Surah Ali Imran, yang dikenal sebagai salah satu surah Madaniyah yang kaya akan pelajaran teologis dan etis, menyimpan sebuah permata filosofis yang mendalam pada ayat ke-190. Ayat ini, seringkali dibaca berpasangan dengan ayat 191, adalah seruan agung untuk kontemplasi atau tafakkur. Ia bukan sekadar deskripsi keindahan alam semesta, melainkan sebuah peta jalan bagi manusia berakal, ‘Ulul Albab’, untuk mencapai pengenalan mendalam tentang Sang Pencipta melalui karya ciptaan-Nya yang megah.
Ayat ini membuka pintu gerbang pemahaman bahwa alam semesta—dari galaksi terjauh hingga partikel terkecil—adalah sebuah kitab terbuka yang menanti untuk dibaca, dipahami, dan direnungi. Proses kontemplasi ini adalah jembatan spiritual yang menghubungkan manusia dengan hakikat keberadaan, menyingkap tirai ilusi, dan mengantarkan kepada keimanan yang kokoh, berlandaskan bukti, bukan sekadar warisan tradisi.
Kalimat pembuka, "Inna fi khalqi samawati wal ard" (Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi), segera menempatkan perhatian kita pada skala kosmik. Ini adalah pernyataan yang bersifat definitif dan mutlak. Allah memulai dengan menunjuk pada dua entitas terbesar yang dapat diindera manusia: alam di atas (langit) dan alam di bawah (bumi). Kemudian, perhatian difokuskan pada sebuah fenomena temporal yang terus berulang dan sangat fundamental bagi kehidupan: "wa-ikhtilaf al-layl wa an-nahar" (dan silih bergantinya malam dan siang).
Puncaknya, ayat ini menyimpulkan bahwa semua ini adalah "la-ayatin li-ulil albab" (benar-benar tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal/berpikir). Ini adalah panggilan eksklusif; tanda-tanda kebesaran Ilahi ini tidak terbuka bagi sembarang orang, melainkan hanya bagi mereka yang menggunakan anugerah akal dan hati nurani secara maksimal. Kontemplasi bukan sekadar melihat, tetapi membaca esensi di balik penampakan.
Frasa ‘Penciptaan Langit dan Bumi’ bukan hanya merujuk pada benda-benda angkasa atau daratan tempat kita berpijak. Dalam konteks tafsir yang luas, ini mencakup seluruh sistem keberadaan (kosmos), termasuk hukum-hukum fisika, kimia, biologi, dan matematika yang mengatur harmoni total. Pemahaman mendalam tentang cakupan ini memerlukan eksplorasi yang melintasi batas-batas disiplin ilmu pengetahuan modern dan spiritualitas.
Ketika kita merenungkan langit, kita melihat tatanan yang sempurna. Pergerakan planet-planet yang tidak pernah tabrakan, keseimbangan gravitasi yang menjaga bintang tetap stabil, dan keunikan setiap galaksi menunjukkan adanya Perancang Agung. Jika ada sedikit saja penyimpangan dalam konstanta fundamental alam semesta—misalnya, gaya gravitasi sedikit lebih lemah atau kecepatan cahaya sedikit lebih cepat—maka struktur atom tidak akan terbentuk, bintang tidak akan bersinar, dan kehidupan mustahil muncul.
Keteraturan luar biasa ini memaksa akal untuk mencari sumbernya. Tafakkur terhadap langit adalah tafakkur terhadap kemustahilan kebetulan. Bagaimana mungkin struktur sekompleks ini, yang mampu melahirkan kesadaran dan kehidupan, muncul tanpa perencanaan yang presisi? Ilmu kosmologi modern, dengan penemuan lubang hitam, energi gelap, dan alam semesta yang terus mengembang, justru semakin menegaskan keagungan misteri penciptaan yang disinggung oleh ayat ini ribuan tahun yang lalu.
Bumi, sebagai bagian dari 'ard', adalah laboratorium kehidupan yang unik. Fokus pada Bumi membawa kita pada renungan tentang ekosistem yang saling bergantung. Ayat ini mendorong kita untuk melihat pada air yang kita minum (siklus hidrologi), udara yang kita hirup (komposisi atmosfer yang tepat), dan tanah yang menumbuhkan makanan kita (kesuburan dan biodiversitas).
Setiap makhluk hidup, dari mikroba hingga paus biru, adalah sebuah tanda (ayah). Struktur DNA yang menyimpan kode genetik kehidupan adalah bukti kecerdasan yang tak tertandingi. Setiap sel dalam tubuh manusia beroperasi dengan presisi jam yang tak pernah salah. Merenungkan tubuh kita sendiri—sebagai mikrokosmos dari Bumi—adalah bentuk tafakkur yang paling personal dan mendesak. Siapa yang mengatur denyut jantung tanpa kita sadari? Siapa yang mengarahkan sistem imun untuk melawan penyakit? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini adalah pengakuan terhadap Kehendak Ilahi yang mutlak.
Alt: Ilustrasi kosmik yang menunjukkan planet, bintang, dan mata/akal yang merenung, melambangkan Ulul Albab yang mengamati penciptaan langit dan bumi.
Setelah merujuk pada ruang (langit dan bumi), ayat ini beralih ke dimensi waktu melalui fenomena "silih bergantinya malam dan siang" (ikhtilaf al-layl wa an-nahar). Pergantian ini adalah tanda yang lebih dekat dan lebih konstan, memengaruhi setiap detik kehidupan kita. Jika penciptaan langit dan bumi adalah manifestasi Kekuatan (Qudrat) Allah, maka pergantian malam dan siang adalah manifestasi Pengaturan (Tadbir) dan Kebijaksanaan (Hikmah) Allah.
Malam dan siang diciptakan dengan durasi dan intensitas yang bervariasi sepanjang tahun (musim). Variasi ini esensial. Siang membawa energi surya yang memungkinkan fotosintesis, menyediakan makanan bagi seluruh rantai kehidupan. Malam, di sisi lain, membawa penurunan suhu, memungkinkan istirahat, dan memulihkan energi yang terkuras. Jika bumi berhenti berputar, atau jika pergantian ini terjadi secara tiba-tiba tanpa transisi, kehidupan akan musnah.
Ritmen sirkadian (jam biologis) manusia dan semua makhluk hidup sangat bergantung pada pergantian ini. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan bahwa bahkan dalam hal yang tampak rutin—terbit dan terbenamnya matahari—tersembunyi jutaan variabel yang diselaraskan secara sempurna demi keberlangsungan eksistensi.
Secara spiritual, malam dan siang juga mengandung simbolisme mendalam. Malam adalah waktu untuk tenang, introspeksi, dan ibadah rahasia (Qiyamul Lail). Ia mewakili penutup, kerahasiaan, dan istirahat dari hiruk pikuk dunia. Siang melambangkan aktivitas, mencari rezeki, dan interaksi sosial. Pergantian ini mengajarkan manusia tentang siklus kehidupan, pentingnya keseimbangan antara kerja dan ibadah, antara aktivitas duniawi dan persiapan akhirat.
Keteraturan yang tak terelakkan dari siklus ini—bahwa setelah setiap malam pasti datang siang, dan setelah setiap siang pasti datang malam—adalah pelajaran tentang kepastian janji Ilahi dan kepastian hukum kausalitas. Ia mengajarkan kita harapan (saat fajar menyingsing) dan kepasrahan (saat kegelapan datang).
Kontemplasi yang mendalam pada dinamika waktu ini mengarahkan Ulul Albab untuk menyadari bahwa waktu itu sendiri adalah ciptaan, dan Sang Pencipta berada di luar batasan waktu. Ini adalah titik awal untuk memahami sifat keabadian Ilahi.
Inti dari ayat 190 adalah penegasan bahwa tanda-tanda kosmik ini ditujukan secara spesifik kepada Ulul Albab. Secara harfiah, al-albab (bentuk jamak dari lubb) berarti 'inti' atau 'sari pati'. Jadi, Ulul Albab adalah mereka yang memiliki inti akal yang murni, yang mampu menembus lapisan luar fenomena untuk mencapai hakikat batiniah. Mereka bukan sekadar orang cerdas, tetapi orang yang menggunakan kecerdasan mereka untuk tujuan tertinggi: mengenal Allah.
Ulul Albab tidak menerima dogma secara pasif. Mereka adalah ilmuwan sejati, filsuf spiritual. Mereka menggunakan metode induktif: mengamati detail penciptaan, mengumpulkan data (tanda-tanda), dan menarik kesimpulan yang logis dan tak terbantahkan tentang Keberadaan dan Kekuasaan Sang Pencipta. Akal mereka berfungsi sebagai alat kritik yang menolak kemusyrikan dan kesia-siaan.
Mereka selalu berada dalam keadaan bertanya. Mengapa awan berbentuk seperti ini? Mengapa air mendidih pada suhu tertentu? Mengapa jari-jari memiliki ruas yang fleksibel? Setiap jawaban membawa mereka lebih dekat kepada kesadaran bahwa hukum alam adalah manifestasi dari Kehendak Ilahi, bukan sekadar kebetulan tanpa makna.
Ayat 191, yang mengikuti, menjelaskan perilaku Ulul Albab: mereka adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan berpikir tentang penciptaan langit dan bumi. Ini adalah integrasi sempurna antara hati dan akal (Zikir dan Fikir).
Kontemplasi Ulul Albab tidak berakhir pada penemuan ilmiah; ia selalu berpuncak pada doa dan pengakuan ketidakberdayaan manusia di hadapan keagungan Allah: "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran: 191). Ini menunjukkan bahwa kontemplasi sejati harus menghasilkan peningkatan ketakwaan dan ketundukan.
Kesimpulan logis dari kontemplasi (tafakkur) terhadap ayat 190 adalah penolakan total terhadap konsep kesia-siaan (batil). Alam semesta yang begitu teratur, harmonis, dan kaya akan detail tidak mungkin diciptakan tanpa tujuan. Setiap atom memiliki fungsi, setiap siklus memiliki makna, dan setiap makhluk hidup adalah bagian dari jaring yang terintegrasi. Menciptakan kesempurnaan kosmik ini hanya untuk dihancurkan tanpa pertanggungjawaban adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat Kebijaksanaan Ilahi.
Jika Ulul Albab telah menyimpulkan bahwa penciptaan ini bukan batil, maka konsekuensi logisnya adalah adanya kehidupan setelah mati dan Hari Pembalasan. Karena Allah itu Maha Adil, dan karena banyak kezaliman di dunia ini tidak terbalaskan, maka pasti ada tempat dan waktu di mana keadilan mutlak ditegakkan. Tujuan penciptaan alam semesta ini, dengan segala kompleksitasnya, adalah untuk menjadi panggung bagi ujian moral dan spiritual manusia, yang akan dipertanggungjawabkan kelak.
Tafakkur yang diperintahkan dalam ayat 190 menolak pandangan materialisme dangkal yang melihat alam hanya sebagai materi yang kebetulan dan tanpa jiwa. Ulul Albab melihat transendensi di balik immanensi. Mereka melihat Cahaya (Nur) Allah yang termanifestasi dalam hukum-hukum fisika dan keindahan biologis. Mereka tidak mengkultuskan alam, tetapi mengkultuskan Pencipta alam. Mereka melihat tanda, bukan hanya objek tanda itu sendiri.
Ayat 190 sering dianggap sebagai ayat emas yang mendesak umat Islam untuk terlibat secara aktif dalam sains. Ayat ini memberikan legitimasi dan motivasi spiritual tertinggi untuk penelitian dan penemuan. Para ilmuwan Muslim abad pertengahan yang meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern, seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi, sering merujuk pada konsep tafakkur ini sebagai dorongan intelektual mereka.
Dalam pandangan Ulul Albab, hukum-hukum fisika (gravitasi, termodinamika, elektromagnetisme) bukanlah sekadar prinsip impersonal, tetapi 'Ayah' atau tanda-tanda yang ditetapkan oleh Allah. Mempelajari fisika adalah membaca tulisan tangan Ilahi. Semakin dalam seseorang memahami mekanika kuantum atau teori relativitas, semakin besar kekagumannya terhadap arsitektur kosmik yang tak tertandingi.
Ayat ini menekankan pentingnya observasi (melihat langit dan bumi, melihat pergantian malam dan siang). Ini adalah fondasi dari metode ilmiah empiris. Tafakkur bukanlah meditasi pasif yang dilakukan dalam isolasi, melainkan analisis aktif terhadap data empiris yang tersedia di alam semesta. Hal ini mendorong pembentukan peradaban yang menghargai keakuratan, penelitian, dan penemuan.
Misalnya, saat mengamati pergantian siang dan malam, seorang Ulul Albab tidak hanya melihat matahari terbit dan terbenam, tetapi merenungkan: sudut kemiringan bumi, kecepatan rotasi yang tepat 1000 mil per jam, jarak dari matahari yang sempurna untuk menjaga suhu yang sesuai, dan komposisi gas atmosfer yang memungkinkan cahaya matahari mencapai permukaan tanpa membakar kehidupan.
Alt: Ilustrasi sederhana pembagian dua sisi, melambangkan pergantian malam (gelap) dan siang (terang) sebagai tanda kekuasaan Ilahi.
Dalam tradisi spiritual, ibadah seringkali dipahami dalam bentuk ritual (salat, puasa). Namun, ayat 190 dan 191 menaikkan kontemplasi (tafakkur) menjadi bentuk ibadah yang setara, bahkan menjadi inti dari pemahaman tauhid. Tafakkur adalah ibadah intelektual yang menghubungkan ritual dengan realitas kosmik.
Para sufi dan filsuf Muslim sering menyatakan bahwa tafakkur sesaat lebih baik daripada ibadah yang berlangsung setahun penuh, karena tafakkur yang benar akan menghasilkan peningkatan kualitas ibadah ritual, sementara ritual tanpa tafakkur seringkali menjadi rutinitas tanpa makna. Tafakkur adalah mesin yang memproduksi ketakutan (khauf) dan harapan (raja') yang seimbang.
Seorang Ulul Albab tidak pernah bosan dengan dunia. Setiap daun yang gugur, setiap hujan yang turun, setiap wajah manusia yang dilihat adalah materi kontemplasi. Mengapa setiap manusia memiliki sidik jari yang unik? Mengapa rasa sakit diperlukan untuk melindungi tubuh? Mengapa ada begitu banyak keragaman warna, rasa, dan tekstur? Keragaman ini adalah bukti dari Keagungan Sang Pencipta yang tidak mungkin menciptakan pengulangan yang membosankan.
Tafakkur terhadap kebesaran alam semesta secara otomatis menghasilkan kerendahan hati. Ketika seseorang menyadari bahwa planet kita hanyalah setitik debu di lengan Galaksi Bima Sakti, dan Galaksi Bima Sakti hanyalah satu dari triliunan galaksi, maka ia menyadari betapa kecil dan fananya dirinya. Kerendahan hati ini sangat penting, karena ia menghancurkan kesombongan (kibr) yang merupakan penghalang terbesar antara hamba dan Penciptanya. Kontemplasi adalah obat penawar bagi ego.
Ayat ini mengajarkan bahwa pencarian kebenaran spiritual bukanlah melalui pelarian dari dunia, tetapi melalui keterlibatan yang sadar dan mendalam dengan realitas dunia yang tampak. Langit dan bumi bukanlah penjara, melainkan jendela menuju kebenaran absolut.
Ketika Ulul Albab telah mencapai kesadaran tauhid melalui kontemplasi kosmik, implikasi moral dan sosialnya akan segera terlihat dalam perilaku sehari-hari. Pengenalan terhadap Tuhan yang Maha Pengatur tidak mungkin tidak menghasilkan akhlak yang baik.
Jika bumi dan segala isinya adalah tanda-tanda Allah yang diciptakan tanpa sia-sia, maka merusak atau menyia-nyiakan tanda-tanda tersebut adalah sebuah dosa besar. Ulul Albab memiliki kesadaran ekologis yang tinggi. Mereka memahami bahwa sebagai khalifah (wakil) di bumi, tugas mereka adalah memelihara harmoni yang telah diciptakan. Pengelolaan sumber daya alam, keadilan lingkungan, dan penolakan terhadap polusi adalah buah dari tafakkur terhadap 'khalqis samawati wal ard'.
Ayat 190 mengajarkan tentang kesatuan sumber: segala sesuatu berasal dari Satu Pencipta. Kesadaran ini menumbuhkan persatuan dan menolak diskriminasi. Jika semua manusia, terlepas dari suku atau warna kulit, adalah bagian dari ciptaan agung yang sama, maka penghormatan terhadap martabat manusia menjadi wajib. Ulul Albab adalah mereka yang memperjuangkan keadilan, karena kezaliman adalah bentuk kekacauan yang bertentangan dengan tatanan kosmik yang sempurna.
Kontemplasi terhadap perbedaan malam dan siang juga dapat diterjemahkan ke dalam sosiologi: manusia diciptakan berbeda-beda (warna kulit, bahasa, budaya), namun perbedaan (ikhtilaf) ini bukanlah sumber konflik, melainkan sumber kekayaan dan sinergi, sama seperti pergantian malam dan siang yang meskipun berbeda, justru menghasilkan keseimbangan sempurna bagi bumi.
Ayat 190 telah menjadi fondasi bagi tradisi intelektual Islam yang kaya. Dari pemikiran skolastik (kalam) hingga mistisisme (tasawwuf), ayat ini menyediakan titik temu antara wahyu dan akal.
Para teolog menggunakan ayat ini sebagai salah satu argumen terkuat untuk membuktikan keberadaan Allah (argumen teleologis atau argumen desain). Mereka berpendapat bahwa keteraturan dan desain yang ditemukan di alam semesta secara rasional menuntut keberadaan Desainer yang maha sempurna. Ayat ini menegaskan bahwa penggunaan akal adalah kewajiban agama, bukan sekadar pelengkap.
Bagi para ahli tasawwuf, tafakkur adalah tahap penting dalam perjalanan spiritual. Mereka melihat alam bukan hanya sebagai objek kajian, tetapi sebagai cermin (mir'at) yang memantulkan sifat-sifat Ilahi (Asma wa Sifat). Ketika mereka melihat lautan yang luas, mereka merenungkan sifat Al-Muhit (Yang Maha Meliputi); ketika mereka melihat gunung yang kokoh, mereka merenungkan sifat Al-Qawiyy (Yang Maha Kuat). Bagi sufi, langit dan bumi adalah manifestasi nyata dari Cinta Ilahi.
Ibadah mereka, yang dijelaskan dalam ayat 191—berzikir dalam segala posisi—adalah hasil dari tafakkur kosmik ini. Setelah mencapai pengakuan akan kebesaran Allah melalui alam, hati mereka dipenuhi dengan kerinduan dan ketakutan yang membuat zikir menjadi respons spontan dan konstan, tidak terikat pada waktu atau posisi tertentu.
Di era yang didominasi oleh teknologi informasi dan seringkali dicirikan oleh kekosongan spiritual, Surah Ali Imran ayat 190 menawarkan solusi yang sangat relevan terhadap krisis eksistensial. Banyak orang modern merasa terasing dan kehilangan makna karena mereka telah memisahkan akal dari hati, dan sains dari spiritualitas.
Ayat ini menantang pemisahan (dikotomi) antara agama dan sains yang umum terjadi di Barat. Bagi Ulul Albab, sains bukan ancaman terhadap iman, melainkan pelayan iman. Setiap penemuan baru—apakah itu gelombang gravitasi atau kompleksitas biokimia—hanyalah validasi baru terhadap pernyataan bahwa 'dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda-tanda'. Ayat 190 mengajak kita untuk melihat teleskop dan mikroskop bukan sebagai alat material semata, tetapi sebagai alat bantu untuk berzikir.
Keterasingan modern (alienasi) sering berasal dari perasaan bahwa keberadaan manusia adalah kebetulan yang tidak berarti. Tafakkur yang dipandu oleh ayat 190 menawarkan makna yang tak terbatas. Dengan menyadari bahwa kita hidup di tengah tatanan kosmik yang sengaja dirancang dengan sempurna, setiap individu menemukan tempatnya yang unik dan signifikan dalam skema besar Ilahi. Rasa terasing berganti menjadi rasa keterhubungan yang mendalam (ittiṣāl).
Kontemplasi puncak yang dicapai Ulul Albab adalah penegasan terhadap Tauhid, keesaan Allah. Jika ada dua atau lebih pencipta yang independen, pasti akan terjadi kekacauan di alam semesta. Hukum alam akan saling bertentangan, dan tatanan yang kita saksikan—mulai dari skala kuantum hingga galaksi—akan runtuh.
Namun, yang kita lihat adalah keseragaman, koherensi, dan konsistensi. Air mendidih pada 100 derajat Celsius di mana pun di bumi (pada tekanan yang sama). Hukum kekekalan energi berlaku di mana pun di alam semesta yang dapat diamati. Konsistensi hukum ini adalah bukti terkuat bahwa sumbernya adalah Esa (Satu), tanpa mitra, tanpa tandingan, dan tanpa cacat dalam perencanaan-Nya. Penciptaan adalah argumen Tauhid yang paling meyakinkan.
Setiap orang yang merenungkan detail penciptaan—misalnya, bagaimana semut kecil menemukan jalan pulang atau bagaimana biji tumbuh menjadi pohon raksasa yang menantang gravitasi—akan mencapai kesimpulan yang sama: hanya ada Satu Kekuatan yang dapat mengatur segalanya dengan kebijaksanaan yang tak terbatas ini.
Ayat 190 dari Surah Ali Imran bukan sekadar ayat Al-Qur'an; ia adalah paradigma berpikir. Ia adalah perintah untuk tidak hidup dalam kebodohan dan kelalaian, melainkan untuk hidup dalam kesadaran penuh terhadap kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta yang terhampar di setiap sudut ruang dan waktu. Bagi Ulul Albab, langit dan bumi adalah sajadah abadi yang mengajak mereka untuk bersujud dan mengakui keesaan Tuhan, memimpin pada kehidupan yang bermakna dan berorientasi pada kebenaran.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mempraktekkan tafakkur, mengikuti jejak Ulul Albab, agar setiap hirupan napas, setiap langkah kaki di atas bumi, dan setiap pandangan ke langit malam yang bertabur bintang menjadi pengingat abadi akan keagungan-Nya. Dengan demikian, kita menemukan kedamaian, tujuan, dan jalan kembali kepada Kebenaran.