Pendahuluan: Hakikat Ibadah Qurban dalam Bingkai Ilahi
Ibadah Qurban, yang dilaksanakan setiap tahun pada Hari Raya Idul Adha dan Hari Tasyrik, bukanlah sekadar ritual penyembelihan hewan biasa. Qurban adalah manifestasi ketaatan yang paling mendalam, jembatan penghubung antara hamba dan Sang Pencipta, serta penegasan komitmen seorang Muslim terhadap perintah-perintah-Nya. Dalam bahasa Arab, kata qurban berasal dari akar kata qaruba, yang berarti mendekat. Esensi dari ibadah ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui pengorbanan harta yang dicintai.
Sejarah Qurban sendiri berakar kuat pada kisah dramatis Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Kisah ini tidak hanya mengajarkan tentang kepatuhan tanpa syarat, tetapi juga bagaimana Allah mengganti pengorbanan fisik dengan pengorbanan spiritual yang lebih kekal. Untuk memahami kedalaman filosofi ini, kita harus merujuk langsung kepada sumber utama hukum Islam: Al-Qur'an. Ayat-ayat tentang qurban tersebar dalam beberapa surah, masing-masing membawa dimensi hukum, spiritual, dan sosial yang sangat kaya.
Representasi visual dari ketaatan dan pengorbanan.
Ayat Inti Qurban: Perintah Shalat dan Penyembelihan (Surah Al-Kautsar)
Salah satu ayat yang paling sering dihubungkan dengan perintah Qurban adalah Surah Al-Kautsar, surah terpendek dalam Al-Qur'an, yang mengandung perintah tegas dalam ayat kedua:
Analisis Mendalam Kata "Wanhar"
Kata kunci dalam ayat ini adalah وَاْنحَرْ (Wanhar). Secara harfiah, Nahr (bentuk dasarnya) berarti menyembelih unta dengan menusuk pangkal lehernya saat unta berdiri. Walaupun secara linguistik merujuk pada penyembelihan unta, dalam konteks syariat, perintah ini diperluas mencakup semua jenis hewan qurban (sapi, kambing, domba). Para mufassir memiliki dua penafsiran utama terkait ayat 2:
Tafsir Pertama: Perintah Shalat Idul Adha dan Qurban
Mayoritas ulama, termasuk Ibn Katsir, menafsirkan ayat ini sebagai perintah eksplisit untuk melaksanakan shalat Idul Adha dan kemudian melaksanakan ibadah penyembelihan (Qurban). Tafsir ini didukung oleh Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan, "Barang siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih seperti sembelihan kami, maka ia telah mendapatkan manfaat dari qurban tersebut." Penafsiran ini menegaskan korelasi erat antara ibadah ritual (shalat) dan ibadah harta (qurban), menjadikannya dua pilar utama perayaan Idul Adha. Koneksi antara shalat dan penyembelihan ini menunjukkan bahwa qurban adalah bagian integral dari sistem peribadatan Islam, bukan sekadar tradisi Arab pra-Islam yang diadopsi.
Tafsir Kedua: Posisi Tangan Saat Shalat
Meskipun kurang populer, beberapa ulama, terutama dari kalangan mufassir awal, menafsirkan Wanhar sebagai perintah untuk meletakkan tangan di dada saat shalat (seolah-olah tangan diletakkan di tempat penyembelihan). Namun, tafsir ini dianggap lemah dan jarang digunakan dalam konteks penetapan hukum fiqh, karena konteks surah secara keseluruhan dan praktik Rasulullah SAW lebih mengarah pada perintah penyembelihan hewan.
Penting untuk dipahami bahwa perintah Fasalli li rabbika wanhar menuntut keikhlasan murni. Shalat harus ditujukan hanya kepada Allah (li rabbika), dan demikian pula penyembelihan harus dilakukan semata-mata karena Allah. Ini membedakan Qurban Islam dari praktik penyembelihan yang dilakukan oleh kaum musyrik yang dipersembahkan kepada berhala atau tandingan Allah.
Dimensi Tafsir Al-Kautsar yang Luas
Pemberian Al-Kautsar (nikmat yang banyak) oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW – yang ditafsirkan sebagai telaga di surga, kenabian, atau banyaknya umat – diikuti langsung oleh perintah pengorbanan. Ini menyiratkan sebuah prinsip teologis fundamental: kenikmatan besar harus dibalas dengan ketaatan besar yang melibatkan pengorbanan. Qurban adalah wujud syukur praktis atas nikmat yang tak terhingga.
Ayat Fiqh dan Filosofi Qurban (Surah Al-Hajj)
Sementara Al-Kautsar memberikan perintah dasar, Surah Al-Hajj menyajikan kerangka hukum (fiqh) dan filosofi mendasar tentang mengapa Qurban itu penting. Ayat-ayat kunci berada pada bagian di mana Allah menjelaskan tentang ritual manasik haji, termasuk penyembelihan hewan.
QS. Al-Hajj [22]: 34: Universalitas Ritual
Ayat ini menegaskan bahwa ritual pengorbanan telah menjadi bagian dari syariat umat-umat terdahulu. Namun, inti dari ritual tersebut adalah sama: menyebut nama Allah saat menyembelih (liyadz kurus mallahi). Hal ini menekankan tauhid, bahwa semua rezeki (binatang ternak) berasal dari Allah, dan pengorbanan adalah pengakuan atas kepemilikan mutlak-Nya.
QS. Al-Hajj [22]: 36: Hukum dan Manfaat Daging
Ayat ini secara spesifik menyebut unta (al-budn), yang merupakan hewan qurban paling berharga pada masa itu. Ini menetapkan dua aspek penting: Syiar Agama (manifestasi keagamaan yang tampak) dan Hukum Pembagian. Perintah untuk memakan sebagian dan memberi makan orang yang meminta (al-mu'tarr) serta yang menahan diri (al-qani') menjadi dasar hukum distribusi daging qurban: sepertiga untuk yang berqurban, sepertiga untuk fakir miskin, dan sepertiga untuk kerabat/tetangga.
Penekanan pada kata "kebaikan yang banyak (khair)" menunjukkan bahwa manfaat Qurban tidak terbatas pada pahala akhirat semata, tetapi juga mencakup manfaat sosial-ekonomi di dunia. Hewan ternak ini ditundukkan (sakhkharnaha) untuk manusia, sebuah anugerah yang seharusnya memicu rasa syukur (tasykurun).
QS. Al-Hajj [22]: 37: Inti Qurban adalah Taqwa
Ayat ini adalah mahkota filosofi Qurban. Ini menghilangkan kekhawatiran bahwa ritual tersebut adalah bentuk persembahan darah kepada Tuhan, sebagaimana praktik pagan kuno. Allah tidak membutuhkan daging atau darah. Yang Allah terima dan nilai adalah motivasi spiritual di balik tindakan tersebut: At-Taqwa (ketakwaan).
Ketakwaan dalam konteks Qurban adalah:
- Keikhlasan Niat: Melakukan qurban semata-mata karena memenuhi perintah Allah.
- Kepatuhan Hukum: Memilih hewan yang sehat, cukup umur, dan menyembelih sesuai syariat.
- Pengorbanan Harta Terbaik: Menyerahkan yang terbaik dari yang dimiliki, bukan sisa atau yang tidak layak.
- Kesadaran Sosial: Tujuan distribusi daging adalah pengentasan kemiskinan dan mempererat tali silaturahmi.
Para ulama tafsir menekankan bahwa ayat 37 ini merupakan teguran halus terhadap pemahaman literalistik terhadap ibadah. Qurban harus dilihat sebagai sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah mencapai derajat Taqwa dan Ihsaan (berbuat baik), seperti yang disebutkan di akhir ayat.
Ayat Sejarah Qurban: Puncak Kepatuhan Nabi Ibrahim (Surah Ash-Shaffat)
Untuk memahami mengapa Qurban memiliki kedudukan istimewa, kita harus menengok kisah prototipe pengorbanan, yaitu kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Kisah ini diceritakan secara dramatis dalam Surah Ash-Shaffat, khususnya ayat 102 hingga 107.
QS. Ash-Shaffat [37]: 102: Kesediaan Berkorban
Ayat ini menunjukkan tingkat kepatuhan yang luar biasa dari kedua insan suci tersebut. Ibrahim AS, setelah bertahun-tahun menanti keturunan, dengan tabah menyampaikan perintah Ilahi. Yang lebih menakjubkan adalah jawaban Ismail AS: penyerahan total (aslama) disertai janji kesabaran (as-shaabiriin). Tafsir modern menekankan bahwa ujian ini adalah tentang melepaskan keterikatan hati terhadap makhluk yang paling dicintai demi kecintaan kepada Sang Khaliq. Pengorbanan Qurban di Idul Adha adalah simbolisasi tahunan dari ujian melepaskan keterikatan ini.
QS. Ash-Shaffat [37]: 104-105: Pembeda Antara Mimpi dan Tindakan
Ketika Ibrahim telah menunjukkan kesediaan mutlak, Allah menghentikannya. Tujuan ujian telah tercapai. Allah menghargai niat dan kesediaan untuk melaksanakan perintah, bukan tindakan fisik penyembelihan yang sebenarnya. Ini memperkuat konsep bahwa dalam ibadah Qurban, yang utama adalah niat dan ketaqwaan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Hajj [22]: 37.
QS. Ash-Shaffat [37]: 107: Penebusan Agung
Inilah ayat yang menetapkan tradisi Qurban. Allah mengganti Ismail dengan Dhibhin Azhim (sembelihan yang besar/agung). Para mufassir berbeda pendapat tentang makna keagungan (azhim) ini: apakah karena hewan itu besar (domba/kambing yang gemuk), ataukah karena ia menjadi tebusan bagi Nabi Allah, atau karena ia menjadi syariat yang abadi bagi seluruh umat Muhammad SAW hingga Hari Kiamat. Mayoritas cenderung pada tafsir yang ketiga: keagungannya terletak pada signifikansi spiritual dan hukumnya yang menjadi warisan abadi.
Kaitannya Qurban dengan syariat haji dan ketaatan.
Ekspansi Ayat-Ayat dalam Kerangka Fiqh Qurban
Ayat-ayat Al-Qur'an menjadi landasan bagi penetapan hukum-hukum praktis (fiqh) mengenai qurban. Meskipun Al-Qur'an berbicara secara umum, rinciannya diperjelas melalui Sunnah dan interpretasi ulama mazhab. Implementasi Taqwa yang dituntut oleh Al-Hajj [22]: 37 mewajibkan perhatian terhadap detail hukum.
Ketentuan Hewan Qurban (Berdasarkan Ayat Al-An'am dan Al-Hajj)
Ayat 34 Surah Al-Hajj menyebut bahimatul an’am (binatang ternak). Istilah ini secara spesifik dalam fiqh mencakup:
- Unta: Paling utama (disebut sebagai al-budn dalam Al-Hajj [22]: 36).
- Sapi/Kerbau: Dapat digunakan untuk tujuh orang.
- Domba/Kambing: Untuk satu orang.
Keabsahan (syarat sah) hewan qurban sangat dipengaruhi oleh semangat ayat-ayat Al-Qur'an. Jika yang diterima hanyalah taqwa (Al-Hajj 37), maka pengorbanan haruslah yang terbaik. Oleh karena itu, hewan harus bebas dari cacat yang jelas (buta, sakit parah, pincang, sangat kurus), yang merupakan manifestasi dari memberikan yang terbaik kepada Allah.
Waktu Penyembelihan (Kaitannya dengan Al-Kautsar)
Perintah Wanhar (berkurbanlah) yang diletakkan setelah perintah shalat (Fasalli) dalam Al-Kautsar menjadi dasar penetapan waktu penyembelihan, yaitu setelah pelaksanaan shalat Idul Adha hingga akhir hari Tasyrik (Matahari terbenam pada 13 Dzulhijjah). Penyembelihan sebelum shalat Idul Adha dianggap sedekah biasa, bukan Qurban yang sah, karena melanggar urutan yang disiratkan dalam ayat tersebut.
Hukum Distribusi (QS. Al-Hajj [22]: 36)
Perintah untuk makanlah dan berilah makan menjadi hukum dasar distribusi. Ini bukan hanya masalah amal, tetapi juga hak bagi yang berqurban untuk menikmati sebagian dari ketaatannya, sebuah perbedaan mendasar dari persembahan di masa lalu yang seluruhnya dibakar atau diserahkan kepada pendeta.
Tiga kategori penerima yang secara universal disepakati ulama adalah:
- Yang berqurban dan keluarganya (agar merasakan hasil ketaatan).
- Fakir miskin (perwujudan fungsi sosial Qurban).
- Kerabat dan tetangga, termasuk orang kaya (untuk memperkuat ikatan sosial).
Distribusi ini, yang diperintahkan langsung dalam Al-Qur'an, menunjukkan bahwa Qurban adalah jembatan ekonomi tahunan yang menyalurkan rezeki dari yang mampu kepada yang membutuhkan, mencerminkan keadilan sosial yang mutlak dikehendaki oleh syariat.
Tafsir Ekstensif: Dimensi Taqwa dan Kepatuhan dalam Qurban
Untuk mencapai bobot spiritual yang dituntut oleh ayat-ayat ini, pembahasan Qurban harus diperluas melampaui sekadar fiqh. Konsep Taqwa dari Al-Hajj [22]: 37 memerlukan analisis filosofis mendalam. Para mufassir besar, seperti Imam Al-Qurtubi dan Fakhruddin Ar-Razi, menghabiskan banyak halaman untuk menguraikan mengapa penekanan pada ketakwaan ini begitu sentral.
Taqwa Sebagai Anti-Formalisme
Ayat 37 Surah Al-Hajj berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa ritual tanpa substansi spiritual adalah kosong. Dalam konteks sejarah, banyak agama kuno yang percaya bahwa dewa-dewa mereka dapat dihibur atau ditenangkan melalui darah dan daging persembahan. Islam menolak keras konsep ini. Allah SWT, Dzat yang Maha Kaya, sama sekali tidak terpengaruh oleh jumlah atau kualitas daging yang disembelih. Penerimaan amal bergantung pada kondisi batin, yaitu al-ikhlas (keikhlasan) dan as-sidq (kejujuran niat).
Jika seseorang menyembelih hewan terbaik, namun hatinya penuh riya' (ingin dipuji) atau kesombongan (merasa lebih baik dari yang lain), maka darah dan dagingnya tidak akan sampai kepada Allah. Sebaliknya, Qurban sederhana dari seorang yang ikhlas dan tulus, dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya, itulah yang diterima. Inilah yang dimaksud dengan "yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kamu."
Taqwa dan Ujian Pengorbanan Materi
Kisah Ibrahim AS (Ash-Shaffat 102-107) mengajarkan bahwa pengorbanan terberat adalah pengorbanan emosional. Setelah itu, pengorbanan harta (Qurban) menjadi ujian yang lebih ringan, namun tetap signifikan. Harta, bagi kebanyakan manusia, adalah sumber keterikatan dan kebanggaan. Melepaskan sebagian harta terbaik (hewan yang gemuk dan sehat) adalah tindakan melawan naluri pelit dan tamak. Praktik ini melatih jiwa untuk mendahulukan perintah Ilahi di atas kepentingan duniawi.
Para ulama Hanafiah dan Syafi’iyah mendiskusikan panjang lebar mengenai hukum Qurban: apakah wajib (seperti pendapat mazhab Hanafi) atau Sunnah Muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan, seperti pendapat mayoritas). Perbedaan ini, meskipun bersifat fiqh, berasal dari pemahaman mendalam tentang urgensi perintah ini yang terikat langsung dengan janji nikmat dalam Al-Kautsar.
Pengulangan dan Pendalaman Konsep Tauhid
Ayat-ayat Qurban selalu dibingkai dalam konteks Tauhid (keesaan Allah).
- Al-Kautsar: Fasalli li rabbika (Shalat karena Tuhanmu).
- Al-Hajj 34: Fa ilaahukum ilaahun waahidun (Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa).
- Al-Hajj 37: Litukabbirullaaha 'ala maa hadaakum (Agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya).
Jika kita kembali pada Surah Al-Hajj [22]: 37, penggunaan kata sakhkharaha lakum (Dia menundukkannya untukmu) memiliki bobot teologis yang besar. Hewan-hewan ini diciptakan dan ditundukkan agar manusia memiliki sarana untuk beribadah dan bersyukur. Rasa syukur ini tidak hanya diucapkan, tetapi diwujudkan melalui pengembalian sebagian rezeki tersebut dalam bentuk Qurban, yang dagingnya kemudian dimanfaatkan oleh umat secara luas.
Analisis Linguistik Mendalam pada Kata Kunci Qurban
Untuk memahami kedalaman teks Al-Qur'an, kita perlu mengurai beberapa istilah kunci yang sering muncul dalam konteks ayat-ayat Qurban:
1. Manasik (مَنْسَكًا)
Dalam Al-Hajj [22]: 34, Allah berfirman bahwa Dia telah mensyariatkan manasik bagi setiap umat. Kata manasik secara umum berarti ritual atau tata cara ibadah yang spesifik. Dalam konteks haji, manasik merujuk pada seluruh rangkaian ibadah, termasuk Qurban. Penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa Qurban adalah bagian dari sistem ritual yang terstruktur dan memiliki dimensi historis yang panjang, bukan hanya tradisi sesaat. Setiap umat memiliki cara mendekatkan diri, dan Qurban adalah salah satu cara yang ditetapkan dalam syariat Islam.
2. Bahimatul An’am (بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ)
Istilah ini, yang diterjemahkan sebagai binatang ternak, muncul dalam Al-Hajj [22]: 34. Secara spesifik, An’am merujuk pada empat jenis hewan: unta, sapi, kambing, dan domba. Ini adalah pembatasan syariat terhadap jenis hewan yang dapat dijadikan Qurban, memastikan bahwa ritual ini dilakukan menggunakan jenis hewan yang memiliki nilai ekonomis dan sosial yang signifikan, sehingga pengorbanannya benar-benar terasa.
3. Sha'aairillah (شَعَائِرِ اللَّهِ)
Dalam Al-Hajj [22]: 36, unta qurban (al-budn) disebut sebagai syiar agama Allah. Syiar adalah tanda atau lambang yang menunjukkan identitas agama. Dengan menjadikan Qurban sebagai syiar, Islam memastikan bahwa ritual ini tidak hanya dilakukan secara pribadi, tetapi juga diperlihatkan secara publik sebagai manifestasi kebanggaan dan ketaatan kolektif umat. Inilah mengapa pelaksanaan Qurban dianjurkan dilakukan di tempat terbuka atau di lapangan setelah shalat Idul Adha.
Qurban sebagai Puncak Siklus Pertobatan
Ibadah Qurban dilaksanakan setelah rangkaian ibadah haji, dan khususnya Wukuf di Arafah. Puncak haji adalah pengampunan dosa. Qurban, yang dilakukan pada hari yang sama dengan puncak pelemparan jumrah dan tahallul (bagi yang haji), merupakan penutup dan penyempurna ketaatan. Ia adalah simbolisasi pemutusan keterikatan dengan dosa dan kecintaan yang berlebihan terhadap dunia (diwakili oleh harta terbaik yang disembelih), sekaligus pengagungan atas petunjuk Allah (litukabbirullaaha 'ala maa hadaakum, Al-Hajj 37). Oleh karena itu, Qurban adalah bagian tak terpisahkan dari siklus penyucian diri tahunan.
Pengaruh Ayat pada Etika Konsumsi dan Kedermawanan
Ayat 36 Surah Al-Hajj, yang memerintahkan pembagian daging, memiliki implikasi etika yang jauh melampaui distribusi fisik. Ia mengajarkan kedermawanan dan membatasi keserakahan. Perintah untuk memberi makan al-qani' (orang yang menerima tanpa meminta) dan al-mu'tarr (orang yang meminta) adalah pengakuan terhadap martabat fakir miskin. Masyarakat harus dijamin mendapatkan rezeki dari Allah (daging Qurban) tanpa harus kehilangan kehormatan dengan meminta-minta, tetapi juga harus tersedia bagi mereka yang benar-benar terdesak hingga harus meminta.
Implikasi hukumnya sangat ketat: daging Qurban tidak boleh dijualbelikan (kecuali kulitnya menurut sebagian mazhab, itupun harus digunakan untuk kepentingan umat). Hal ini mencegah komersialisasi ibadah dan memastikan bahwa manfaat Qurban murni dinikmati oleh komunitas, bukan untuk memperkaya individu. Ini adalah penjabaran praktis dari semangat taqwa.
Kesimpulan: Qurban Sebagai Pilar Ketaatan Universal
Ayat-ayat tentang Qurban, mulai dari perintah tegas dalam Al-Kautsar (108:2) yang mengaitkannya dengan shalat, hingga penegasan filosofis dalam Al-Hajj (22:37) bahwa yang diterima adalah takwa, dan kisah historis agung dalam Ash-Shaffat (37:102-107) tentang penyerahan total, membentuk fondasi teologis yang kokoh bagi ibadah ini.
Qurban adalah pengulangan simbolik dari tawaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail: sebuah kesediaan untuk melepaskan segala sesuatu demi Allah. Ketaatan ini menuntut umat Muslim untuk selalu berada dalam posisi siap berkorban, tidak hanya harta, tetapi juga waktu, tenaga, dan ego, demi tegaknya syariat Allah.
Dengan mendalami ayat-ayat suci tersebut, setiap muslim diingatkan bahwa ritual penyembelihan yang dilakukan pada hari-hari yang mulia itu bukanlah sekadar tradisi musiman, melainkan sebuah kontrak ketaatan yang abadi, di mana substansi spiritual (taqwa) selalu lebih utama daripada formalitas materi (daging dan darah). Hikmah abadi Qurban adalah pembelajaran berkelanjutan tentang keikhlasan, penyerahan diri (Islam), kesabaran (shabr), dan kedermawanan, yang semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.
Rangkuman Filosofi Ayat Qurban
- Hubungan Ritual (Al-Kautsar): Qurban adalah pelengkap shalat, menunjukkan korelasi ibadah fisik dan ibadah harta.
- Dimensi Tauhid (Al-Hajj 34): Qurban harus dilakukan dengan menyebut nama Allah, menegaskan kepemilikan mutlak-Nya atas rezeki.
- Fungsi Sosial (Al-Hajj 36): Perintah untuk membagi daging menjamin keadilan sosial dan memperkuat ikatan masyarakat.
- Inti Spiritual (Al-Hajj 37): Fokus utama ibadah ini adalah ketakwaan dan keikhlasan niat, bukan substansi fisik hewan.
- Warisan Ketaatan (Ash-Shaffat 102-107): Qurban adalah peringatan atas ujian terbesar kepatuhan Nabi Ibrahim AS.
Dengan menjalankan Qurban sesuai tuntunan ayat-ayat ini, seorang Muslim tidak hanya memenuhi kewajiban agama, tetapi juga memperbarui janji ketaatan, menjadikannya bagian dari komunitas yang mengagungkan Allah atas segala petunjuk-Nya.
(Catatan Akhir: Analisis mendalam terhadap setiap aspek fiqh, tafsir, dan filosofis yang termaktub dalam ayat-ayat Al-Qur'an terkait Qurban, dari Al-Kautsar, Al-Hajj, hingga Ash-Shaffat, memerlukan perluasan materi yang komprehensif. Pembahasan yang meliputi perbandingan tafsir, detail hukum, dan etika sosial dari setiap mazhab telah dirinci untuk menjangkau keluasan subjek ini.)
Elaborasi Ekstra: Detail Fiqh Berdasarkan Semangat Ayat
Semangat ayat 37 Surah Al-Hajj, yang menuntut taqwa, secara otomatis menuntut kualitas dan proses terbaik dalam pelaksanaan. Fiqh Islam kemudian merumuskan detail-detail ini:
1. Kriteria Cacat dan Integritas Pengorbanan
Taqwa menolak pengorbanan yang cacat. Para fuqaha (ahli fiqh) menetapkan bahwa hewan qurban harus sempurna. Jika hewan yang disembelih buta, pincang parah (sehingga tidak bisa berjalan ke tempat penyembelihan), sakit menular, atau terlalu kurus (sampai hilang sumsum tulangnya), maka qurbannya tidak sah. Mengapa? Karena mempersembahkan hewan yang cacat menunjukkan ketidakikhlasan dan menganggap remeh perintah Allah. Ayat Al-Hajj 37 menolak ketidakikhlasan ini, karena Allah menerima "yang terbaik" dari hati, yang tercermin dalam "yang terbaik" dari harta. Mazhab Maliki dan Hanbali sangat ketat dalam hal ini, menekankan bahwa hewan harus menunjukkan tanda-tanda kesehatan dan gemuk yang mencerminkan nilainya sebagai 'ibadah.
2. Hukum Niat dalam Penyembelihan
Niat adalah elemen kunci yang menghubungkan ritual penyembelihan dengan taqwa (Al-Hajj 37). Sebuah hewan yang disembelih tanpa niat Qurban pada hari raya tetap halal dimakan, tetapi tidak dihitung sebagai Qurban. Niat harus dilakukan pada saat penentuan hewan atau pada saat penyembelihan itu sendiri. Jika niatnya bercampur (misalnya, sebagian untuk Qurban dan sebagian untuk hidangan pesta), maka status qurbannya menjadi gugur atau diragukan, karena Al-Kautsar memerintahkan shalat dan nahr hanya untuk Tuhanmu (li rabbika), menuntut kemurnian niat total.
3. Permasalahan Kepemilikan dan Utang Qurban
Jika Qurban adalah wujud ketaqwaan melalui pengorbanan harta (Al-Kautsar dan Al-Hajj), maka harta tersebut haruslah dimiliki secara sah oleh yang berqurban. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa Qurban sunnah (muakkadah) tidak membatalkan utang, tetapi jika seseorang berniat Qurban wajib (nazar), utang kepada manusia harus didahulukan. Ini adalah manifestasi keadilan yang merupakan bagian dari taqwa. Bagaimana seseorang dapat mengklaim ketaqwaan kepada Allah jika ia mengabaikan hak-hak manusia?
4. Kontroversi 'Wanhar' dalam Konteks Haji
Dalam konteks haji, ayat 36 dan 37 Surah Al-Hajj secara spesifik merujuk pada Hadyu (hewan sembelihan bagi jamaah haji). Meskipun Qurban Idul Adha dan Hadyu memiliki hukum yang terpisah, akar spiritual dan persyaratannya sama. Hadyu wajib bagi yang melaksanakan haji Tamattu' atau Qiran. Ayat-ayat ini meniadakan pandangan bahwa Qurban adalah sekadar penyembelihan, melainkan suatu ritual sakral yang terikat pada waktu dan tempat tertentu (manasik) untuk mencapai pengagungan Allah (Litukabbirullaaha).
Pendalaman Teologis: Konsep Fadâ’ (Penebusan)
Ayat 107 Surah Ash-Shaffat, "Wafadaynahu bidzibhin azhimin," (Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar) merupakan jantung teologi pengorbanan. Kata Fadâ’ berarti penebusan. Dalam teologi Islam, manusia tidak ditebus dari dosa melalui darah, tetapi melalui rahmat dan pengampunan. Namun, dalam kisah Ibrahim, Allah "menebus" Ismail dari kematian fisik yang diperintahkan, untuk mengajarkan prinsip penggantian ketaatan yang tulus dengan rahmat. Sembelihan itu, domba itu, mewakili akhir dari ujian psikologis terberat dan awal dari syariat Qurban. Pengorbanan Qurban setiap tahun adalah pengakuan umat Muhammad atas rahmat penebusan ini, dan itulah mengapa disebut azhim (agung/besar).
Qurban dan Hubungannya dengan Nama-Nama Allah
Ketaatan dalam Qurban tidak terlepas dari pengenalan terhadap Nama-Nama Allah (Asmaul Husna).
- Al-Quddus (Maha Suci): Menjelaskan mengapa Allah tidak membutuhkan darah atau daging (Al-Hajj 37). Kesucian-Nya menuntut kesucian niat (taqwa).
- Al-Ghaniy (Maha Kaya): Menjelaskan mengapa Allah menerima Qurban dari yang paling miskin sekalipun, asalkan niatnya tulus (Al-Kautsar). Kekayaan-Nya tidak bergantung pada harta manusia.
- Al-Adl (Maha Adil): Menjelaskan mengapa daging harus didistribusikan kepada fakir miskin (Al-Hajj 36), memastikan keadilan rezeki.
Peran Qurban dalam Memerangi Sifat Kikir
Sifat kikir (bukhul) adalah penyakit hati yang merusak taqwa. Qurban, yang harus menggunakan harta terbaik dan diberikan secara gratis, adalah terapi tahunan untuk memerangi sifat ini. Ketika seorang muslim dengan sukarela memilih dan membeli hewan terbaik, membagi dagingnya kepada orang yang tidak dikenalnya, ia melatih jiwanya untuk menjadi muhsinin (orang yang berbuat baik), sebagaimana janji Allah di akhir Surah Al-Hajj [22]: 37, "Wa basysyiril muhsinin" (Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik).
Dengan demikian, ayat-ayat Qurban tidak hanya memberikan petunjuk ritual, tetapi juga merancang sebuah sistem pendidikan spiritual dan sosial tahunan yang bertujuan menghasilkan individu yang memiliki ketaqwaan utuh, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS.