Kekuasaan Absolut (Malikul Mulk) dan Kontrol Kosmik
Surah Ali Imran merupakan surah Madaniyyah yang secara spesifik membahas isu-isu krusial terkait hubungan dengan ahli kitab (khususnya kaum Nasrani), menegaskan tauhid yang murni, dan memberikan pedoman bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan politik, sosial, dan teologis. Ayat 26 dan 27 hadir sebagai penegasan fundamental mengenai Hak Prerogatif Allah SWT sebagai satu-satunya Penguasa Semesta Alam. Kedua ayat ini diletakkan di tengah-tengah diskusi tentang otoritas dan kekuasaan, mengingatkan bahwa segala bentuk kekuatan dan kerajaan di dunia ini hanyalah pinjaman sementara yang berada di bawah kendali mutlak Sang Pencipta.
Pernyataan kedaulatan ini bukan sekadar doktrin teologis, melainkan juga respons terhadap ambisi duniawi dan pertikaian kekuasaan yang sering terjadi di kalangan manusia. Kedua ayat ini berfungsi sebagai pilar akidah yang meneguhkan bahwa semua perubahan—baik dalam skala politik, ekonomi, maupun kosmik—adalah manifestasi dari kehendak Ilahi yang sempurna dan tidak terbatasi oleh hukum alam atau hukum manusia.
Terjemah: Katakanlah (Muhammad): “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (Malikul Mulk), Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26)
Ayat ini dimulai dengan seruan (قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ). Panggilan ini menggunakan lafadz Allahumma, yang merupakan bentuk seruan indah yang menggabungkan lafadz Allah dengan mim yang berfungsi sebagai pengganti huruf seruan (Ya). Ini menciptakan rasa khidmat dan pengagungan yang luar biasa. Allah didefinisikan sebagai Malikul Mulk. Konsep Al-Mulk mencakup segala bentuk kerajaan, kekuasaan, otoritas, kepemilikan, dan dominasi—bukan hanya kerajaan politik, tetapi juga kerajaan spiritual, kekayaan, kesehatan, dan bahkan kekuasaan atas hati manusia. Dengan gelar Malikul Mulk, ditegaskan bahwa Allah adalah Raja dari segala raja, Pemilik dari segala kepemilikan. Kekuasaan-Nya adalah hakiki, abadi, dan universal, berbeda dengan kekuasaan manusia yang fana dan terbatas.
Ayat ini melanjutkan dengan empat pasang kontradiksi yang menunjukkan kontrol total Allah atas nasib duniawi dan rohani:
Kontras yang tajam ini memperlihatkan dinamika kehidupan. Kekuatan dan kelemahan, kemuliaan dan kehinaan, semua berada dalam siklus kendali Ilahi. Orang beriman diajarkan untuk tidak terlalu terikat pada kemuliaan duniawi, karena ia dapat dicabut sewaktu-waktu.
Pernyataan بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ (Di tangan Engkaulah segala kebajikan) adalah titik sentral teologis. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa frasa ini membatasi sumber segala kebaikan hanya pada Allah SWT. Meskipun Allah menciptakan kebaikan dan keburukan (sebagai ujian), pernyataan ini secara eksplisit menegaskan bahwa hakikat kebaikan (al-khair) secara mutlak berasal dari-Nya. Ini juga memberikan makna optimisme dan kepasrahan, karena segala sesuatu yang diberikan oleh Allah—meskipun terkadang tampak sebagai musibah atau kehilangan kekuasaan—pasti mengandung unsur kebaikan dan hikmah yang tak terhingga.
Tafsiran yang sangat mendalam terkait frasa ini menekankan bahwa bahkan ketika Allah mencabut kekuasaan atau memberikan kehinaan, tindakan itu sendiri, dalam skema besar keadilan dan hikmah-Nya, merupakan *khair*. Keburukan (asy-syarr) dalam pandangan Islam klasik seringkali dipandang sebagai ketiadaan kebaikan atau hasil dari perbuatan manusia, namun kekuasaan Allah yang mencakup segala sesuatu selalu berorientasi pada hasil akhir yang mengandung kebaikan universal bagi alam semesta yang diatur-Nya.
Ayat 26 ditutup dengan إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ (Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu). Kata Qadir (Maha Kuasa) adalah penegasan mutlak. Jika Dia mampu mengatur siklus kekuasaan di antara miliaran manusia, memberikan dan mencabut, memuliakan dan menghinakan, maka tidak ada satu pun perkara, baik besar maupun kecil, yang luput dari jangkauan Kekuasaan-Nya. Penutup ini mengikat semua pernyataan sebelumnya, menjadikan tauhid rububiyah (keesaan dalam penciptaan dan pengaturan) sebagai fondasi tak tergoyahkan.
Terjemah: Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa batas.
Bagian pertama ayat ini membahas perubahan fenomena alam: تُولِجُ ٱلَّيْلَ فِى ٱلنَّهَارِ وَتُولِجُ ٱلنَّهَارَ فِى ٱلَّيْلِ (Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam). Kata kunci di sini adalah Tūliju, yang berarti "memasukkan secara perlahan dan bertahap." Ini menggambarkan transisi yang mulus dan teratur antara siang dan malam, seperti memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Transisi ini bukan sekadar pergantian, tetapi penambahan durasi yang satu ke yang lain, menciptakan musim yang berbeda dan menyeimbangkan kehidupan di bumi.
Secara spiritual, fenomena ini melambangkan hukum perubahan (sunnatullah) yang tak terhindarkan. Sebagaimana malam pasti datang menggantikan siang, dan siang pasti kembali setelah malam, demikian pula keadaan manusia—kesulitan digantikan kemudahan, dan kemudahan diuji dengan kesulitan. Allah yang mengatur perputaran kosmik ini juga mengatur perputaran nasib manusia.
Ayat ini kemudian beralih ke ranah kehidupan dan kematian: وَتُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ (Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup). Ini memiliki makna literal dan metaforis yang luas:
Pengulangan frasa ini menekankan bahwa kekuasaan Allah tidak mengenal batas antara kontradiksi; Dia adalah Pencipta yang mampu membalikkan segala keadaan.
Ayat 27 ditutup dengan janji agung tentang rezeki: وَتَرْزُقُ مَن تَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (Dan Engkau beri rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa batas). Kata Bighairi Hisāb berarti "tanpa perhitungan" atau "tanpa batas."
Ini bukan berarti Allah tidak tahu jumlahnya, melainkan bahwa rezeki yang diberikan-Nya sangat melimpah, tidak terikat oleh sebab-akibat yang dipahami manusia, dan jauh melampaui kemampuan kita untuk menghitung atau membatasi. Rezeki di sini mencakup segala sesuatu yang bermanfaat: harta, ilmu, kesehatan, kedamaian, pasangan hidup, dan yang terpenting, hidayah.
Klausa "kepada siapa yang Engkau kehendaki" menegaskan kembali bahwa distribusi rezeki adalah prerogatif Allah. Dia memberikannya kepada orang yang taat dan juga kepada orang yang ingkar. Keberlimpahan rezeki (bukan kemiskinan) adalah bukti kekayaan-Nya yang tak terbatas, dan hal ini harus mendorong hamba untuk selalu bergantung hanya kepada-Nya, bukan kepada perantara atau kekayaan duniawi yang fana.
Ayat 26 dan 27 Surah Ali Imran membentuk satu kesatuan yang kohesif, menegaskan Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam Mengatur dan Menciptakan) dari dua perspektif utama:
Kedua ayat ini secara kolektif menjawab pertanyaan fundamental mengenai asal-usul dan nasib segala sesuatu. Jika Allah mampu mengatur rotasi siang dan malam yang sedemikian masif dan mengatur rezeki secara tak terhingga, maka mengatur naik-turunnya sebuah kekaisaran adalah perkara yang jauh lebih mudah bagi-Nya. Kesimpulan yang diperoleh adalah keyakinan total bahwa di balik segala peristiwa yang kita saksikan, baik yang bersifat mikro (kematian sel) maupun makro (runtuhnya peradaban), terdapat Kekuasaan Mutlak (Al-Qadir) dan Penguasaan Tertinggi (Malikul Mulk).
Kata Mālik (Pemilik) dan Mālik (Raja) memiliki nuansa yang berbeda. Dalam konteks ini, Al-Quran menggunakan Mālikal-Mulk, yang sering diartikan sebagai "Raja dari Kerajaan/Kedaulatan." Ini menunjukkan kepemilikan dan kontrol aktif. Allah tidak hanya memiliki, tetapi Dia secara aktif menjalankan kekuasaan atas kerajaan tersebut. Ini bertentangan dengan filosofi atau teologi yang memandang Tuhan sebagai Pencipta yang kemudian membiarkan ciptaan berjalan sendiri (Deisme). Islam menegaskan bahwa Allah terus-menerus terlibat dalam pengaturan setiap detail di alam semesta.
Ketika ayat 26 menyatakan bahwa "Di tangan Engkaulah segala kebajikan (Al-Khair)," ini adalah fondasi etika Islam. Segala yang berasal dari Allah adalah baik. Ujian, musibah, kehilangan kekuasaan—semua ini adalah *khair* karena mengandung hikmah, mengarah pada pemurnian jiwa, atau menegakkan keadilan yang lebih besar. Konsepsi ini menghilangkan gagasan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur keburukan secara independen dari Kehendak Allah. Kebaikan adalah esensi dari tindakan Ilahi, sementara keburukan seringkali adalah dampak dari pilihan manusia di bawah izin-Nya.
Para mufassir kontemporer, selain melihat aspek spiritual dan biologis, juga melihat aplikasi sosiologis. Mengeluarkan yang hidup dari yang mati dapat berarti membangkitkan peradaban yang makmur (hidup) dari bangsa yang tertinggal dan mati secara intelektual atau moral, dan sebaliknya. Ini memberikan harapan besar bagi komunitas yang merasa terpinggirkan atau tertindas, karena Allah memiliki kapasitas untuk membalikkan keadaan sosiopolitik secara radikal dan total, tanpa dibatasi oleh statistik atau prediksi manusia.
Klausa "tanpa perhitungan" (bighairi hisab) bukan hanya menunjukkan kuantitas, tetapi juga kualitas. Rezeki yang diberikan adalah rezeki yang tidak terduga, yang datang dari sumber yang tidak disangka-sangka (rezeki min haitsu la yahtasib). Ini menanamkan Tawakkal (penyerahan diri) yang mutlak. Ketika seorang hamba menyadari bahwa sumber rezeki tidak terbatas pada gajinya, usahanya, atau koneksinya, tetapi pada Kehendak Sang Pemberi Rezeki Yang Maha Luas, maka jiwanya terbebas dari kecemasan material.
Refleksi Mendalam: Kekuatan yang diberikan oleh Allah (seperti kerajaan) adalah ujian. Pencabutan kekuasaan adalah pengingat. Pemasukan siang ke dalam malam adalah janji akan perubahan. Dan rezeki yang tak terbatas adalah bukti kasih sayang-Nya. Seorang Muslim harus melihat seluruh dinamika hidupnya melalui lensa ayat-ayat ini, menumbuhkan kerendahan hati dan kepasrahan total (taslim).
Memahami Surah Ali Imran ayat 26 dan 27 bukan hanya untuk menambah pengetahuan teologis, tetapi harus merubah cara pandang dan perilaku harian:
Ayat 26 mengajarkan para pemimpin untuk selalu rendah hati. Kekuasaan adalah amanah yang dapat dicabut kapan saja. Pemimpin sejati yang memahami ayat ini tidak akan zalim, karena mereka tahu bahwa kehinaan spiritual dan duniawi menanti mereka yang menyalahgunakan otoritas pinjaman Ilahi. Bagi rakyat, ayat ini mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa di bawah rezim yang zalim, karena Allah, *Malikul Mulk*, pasti akan mencabut kekuasaan tersebut pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, sesuai dengan hikmah-Nya.
Ketika seseorang merasa terhina (tu'dzillu) atau kehilangan segalanya (tanzi'ul mulk), ayat ini menjadi penawar. Karena segala kebaikan (al-khair) ada di tangan Allah, setiap situasi yang tampaknya buruk pasti mengandung kebaikan tersembunyi. Kegagalan hari ini bisa menjadi pelajaran yang memuliakan (tu'izzu) di masa depan. Konsep perputaran siang dan malam memberikan jaminan bahwa kesengsaraan (malam) tidak akan abadi; pasti akan ada fajar (siang) yang menggantikannya.
Ayat 27 adalah sumber motivasi untuk mencari rezeki sambil memelihara tauhid. Usaha manusia (ikhtiar) tetap wajib, tetapi hati harus bertawakkal sepenuhnya kepada Allah karena rezeki yang sesungguhnya diberikan bighairi hisab. Keyakinan ini mencegah seseorang dari melakukan praktik curang atau terjerumus dalam riba demi materi, sebab ia tahu bahwa rezeki yang halal dan berkah lebih utama daripada kekayaan yang tercela.
Kekuatan Allah dalam mengeluarkan yang hidup dari yang mati adalah bukti yang paling jelas tentang Hari Kebangkitan. Jika Allah mampu menciptakan kehidupan dari ketiadaan dan membalikkan materi yang mati menjadi zat yang hidup di dunia ini, maka membangkitkan kembali manusia dari kuburnya di hari kiamat adalah janji yang pasti terlaksana. Ayat ini memperkuat keyakinan terhadap Hari Perhitungan, yang merupakan motivasi utama bagi amal shalih.
Kedalaman ayat 26 dan 27 mengajak kita merenungkan kedaulatan Allah dari sudut pandang yang melampaui batas-batas kemanusiaan biasa. Manusia modern sering kali mencoba menjelaskan alam semesta hanya melalui hukum fisika yang teramati. Namun, Al-Qur'an menempatkan Allah sebagai entitas yang melampaui dan mengatur hukum-hukum tersebut. Dia bukan hanya Pengatur, tetapi sumber dari seluruh sistem. Ketika kita menyaksikan matahari terbit, kita tidak hanya melihat rotasi planet, tetapi juga manifestasi dari Malikul Mulk yang sedang "memasukkan siang ke dalam malam" (tūliju) dengan ketelitian yang sempurna.
Dalam filsafat, seringkali muncul pertanyaan tentang masalah kejahatan (the problem of evil). Ayat 26 memberikan jawaban teologis yang jelas: biyadikal-khairu. Meskipun keburukan dapat terjadi sebagai akibat dari pilihan bebas manusia, atau sebagai ujian, sistem utama yang dijalankan oleh Allah adalah sistem kebaikan. Kezaliman yang dirasakan oleh individu atau kelompok adalah anomali sementara yang akan dikoreksi oleh kekuasaan yang lebih tinggi, baik di dunia ini melalui pencabutan kekuasaan (tanzi'ul mulk) atau di Akhirat melalui keadilan mutlak.
Kajian mendalam terhadap kata kerja yang digunakan dalam ayat-ayat ini (tūti, tanzi'u, tu'izzu, tużillu, tūliju, tukhriju, tarzuqu) menunjukkan bahwa Allah adalah subjek yang selalu aktif. Kekuasaan-Nya bukanlah statis; ia dinamis, terus-menerus menggerakkan kerajaan, nasib, dan alam semesta. Ini adalah kekuasaan yang hadir, bukan kekuasaan yang absen.
Perputaran siang dan malam (*tūlijul-laila fin-nahāri*) juga merupakan kiasan tentang waktu dan usia. Allah mengontrol perjalanan waktu bagi setiap makhluk. Manusia diberi waktu terbatas untuk beramal. Kesadaran bahwa Allah mengatur waktu harus mendorong manusia untuk menggunakan waktu dengan bijak, karena waktu itu sendiri adalah bagian dari "kerajaan" yang diatur oleh-Nya. Setiap detik yang kita jalani, setiap pergantian musim, adalah pengulangan harian dan musiman dari deklarasi Ilahi dalam ayat 27.
Ayat 26-27 memberikan visi yang lengkap tentang keesaan Allah: Dia adalah Penguasa (Malikul Mulk), Hakim (yang memuliakan dan menghinakan), Sumber Kebaikan (Biyadikal Khair), Pengatur Kosmik (Tūliju), Pemberi Kehidupan dan Kematian (Tukhriju), dan Pemberi Rezeki Tanpa Batas (Tarzuqu Bighairi Hisab). Menginternalisasi makna ayat-ayat ini adalah langkah fundamental menuju penguatan akidah dan peningkatan kualitas ibadah seorang Muslim.
Dalam konteks teologi kekuasaan, ayat ini berfungsi sebagai kontras antara kepastian Ilahi dan ketidakpastian manusia. Sementara manusia merencanakan dan berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaan atau kekayaan, Allah-lah yang pada akhirnya menentukan hasil akhirnya. Pengetahuan ini adalah sumber ketenangan terbesar bagi jiwa yang mencari kedamaian sejati, karena ia mengetahui bahwa seluruh nasibnya berada di tangan Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa.
Pilar-pilar kekuasaan Ilahi yang dijelaskan di sini meliputi segala aspek eksistensi. Jika kita memecah ayat 26, kita menemukan empat dimensi kekuasaan politik/sosial: memberi kerajaan, mencabut kerajaan, memuliakan, dan menghinakan. Sementara ayat 27 fokus pada empat dimensi kekuasaan kosmik/eksistensial: memendekkan malam/memanjangkan siang, memendekkan siang/memanjangkan malam, mengeluarkan hidup dari mati, dan mengeluarkan mati dari hidup. Seluruh delapan manifestasi ini disimpulkan oleh dua sifat utama: Biyadikal Khair (Seluruh Kebaikan ada di tangan-Nya) dan Innaka ‘Ala Kulli Syai’in Qadir (Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Kajian ini harus terus-menerus digali, diulang, dan direnungkan, karena keagungan ayat-ayat ini tidak dapat dipahami sepenuhnya hanya dengan sekali baca. Setiap kata adalah samudera hikmah yang menghubungkan hamba yang lemah dengan Penguasa Semesta Yang Maha Perkasa.
Perenungan terhadap konsep Malikul Mulk membawa seorang hamba pada kesadaran mendalam bahwa setiap hirarki kekuasaan yang ia hadapi di dunia fana ini adalah manifestasi sementara dari kekuasaan Absolut yang hakiki. Apakah itu kekuasaan direktur di kantor, raja di singgasananya, atau hakim di pengadilan, semuanya tunduk pada titah Malikul Mulk. Kesadaran ini membebaskan hati dari perbudakan kepada makhluk dan mengarahkannya hanya kepada Sang Khaliq. Kebebasan spiritual ini adalah buah termanis dari pemahaman tauhid rububiyah yang terkandung dalam Surah Ali Imran ayat 26 dan 27.
Apabila seseorang dihadapkan pada kesulitan ekonomi, ayat 27 mengingatkannya pada janji wa tarzuqu man tasyā'u bighairi ḥisāb. Ini adalah penegasan bahwa rezeki tidak akan pernah habis hanya karena satu pintu tertutup. Rezeki Allah adalah samudera yang tak bertepi, melampaui perhitungan akal manusia. Rasa takut akan kemiskinan dan keterbatasan material adalah salah satu bentuk syirik tersembunyi, yang ditolak keras oleh hakikat ayat ini. Keyakinan akan rezeki tak terbatas adalah fondasi untuk hidup bermartabat, di mana nilai diri tidak diukur dari kekayaan yang dikumpulkan, melainkan dari kedekatan spiritual dengan Sang Pemberi Rezeki.
Dan ketika kita menyaksikan fenomena alam yang luar biasa, dari badai dahsyat hingga mekarnya bunga di musim semi, semuanya adalah detail yang diatur oleh Dzat yang sama yang mengatur kapan suatu kaum akan dimuliakan dan kapan kaum yang lain akan dicabut kekuasaannya. Keteraturan kosmik dan perubahan sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu Kedaulatan Allah SWT.
Maka, doa yang paling tepat setelah merenungkan ayat-ayat ini adalah doa untuk meminta hidayah dan keberkahan, sambil mengakui bahwa segala yang terjadi adalah kehendak-Nya yang terbaik. Kita memohon kemuliaan yang hakiki (ke-izzah-an spiritual) dan rezeki yang melimpah (bighairi hisab), sembari berserah diri sepenuhnya kepada keputusan Malikul Mulk, Raja Segala Raja, yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pengulangan dan penekanan dalam analisis ini bertujuan untuk menancapkan keyakinan bahwa seluruh variabel kehidupan—kekuatan, kelemahan, keberadaan, rezeki, siang, dan malam—berada dalam kendali tunggal. Tidak ada kekuatan ganda, tidak ada kekacauan yang tak teratur; hanya ada tatanan Ilahi yang sempurna yang mencakup seluruh spektrum eksistensi. Inilah inti dari Tauhid dalam Al-Qur'an.
Semua uraian mengenai kekuasaan, rezeki, dan perubahan kosmik ini pada akhirnya membawa kita kembali kepada kesimpulan agung: Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada keraguan, tidak ada pengecualian. Kekuasaan Allah adalah total, universal, dan abadi.