Surah Al-Lahab (Al-Masad): Api dan Konsekuensi Kebencian

Surah Al-Lahab, atau yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah surah ke-111 dalam Al-Qur'an. Surah yang terdiri dari lima ayat ini memiliki kedudukan yang sangat unik dan krusial dalam sejarah Islam, sebab ia merupakan satu-satunya surah yang secara eksplisit menyebutkan dan mengutuk individu tertentu yang masih hidup pada saat pewahyuannya. Sosok yang dikutuk tersebut adalah Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil.

Penelitian mendalam mengenai surah ini tidak hanya mengungkap ketegasan hukuman ilahi terhadap kekafiran dan permusuhan, tetapi juga mengajarkan pelajaran abadi mengenai ketidakberdayaan kekayaan dan status sosial di hadapan kebenaran wahyu. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek Surah Al-Lahab, dari konteks sejarah penurunan, analisis linguistik, hingga implikasi teologisnya yang mendalam.

Tangan Celaka Ilustrasi dua tangan yang terbalik dan terputus, melambangkan kehancuran dan kutukan 'Tabbat Yada'. CELAKA Abu Lahab Visualisasi kehancuran Abu Lahab yang tangannya dikutuk celaka.

I. Teks dan Terjemahan Surah Al-Lahab

Sebelum melangkah pada analisis yang lebih dalam, penting untuk meninjau kembali lafaz dan terjemahan resmi dari Surah Al-Lahab, yang dinamai berdasarkan salah satu kata kuncinya, لَهَبٍ (lahab), yang berarti nyala api yang berkobar.

Ayat 1

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb

Artinya: Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan celaka!

Ayat 2

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab

Artinya: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan (anak-anaknya).

Ayat 3

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

Sayaṣlā nāran dhāta lahab

Artinya: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (yang mempunyai nyala).

Ayat 4

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab

Artinya: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Ayat 5

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

Fī jīdihā ḥablum mim masad

Artinya: Di lehernya ada tali dari sabut (atau serat) yang dipintal.

II. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Penurunan Surah

Memahami konteks penurunan (Asbabun Nuzul) Surah Al-Lahab adalah kunci untuk mengapresiasi keagungan dan ketegasan surah ini. Surah ini turun pada fase awal dakwah di Makkah, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai menyampaikan risalahnya secara terbuka kepada kaumnya, kabilah Quraisy.

2.1. Dakwah Terbuka di Bukit Safa

Menurut riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas dan Bukhari, Surah Al-Lahab diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Nabi kemudian naik ke Bukit Safa, bukit yang strategis di Makkah, dan menyerukan kepada kabilah-kabilah Quraisy untuk berkumpul.

Ketika mereka semua berkumpul—termasuk Abu Lahab, paman Nabi yang bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muttalib—Nabi Muhammad ﷺ bertanya: "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitahu kalian bahwa ada sepasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"

Mereka menjawab serempak, "Tentu saja, kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."

Kemudian Nabi bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian tentang azab yang pedih."

2.2. Reaksi Abu Lahab dan Kutukan yang Diucapkan

Ketika mendengar seruan tauhid dan peringatan azab, Abu Lahab—yang seharusnya menjadi pelindung Nabi karena ikatan darah—justru menjadi orang pertama yang menentang dengan keras. Dalam kemarahan dan caci maki yang meluap, Abu Lahab berdiri dan berkata:

"Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Tabban laka! Ali Hadha Jama'tana?)

Kutukan ini bukan sekadar kata-kata lisan; itu adalah penolakan terbuka dan penghinaan publik terhadap ajaran yang dibawa oleh keponakannya sendiri. Dalam tradisi Arab, mengutuk paman sendiri secara terbuka merupakan tindakan yang sangat memalukan, namun Abu Lahab melakukan sebaliknya. Sebagai respons langsung dari langit terhadap kebiadaban Abu Lahab, Surah Al-Lahab diturunkan, membalikkan kutukan itu kembali kepadanya. Lafaz تَبَّتْ (Tabbat) yang membuka surah ini adalah respons ilahi yang tegas terhadap تبا لك (Tabban Laka) yang diucapkan Abu Lahab.

2.3. Keunikan Ramalan Surah Al-Lahab

Surah ini memiliki keunikan teologis yang luar biasa. Surah Al-Lahab adalah ramalan pasti mengenai takdir kekal Abu Lahab. Surah ini secara tegas menyatakan bahwa Abu Lahab akan binasa dan masuk neraka, bersama istrinya. Yang menjadi poin penting adalah, surah ini turun ketika Abu Lahab masih hidup selama bertahun-tahun setelah wahyu. Para ulama tafsir menekankan:

Inilah mengapa kisah Asbabun Nuzul ini tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang, tetapi sebagai bukti otentik kebenaran Al-Qur'an yang tidak terpengaruh oleh waktu maupun keinginan manusia.

III. Tafsir Ayat per Ayat: Mengupas Makna Mendalam

3.1. Tafsir Ayat 1: Celakalah Kedua Tangan Abu Lahab

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Ayat pertama ini menggunakan bahasa yang sangat kuat dan profetik. Kata تَبَّتْ (Tabbat) berasal dari kata kerja yang berarti merugi, binasa, atau terputus. Ini bukan sekadar kutukan, tetapi penegasan akan takdir kehancuran.

Analisis Linguistik Kata 'Tabbat'

Kata Tabbat memberikan makna kemarahan yang mendalam. Para mufasir, seperti Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa makna تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ (Tabbat yadā Abī Lahabin) adalah ‘merugilah segala usaha yang dilakukan oleh Abu Lahab’, karena tangan sering kali menjadi simbol dari usaha, pekerjaan, dan kekuasaan seseorang. Artinya, semua yang Abu Lahab upayakan untuk menentang Islam akan sia-sia.

Frasa وَتَبَّ (wa tabb) yang mengikutinya memiliki makna pengulangan yang berfungsi sebagai penekanan, yaitu "dan sungguh dia telah celaka." Pengulangan ini mengindikasikan dua hal:

  1. Celaka pada usahanya di dunia (kegagalan menghancurkan dakwah Nabi).
  2. Celaka pada dirinya sendiri di akhirat (masuk neraka).

Nama Abu Lahab sendiri, yang secara harfiah berarti "Bapak Api/Lidah Api," menjadi ironi yang sempurna. Nama ini diberikan karena wajahnya yang tampan dan kemerahan. Namun, Al-Qur'an mengubah nama duniawi yang penuh pujian itu menjadi predikat azab kekal, menjadikannya 'Bapak Api Neraka'.

3.2. Tafsir Ayat 2: Ketidakberdayaan Harta dan Usaha

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

Abu Lahab adalah salah satu orang terkaya di Makkah dan memiliki posisi sosial yang tinggi sebagai bagian dari Bani Hasyim. Ayat kedua ini menghancurkan ilusi kekuasaan duniawi. مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ (Mā aghnā ‘anhu māluhū) berarti harta bendanya tidak dapat memberikan manfaat atau perlindungan sedikit pun dari murka Allah.

Makna 'Wa Ma Kasab' (Dan Apa yang Dia Usahakan)

Para ulama tafsir memiliki dua pandangan utama mengenai makna dari وَمَا كَسَبَ (wa mā kasab):

  1. Anak-Anak: Mayoritas mufasir, termasuk Ibnu Mas'ud dan Aisyah, menafsirkan *ma kasab* sebagai anak-anak Abu Lahab. Dalam budaya Arab, anak laki-laki adalah lambang kekuatan, dukungan, dan warisan. Anak-anak Abu Lahab, seperti Utbah dan Utaibah, tidak akan dapat menolongnya dari azab Allah. Bahkan, anak-anaknya ini juga sempat menjadi bagian dari perseteruan dengan Nabi ﷺ.
  2. Perbuatan Baik: Tafsir lain menyebutkan bahwa *ma kasab* merujuk pada segala usahanya, termasuk amal kebajikan yang ia lakukan sebelum Islam atau bahkan kekayaan yang diperolehnya. Surah ini menekankan bahwa dalam kondisi kekufuran yang disengaja dan permusuhan terhadap risalah, tidak ada perbuatan baik duniawi yang dapat membelinya dari hukuman akhirat.

Pesan intinya adalah bahwa kekayaan, status, dan bahkan garis keturunan (sebagai paman Nabi) sama sekali tidak berarti di hadapan keadilan ilahi jika hati dipenuhi dengan kekufuran dan permusuhan.

3.3. Tafsir Ayat 3: Api yang Bergejolak

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

Ayat ini mempertegas ramalan neraka bagi Abu Lahab. Kata سَيَصْلَىٰ (Sayaṣlā) menggunakan partikel 'sa' (س) di awal, yang dalam bahasa Arab menunjukkan masa depan yang akan terjadi, penegasan mutlak. Dia pasti akan memasukinya.

Pilihan kata نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (nāran dhāta lahab) adalah puncak dari ironi dalam surah ini. Ia yang di dunia dikenal sebagai 'Bapak Api' (Abu Lahab), di akhirat dijanjikan akan dimasukkan ke dalam نار (nār) yang memiliki لهب (lahab)—api yang memiliki nyala api yang besar dan berkobar.

Ini adalah hukuman yang disesuaikan dengan predikatnya. Ia menyalakan api fitnah dan permusuhan terhadap Nabi ﷺ, maka ia akan dibakar dengan api yang sesuai dengan namanya. Keterangan ini memastikan bahwa hukuman tersebut tidak hanya pedih, tetapi juga merupakan pemenuhan sempurna atas janji yang telah ditetapkan oleh-Nya.

3.4. Tafsir Ayat 4: Istri Abu Lahab, Pembawa Kayu Bakar

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Hukuman tidak berhenti pada Abu Lahab. Ayat keempat ini mengikutsertakan istrinya, Ummu Jamil, yang bernama asli Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan. Dia dikenal sebagai partner Abu Lahab dalam kekufuran dan penyiksaan terhadap Nabi ﷺ.

Dia dijuluki حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (ḥammālatal-ḥaṭab), yang secara harfiah berarti "pembawa kayu bakar." Tafsir memiliki dua sudut pandang utama mengenai julukan ini, yang keduanya sama-sama merujuk pada perannya dalam permusuhan terhadap Islam:

Interpretasi Literal (Pembawa Kayu Bakar Fisik)

Beberapa ulama berpendapat bahwa Ummu Jamil benar-benar melakukan tindakan fisik yang jahat, yaitu membawa kayu berduri atau ranting tajam, lalu menyebarkannya di jalur yang sering dilalui Nabi Muhammad ﷺ di kegelapan malam, dengan tujuan agar Nabi terluka atau kesulitan. Tindakan ini menggambarkan kebencian fisik yang ekstrim.

Interpretasi Metaforis (Penyebar Fitnah)

Tafsir yang lebih diterima secara luas adalah bahwa 'kayu bakar' adalah metafora untuk fitnah dan namimah (adu domba/gossip jahat). Kayu bakar adalah bahan yang digunakan untuk menyalakan api. Ummu Jamil adalah orang yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, menyebarkan kebohongan, caci maki, dan hasutan agar orang-orang Quraisy menentang Nabi Muhammad ﷺ. Ia menyalakan api permusuhan di antara masyarakat Makkah.

Dengan demikian, ia dihukum sesuai dengan kejahatannya: ia membawa 'kayu bakar' (fitnah) di dunia untuk menyalakan 'api' kebencian, dan di akhirat ia akan membawa 'kayu bakar' yang akan menambah bahan bakar ke dalam api neraka bagi suaminya, atau kayu bakar itu sendiri yang akan menjadi alat siksanya.

3.5. Tafsir Ayat 5: Tali dari Serat di Lehernya

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

Ayat terakhir ini menggambarkan hukuman khusus bagi Ummu Jamil, yang sangat memalukan dan mengerikan. فِي جِيدِهَا (Fī jīdihā) berarti 'di lehernya', dan حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (ḥablum mim masad) berarti 'tali dari sabut (serat) yang dipintal'.

Penghinaan terhadap Status Sosial

Ummu Jamil, sebagai wanita bangsawan Quraisy yang kaya, biasa mengenakan perhiasan yang mahal dan kalung yang mewah. Kontrasnya, hukuman yang diberikan kepadanya adalah tali yang dibuat dari *masad*. *Masad* adalah tali kasar yang dibuat dari serat pohon kurma atau daun palem, jenis tali yang biasanya digunakan oleh budak atau orang miskin untuk memanggul beban atau mengikat hewan ternak.

Tali ini melambangkan:

  1. Penghinaan: Melepaskan perhiasan kemewahannya dan menggantinya dengan tali kasar adalah bentuk penghinaan sosial tertinggi.
  2. Beban Pekerjaannya: Tali tersebut akan digunakan untuk mengikatkan kayu bakar (yang menjadi simbol kejahatannya) di lehernya, memaksa dia memikul beban kejahatan di neraka, mirip seperti yang dilakukan oleh para budak yang membawa kayu bakar.
  3. Siksaan Fisik: Tali *masad* itu sendiri digambarkan panas dan melilit lehernya, mencekiknya. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa tali tersebut adalah rantai neraka yang panas.

Ayat kelima ini menyimpulkan bahwa kekayaan dan status sosial mereka berdua tidak hanya sia-sia, tetapi bahkan kekayaan itu akan digantikan dengan simbol kerendahan dan siksaan yang setara dengan keangkuhan mereka di dunia. Mereka yang sombong di bumi akan dihinakan di hari perhitungan.

IV. Analisis Retorika dan Linguistik Surah Al-Lahab

Surah Al-Lahab adalah mahakarya retorika Al-Qur'an, meskipun pendek. Struktur bahasanya sangat padat, penuh dengan rima internal, dan mengandung kekuatan profetik yang tak tertandingi.

4.1. Rima Internal dan Kesatuan Bunyi

Surah ini dibangun di atas rima akhir yang kuat yang menciptakan kesan ketegasan dan klimaks yang cepat. Hampir semua ayat berakhir dengan bunyi konsonan B atau D, yang didahului oleh vokal A yang sama (lahab, kasab, lahab, hatab, masad). Penggunaan rima yang berulang ini mengikat Surah menjadi satu kesatuan tematik yang tak terpisahkan, menyoroti hukuman yang koheren bagi pasangan tersebut.

4.2. Penggunaan Kata Kerja dan Kepastian

Dalam Ayat 1, تَبَّتْ (Tabbat) adalah bentuk lampau, menunjukkan bahwa kehancuran mereka sudah pasti terjadi dan seolah-olah telah selesai. Namun, di Ayat 3, سَيَصْلَىٰ (Sayaṣlā) menggunakan masa depan, menunjukkan peristiwa yang akan datang (di akhirat). Kombinasi waktu ini menunjukkan bahwa kehancuran mereka dimulai di dunia (kegagalan usaha) dan akan disempurnakan di akhirat (api neraka).

Kepastian penggunaan bahasa ini sangat penting. Al-Qur'an tidak mengatakan 'mungkin' atau 'barangsiapa yang menentang'. Al-Qur'an secara langsung menunjuk nama seseorang dan menjamin takdirnya, menjadikannya bukti yang tak terbantahkan akan otoritas ilahi.

4.3. Kontras Antara Nama dan Takdir

Kontras paling mencolok adalah antara nama Abu Lahab dengan takdirnya. Abu Lahab (Bapak Api/Lidah Api) seharusnya menjadi pujian, sebuah penamaan yang indah. Namun, Allah mengubah arti nama itu menjadi kutukan, menghubungkannya secara permanen dengan نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (nāran dhāta lahab)—api neraka yang sebenarnya.

Demikian pula, Ummu Jamil (Ibu Kecantikan) dari Bani Umayyah, yang dikenal kaya raya dan berkalung mewah, dihinakan dengan sebutan ḥammālatal-ḥaṭab (Pembawa Kayu Bakar) dan dirantai dengan tali kasar masad. Al-Qur'an menggunakan retorika ini untuk menunjukkan bahwa semua kemuliaan duniawi tidak akan mampu menyelamatkan seseorang yang hatinya dipenuhi kekufuran.

Api dan Tali Siksaan Ilustrasi api yang berkobar (Lahab) dan sebuah tali kasar yang melilit, melambangkan hukuman bagi Ummu Jamil. النار ذات لهب Api berkobar neraka (lahab) dengan tali sabut (masad) di atasnya, menggambarkan azab bagi pasangan itu.

V. Pelajaran Moral dan Implikasi Teologis

Surah Al-Lahab, meskipun terfokus pada individu tertentu, membawa pelajaran universal yang abadi bagi umat Islam dan kemanusiaan secara keseluruhan. Pelajaran-pelajaran ini menyentuh aspek tauhid, akhlak, dan pandangan hidup.

5.1. Prinsip Kekuatan Tauhid Mengalahkan Status Duniawi

Pelajaran terpenting dari Surah ini adalah penegasan mutlak bahwa ikatan darah, kekayaan, dan status sosial tidak akan memberikan manfaat sedikit pun ketika berhadapan dengan murka Allah karena kekufuran. Abu Lahab adalah paman Nabi, artinya dia memiliki kekerabatan yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ.

Kisah ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang memutus fanatisme buta terhadap keturunan. Kekerabatan fisik tidak akan menolong jika tidak didasarkan pada kekerabatan iman. Jika Abu Lahab, yang secara genetik terhubung dengan Nabi, tidak dapat diselamatkan karena kekufurannya, maka siapa pun yang menentang kebenaran tidak akan memiliki alasan untuk mengharapkan belas kasihan tanpa adanya iman yang tulus.

Surah ini menempatkan keimanan (Tauhid) sebagai satu-satunya penentu keselamatan di akhirat. Kekayaan, sebagaimana yang dimiliki Abu Lahab, sering kali menjadi sumber keangkuhan yang menghalangi penerimaan kebenaran. Al-Qur'an menyadarkan bahwa semua harta hanyalah pinjaman yang fana dan akan ditinggalkan ketika kematian tiba, sehingga tidak mampu menahan azab neraka sedikit pun.

5.2. Konsekuensi Berat Penyebar Fitnah (Hammalatal Hatab)

Keterlibatan Ummu Jamil dalam kutukan ini menyoroti bahaya besar dari fitnah, adu domba, dan penggunaan lidah untuk menyebar keburukan. Ummu Jamil dihukum karena peran aktifnya sebagai Pembawa Kayu Bakar, simbol dari penyebar fitnah yang bertujuan menghancurkan nama baik dan reputasi orang lain.

Dalam Islam, fitnah (khususnya *namimah*) dianggap sebagai salah satu dosa besar karena merusak tatanan sosial, memutuskan tali persaudaraan, dan menyulut kebencian. Hukuman yang ditimpakan kepada Ummu Jamil adalah peringatan keras bagi siapa pun yang menggunakan energi dan sumber dayanya untuk menyebarkan kebohongan dan kebencian terhadap kebenaran atau orang-orang saleh.

Surah Al-Lahab mengajarkan bahwa fitnah adalah "kayu bakar" yang akan menyalakan api neraka, bukan hanya bagi korban fitnah, tetapi bagi pelakunya sendiri. Peran aktif dalam menentang dakwah kebenaran—baik melalui kekuasaan seperti Abu Lahab, maupun melalui perkataan jahat seperti Ummu Jamil—akan mendapatkan balasan yang setimpal.

5.3. Kepastian Janji dan Ancaman Allah

Aspek teologis paling kuat adalah demonstrasi kepastian janji dan ancaman Allah. Surah ini turun sebagai ramalan yang 100% akurat. Ancaman neraka bagi Abu Lahab dan istrinya bukan merupakan kemungkinan, melainkan kepastian. Fakta bahwa mereka berdua meninggal dalam kekufuran memvalidasi setiap kata dalam Al-Qur'an.

Ini memberikan ketenangan bagi kaum beriman yang dianiaya (seperti yang dialami Nabi ﷺ di Makkah) bahwa meskipun kejahatan tampak berkuasa dan ancaman kekufuran terasa nyata di dunia, keadilan ilahi pada akhirnya akan ditegakkan. Surah ini memberikan harapan dan konfirmasi bahwa musuh-musuh kebenaran pasti akan menuai konsekuensi dari perbuatan mereka.

Bagi orang-orang yang beriman, kepastian ini berfungsi sebagai motivasi untuk tetap teguh, knowing that the divine promise, be it reward or punishment, is unshakeable. Kehancuran Abu Lahab membuktikan bahwa tidak ada kekuatan manusia yang dapat membatalkan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka yang memilih jalan permusuhan dan kekufuran.

VI. Membandingkan Surah Al-Lahab dengan Surah Lain

Untuk mengapresiasi kedudukan Surah Al-Lahab, perlu membandingkannya dengan konteks surah-surah Makkah lainnya, terutama yang fokus pada kritik terhadap kekafiran dan sifat sombong para elit Quraisy.

6.1. Kontras dengan Surah Al-Ma'un

Surah Al-Ma'un mengkritik mereka yang tidak memberi makan orang miskin dan lalai dalam shalat, tetapi kritik tersebut bersifat umum. Surah Al-Lahab, di sisi lain, sangat spesifik. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kemarahan Allah terhadap Abu Lahab bukan hanya karena ia lalai dalam ibadah sosial, tetapi karena ia secara frontal dan personal menyerang Rasul-Nya dan berusaha memadamkan cahaya risalah.

Dalam Al-Ma'un, pelanggaran adalah sifat, sedangkan dalam Al-Lahab, pelanggaran adalah identitas yang diyakini sepenuhnya, hingga nama dan status sosialnya digunakan untuk permusuhan tersebut.

6.2. Keterkaitan dengan Surah Al-Ikhlas

Surah Al-Ikhlas (Keesaan) berdiri sebagai pondasi tauhid. Surah Al-Lahab berfungsi sebagai penutup dari rantai surah-surah pendek yang mengajarkan bahwa tauhid adalah segalanya, dan menentang tauhid dengan segala kekuatan duniawi (harta, status, keluarga) adalah kehancuran mutlak. Keesaan Allah dalam Al-Ikhlas menyiratkan bahwa tidak ada yang dapat menandingi kekuasaan-Nya, bahkan paman Nabi sekalipun.

Kehadiran Surah Al-Lahab di akhir juz Amma, berdekatan dengan surah-surah perlindungan (Al-Falaq dan An-Nas) dan surah yang menegaskan keesaan Allah (Al-Ikhlas), menegaskan bahwa perlindungan dari kejahatan dan fitnah hanya dapat dicapai melalui penyerahan diri total kepada Allah, yang kekuasaan-Nya mengatasi semua permusuhan duniawi.

6.3. Analisis Mendalam tentang Konsep Al-Masad

Meskipun lebih dikenal sebagai Al-Lahab, surah ini juga dinamai Surah Al-Masad, diambil dari kata terakhir. *Al-Masad* (sabut yang dipintal) melambangkan bahan yang paling murah dan kasar. Penamaan ini sangat signifikan karena secara tidak langsung menamakan surah ini berdasarkan hukuman yang paling memalukan bagi tokoh yang paling sombong.

Nama Al-Masad membawa makna simbolis tentang bagaimana kemuliaan seorang wanita kaya (Ummu Jamil) direduksi menjadi seorang budak yang memanggul beban di neraka. Tali *masad* adalah titik fokus dari kehinaan, dan menjadikan nama tersebut sebagai alternatif judul surah adalah pengingat abadi bahwa kemuliaan duniawi dapat dengan mudah digantikan oleh kehinaan akhirat.

Dalam konteks yang lebih luas, Surah Al-Lahab menegaskan bahwa meskipun orang-orang terdekat dan paling berkuasa menentang kebenaran, mereka tidak akan mampu menghentikan takdir ilahi. Ini adalah surah yang mengajarkan para penda'wah untuk tidak gentar menghadapi penolakan, bahkan dari anggota keluarga sendiri, karena pertolongan Allah adalah yang paling kuat dan mutlak.

6.4. Kehancuran Fana vs. Kekuatan Abadi

Surah ini menggambarkan pertarungan antara dua kekuatan yang tidak seimbang. Di satu sisi, ada Abu Lahab, simbol kekuatan suku, kekayaan, dan permusuhan yang fana. Di sisi lain, ada Muhammad ﷺ yang didukung oleh kekuatan wahyu yang abadi.

Surah Al-Lahab bukan hanya kisah sejarah tentang kehancuran seorang musuh; ia adalah cetak biru abadi yang mengajarkan bahwa setiap upaya untuk memadamkan cahaya Islam dengan kekayaan atau kekuasaan pasti akan berakhir dengan kehancuran yang total, sebagaimana disimpulkan dalam ayat pertama: Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan celaka!

Penyebaran pesan ini, terutama pada masa awal Islam ketika kaum Muslimin sangat minoritas dan lemah di Makkah, memberikan suntikan moral yang luar biasa. Para sahabat tahu bahwa meskipun mereka dianiaya oleh Quraisy, nasib para pemimpin kekafiran seperti Abu Lahab telah dijamin oleh wahyu, dan kehancuran mereka hanyalah masalah waktu.

VII. Detil Sejarah Kematian Abu Lahab

Untuk menguatkan bukti profetik surah ini, penting untuk meninjau bagaimana ramalan Al-Qur'an terpenuhi secara faktual.

7.1. Kematian Setelah Perang Badar

Abu Lahab tidak ikut serta dalam Perang Badar (tahun ke-2 Hijriah), pertempuran besar pertama antara kaum Muslimin dan Quraisy Makkah. Ia mengirimkan pengganti, Al-Ash bin Hisham, untuk bertempur menggantikannya karena ia sudah sakit parah atau terlalu tua. Kekalahan telak kaum Quraisy di Badar menjadi pukulan besar bagi Abu Lahab.

Ketika kabar kekalahan itu sampai di Makkah, beberapa hari kemudian, Abu Lahab jatuh sakit parah. Penyakit yang menimpanya adalah Al-'Adasah (semacam bisul atau wabah yang sangat menular), yang dianggap sebagai penyakit yang sangat menjijikkan dan menakutkan oleh masyarakat Quraisy pada masa itu.

7.2. Kematian yang Terisolasi dan Terhina

Karena penyakit Al-'Adasah dianggap menular, anak-anaknya dan sanak saudaranya meninggalkannya. Abu Lahab mati dalam kesendirian yang menyedihkan, tanpa ada yang berani mendekat dan menguburkannya. Kematiannya, yang disebabkan oleh penyakit yang ditakuti, menjadi manifestasi duniawi dari kutukan Tabbat.

Setelah tiga hari kematiannya, tubuhnya mulai membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap. Barulah kemudian anak-anaknya menyewa budak non-Quraisy untuk mendorong tubuhnya ke dalam sebuah lubang (semacam sumur) menggunakan tongkat dan kayu panjang. Mereka kemudian melempari tubuhnya dengan batu dari jarak jauh sampai jenazahnya tertutup. Ini adalah cara penguburan yang paling terhina bagi seorang bangsawan Quraisy, apalagi bagi seorang paman Nabi Muhammad ﷺ.

Kisah kematian ini, yang terjadi bertahun-tahun setelah Surah Al-Lahab diturunkan dan ia masih memiliki waktu untuk berpura-pura masuk Islam, menegaskan bahwa tidak hanya Abu Lahab celaka di akhirat, tetapi kehinaannya di dunia juga telah ditetapkan oleh takdir ilahi.

Kematian dan penguburannya yang memalukan ini—terjadi tanpa upacara, penuh rasa jijik, dan terisolasi—menyempurnakan ramalan Surah Al-Lahab di mana harta dan anak-anaknya (وَمَا كَسَبَ) sama sekali tidak berguna baginya.

VIII. Pengamalan dan Penghayatan Surah Al-Lahab

Meskipun surah ini secara khusus ditujukan kepada dua individu, makna dan pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim.

8.1. Menjauhi Sikap Sombong karena Harta dan Jabatan

Penting untuk selalu mengingat bahwa harta dan jabatan bersifat sementara. Kehancuran Abu Lahab adalah peringatan bahwa kebanggaan yang didasarkan pada materi dan status sosial adalah kebanggaan yang rapuh. Penghayatan surah ini mendorong kaum Muslimin untuk mengalokasikan harta mereka di jalan Allah, menjadikannya sarana meraih keridhaan, bukan sumber keangkuhan yang dapat menghalangi penerimaan kebenaran.

8.2. Waspada terhadap Fitnah dan Adu Domba

Kutukan terhadap Ummu Jamil harus menjadi pengingat bagi setiap individu Muslim tentang bahaya lisan. Lidah adalah pedang yang dapat menyebarkan api (fitnah) di antara manusia. Penghayatan Surah Al-Lahab mendorong kita untuk menjaga lisan, menghindari *ghibah* (menggunjing), *namimah* (adu domba), dan segala bentuk perkataan yang menyalakan kebencian, karena perbuatan tersebut setara dengan ḥammālatal-ḥaṭab yang membawa bahan bakar neraka.

8.3. Prinsip Loyalitas dan Permusuhan (Al-Wala' Wal-Bara')

Surah ini mengajarkan prinsip fundamental dalam Islam, yaitu Al-Wala' wal-Bara' (loyalitas dan permusuhan). Loyalitas harus diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, meskipun musuh tersebut adalah keluarga terdekat (seperti paman Nabi). Permusuhan harus diarahkan pada kekufuran dan permusuhan terhadap kebenaran, bukan karena perbedaan etnis atau kabilah.

Kasus Abu Lahab adalah bukti bahwa ikatan darah tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih kekafiran dan permusuhan. Sebaliknya, orang-orang beriman yang tidak memiliki ikatan darah dengan Nabi akan diselamatkan karena kesetiaan mereka pada tauhid.

Dengan demikian, Surah Al-Lahab menjadi salah satu landasan teologis yang membedakan antara loyalitas karena ikatan iman (yang abadi) dan loyalitas karena ikatan duniawi (yang fana dan tidak berguna di hari kiamat).

🏠 Kembali ke Homepage