Ilustrasi Timbangan Amal (Mizan).
Surah Al-Qari'ah merupakan salah satu surah Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini memiliki penekanan utama yang sangat kuat, yaitu menggambarkan dengan rinci kengerian dan kepastian Hari Kiamat, serta konsekuensi abadi yang mengikutinya berdasarkan perhitungan amal perbuatan manusia di dunia. Nama Al Qariah dan artinya secara harfiah merujuk pada "Hari Kiamat yang Menggemparkan" atau "Bencana yang Mengetuk." Dengan hanya 11 ayat, surah ini memberikan gambaran yang ringkas namun mendalam mengenai tiga fase krusial: kekacauan kosmik, penghancuran alam semesta, dan penentuan nasib manusia melalui Timbangan (Mizan).
Surah ini termasuk dalam kelompok surah-surah pendek yang fokus pada isu-isu akidah (kepercayaan), terutama mengenai kebangkitan dan Hari Pembalasan. Pada masa Mekah, kaum musyrikin sering meragukan atau bahkan menolak konsep kebangkitan setelah kematian dan adanya pengadilan ilahi. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan surah-surah seperti Al-Qari'ah, Al-Haqqah, dan Al-Zalzalah untuk membantah keraguan tersebut dengan menyajikan gambaran yang menakutkan dan tak terhindarkan mengenai akhir dunia.
Kata Al Qari'ah sendiri berasal dari akar kata Qara'a (قرع) yang berarti memukul, mengetuk, atau menggemparkan. Penggunaan kata ini sangat puitis dan tepat, sebab Kiamat digambarkan sebagai peristiwa yang datang secara tiba-tiba, memukul kesadaran manusia, dan mengguncang seluruh eksistensi. Ini bukan sekadar akhir, melainkan suatu 'ketukan' yang memaksakan perhatian absolut dari setiap makhluk.
Tiga ayat pertama ini menggunakan teknik retorika (uslub al-istifham) yang sangat kuat. Pengulangan kata "Al-Qari'ah" bukan hanya untuk penegasan, tetapi untuk membangun ketegangan dan kengerian. Allah SWT memulai dengan menyebutnya (Ayat 1), lalu mengajukan pertanyaan retoris (Ayat 2), dan puncaknya, menegaskan ketidakmampuan manusia untuk memahami sepenuhnya kedahsyatannya (Ayat 3).
Pola pertanyaan berulang ini berfungsi untuk menarik perhatian pendengar pada magnitude peristiwa tersebut. Seolah-olah, manusia yang merasa sudah mengetahui atau mempersiapkan diri, disadarkan bahwa realitas Al-Qari'ah jauh melampaui imajinasi mereka. Pertanyaan 'Dan tahukah kamu' menunjukkan bahwa meskipun deskripsi selanjutnya akan diberikan, kedahsyatan hakikinya tetap berada di luar jangkauan pemahaman duniawi.
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa pemilihan nama Al-Qari'ah ini menekankan aspek suara yang memekakkan, dentuman yang hebat, yang merupakan tanda awal kehancuran total. Dentuman ini akan memukul hati, menulikan telinga, dan meluluhlantakkan struktur fisik bumi dan langit.
Ayat keempat menyajikan gambaran visual yang mengerikan tentang kondisi manusia pada Hari Kiamat. Manusia, yang di dunia mungkin merasa kuat, berkuasa, atau stabil, pada hari itu disamakan dengan 'al-farasy al-mabtsuts' (ngengat yang bertebaran). Metafora ngengat sangatlah mendalam:
Deskripsi ini menunjukkan bahwa fase awal Kiamat adalah fase kehancuran psikologis dan sosial, di mana insting bertahan hidup mengambil alih, tetapi tanpa hasil. Setiap ikatan keluarga, pertemanan, dan otoritas duniawi putus total. Kengerian yang ditimbulkan oleh Al-Qari'ah telah melumpuhkan akal sehat dan pengendalian diri.
Ayat kelima memperjelas kehancuran fisik alam semesta. Gunung-gunung (al-Jibal) adalah simbol stabilitas dan kekokohan tertinggi di bumi. Namun, pada Hari Kiamat, mereka disamakan dengan 'al-'ihn al-manfūsh' (wol atau bulu yang dihambur-hamburkan).
Metafora ini luar biasa dalam menggambarkan perubahan wujud materi:
Kombinasi antara ngengat (manusia) dan wol (gunung) memberikan kontras yang sempurna: manusia yang panik di tengah kehancuran total lingkungan mereka. Fase ini adalah puncak dari Al-Qari'ah, di mana seluruh skenario fisik dunia berakhir, membuka jalan bagi fase pengadilan.
Surah Al-Qari'ah tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari serangkaian surah Makkiyah yang bertujuan menanamkan keyakinan pada Hari Akhir. Surah ini menekankan pada perubahan drastis hukum fisika. Pada hari Kiamat, materi kehilangan sifatnya. Hukum gravitasi, kekerasan, dan kestabilan tidak lagi berlaku. Gunung yang merupakan simbol stabilitas tertinggi di bumi menjadi ringan seperti kapas yang tertiup, sedangkan manusia yang seharusnya menjadi makhluk paling terorganisir menjadi kacau balau seperti serangga. Kesamaan antara Al-Qari'ah dengan surah lainnya, seperti Al-Zalzalah (yang menggambarkan bumi mengeluarkan bebannya) dan Al-Haqqah (yang juga berbicara tentang langit yang retak), menunjukkan konsistensi visi Islam tentang kehancuran total sebelum penentuan nasib.
Implikasi dari ayat 4 dan 5 adalah bahwa tidak ada tempat bersembunyi. Kekuatan dan kekayaan yang dikumpulkan manusia di dunia, bahkan benteng alam yang paling kokoh, semuanya tidak berarti di hadapan kekuasaan Allah. Fokus beralih sepenuhnya dari urusan duniawi menuju pertanggungjawaban personal.
Setelah menggambarkan chaos dan kehancuran, surah ini beralih ke inti dari pertanggungjawaban: Al-Mizan (Timbangan). Ini adalah fase di mana amal perbuatan manusia dihitung dan dinilai.
Kata ‘Tsaqulat Mawāzīnuh’ (ثَقُلَتۡ مَوَازِينُهُۥ) berarti 'timbangan-timbangannya menjadi berat'. Penggunaan bentuk jamak (mawāzīn) oleh sebagian ulama tafsir mengindikasikan bahwa perhitungan itu tidak hanya satu, tetapi melibatkan berbagai jenis timbangan atau penilaian, atau bahwa setiap amal memiliki timbangannya sendiri.
Apa yang membuat timbangan itu berat? Bukanlah kuantitas semata, melainkan kualitas dan keikhlasan. Para ulama hadis sering merujuk pada hadis Bithaqah, yang menjelaskan bahwa satu kalimat tauhid yang tulus (La Ilaha Illallah), jika diucapkan dengan keimanan yang sejati, dapat mengalahkan tumpukan dosa karena keikhlasan hati yang menyertainya. Amal yang ikhlas, dilakukan sesuai sunnah, dan memiliki dampak besar pada masyarakat (seperti ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah) akan jauh lebih berat.
Ayat 7 menjelaskan hasil dari timbangan yang berat: ‘Fahuwa fī ‘īshatin rāḍiyah’ (maka dia berada dalam kehidupan yang diridhai).
Ayat ini membahas kebalikannya. ‘Khaffat Mawāzīnuh’ (خَفَّتۡ مَوَاۡزِيۡنُهُۥ) berarti 'timbangan-timbangannya menjadi ringan'. Ini terjadi ketika seseorang fokus pada amal duniawi yang tidak memiliki nilai abadi, atau ketika amal baiknya dirusak oleh riya’ (pamer), sum’ah (mencari popularitas), atau kekufuran yang mendasar.
Timbangan yang ringan tidak berarti bahwa orang tersebut tidak melakukan kebaikan sama sekali, melainkan kebaikan yang dilakukan tidak cukup substansial atau tidak dilakukan dengan landasan keimanan yang benar, sehingga tidak mampu menandingi beratnya dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan.
Konsekuensi dari timbangan yang ringan adalah destinasi yang disebut Hawiyah. Namun, Allah menggunakan frasa yang sangat puitis dan menakutkan: ‘Fa ummuhu Hāwiyah’ (maka ibunya adalah Hawiyah).
Mengapa Hawiyah disebut 'ibu' (umm)?
Penyebutan ‘ibu’ menekankan bahwa bagi mereka yang merugi, Neraka Hawiyah akan menjadi rumah permanen mereka, yang melingkupi mereka sepenuhnya, seperti seorang anak dilingkupi oleh ibunya, tetapi dengan siksaan yang tak terperi.
Ayat 10 kembali menggunakan teknik retorika yang sama dengan ayat 3. Setelah nama Hawiyah disebutkan, Allah bertanya, ‘Dan tahukah kamu apakah Hawiyah itu?’ Ini kembali menegaskan bahwa deskripsi yang diberikan selanjutnya (Ayat 11) hanyalah sekilas, dan realitas Hawiyah jauh lebih dahsyat daripada yang dapat dibayangkan manusia.
Ayat 11 memberikan deskripsi singkat namun mutlak: ‘Nārun Ḥāmiyah’ (نَارٌ حَامِيَةٌ), yang berarti 'api yang sangat panas' atau 'api yang membakar dengan dahsyat'. Kata Hāmiyah berasal dari akar kata yang menunjukkan suhu yang sangat ekstrem, melebihi panas api duniawi manapun. Dalam tafsir, disebutkan bahwa api Neraka telah dinyalakan selama ribuan tahun, sehingga warnanya bukan lagi merah atau kuning, melainkan hitam karena intensitas panasnya yang tak terukur.
Penutup surah ini berfungsi sebagai peringatan terakhir. Setelah menyaksikan kehancuran alam semesta (ayat 4-5) dan hasil perhitungan amal (ayat 6-9), setiap orang harus memahami bahwa Hawiyah adalah suatu kepastian yang memiliki kekuatan penghancur total, yang melebihi segala penderitaan di dunia.
Diskusi mengenai Al-Qari'ah tidak lengkap tanpa mendalami filosofi Timbangan Amal (Mizan). Konsep Mizan ini menunjukkan keadilan mutlak Allah SWT. Bukan hanya sekadar daftar perbuatan baik dan buruk, tetapi Mizan mencerminkan penilaian terhadap niat, kualitas, dan kesungguhan hati.
Para ulama sepakat bahwa kunci yang memberatkan timbangan adalah ikhlas. Suatu amal yang besar secara kuantitas, jika dinodai oleh riya’ atau dilakukan karena motivasi duniawi, bisa kehilangan bobotnya sepenuhnya. Sebaliknya, amal yang kecil, seperti menyingkirkan duri dari jalan, jika dilakukan semata-mata karena mengharap ridha Allah, dapat menjadi sangat berat dalam Mizan.
Penting untuk dipahami bahwa Mizan mengukur 'berat' spiritual dari sebuah perbuatan. Kualitas ini dipengaruhi oleh sejauh mana perbuatan tersebut mencerminkan ketaatan kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks Al-Qari'ah, persiapan terbaik di dunia adalah memprioritaskan kualitas keikhlasan di atas kuantitas. Manusia perlu menyadari bahwa setiap desahan nafas dan setiap gerakan memiliki bobot, baik di sisi kanan (kebajikan) maupun di sisi kiri (kejahatan) timbangan.
Tauhid (pengesaan Allah) adalah amal paling berat yang akan dimasukkan ke dalam timbangan. Jika seseorang datang pada Hari Kiamat membawa tumpukan dosa sebesar gunung, tetapi ia meninggal dalam keadaan tauhid murni, maka iman kepada Allah akan menjadi penentu keberatannya. Hal ini menunjukkan bahwa pondasi akidah yang benar adalah prasyarat utama untuk keberhasilan di Mizan.
Konsep Mawāzīn (timbangan jamak) juga menyiratkan bahwa penilaian tidak hanya tunggal. Mungkin ada timbangan untuk hak Allah, timbangan untuk hak sesama manusia, timbangan untuk amal wajib, dan timbangan untuk amal sunnah. Semuanya dihitung dengan presisi ilahi, memastikan tidak ada satupun perbuatan, baik sebesar biji sawi pun, yang terlewatkan.
Surah Al-Qari'ah dapat dianggap sebagai ringkasan dramatis dari konsep Hari Kiamat yang disebar di banyak surah lainnya. Jika Surah Al-Zalzalah fokus pada gempa bumi dan reaksi bumi, dan Surah Al-Haqqah fokus pada kepastian peristiwa tersebut, Al-Qari'ah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kehancuran fisik dengan konsekuensi moral dan spiritual melalui Timbangan.
Al-Zalzalah menggambarkan bumi "mengeluarkan beban-bebannya." Al-Qari'ah melengkapi gambaran ini dengan fokus pada benda-benda paling stabil (gunung) yang berubah menjadi debu, dan manusia yang menjadi ngengat. Kedua surah ini sama-sama menyimpulkan bahwa setelah kekacauan, akan ada perhitungan amal yang sangat terperinci (sebesar biji sawi pun akan dilihat).
Al-Haqqah bertanya tentang "Al-Haqqah," dan Al-Qari'ah bertanya tentang "Al-Qari'ah." Kedua surah ini menggunakan pertanyaan retoris untuk menekankan kepastian mutlak peristiwa tersebut. Mereka mengajarkan bahwa Kiamat bukanlah mitos atau kemungkinan, melainkan suatu kenyataan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Kajian komparatif ini memperkuat pesan sentral Al-Qari'ah: kekacauan kosmik adalah pendahuluan wajib menuju pengadilan individu yang adil dan tak terhindarkan. Penghancuran dunia adalah tanda bahwa waktu untuk beramal telah berakhir, dan waktu untuk menuai telah tiba.
Tujuan utama dari deskripsi detail dan menakutkan tentang Al Qariah dan artinya bukanlah untuk membuat manusia putus asa, melainkan untuk membangun kesadaran (yaqadhah) yang mendalam. Surah ini menawarkan mekanisme spiritual untuk menata prioritas hidup:
Ketika seseorang menyadari bahwa gunung, simbol kekuatan abadi, bisa menjadi wol yang rapuh, maka harta, jabatan, dan kekuasaan duniawi akan terlihat betapa fana dan ringannya mereka. Surah ini menyerukan agar manusia tidak tertipu oleh gemerlap dunia yang sementara.
Pelajaran terpenting dari ayat 6 hingga 9 adalah bahwa yang menentukan keberhasilan adalah 'berat'nya amal, bukan 'banyak'nya. Ini mendorong mukmin untuk senantiasa mengevaluasi niat dan memastikan bahwa setiap perbuatan, sekecil apapun, dilakukan dengan keikhlasan total kepada Allah.
Deskripsi Hawiyah (api yang sangat panas) berfungsi sebagai peringatan yang kuat terhadap konsekuensi dari mengabaikan perintah Allah. Hawiyah bukan sekadar hukuman, tetapi juga manifestasi dari kerugian total yang dialami oleh mereka yang hidupnya ringan dari amal kebaikan.
Refleksi mendalam terhadap Al-Qari'ah seharusnya menimbulkan rasa takut (khauf) yang konstruktif—takut yang memotivasi amal saleh—dan sekaligus harapan (raja’) terhadap rahmat Allah bagi mereka yang timbangannya berat.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk menelaah secara detail pilihan kata yang digunakan dalam Surah Al-Qari'ah, yang semuanya dipilih secara presisi untuk efek dramatis.
Seperti yang disebutkan, akar kata Qara’a berarti mengetuk atau memukul keras. Dalam konteks Kiamat, ini adalah kata benda yang menggambarkan kejadian itu sendiri, yaitu pemukul yang sangat keras. Pukulan ini mencakup:
Al-Farāsh: Meskipun sering diterjemahkan sebagai ngengat, ia juga merujuk pada segala jenis serangga kecil yang terbang berhamburan. Dalam konteks padang mahsyar, ini menunjukkan betapa rendah dan rentannya kondisi manusia. Mereka kehilangan kemampuan berpikir rasional dan beraksi hanya berdasarkan insting, seperti serangga yang panik di malam hari.
Al-Mabthūth: Berarti ‘yang ditebarkan’ atau ‘dihamburkan’. Ini adalah deskripsi pasif, menunjukkan bahwa manusia pada hari itu tidak memiliki agensi (kehendak bebas) atas gerakan mereka; mereka diombang-ambingkan oleh kekuatan kekacauan Kiamat.
Al-‘Ihn: Merujuk secara spesifik pada wol berwarna-warni yang telah diproses. Penggunaan warna mengindikasikan bahwa semua jenis batuan dan lapisan geologis, yang berbeda warna dan komposisinya, akan hancur menjadi satu massa yang ringan.
Al-Manfūsh: Berarti ‘yang diterbangkan’ atau ‘yang disebarkan’. Dalam proses pengolahan wol, kata ini merujuk pada tahap di mana wol dipukul dan disisir hingga serat-seratnya terpisah dan menjadi ringan. Ini adalah proses yang menghilangkan kepadatan dan kekokohan sepenuhnya, metafora sempurna untuk nasib gunung.
Kata ini berasal dari akar kata yang berhubungan dengan jurang yang dalam (huwā’). Hawiyah bukan sekadar nama Neraka, tetapi penekanan pada kedalamannya yang mengerikan, tempat di mana segala sesuatu ‘jatuh’ tanpa henti. Sebagai 'ibu', ia menampung dan meliputi mereka yang gagal, menunjukkan kekekalan siksaan tersebut.
Surah Al-Qari'ah adalah mahakarya peringatan yang menggabungkan kehancuran fisik, kepanikan manusia, dan pengadilan moral yang teliti. Dari dentuman keras Kiamat, ngengat yang panik, gunung yang menjadi wol, hingga akhirnya Mizan yang menjadi pusat penentuan nasib, setiap ayat memberikan pelajaran yang mendesak.
Pelajaran inti dari Al Qariah dan artinya adalah bahwa kehidupan di dunia hanyalah persiapan untuk timbangan. Kesuksesan sejati diukur bukan dari apa yang dimiliki di bumi, tetapi dari beratnya amal kebaikan yang dibawa di Padang Mahsyar.
Bagi setiap Muslim, Surah Al-Qari'ah adalah pengingat harian untuk mengevaluasi diri: Apakah amalku dilakukan dengan keikhlasan yang cukup untuk memberatkannya? Apakah aku menjalani hidup yang berfokus pada kekekalan atau pada kefanaan? Semoga kita termasuk golongan yang timbangannya berat, dan ditempatkan dalam kehidupan yang diridhai (fī ‘īshatin rāḍiyah).