Alt: Pemandangan Bukit Safa, ilustrasi tempat Rasulullah SAW memulai dakwah terbuka.
Surah Al Lahab (Api yang Menyala), juga dikenal sebagai Surah Al Masad (Tali Sabut), adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, terdiri dari lima ayat. Meskipun singkat, surah ini mengandung kisah yang sangat mendalam dan memiliki signifikansi historis yang luar biasa dalam masa-masa awal dakwah Islam di Mekkah. Surah ini adalah satu-satunya bagian dari Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebutkan dan mengutuk individu tertentu yang masih hidup pada saat wahyu diturunkan: Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil.
Struktur Surah Al Lahab bukan sekadar kutukan, melainkan nubuat pasti mengenai nasib Abu Lahab dan istrinya di dunia dan di akhirat. Kepastian ini menjadi bukti kebenaran kenabian Muhammad ﷺ, karena janji azab yang disebutkan dalam surah ini benar-benar terjadi pada Abu Lahab sebelum ia meninggal dunia sebagai seorang kafir, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah firman Ilahi yang Mutlak.
Untuk memahami kekuatan dan kekerasan bahasa Surah Al Lahab, kita harus menempatkannya dalam konteks masa-masa yang paling sulit bagi dakwah di Mekkah. Pada mulanya, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, setelah tiga tahun, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berdakwah secara terang-terangan (QS Al Hijr: 94).
Peristiwa kunci yang memicu turunnya Surah Al Lahab terjadi ketika Rasulullah ﷺ memutuskan untuk memenuhi perintah Allah dengan mengumpulkan kaum Quraisy di Bukit Safa. Nabi Muhammad ﷺ naik ke puncak bukit dan mulai berseru, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adi!"—memanggil semua klan Quraisy, yang berkumpul setelah mendengar seruan dari orang yang paling jujur (Al-Amin) di antara mereka.
Ketika mereka semua berkumpul, Rasulullah ﷺ bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahu kalian bahwa ada sepasukan berkuda di balik lembah ini yang bersiap menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serempak menjawab, "Tentu saja! Kami belum pernah mendengar kebohongan darimu."
Kemudian Nabi ﷺ berkata, "Maka sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang azab yang pedih di hadapan kalian."
Pada momen penting ketika dakwah resmi diumumkan, yang seharusnya menjadi dukungan pertama datang dari keluarga terdekat, yang terjadi justru sebaliknya. Abu Lahab, paman Nabi, yang bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muththalib, maju dan melontarkan kalimat kutukan yang paling kejam:
"Celakalah kamu (Muhammad) sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?"
Kutukan Abu Lahab ini bukan sekadar penolakan, tetapi penistaan terbuka terhadap keponakannya di hadapan seluruh kabilah Quraisy, berusaha meruntuhkan otoritas kenabian yang baru diumumkan. Tindakan Abu Lahab ini sangat berbahaya karena ia adalah paman Rasulullah dan seorang tokoh terkemuka dalam Bani Hasyim. Penentangannya memberikan izin moral bagi kaum Quraisy lainnya untuk menolak dan menyiksa umat Islam.
Segera setelah kutukan keji ini dilontarkan oleh Abu Lahab, wahyu Surah Al Lahab turun dari langit, membalikkan kutukan tersebut secara langsung dan abadi kepada Abu Lahab sendiri.
Kata تَبَّتْ (Tabbat) berasal dari akar kata T-B-B (تبب) yang berarti kerugian, kerusakan, dan kehancuran. Ini adalah bentuk doa atau pernyataan mengenai kehancuran yang sudah pasti terjadi. Penggunaan kata ini sangat kuat, menunjukkan kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat.
Para mufassir menjelaskan bahwa 'Tabbat' di sini memiliki dua makna utama:
Frasa يَدَا أَبِي لَهَبٍ (Yada Abi Lahab) berarti kedua tangan Abu Lahab. Tangan dalam budaya Arab sering digunakan untuk melambangkan usaha, kerja keras, kekuatan, dan kekuasaan. Ketika Allah mengutuk kedua tangan Abu Lahab, itu berarti mengutuk seluruh usahanya dan seluruh daya upayanya dalam memerangi dakwah Nabi ﷺ. Ini melambangkan:
Pengulangan pada akhir ayat, وَتَبَّ (Wa Tabb), berfungsi sebagai penegasan yang dramatis. Jika 'Tabbat Yada' adalah doa atau pernyataan yang diarahkan kepada usaha fisiknya, maka 'Wa Tabb' adalah kepastian bahwa seluruh dirinya—jiwa, raga, dan nasib akhirnya—telah ditetapkan untuk binasa. Ini adalah nubuat ilahi yang memastikan nasib buruknya di akhirat.
Surah ini menggunakan nama kunyah (julukan) Abu Lahab (Bapak Api yang Menyala), bukan nama aslinya, Abdul Uzza. Penggunaan julukan ini sangat profetik, karena merujuk langsung pada takdirnya, yaitu api neraka. Abdul Uzza berarti 'Hamba Uzza' (patung berhala), sementara Abu Lahab secara harfiah berarti 'penghuni api neraka yang menyala-nyala'. Dengan demikian, nama yang ia sandang di dunia telah meramalkan tempat kembalinya di akhirat.
Ayat kedua ini menjawab pertanyaan mendasar tentang keangkuhan Abu Lahab: apa yang akan terjadi dengan harta dan kekuasaannya?
Frasa مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ (Ma Aghna Anhu Maluhu) berarti "Tidaklah berguna baginya hartanya." Abu Lahab adalah orang yang sangat kaya dan berpengaruh. Dalam masyarakat Mekkah, kekayaan dianggap sebagai perlindungan mutlak. Ayat ini menghancurkan ilusi tersebut, menegaskan bahwa kekayaan tidak dapat menahan azab Allah. Ini adalah pelajaran universal tentang kesia-siaan materialisme di hadapan kebenaran spiritual.
Selanjutnya, وَمَا كَسَبَ (Wa Ma Kasaba), yang berarti "dan apa yang dia usahakan" atau "dan apa yang ia peroleh." Para mufassir memiliki dua interpretasi utama mengenai ‘Ma Kasaba’:
Ayat 2 secara keseluruhan adalah antitesis dari apa yang dibanggakan oleh kaum Quraisy: kekayaan (Mal) dan keturunan/prestasi (Kasab). Keduanya, yang menjadi sumber kebanggaan dan kesombongan Abu Lahab, tidak akan memberikan manfaat sedikit pun saat menghadapi hukuman ilahi.
Frasa سَيَصْلَىٰ (Sayasla) menggunakan partikel futur 'Sa' (س) yang menunjukkan kepastian di masa depan yang dekat atau tak terhindarkan. Ini memastikan bahwa azab api neraka adalah takdir yang pasti bagi Abu Lahab.
Ayat ini adalah pemenuhan nubuat yang terkandung dalam namanya. Dia adalah Abu Lahab (Bapak Api), dan dia akan masuk ke dalam نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Naran Dzaata Lahab), yang berarti "api yang memiliki nyala api yang besar dan berkobar-kobar." Kata ‘Lahab’ (nyala api) digunakan dua kali dalam surah ini—sebagai julukan Abu Lahab dan sebagai sifat neraka yang akan ia masuki. Ini adalah kaitan linguistik yang menakjubkan antara identitasnya dan takdirnya.
Kepastian hukuman ini memiliki implikasi teologis yang mendalam. Para mufassir mencatat bahwa Surah Al Lahab turun di Mekkah, jauh sebelum pertempuran besar atau kematian Abu Lahab. Surah ini secara definitif menyatakan bahwa Abu Lahab akan mati dalam keadaan kafir dan akan masuk neraka. Hal ini memberikan tantangan terbuka bagi Abu Lahab: jika ia bisa mengucapkan syahadat, nubuatan ini akan menjadi salah. Namun, ia tidak pernah melakukannya, membenarkan setiap kata dalam surah ini.
Ayat 4 memperluas kutukan tersebut ke istri Abu Lahab, Arwa binti Harb, yang dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum ia masuk Islam) dan sangat memusuhi Nabi Muhammad ﷺ.
Ia digambarkan sebagai حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammalatal Hatab), 'pembawa kayu bakar'. Frasa ini memiliki dua tafsir yang sama-sama diakui:
Tafsir Literal (Azab Akhirat): Di akhirat, Ummu Jamil akan memikul kayu bakar. Kayu bakar ini bisa jadi adalah bahan bakar untuk api suaminya (Abu Lahab), atau kayu bakar tersebut adalah dosa-dosanya sendiri yang menjadi bahan bakar bagi api yang melingkupinya. Ini menunjukkan bahwa bahkan wanita kaya raya ini pun akan dipaksa melakukan pekerjaan yang paling merendahkan (memanggul beban berat) sebagai hukuman.
Tafsir Metaforis (Azab Duniawi): Di dunia, Hammalatal Hatab adalah istilah untuk seseorang yang menyebar fitnah, gosip, dan hasutan. Tugas Ummu Jamil di dunia adalah menyebarkan kebohongan dan memfitnah Nabi Muhammad ﷺ. Dia aktif dalam usaha menghasut orang-orang Mekkah agar membenci Nabi dan menolaknya.
Salah satu aksi paling terkenal yang dilakukan Ummu Jamil adalah meletakkan duri, ranting tajam, dan kotoran di jalan-jalan yang biasa dilewati Nabi Muhammad ﷺ, terutama di malam hari, dengan tujuan menyakiti dan menghalangi langkahnya menuju Ka'bah atau rumahnya. Tindakan jahat inilah yang paling sesuai dengan gambaran 'pembawa kayu bakar/duri' yang digunakan sebagai senjata untuk menyakiti secara diam-diam.
Alt: Ilustrasi Api yang Menyala (Lahab) dan tumpukan kayu bakar, melambangkan azab yang menanti.
Ayat penutup ini memberikan detail spesifik dan mengerikan mengenai azab yang akan diterima oleh Ummu Jamil. فِي جِيدِهَا (Fi Jidiha) berarti "di lehernya," sementara حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Hablun min Masad) berarti "tali dari sabut (serat) yang keras."
Masad adalah tali yang terbuat dari serat kasar, seperti serat pohon kurma atau serat besi yang dipintal kuat. Tali ini biasanya sangat keras, melukai kulit, dan digunakan oleh orang miskin di padang pasir untuk mengikat beban berat.
Ayat ini adalah ironi yang tajam. Ummu Jamil adalah wanita bangsawan, terbiasa memakai perhiasan mewah, terutama kalung yang mahal di lehernya (Jid). Sebagai hukuman, kemewahan itu digantikan oleh tali sabut yang kasar dan menyakitkan. Ini adalah pembalasan yang sempurna bagi kesombongannya. Tali sabut itu juga berfungsi untuk mengikatnya saat ia dipaksa memanggul beban kayu bakar di neraka.
Sebagian ulama menafsirkan 'Masad' ini juga memiliki kaitan dengan apa yang ia lakukan di dunia. Jika 'Hammalatal Hatab' berarti penyebar fitnah, maka 'Hablun min Masad' adalah tali fitnah yang ia bawa dan sebarkan, yang kini melilit lehernya sendiri. Dosa fitnah yang ia tebarkan di dunia akan menjadi rantai yang mengikatnya di akhirat.
Tali Masad juga dikaitkan dengan sebuah kisah nyata yang membuktikan mukjizat surah ini. Ketika Surah Al Lahab turun, Ummu Jamil marah besar. Diriwayatkan bahwa ia pergi mencari Nabi Muhammad ﷺ di Ka'bah, membawa segenggam batu. Ketika ia tiba di sana, Abu Bakar berada di samping Nabi. Ketika Ummu Jamil bertanya kepada Abu Bakar di mana Muhammad berada, ia menjawab bahwa ia tidak melihatnya.
Ummu Jamil tidak dapat melihat Nabi, padahal Nabi Muhammad ﷺ berada tepat di samping Abu Bakar. Dalam kemarahannya, ia bersumpah akan menggunakan batu itu untuk menghancurkan mulut Muhammad jika ia melihatnya. Ini adalah contoh bagaimana kebutaan spiritual menghalanginya untuk melihat kebenaran, dan bagaimana perlindungan ilahi telah menyelamatkan Nabi dari bahayanya. Ketidakmampuannya melihat Nabi di hadapannya sering dianggap sebagai pemenuhan awal dari kehancurannya.
Surah Al Lahab adalah mahakarya retorika bahasa Arab, menggunakan gaya bahasa yang unik dan jarang ditemukan dalam Al-Qur'an, yaitu serangan langsung dan personal, namun dikemas dengan presisi linguistik yang luar biasa.
Ayat pertama (Tabbat Yada Abi Lahab) berfungsi sebagai 'doa' (insha') yang isinya segera dikonfirmasi sebagai 'berita' (khabari) yang pasti (wa tabb). Artinya, doa kehancuran ini tidak mungkin ditolak, karena Allah sendiri yang menyatakannya. Ini adalah penetapan takdir yang tidak dapat diubah, sebuah ciri khas kenabian.
Kata kasaba (berusaha/memperoleh) dalam Ayat 2 memiliki konotasi usaha yang dilakukan dengan kesungguhan dan keinginan pribadi. Ketika Allah menyatakan bahwa apa yang ia usahakan tidak berguna, ini mencakup seluruh proyek hidup Abu Lahab. Ia bekerja keras untuk mendapatkan status, kekayaan, dan menghancurkan Islam, namun semua hasil usahanya itu hanya membawanya pada kerugian abadi (tabab).
Meskipun Al-Qur'an bukanlah puisi, Surah Al Lahab menunjukkan keseimbangan bunyi yang kuat (Saj') yang memberi dampak emosional. Surah ini diakhiri dengan rima yang seragam (تب، كسب، لهب، حطب، مسد), menciptakan irama yang kuat dan mudah diingat, sehingga pesan kutukan dan kepastian azab tertanam secara mendalam.
Surah ini dibangun di atas kontras: Abu Lahab kaya raya, namun ia menderita kerugian total (Tabab). Ia adalah paman Nabi, namun ia menjadi musuh terbesar. Istrinya adalah wanita bangsawan, namun ia dihukum menjadi pemikul beban yang paling hina (Hammalatal Hatab). Kontras ini memperkuat pesan bahwa status dan materialisme tidak berarti apa-apa di hadapan kebenaran tauhid.
Meskipun Surah Al Lahab sangat spesifik ditujukan kepada dua individu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan fundamental bagi akidah Islam.
Pelajaran terpenting dari Surah Al Lahab adalah bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari hukuman Allah jika tidak disertai dengan iman. Abu Lahab adalah paman Nabi, bagian dari keluarga inti Bani Hasyim, dan seharusnya menjadi pelindung terdekat Nabi. Namun, penolakannya yang ekstrem menempatkannya lebih rendah daripada orang asing yang beriman. Surah ini memisahkan garis keturunan kenabian dari garis keturunan kekafiran, menegaskan bahwa kriteria tertinggi di sisi Allah adalah ketakwaan.
Surah Al Lahab adalah bukti nyata (mukjizat) dari kebenaran kenabian. Ketika surah ini diwahyukan, Abu Lahab masih hidup selama bertahun-tahun. Jika ia mau, ia bisa saja secara formal memeluk Islam, meskipun hanya di permukaan, untuk membuktikan bahwa nubuat Al-Qur'an salah. Namun, ia tidak pernah mampu melakukannya. Ia meninggal setelah Pertempuran Badar dalam keadaan sakit menular (wabah yang mematikan) dan tetap kafir, menggenapi janji 'binasa' (wa tabb) di dunia sebelum memasuki ‘api yang menyala’ (Lahab) di akhirat.
Hukuman yang spesifik bagi Ummu Jamil mengajarkan kita bahaya dari dosa lisan dan fitnah. Tugasnya sebagai 'Hammalatal Hatab' (pembawa kayu bakar/penyebar fitnah) dihukum dengan Tali Sabut (Masad). Ini menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan lisan, harta, dan status sosial mereka untuk menyakiti dan menyebarkan kebohongan terhadap kebenaran akan menerima azab yang setara dan kontras dengan keangkuhan mereka di dunia.
Ayat kedua, yang menolak manfaat harta (Ma Aghna Anhu Maluhu), berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat Islam di setiap zaman. Kekuatan, kekayaan, dan pengaruh di dunia ini adalah fatamorgana jika tidak digunakan di jalan Allah. Ketika azab tiba, tidak ada jumlah emas atau perak yang dapat menunda atau meringankannya.
Kematian Abu Lahab terjadi tak lama setelah kekalahan kaum Quraisy dalam Pertempuran Badar. Dia tidak ikut dalam pertempuran tersebut, namun ketika berita kekalahan Mekkah tiba, ia menjadi sangat depresi dan jatuh sakit. Penyakit yang menimpanya dikenal sebagai Al-Adasah, sejenis wabah atau borok yang sangat menular dan ditakuti oleh orang-orang Mekkah.
Karena takut tertular, keluarga dan kerabatnya menjauhinya. Ketika ia meninggal, tubuhnya dibiarkan selama tiga hari. Keluarga dan anak-anaknya hanya mendekat setelah tubuhnya mulai membusuk. Mereka tidak berani menguburkannya secara layak. Akhirnya, mereka menyewa orang Abisinia, yang menguburkan jenazahnya dengan cara yang memalukan: mereka mendorong tubuhnya ke dalam lubang menggunakan galah panjang, kemudian melempar batu di atasnya. Kematian yang hina ini dianggap sebagai pemenuhan kehancuran duniawi yang dijanjikan oleh kata Tabbat.
Peristiwa ini menekankan bahwa kutukan dalam surah ini memiliki dua fase: kehancuran total di dunia (ditinggalkan, mati hina, dikubur tanpa penghormatan), dan azab kekal di akhirat (api yang menyala dan tali sabut).
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, perluasan makna linguistik pada setiap kata adalah esensial:
Selain binasa dan rugi, Tabbat juga bisa diartikan sebagai "kekeringan" atau "kegagalan untuk tumbuh." Ini menggambarkan bagaimana setiap benih yang ditanam oleh Abu Lahab dalam usahanya menentang Islam tidak pernah membuahkan hasil, melainkan kekeringan moral dan spiritual.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa bentuk kata kerja 'Tabbat' dalam konteks ini adalah pengutukan yang segera diumumkan kepastiannya. Kutukan ini melingkupi seluruh aspek kehidupannya, seolah-olah ia sudah terdaftar sebagai penghuni Neraka sejak wahyu ini turun.
Kata Lahab merujuk pada bagian api yang paling murni dan paling panas; nyala api tanpa asap. Ketika Neraka digambarkan sebagai Dzaata Lahab, itu menunjukkan intensitas api yang ekstrem. Abu Lahab, sang Bapak Nyala Api, ditakdirkan untuk menghadapi inti dari nyala api itu sendiri. Ini adalah sanksi setimpal bagi orang yang menggunakan semua energinya (Lahab) untuk melawan kebenaran.
Filolog bahasa Arab, termasuk Ar-Raghib Al-Isfahani, membedakan antara Kasb dan Iktisab. Kasb merujuk pada perolehan yang dicari (seperti uang), sementara Iktisab merujuk pada perolehan yang dipersiapkan atau direncanakan (seperti anak-anak atau pengaruh politik). Penggunaan Kasaba mencakup seluruh perolehan Abu Lahab—baik yang ia kejar secara aktif maupun yang ia peroleh sebagai hasil dari statusnya. Tak satu pun dari akuisisi ini akan menyelamatkannya.
Tafsir linguistik yang lebih dalam melihat Hammalatal Hatab sebagai 'orang yang memanggul sesuatu yang berat dan berbahaya'. Dalam konteks sosial, membawa kayu bakar biasanya dilakukan oleh budak atau orang miskin. Pembalasan Ummu Jamil di Neraka adalah kembalinya ia ke status yang paling hina, di mana ia harus memanggul beban yang sesungguhnya: dosa dan api.
Penggunaan Masad, tali sabut, diidentifikasi oleh ulama sebagai tali yang dibuat dengan kekuatan ekstra untuk membawa beban yang sangat berat dan tajam, seringkali bergesekan dengan kulit hingga menyebabkan luka. Ini adalah simbol penderitaan fisik yang berulang. Selain itu, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Masad bisa juga merujuk pada kalung mutiara mewah yang pernah dimiliki Ummu Jamil, yang ia janjikan akan ia jual untuk digunakan melawan Muhammad. Dengan demikian, tali Masad adalah pengganti azab dari apa yang pernah menjadi kebanggaannya.
Surah ini memiliki dampak psikologis yang luar biasa bagi komunitas Muslim yang masih kecil dan tertindas di Mekkah. Mengetahui bahwa musuh terbesar Nabi, dan bahkan keluarganya sendiri, telah divonis oleh Allah memberikan beberapa keuntungan:
Dalam sejarah Islam, Surah Al Lahab tetap menjadi simbol keadilan ilahi yang tidak memandang status, kekayaan, atau ikatan darah. Ini adalah pesan abadi bahwa keimanan adalah satu-satunya mata uang yang sah di hadapan Pencipta.
Surah Al Lahab sering dipelajari bersama Surah Quraisy dan Surah Al-Ma'un karena ketiganya memberikan pandangan kritis terhadap masyarakat Mekkah kontemporer yang angkuh dan materialistis.
Secara kolektif, ketiga surah ini membentuk kritik sosial dan teologis yang komprehensif terhadap elit Mekkah. Surah Al Lahab adalah paku terakhir yang menancapkan hukuman bagi kesombongan, menegaskan bahwa kekuasaan duniawi adalah fana, sementara hukuman Allah adalah abadi dan pasti.
Alt: Gambaran Tali Sabut (Masad) yang kasar dan melilit, melambangkan azab di leher Ummu Jamil.
Surah Al Lahab, meskipun fokus pada dua individu, berfungsi sebagai peringatan keras bagi semua orang yang menentang kebenaran dan keadilan dengan menggunakan kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh keluarga mereka. Kisah Abu Lahab dan istrinya adalah pengingat bahwa tidak ada perlindungan di dunia ini yang dapat mengatasi kutukan ilahi yang ditujukan kepada mereka yang secara sadar memilih jalan kekafiran dan permusuhan terhadap utusan Allah.
Kehancuran mereka telah dicatat, bukan hanya dalam sejarah, tetapi dalam firman Allah yang kekal, memastikan bahwa mereka akan selalu dikenang sebagai contoh utama kesia-siaan perjuangan melawan Cahaya Islam.
***