Simbolisasi Seruan Hajj dan Perjalanan dari Pelosok Jauh
Surah Al-Hajj, sebagai salah satu surah yang memiliki keunikan karena diturunkan di dua periode (Makkiyah dan Madaniyah), berdiri sebagai mercusuar yang menyatukan tema-tema akidah (keesaan Allah, hari kebangkitan) dengan tema-tema syariat dan ibadah praktis (Haji dan kurban). Di antara ayat-ayatnya yang paling monumental dan mengandung perintah universal adalah ayat ke-27. Ayat ini tidak hanya menceritakan sejarah permulaan ibadah Haji yang diemban oleh Nabi Ibrahim AS, tetapi juga menetapkan prinsip dasar spiritualitas yang melandasi perjalanan monumental ini.
Ayat ini merupakan kelanjutan dari perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS setelah beliau selesai mendirikan (atau menyempurnakan) fondasi Baitullah (Ka'bah) bersama putranya, Ismail AS. Tugas arsitektur fisik selesai; tugas arsitektur spiritual dan penyebaran dakwah dimulai. Seruan ini adalah seruan abadi yang bergema melintasi waktu, menyerukan umat manusia untuk datang ke rumah suci tersebut, tidak peduli seberapa sulit, jauh, atau melelahkan perjalanannya.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap frasa yang dipilih oleh Allah SWT dengan ketelitian luar biasa. Pilihan kata dalam bahasa Arab klasik (Fushah) membawa nuansa makna yang tidak bisa diwakili oleh terjemahan tunggal.
Kata kerja ini berasal dari akar kata *adzana* (أذن), yang berarti mendengar, atau mengumumkan. Namun, dalam bentuk *Azdzin* (fi'il amr, kata kerja perintah) ia memiliki intensitas yang jauh lebih kuat daripada sekadar 'memanggil' (*unādi*). Ia mengandung makna proklamasi yang tegas, keras, dan harus didengar luas. Ini menunjukkan bahwa perintah Hajj bukanlah bisikan rahasia, melainkan pengumuman publik yang harus menjangkau setiap pelosok bumi. Seruan ini harus dilakukan dengan kekuatan dan keyakinan penuh, seolah-olah Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk berdiri di tempat yang tinggi dan mengumandangkan undangan ini kepada seluruh umat manusia yang ada saat itu dan yang akan datang.
Tafsir klasik menekankan bahwa Ibrahim (AS) bertanya kepada Allah bagaimana mungkin suaranya bisa menjangkau seluruh alam. Allah menjawab, "Tugasmu adalah menyeru; tugas Kami adalah menyampaikan." Ini menegaskan bahwa seruan tersebut memiliki dimensi spiritual dan ilahiah yang melampaui kemampuan akustik fisik seorang manusia. Ini adalah seruan yang diletakkan dalam fitrah manusia, sebuah undangan yang digemakan di alam roh sejak awal penciptaan.
Pemilihan kata *An-Nās* (manusia), yang bersifat umum dan inklusif, menunjukkan universalitas seruan ini. Seruan ini tidak ditujukan hanya kepada kaum Ibrahim pada masanya, atau suku-suku tertentu di Jazirah Arab, melainkan kepada semua anak Adam, tanpa memandang ras, bahasa, atau batas geografis. Hajj adalah ibadah universal pertama yang ditetapkan, menjadikannya tonggak persatuan umat manusia di bawah satu Tauhid. Kata 'An-Nās' mengandung penekanan bahwa setiap jiwa memiliki potensi untuk merespon panggilan ini, terlepas dari latar belakangnya.
Kata Hajj (الحج) secara harfiah berarti 'bermaksud' atau 'menuju ke suatu tempat'. Dalam terminologi syariat, ia merujuk pada ibadah spesifik yang dilakukan dengan mengunjungi Baitullah pada waktu-waktu tertentu. Penggunaan kata ini menetapkan bahwa tujuan seruan adalah ritual agung yang memiliki tata cara dan batasan waktu yang jelas, yang kelak akan disempurnakan melalui syariat Nabi Muhammad SAW. Hajj adalah perwujudan konkret dari niat murni untuk mengunjungi Allah di Rumah-Nya.
Kata *ya’tūka* adalah bentuk futur (akan datang), menunjukkan kepastian janji Allah atas respon manusia. Meskipun seruan itu berasal dari Ibrahim (AS), kedatangan manusia tersebut ditujukan kepada 'engkau' (Ibrahim), sebagai representasi pendiri dan penyebar Tauhid. Ini adalah janji ilahiah yang tak pernah gagal: setiap kali panggilan itu dikumandangkan, akan selalu ada manusia yang menyambutnya. Kedatangan mereka adalah bukti nyata kebenaran seruan tersebut dan kekuatan spiritual dari Baitullah yang menarik jiwa-jiwa.
Makna *rijālan* (jamak dari *rājiil*) menekankan pada mereka yang datang dengan berjalan kaki. Ini menggambarkan kesulitan dan pengorbanan yang dilakukan. Dalam konteks Arab kuno, berjalan kaki dari jarak jauh adalah manifestasi tertinggi dari niat (ikhlas) dan pengorbanan. Kehadiran mereka yang berjalan kaki menunjukkan bahwa ibadah Hajj bukanlah hanya untuk orang kaya yang mampu membeli kendaraan, tetapi terbuka bagi semua yang memiliki tekad. Ia melambangkan kerendahan hati di hadapan Allah.
Kata *đāmir* (ضَامِر) berarti kurus atau ramping. Ini merujuk pada unta yang telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, sehingga tubuhnya menjadi kurus karena lamanya dan beratnya perjalanan, bukan karena kelaparan di rumahnya. Penggunaan kata 'kullī' (setiap) menekankan bahwa berbagai jenis unta, setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akan tiba. Ini menggambarkan penderitaan, kesabaran, dan determinasi para peziarah. Mereka datang bukan dalam kemewahan, tetapi dengan segala kepayahan perjalanan yang menantang. Kedatangan unta-unta kurus ini menjadi saksi bisu atas jauhnya jarak dan tingginya pengorbanan.
Frasa ini adalah kunci geografis dan spiritual dalam ayat ini.
*Fajj* merujuk pada jalan yang luas, seringkali diapit oleh gunung atau bukit. Ini menunjukkan jalur perjalanan yang sulit dan tidak mulus.
*‘Amīq* secara harfiah berarti 'dalam'. Dalam konteks geografis, ia berarti 'sangat jauh'. Ini menekankan bahwa Hajj adalah sebuah perjalanan lintas batas, melintasi gurun, lembah, dan pegunungan dari tempat-tempat yang sangat terpencil. Frasa ini memastikan bahwa Seruan Ibrahim AS menjangkau tidak hanya yang dekat, tetapi juga yang paling tersembunyi dan sulit dijangkau.
Secara spiritual, *Fajjin ‘Amīq* dapat diartikan sebagai perjalanan dari kedalaman jiwa. Peziarah datang dari kedalaman kegelapan duniawi, meninggalkan kenyamanan dan ikatan materi, menuju cahaya Ka'bah.
Para mufasir, dari generasi sahabat hingga kontemporer, telah menggarisbawahi beberapa aspek penting dari perintah ilahiah ini, yang mencakup dimensi sejarah, spiritual, dan hukum (fiqh).
Tafsir Ibn Kathir dan At-Tabari meriwayatkan dialog antara Ibrahim AS dan Allah SWT setelah penyelesaian pembangunan Ka'bah. Ketika Allah memerintahkan "Wa Adzdzin fin Nās," Ibrahim AS merasa kecil. Beliau berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimana suaraku bisa sampai kepada seluruh manusia?" Allah berfirman, "Serukanlah! Sesungguhnya Kami yang akan menyampaikannya." Riwayat populer menyebutkan bahwa Ibrahim AS berdiri di atas Maqam Ibrahim atau di puncak Jabal Abi Qubais, menaruh jarinya di telinganya, dan berseru dengan suara yang luar biasa keras. Dikisahkan, seruan itu mencapai setiap jiwa, baik yang telah diciptakan maupun yang masih di dalam sulbi keturunan Adam, dan setiap jiwa yang ditakdirkan untuk berhaji menjawab, "Labbaik Allahumma Labbaik" (Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah).
Aspek penting ini menekankan konsep takdir dan kehendak ilahiah. Keinginan seorang Muslim untuk menunaikan Hajj bukanlah murni keinginan pribadi, tetapi respons terhadap seruan kuno yang telah didengar oleh rohnya sejak zaman azali.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua mode perjalanan: berjalan kaki (*rijālan*) dan berkendaraan (*đāmir*). Ini bukan sekadar deskripsi transportasi, melainkan penegasan filosofi Hajj sebagai ibadah yang didasarkan pada kesulitan. Syekh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan bahwa penyebutan kedua mode ini bertujuan untuk menggambarkan tingginya semangat peziarah, yang rela menempuh jalan yang sulit tanpa kendaraan, atau menggunakan kendaraan yang sudah kelelahan karena jarak yang amat jauh.
Para ulama sepakat bahwa semakin besar kesulitan yang dihadapi seorang peziarah, selama kesulitan itu tidak melanggar syariat, semakin besar pula pahalanya. Datang dengan berjalan kaki melambangkan kemurnian niat yang tinggi, di mana peziarah sepenuhnya menyerahkan dirinya pada proses perjalanan, menanggalkan kebergantungan pada kemudahan materi. Imam Malik dan Syafi'i membahas apakah berjalan kaki lebih utama. Meskipun secara umum kesepakatan menyatakan bahwa menggunakan sarana yang disediakan adalah diperbolehkan (sebab berkendara juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW), penekanan Al-Qur'an pada 'rijālan' menginspirasi banyak ulama terdahulu untuk memilih berjalan kaki sebagai bentuk peningkatan spiritual.
Unta kurus (*đāmir*) menjadi simbol ketabahan. Unta itu sendiri, sebagai kendaraan, menjadi saksi atas pengorbanan tuannya. Ini mengajarkan bahwa Hajj bukanlah perjalanan wisata, tetapi sebuah ekspedisi spiritual yang menuntut stamina fisik dan mental. Gambaran unta kurus yang tiba di Makkah adalah pemandangan keindahan spiritual bagi Allah—sebuah pemandangan yang menunjukkan bahwa hamba-hamba-Nya tidak gentar menghadapi kesulitan demi memenuhi undangan-Nya.
Frasa 'dari segenap penjuru yang jauh' (Min Kulli Fajjin ‘Amīq) memastikan bahwa Makkah dan Ka'bah akan selalu menjadi pusat perhatian global. Ini adalah nubuat ilahiah yang terbukti kebenarannya. Pada masa Ibrahim AS, Makkah adalah lembah gersang yang terpencil. Namun, ayat ini menjamin bahwa meskipun jaraknya jauh dan jalannya sulit, manusia dari setiap bangsa dan benua akan berduyun-duyun datang.
Jauhnya jarak menunjukkan keberkahan yang Allah tanamkan pada tempat tersebut. Keinginan untuk pergi haji menjadi suatu dorongan tak terjelaskan (syauq) yang mampu mengatasi hambatan geografis, politik, dan ekonomi. Seorang Muslim di belahan bumi mana pun merasakan tarikan spiritual yang sama menuju Rumah Allah.
Perjalanan yang jauh berfungsi sebagai proses pemurnian (*tazkiyah an-nafs*). Jarak memaksa peziarah meninggalkan zona nyaman, menghadapi ketakutan akan kelelahan, kehilangan, dan kesendirian. Ketika mereka akhirnya tiba, mereka telah dicetak ulang oleh kesulitan perjalanan, siap untuk memasuki ihram dengan hati yang bersih dari kesombongan duniawi.
Ayat 27 Surah Al-Hajj bukan hanya instruksi pelaksanaan, tetapi fondasi filosofis bagi seluruh ibadah Hajj. Ia mengajarkan tentang Tawakkal, Universalitas Islam, dan makna mendalam dari kepulangan.
Perjalanan menuju Hajj, terutama di zaman Ibrahim AS dan masa-masa awal Islam, adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Berjalan kaki atau menunggang unta kurus berarti menghadapi gurun, perampok, dan kekurangan bekal. Peziarah yang merespon seruan ini adalah orang yang telah menempatkan seluruh kepercayaannya (tawakkal) hanya kepada Allah SWT. Mereka yakin bahwa Dzat yang menyeru mereka akan menjamin keselamatan mereka.
Tawakkal ini disimbolkan oleh bekal minimal dan perjalanan yang sulit. Keberanian untuk memulai perjalanan dari *fajjin ‘amīq* adalah tindakan iman murni. Ini mengajarkan bahwa dalam ibadah, hasil akhir adalah urusan Allah; tugas hamba adalah memenuhi perintah-Nya dengan upaya terbaik, bahkan jika kemampuan fisiknya terasa terbatas.
Hajj adalah satu-satunya ibadah yang secara fisik menyatukan seluruh umat Islam dalam satu waktu, satu tempat, dan satu pakaian (ihram). Ayat ini, yang menyeru "kepada manusia" secara umum, menetapkan Hajj sebagai pilar persatuan. Ketika manusia tiba dari "setiap penjuru yang jauh," perbedaan bahasa, warna kulit, status sosial, dan kekayaan seolah lenyap.
Pemandangan jutaan manusia yang datang, baik yang berjalan kaki (mungkin yang paling miskin) maupun yang menunggang kendaraan (mungkin yang lebih mampu), namun semuanya mengenakan pakaian ihram yang sama, adalah visualisasi Tauhid yang paling kuat. Hajj adalah sekolah kesetaraan sosial yang diajarkan sejak seruan Ibrahim AS.
Jauhnya perjalanan (fajjin ‘amīq) seringkali disamakan oleh para sufi dengan perjalanan kehidupan menuju Akhirat. Manusia datang ke Makkah tanpa bekal duniawi yang berlebihan, hanya dengan niat dan kesabaran. Ini mirip dengan bagaimana manusia akan menghadapi hari kiamat—tanpa harta benda, hanya dengan amal. Pakaian ihram yang polos menyerupai kain kafan, mengingatkan peziarah akan kematian.
Dalam konteks ini, seruan Hajj adalah latihan spiritual untuk perjalanan terakhir. Jika seseorang mampu menempuh ribuan kilometer demi memenuhi panggilan Allah di dunia, betapa ia harus lebih siap memenuhi panggilan terakhir untuk kembali kepada-Nya di Akhirat.
Ayat 27 memiliki implikasi hukum yang signifikan terkait syarat wajib haji, terutama mengenai kemampuan (istita'ah) dan transportasi.
Hajj diwajibkan bagi mereka yang mampu (*man istatā’a ilayhi sabīlan*). Namun, penekanan ayat 27 pada berjalan kaki (*rijālan*) dan unta kurus (*đāmir*) memperluas definisi kemampuan.
Kondisi unta yang kurus (*đāmir*) juga berkaitan dengan bekal. Pada zaman dahulu, peziarah harus memperhitungkan bekal agar cukup untuk perjalanan pergi dan pulang. Keterbatasan bekal yang menyebabkan unta menjadi kurus adalah bagian dari tantangan yang diterima oleh peziarah sebagai ujian kesabaran dan keikhlasan. Hal ini mengajarkan manajemen sumber daya dan kepuasan terhadap apa yang dimiliki dalam perjalanan ibadah.
Meskipun dunia telah berubah dan perjalanan Hajj kini ditempuh dalam hitungan jam dengan pesawat, esensi dari Surah Al-Hajj Ayat 27 tetap relevan. Bagaimana kita menafsirkan *rijālan* dan *fajjin ‘amīq* dalam konteks abad ke-21?
Makna berjalan kaki (*rijālan*) saat ini tidak selalu merujuk pada transportasi fisik. Ia dapat diartikan sebagai "berjalan kaki spiritual." Perjalanan Hajj modern menuntut pengorbanan yang berbeda:
Setiap langkah yang diambil, dari Tawaf hingga Sa'i, harus diniatkan sebagai "berjalan kaki" spiritual, meninggalkan dunia di belakang dan fokus hanya pada Allah.
Jalan yang jauh (*fajjin ‘amīq*) kini mencakup hambatan non-geografis. Ini bisa berupa:
Maka, seruan ini terus relevan: Allah memanggil hamba-Nya untuk menempuh jalan yang sulit, baik secara fisik, finansial, maupun spiritual, asalkan niatnya murni.
Warisan Hajj yang dimulai dari Surah Al-Hajj Ayat 27 ini mencakup garis waktu yang sangat panjang, dari masa Ibrahim AS hingga hari kiamat.
Meskipun Ibrahim AS mengumandangkan seruan tersebut, seiring berjalannya waktu, ibadah Hajj mengalami penyimpangan oleh kaum Quraisy. Mereka memperkenalkan ritual syirik, seperti tawaf telanjang, dan membawa berhala ke dalam Ka'bah. Ayat 27 adalah pengingat konstan akan bentuk Hajj yang murni dan dikehendaki Allah, yang bebas dari segala bentuk kesyirikan dan merupakan respons tulus terhadap perintah Tauhid.
Ketika Nabi Muhammad SAW menunaikan Hajj terakhirnya (Hajjatul Wada’), beliau membersihkan Ka'bah dari berhala dan menetapkan kembali ritual Hajj sesuai dengan ajaran Ibrahim AS, menegaskan bahwa beliau adalah penerus sah dari seruan yang pertama kali dikumandangkan ribuan tahun sebelumnya.
Penggunaan kata *kulli* (setiap) dalam frasa 'ala kulli đāmir' (di atas setiap unta kurus) dan 'min kulli fajjin ‘amīq' (dari setiap jalan yang jauh) sangat penting. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengecualian dalam jangkauan seruan ini. Setiap tempat di dunia, bahkan yang paling terpencil sekalipun, termasuk dalam jangkauan seruan ilahi ini. Ini adalah janji tentang keberagaman umat Islam dan jaminan bahwa Ka'bah akan selalu menjadi kiblat spiritual bagi setiap individu di planet ini.
Para mufasir modern menekankan bahwa frasa ini juga mencakup berbagai cara dan metode perjalanan yang akan muncul di masa depan, selama tujuan akhirnya adalah Baitullah dengan niat yang benar. Allah tidak membatasi hamba-Nya pada unta, tetapi menggunakan unta sebagai simbol kendaraan utama pada masa itu untuk menegaskan jarak yang ekstrem.
Hajj adalah perwujudan fisik dari rukun Islam dan penguatan Tauhid. Seruan Hajj dari Ibrahim AS adalah seruan Tauhid. Ketika peziarah mengucapkan Talbiyah ("Labbaik Allāhumma Labbaik... Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk, Lā sharīka lak"), mereka memproklamirkan Tauhid di tempat yang sama di mana Ibrahim AS berdiri. Ini adalah respons yang terus-menerus terhadap seruan kuno tersebut, menegaskan bahwa meskipun generasi berganti, pesan keesaan Allah tetap abadi dan sentral.
Keterkaitan antara perintah membangun rumah (Ka'bah), menyucikannya, dan menyeru manusia adalah trilogi yang tak terpisahkan: ibadah harus berpusat pada tempat yang suci, yang disucikan melalui Tauhid, dan kemudian dipublikasikan secara universal.
Surah Al-Hajj Ayat 27 adalah permulaan dari ritual haji, namun pesannya melampaui ritual semata. Ia adalah ajakan untuk meninggalkan duniawi demi akhirat, sebuah perwujudan dari keinginan jiwa untuk kembali kepada Penciptanya.
Ayat ini adalah bukti bahwa syariat Islam memiliki akar sejarah yang sangat dalam, kembali kepada Nabi Ibrahim AS yang dihormati oleh tiga agama besar. Perintah Hajj bukan penemuan syariat baru oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan restorasi dan penyempurnaan dari warisan Tauhid yang telah ada. Seruan Ibrahim AS adalah kontrak spiritual antara Allah dan umat manusia yang berlaku hingga Hari Kiamat.
Jika Allah ingin Hajj mudah, Dia bisa saja memerintahkannya dilakukan di tempat yang mudah diakses. Namun, dengan menekankan kedatangan dari jalan yang jauh, dan mode perjalanan yang sulit (berjalan kaki, unta kurus), Allah menetapkan bahwa ibadah yang bernilai tinggi adalah ibadah yang menuntut pengorbanan dan kesabaran. Nilai Hajj terletak pada perjuangan yang mendahuluinya. Kemurnian niat diuji melalui perjalanan, bukan hanya melalui ritual di Makkah.
Pada akhirnya, Hajj adalah ibadah kepulangan. Peziarah pulang ke rumah leluhur spiritual mereka (Rumah Ibrahim) dan secara simbolis pulang ke fitrah mereka yang murni. Ayat 27 menggambarkan proses kepulangan ini: peziarah harus rela meninggalkan kenyamanan dan kemudahan mereka (*fajjin ‘amīq*) dan bergerak maju, didorong oleh panggilan yang mereka rasakan jauh di dalam hati. Kepulangan ini menjanjikan ampunan total, sebagaimana disabdakan Nabi SAW, "Siapa yang menunaikan haji dan tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, ia kembali seperti hari ia dilahirkan ibunya."
Dengan demikian, Surah Al-Hajj Ayat 27 berdiri sebagai proklamasi keimanan yang paling heroik dan universal. Ia adalah janji Allah yang ditepati—sebuah jaminan bahwa meski telah ribuan tahun berlalu dan meskipun Makkah berada di lokasi yang terpencil, Baitullah akan terus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya yang datang dari setiap penjuru, baik dengan langkah kaki yang tabah maupun dengan kendaraan yang telah menempuh perjalanan yang melelahkan, semuanya merespons seruan abadi: Labbaik Allahumma Labbaik.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa setiap huruf dalam ayat ini adalah petunjuk, setiap kata adalah hikmah, dan keseluruhan ayat adalah undangan abadi yang menanti respon tulus dari jiwa-jiwa yang haus akan Rahmat Ilahi.