirkan ‘Lāmasa’ sebagai sentuhan yang disertai tujuan tertentu.

Mazhab Hanafi:

Sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sama sekali tidak membatalkan wudu, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Mereka menafsirkan ‘Lāmasa’ dalam ayat ini sebagai kinayah (metafora) untuk hubungan seksual (jima’), yang mewajibkan ghusl. Dasar mereka adalah hadis Aisyah RA, di mana Nabi ﷺ menciumnya dan shalat tanpa memperbarui wudu.

Mazhab Hanbali:

Mirip dengan Maliki, sentuhan membatalkan wudu hanya jika disertai syahwat. Jika sentuhan dilakukan tanpa syahwat (misalnya sentuhan tidak sengaja saat berdesakan), wudu tidak batal.

Tata Cara Tayammum (فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا)

Jika kondisi di atas terpenuhi dan air tidak ditemukan, maka wajib Tayammum. ‘صَعِيدًا طَيِّبًا’ berarti debu atau tanah yang suci.

Ayat ini menetapkan rukun tayammum: ‘فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ’ (usaplah wajahmu dan tanganmu dengannya).

Cara Tayammum Menurut Jumhur: Melakukan dua usapan.

  1. Niat dan membaca Basmalah.
  2. Menepuk debu suci (sekali).
  3. Mengusap wajah secara merata.
  4. Menepuk debu suci lagi (sekali lagi).
  5. Mengusap kedua tangan sampai siku (pendapat Syafi’i dan Hanbali) atau hanya sampai pergelangan (pendapat Hanafi).

Ayat Al-Maidah 6 hanya menyebutkan wajah dan tangan. Namun, terdapat perbedaan pandangan terkait batas tangan. Mazhab Syafi’i dan Hanbali mewajibkan usapan tangan hingga siku, sama seperti wudu, sedangkan Mazhab Hanafi dan Maliki mencukupkan hingga pergelangan tangan, berdasarkan interpretasi hadis Ammar bin Yasir.

Implikasi Fiqih Lanjutan dari Ayat 6

1. Persyaratan Tartib (Urutan) dalam Wudu

Apakah urutan (tertib) pelaksanaan rukun wudu, sebagaimana disebutkan dalam ayat (wajah, tangan, kepala, kaki), merupakan syarat sah wudu?

Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Tartib adalah fardhu (wajib). Karena Allah menyebutkan rukun-rukun tersebut secara berurutan, ini menunjukkan kewajiban menjaga urutan tersebut.

Mazhab Hanafi: Tartib adalah Sunnah. Mereka berargumen bahwa kata penghubung ‘waw’ (و) dalam bahasa Arab tidak selalu menunjukkan urutan, melainkan hanya penggabungan. Namun, mengikuti urutan adalah lebih utama.

Mazhab Maliki: Tartib adalah Sunnah. Namun, mereka cenderung mewajibkan Muwalaat (berturut-turut/kontinuitas) yaitu tidak menunda pembasuhan satu anggota tubuh hingga anggota sebelumnya mengering. Muwalaat sering kali dianggap lebih penting daripada Tartib.

2. Persyaratan Muwalaat (Kontinuitas)

Apakah wudu harus dilakukan secara berturut-turut tanpa jeda lama?

Mazhab Maliki dan Hanbali: Muwalaat adalah wajib. Jika ada jeda terlalu lama sehingga anggota wudu sebelumnya mengering, maka wudu batal dan harus diulang dari awal.

Mazhab Syafi’i dan Hanafi: Muwalaat adalah Sunnah (dianjurkan). Wudu tetap sah meskipun ada jeda, asalkan niat tidak batal.

3. Peran Niat (An-Niyyah)

Meskipun ayat 6 tidak menyebutkan niat secara eksplisit, semua ulama sepakat bahwa niat adalah syarat sah wudu dan thaharah lainnya, berdasarkan hadis terkenal: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat.”

Definisi Niat: Niat adalah kehendak hati untuk melakukan ibadah thaharah demi menjalankan perintah Allah dan mengangkat hadats. Letak niat adalah di awal pembasuhan wajah (rukun pertama).

4. Hukum Mengusap Khuf (Sepatu Kulit)

Ayat 6 memerintahkan pembasuhan kaki. Namun, Sunnah Nabi memberikan keringanan bagi musafir atau orang yang memiliki hajat tertentu untuk tidak membasuh kaki, melainkan cukup mengusap bagian atas Khuf (sepatu/kaus kaki tebal) yang dipakai.

Kedudukan Hukum Khuf: Ini adalah contoh bagaimana Sunnah (Hadis) berfungsi sebagai *Bayan* (penjelas dan penambah) terhadap Al-Qur'an. Waktu pengusapan Khuf ditetapkan: sehari semalam bagi yang mukim, dan tiga hari tiga malam bagi musafir.

Hikmah dan Tujuan Ilahi dalam Ayat 6

Ayat 6 ditutup dengan kalimat yang sangat indah dan penuh hikmah: ‘مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ’ (Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur).

1. Penolakan Kesulitan (Nafyu Al-Haraj)

Penetapan hukum thaharah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membebani (haraj). Justru, ayat ini memberikan solusi kemudahan dengan adanya Tayammum. Jika Allah hanya memerintahkan Wudu dan Ghusl, dan tidak ada air, niscaya umat akan terhalang dari shalat. Tayammum adalah manifestasi nyata dari kemudahan syariat Islam.

Prinsip kemudahan ini menjadi dasar bagi kaidah fiqih, ‘Kesulitan mendatangkan kemudahan.’ Semua rukhshah (keringanan) dalam Islam, seperti shalat qashar, puasa bagi musafir, dan tayammum, berakar pada ayat ini.

2. Tujuan Pembersihan (Li Yutahhirakum)

Pembersihan yang dimaksud mencakup dua dimensi:

  1. Thaharah Hissiyah (Fisik): Wudu membersihkan anggota tubuh yang paling sering terpapar kotoran dan debu, memastikan kebersihan saat berdiri di hadapan Allah. Ilmu kedokteran modern membuktikan manfaat wudu dalam menjaga kesehatan kulit, mencegah infeksi, dan merangsang sirkulasi darah.
  2. Thaharah Ma’nawiyah (Spiritual): Wudu adalah pembersihan dosa-dosa kecil. Setiap tetesan air yang jatuh dari anggota wudu membawa serta dosa-dosa yang dilakukan anggota tersebut. Ini adalah persiapan spiritual yang mendalam sebelum memasuki mi’raj (kenaikan) seorang mukmin, yaitu shalat.

3. Penyempurnaan Nikmat (Wa Liyutimmā Ni’matahu)

Kesempurnaan nikmat Allah atas kaum mukmin adalah dengan memberikan syariat yang lengkap dan sempurna. Nikmat Islam tidak hanya mencakup iman, tetapi juga syariat yang memungkinkan ibadah dilakukan dalam setiap keadaan, bahkan dalam keadaan sulit (tidak ada air), melalui solusi Tayammum. Syariat thaharah ini adalah bagian integral dari kesempurnaan agama.

4. Mencapai Syukur (La’allakum Tashkurūn)

Tujuan akhir dari semua syariat adalah agar manusia bersyukur. Rasa syukur lahir ketika seorang hamba menyadari kemudahan yang Allah berikan (melalui rukhshah) dan kesucian yang dicapai (melalui thaharah) yang memungkinkan mereka berdiri di hadapan Pencipta mereka.

Perluasan Fiqih Wudu: Sunnah dan Makruh

Untuk melengkapi pembahasan rukun wudu, penting untuk menguraikan praktik-praktik yang bersifat sunnah (dianjurkan) dalam wudu, yang juga diambil dari praktik Nabi ﷺ, untuk mencapai kesempurnaan bersuci. Meskipun tidak termasuk fardhu dalam ayat 6, melaksanakannya akan menyempurnakan ibadah.

Sunnah-Sunnah Wudu yang Kuat:

Pembatal Wudu (Nawaqidul Wudu) dalam Konteks Ayat 6

Ayat 6 mengisyaratkan hadats (yang membatalkan wudu) dengan menyebutkan dua penyebab utama: ‘kembali dari tempat buang air’ (hadats kecil) dan ‘menyentuh perempuan’ (yang diperdebatkan). Ulama fiqih memperluas daftar pembatal wudu berdasarkan Sunnah:

  1. Keluarnya Sesuatu dari Dua Jalan (Qubul dan Dubur): Termasuk buang air kecil, buang air besar, kentut, madzi, dan wadi.
  2. Hilangnya Akal: Tidur nyenyak, pingsan, atau gila. Tidur dalam posisi duduk yang kokoh diperdebatkan, namun tidur berbaring membatalkan secara sepakat.
  3. Menyentuh Kemaluan: Jika menyentuh kemaluan (sendiri atau orang lain) dengan telapak tangan, tanpa pembatas (pendapat Syafi’i dan Hanbali).
  4. Makan Daging Unta: Pembatal wudu menurut Mazhab Hanbali, berdasarkan hadis khusus.
  5. Murtad (Keluar dari Islam): Membatalkan wudu secara otomatis, karena thaharah harus didasari niat ibadah yang hanya sah dari seorang Muslim.

Detail Fiqih Tayammum: Penerapan dalam Kehidupan Modern

Kondisi Tayammum yang disebabkan ketiadaan air (faqdul mā’) seringkali relevan dalam situasi darurat, perjalanan jauh, atau krisis air.

Batas Pencarian Air:

Seorang Muslim tidak dibenarkan langsung bertayammum hanya karena tidak melihat air di dekatnya. Ia wajib mencari air terlebih dahulu hingga batas yang wajar (sekitar 1.6 kilometer, tergantung mazhab). Setelah yakin air tidak ada, atau air yang ada hanya cukup untuk kebutuhan minum, barulah tayammum sah.

Sakit dan Perban (Masah ‘ala Al-Jaba’irah):

Jika seseorang memiliki luka atau patah tulang yang tertutup perban (jaba’irah), ayat 6 memberikan keringanan. Dalam kondisi ini, tidak semua anggota badan ditayammumi. Justru, anggota yang sehat wajib diwudui (dibasuh), sedangkan anggota yang berbalut diusap di atas balutannya (masah) sebagai pengganti basuhan. Ini adalah gabungan antara wudu dan masah.

Masa Berlaku Tayammum:

Tayammum tidak hanya batal karena munculnya hadats baru, tetapi juga batal jika sebab yang membolehkannya hilang. Contoh: jika seseorang bertayammum karena tidak ada air, kemudian air ditemukan sebelum shalat, maka tayammumnya batal dan wajib berwudu.

Perbandingan Mendalam Mazhab Fiqih atas Empat Rukun Wudu

Untuk menunjukkan kedalaman hukum yang terkandung dalam Al-Maidah ayat 6, kita perlu merangkum perbedaan utama dalam penafsiran rukun wudu, yang menggarisbawahi kekayaan ijtihad dalam Islam:

I. Membasuh Wajah (Ghaslul Wajh)

MazhabHukum Kumur & IstinsyaqBatasan Wajah
HanafiWajib (Fardhu)Wajah luar dan dalam mulut/hidung
MalikiSunnah MuakkadahWajah luar saja
Syafi'iSunnahWajah luar saja
HanbaliWajib (Fardhu)Wajah luar dan dalam mulut/hidung

II. Membasuh Tangan Hingga Siku (Ghaslul Yadain)

Konsensus: Semua mazhab sepakat bahwa siku (marāfiq) harus disertakan dalam pembasuhan, karena ayat menggunakan ‘ilā’ yang bermakna inklusif, didukung oleh praktik Nabi ﷺ.

III. Mengusap Kepala (Masah bi-Ru'ūsikum)

MazhabBatas Wajib UsapanDasar Penafsiran
HanafiMinimal 1/4 kepalaHuruf 'Ba' bermakna tab'idh (sebagian) dan riwayat Mughirah.
MalikiSeluruh kepalaMeneladani praktik Nabi yang menyeluruh (isti'ab).
Syafi'iSebagian kecil (walaupun satu helai rambut)Interpretasi 'Ba' sebagai minimal (adnal-tab'idh).
HanbaliSeluruh kepalaMenggabungkan makna 'Ba' dengan sunnah yang menyeluruh.

IV. Membasuh Kaki Hingga Mata Kaki (Ghaslul Arjul)

Konsensus (Sunni): Kaki wajib dibasuh (ghasl) hingga menyertakan mata kaki (ka’bain), berdasarkan qira'at Nashab dan hadis-hadis keras Nabi tentang pembersihan tumit. Kecuali jika menggunakan khuf atau kaus kaki tebal yang memenuhi syarat, maka dibolehkan mengusap.

Pengaruh Ayat 6 Terhadap Hukum Air dan Kebersihan

Ayat Al-Maidah 6 secara implisit juga menentukan jenis-jenis air yang sah untuk bersuci (air mutlak). Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, perintah 'faghsilū' (basuhlah) menyaratkan penggunaan air yang suci dan mensucikan (thahūr), yang tidak terkontaminasi najis atau bercampur dengan zat lain hingga berubah sifatnya (warna, rasa, bau).

Lebih jauh, ayat ini mendorong pemeliharaan lingkungan yang bersih. Ketersediaan 'sa’īdan ṭayyiban' (debu suci) untuk tayammum menunjukkan bahwa lingkungan harus dijaga kebersihannya, bahkan debu atau tanah yang digunakan sebagai pengganti air haruslah suci, bukan debu najis atau kotoran. Ini adalah instruksi universal tentang kebersihan total.

Penutup

Surah Al-Maidah ayat 6 adalah intisari hukum thaharah dalam Islam. Ia menetapkan empat rukun wudu, menjelaskan kewajiban mandi junub, dan memberikan solusi keringanan (tayammum) bagi mereka yang terhalang air, baik karena fisik (sakit) maupun logistik (perjalanan). Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai detail seperti tartib, muwalaat, dan batasan usapan kepala, menunjukkan kedinamisan fiqih Islam dalam menafsirkan teks suci.

Pada akhirnya, sebagaimana ditegaskan dalam penutup ayat, semua hukum ini bertujuan untuk membersihkan kita secara fisik dan spiritual, menyempurnakan nikmat Allah, dan mendorong kita untuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur atas kemudahan dan kesucian yang diberikan-Nya.

Kepatuhan terhadap tata cara thaharah, sekecil apapun detailnya, adalah bentuk penghormatan tertinggi seorang mukmin terhadap shalat, yang merupakan tiang agama.

🏠 Kembali ke Homepage