Menggali Kedalaman Surah Al-Hasyr Ayat 21-24: Puncak Pengenalan Allah (Ma'rifatullah)

Simbol Cahaya Ilahi dan Wahyu Representasi geometris cahaya yang turun, melambangkan wahyu Al-Qur'an dan keagungan nama-nama Allah dalam Surah Al-Hasyr. هُوَ ٱللَّهُ

Gambar: Representasi abstrak cahaya dan ketertiban ilahi yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Pendahuluan: Konteks dan Kedudukan Ayat

Surah Al-Hasyr (Pengusiran) adalah surah Madaniyah yang mayoritas membahas peristiwa pengusiran Yahudi Bani Nadir dari Madinah. Setelah menceritakan detail tentang kekuasaan Allah dalam menundukkan musuh-musuh-Nya, surah ini mencapai puncaknya pada tiga ayat penutup yang agung: Ayat 22, 23, dan 24. Ayat-ayat ini beralih dari narasi historis ke esensi teologis, berfungsi sebagai kesimpulan yang mengukuhkan keagungan dan keesaan Allah, sebuah transisi yang membawa hati yang membaca kepada ketenangan dan pengakuan total akan kebesaran Sang Pencipta. Ayat 21 mendahului transisi ini, menetapkan keagungan wahyu (Al-Qur'an) sebagai pondasi. Ketiga ayat terakhir ini dikenal sebagai salah satu kumpulan ayat paling mendalam dalam Al-Qur'an mengenai pengenalan sifat-sifat Allah, mencakup dua belas dari 99 Asmaul Husna.

Visi Ma'rifatullah dalam Tiga Ayat

Tiga ayat terakhir Surah Al-Hasyr bukan sekadar daftar nama; ia adalah sebuah kurikulum ringkas tentang tauhid (keesaan Allah). Ayat 22 menetapkan pondasi keesaan dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Ayat 23 memperkenalkan nama-nama yang berkaitan dengan kedaulatan, kesucian, dan keamanan. Sementara Ayat 24 menutup rangkaian dengan nama-nama yang berkaitan dengan penciptaan, bentuk, dan asal muasal segala wujud. Keseluruhan rangkaian ini memaksa manusia untuk merenungi siapa sebenarnya Tuhan yang mereka sembah.

Ayat 21: Keagungan Al-Qur'an (Wahyu yang Menggetarkan Gunung)

لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُۥ خَٰشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ ٱللَّهِ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Terjemahan: "Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. Al-Hasyr: 21)

Analisis Linguistik dan Metaforis

Ayat ini menggunakan perumpamaan yang sangat kuat dan dramatis. Gunung (جَبَلٍ) dalam budaya Arab melambangkan kekerasan, keabadian, dan kekuatan yang tidak tergoyahkan. Allah menggunakan perumpamaan ini untuk menunjukkan betapa luar biasanya beban, kekuatan, dan keagungan kalam-Nya. Jika gunung, dengan segala kekokohannya, akan hancur lebur (مُتَصَدِّعًا) karena rasa takut (خَشْيَةِ ٱللَّهِ), bagaimana mungkin hati manusia—yang secara fisik jauh lebih lemah—tidak tersentuh, tidak terpengaruh, atau bahkan bersikap acuh tak acuh terhadap wahyu ini?

Pesan Sentral Ayat 21

Pesan utamanya adalah teguran keras kepada manusia yang hatinya lebih keras daripada batu. Al-Qur'an mengandung janji dan ancaman, perintah dan larangan, serta ilmu tentang hakikat wujud yang jika dipahami sepenuhnya, akan menimbulkan ketakutan dan penghormatan yang mendalam (khusyuk). Ayat ini membedakan antara dua jenis ketakutan: rasa takut naluriah, dan *khashyah* (خشية), yaitu rasa takut yang muncul dari pengetahuan dan pengakuan akan kebesaran objek yang ditakuti. Gunung, meskipun tidak memiliki akal, metaforisnya menunjukkan reaksi yang seharusnya ada pada manusia berakal.

Tadabbur Al-Qur'an dan Beban Tanggung Jawab

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini menuntut manusia untuk merenungkan kebesaran wahyu. Ketika Nabi Musa meminta melihat Allah di atas gunung, gunung itu hancur lebur setelah Allah menampakkan sedikit dari cahaya-Nya (QS. Al-A'raf: 143). Jika gunung tidak mampu menahan penampakan cahaya ilahi, maka bagaimana mungkin gunung bisa menahan bobot firman-Nya? Ayat ini mendorong kita untuk membaca Al-Qur'an bukan sekadar sebagai bacaan ritual, tetapi sebagai tanggung jawab kosmik.

Ayat 22: Pondasi Keesaan dan Ilmu Mutlak

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَٰلِمُ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ۖ هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ

Terjemahan: "Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dia Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 22)

Huwa Allahu Ladzi Laa Ilaha Illa Huwa

Ayat ini adalah deklarasi tauhid yang paling fundamental. Frasa ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya entitas yang berhak disembah dan dipertuhankan. Semua bentuk peribadatan dan ketaatan harus tertuju hanya kepada-Nya. Deklarasi ini menyaring semua konsep ketuhanan lainnya, menetapkan kemurnian akidah (keyakinan).

'Alimul Ghaib wa Syahadah (Pengetahuan Mutlak)

Allah memiliki ilmu yang meliputi yang gaib (ٱلْغَيْبِ) dan yang nyata (وَٱلشَّهَٰدَةِ). Yang gaib adalah segala sesuatu yang tersembunyi dari indra dan akal manusia, seperti hari kiamat, takdir, dan hakikat jiwa. Yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat diindra atau diketahui oleh makhluk. Pengetahuan-Nya tidak bergantung pada waktu atau ruang; Dia mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi, sebelum, selama, dan sesudahnya.

Implikasi Pengetahuan Allah

Pengakuan akan ilmu-Nya yang mutlak menumbuhkan rasa pengawasan diri (muraqabah) dalam hati seorang mukmin. Kita tidak pernah sendirian; setiap niat, kata, dan perbuatan, baik yang dilakukan di tempat tersembunyi maupun di hadapan umum, berada dalam pengetahuan-Nya. Ini adalah fondasi etika dan moralitas dalam Islam.

Ar-Rahman, Ar-Rahim (Kasih Sayang yang Universal)

Mengakhiri ayat dengan dua nama yang paling agung terkait kasih sayang menunjukkan keseimbangan antara keadilan (yang dituntut oleh ilmu-Nya yang mutlak) dan rahmat (kasih sayang-Nya yang melimpah). Ar-Rahman (Maha Pengasih) merujuk pada kasih sayang-Nya yang universal dan meliputi semua makhluk, baik mukmin maupun kafir, di dunia ini. Ar-Rahim (Maha Penyayang) merujuk pada kasih sayang-Nya yang spesifik, terutama dicurahkan kepada orang-orang beriman di akhirat. Kedua sifat ini mengingatkan bahwa meskipun Dia Maha Tahu dan Maha Kuasa, sifat dominan-Nya adalah Rahmat.

Ayat 23: Kedaulatan, Kesucian, dan Keamanan Ilahi

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Terjemahan: "Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Al-Hasyr: 23)

Ayat ini memperkenalkan delapan nama agung yang menekankan kedaulatan (Kekuasaan Absolut) dan kesucian (Transendensi dari segala kekurangan). Penekanannya di sini adalah pada sifat-sifat yang menegaskan keunikan Allah sebagai Penguasa Alam Semesta.

1. Al-Malik (ٱلْمَلِكُ): Sang Raja Mutlak

Al-Malik berarti Pemilik dan Penguasa Mutlak. Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi. Kepemilikan-Nya adalah hakiki, bukan temporal atau pinjaman seperti kepemilikan manusia. Semua makhluk adalah hamba dan properti-Nya. Kedaulatan-Nya tidak tertandingi dan tidak dapat diganggu gugat. Pengakuan terhadap Al-Malik menghilangkan ketergantungan hati manusia pada raja atau penguasa duniawi, karena mereka semua tunduk pada Raja Diraja.

Kekuasaan Al-Malik dan Penerapan dalam Kehidupan

Kekuasaan Al-Malik adalah kekuasaan yang adil. Dia tidak perlu berkonsultasi, Dia tidak perlu bersekutu, dan keputusan-Nya adalah final. Bagi seorang mukmin, memahami Al-Malik berarti menerima bahwa segala aturan dan hukum di alam semesta ini berasal dari sumber kekuasaan tunggal yang sempurna. Ketaatan kepada hukum-hukum-Nya adalah manifestasi pengakuan terhadap kedaulatan-Nya.

2. Al-Quddus (ٱلْقُدُّوسُ): Yang Maha Suci

Al-Quddus berasal dari kata quds yang berarti suci atau bebas dari segala kekurangan, cacat, atau perbandingan. Allah Maha Suci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya, seperti kelemahan, kelupaan, kebutuhan akan sekutu, atau disamakan dengan makhluk-Nya. Kesucian-Nya adalah absolut. Ketika kita mensucikan Allah (*tasbih*), kita mengakui bahwa Dia berada di atas segala prasangka atau gambaran yang dibayangkan oleh akal manusia yang terbatas. Dia murni, sempurna, dan transenden.

3. As-Salam (ٱلسَّلَٰمُ): Sumber Kedamaian dan Kesejahteraan

As-Salam memiliki dua makna utama. Pertama, Dia adalah Dzat yang bebas dari segala aib dan kekurangan (kesempurnaan internal). Kedua, Dia adalah Sumber Kedamaian dan Keselamatan bagi seluruh makhluk. Dari-Nya lah datangnya kedamaian sejati, baik di dunia maupun di surga (tempat yang disebut Dar As-Salam). Seorang mukmin yang mencari kedamaian harus mencarinya melalui As-Salam, dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

4. Al-Mu'min (ٱلْمُؤْمِنُ): Pemberi Keamanan dan Kepercayaan

Al-Mu'min berarti Dzat yang memberikan rasa aman kepada hamba-hamba-Nya dari kezaliman. Dia mengamankan janji-janji-Nya, membenarkan Rasul-rasul-Nya, dan memberikan rasa aman (iman) di hati orang-orang yang beriman. Dia adalah Dzat yang menegakkan kebenaran dan menyediakan rasa damai batin, membebaskan hati dari keraguan dan ketakutan. Jika Allah adalah Al-Mu'min, maka mukmin sejati hanya takut kepada-Nya dan merasa aman dari segala hal selain Dia.

5. Al-Muhaimin (ٱلْمُهَيْمِنُ): Maha Memelihara dan Mengawasi

Al-Muhaimin berarti Dzat yang Maha Mengawasi, Maha Mengatur, Maha Menyaksikan, dan Maha Memelihara. Tidak ada satupun detail di alam semesta yang luput dari pengawasan-Nya. Dia adalah saksi atas segala sesuatu, dan Dia menjamin pemeliharaan atas makhluk-Nya. Sifat ini sangat terkait dengan *Alimul Ghaib wa Syahadah* (Ayat 22), menekankan bahwa pengetahuan-Nya diiringi dengan tindakan pemeliharaan dan pengawasan aktif.

Integrasi Asmaul Husna: Kekuasaan dan Keamanan

Rangkaian Al-Malik, Al-Quddus, As-Salam, Al-Mu'min, dan Al-Muhaimin menunjukkan transisi logis: Kekuasaan (Malik) harus dibersihkan dari kekurangan (Quddus), menghasilkan Keselamatan (Salam), yang kemudian diwujudkan dalam pemberian rasa Aman (Mu'min), dan dijaga oleh Pengawasan Ilahi (Muhaimin). Ini adalah rantai sifat yang tak terpisahkan dari penguasa yang sempurna.

6. Al-Aziz (ٱلْعَزِيزُ): Yang Maha Perkasa

Al-Aziz adalah Dzat yang memiliki kekuatan yang tak terkalahkan. Keperkasaan-Nya adalah absolut, berarti Dia tidak dapat ditaklukkan, dikalahkan, atau dicelakai oleh siapapun. Kehormatan (Izzah) hanya dimiliki oleh-Nya, dan Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Kekuatan-Nya memastikan bahwa kehendak-Nya pasti terlaksana. Dalam konteks Surah Al-Hasyr, nama ini sangat relevan karena Allah baru saja menunjukkan keperkasaan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya (Bani Nadir).

7. Al-Jabbar (ٱلْجَبَّارُ): Yang Maha Memaksa dan Memperbaiki

Al-Jabbar memiliki dua aspek makna yang mendalam. Pertama, yang Maha Memaksa kehendak-Nya atas semua makhluk. Tidak ada satupun yang dapat menolak keputusan-Nya. Kedua, yang Maha Memperbaiki (Al-Jaabir). Dia memperbaiki hal-hal yang rusak, mengobati hati yang patah, dan memulihkan keadaan orang yang lemah. Sifat 'memaksa' ini seimbang dengan sifat 'memperbaiki', menunjukkan bahwa Kekuasaan-Nya digunakan untuk menegakkan keadilan dan rahmat.

8. Al-Mutakabbir (ٱلْمُتَكَبِّرُ): Yang Memiliki Segala Keagungan

Al-Mutakabbir berarti Dzat yang memiliki hak mutlak atas Kebesaran (Kibriya’). Dia Maha Agung, jauh di atas sifat-sifat makhluk, dan Dia saja yang berhak menyandang keagungan. Kesombongan (takabur) adalah sifat tercela bagi manusia, tetapi itu adalah sifat sempurna bagi Allah, karena hanya Dia yang benar-benar Agung dan besar. Dia Maha Besar dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan-Nya.

Penutup Ayat 23: Penyucian Diri

Ayat 23 ditutup dengan kalimat: سُبْحَٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ ("Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan"). Ini adalah penegasan tegas bahwa setelah menyebutkan delapan sifat keagungan ini, tidak mungkin bagi Dzat yang demikian agung untuk memiliki sekutu atau mitra. Semua sifat ini menegaskan bahwa Dia adalah unik dan sendirian dalam ketuhanan-Nya.

Ayat 24: Penciptaan dan Pembentukan Semesta

هُوَ ٱللَّهُ ٱلْخَٰلِقُ ٱلْبَارِئُ ٱلْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Terjemahan: "Dialah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang indah). Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana." (QS. Al-Hasyr: 24)

Ayat terakhir ini fokus pada sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan Penciptaan, yang melengkapi sifat-sifat Kedaulatan di ayat sebelumnya. Rangkaian ini menjelaskan proses penciptaan dari perencanaan hingga perwujudan bentuk.

9. Al-Khaliq (ٱلْخَٰلِقُ): Sang Perencana dan Pencipta

Al-Khaliq merujuk pada Allah sebagai Sang Pencipta dalam arti yang paling mendasar: Dzat yang menciptakan sesuatu dari ketiadaan (al-ibda') dan Dzat yang merencanakan atau menentukan takdir (al-taqdir) sebelum ciptaan itu terwujud. Dialah yang menentukan ukuran, sifat, dan keberadaan setiap ciptaan. Al-Khaliq adalah seniman agung yang merancang cetak biru alam semesta.

10. Al-Bari' (ٱلْبَارِئُ): Sang Pengada atau Pembuat

Al-Bari' adalah tahap selanjutnya setelah perencanaan. Jika Al-Khaliq adalah perencana, Al-Bari' adalah pelaksana atau pembuat. Dia mengeluarkan ciptaan dari rencana menjadi wujud nyata, tanpa cacat, dan dalam bentuk yang sesuai dengan takdir yang telah ditetapkan. Nama ini menekankan keunikan Allah dalam menciptakan makhluk tanpa memerlukan bantuan, bahan baku, atau contoh sebelumnya.

11. Al-Mushawwir (ٱلْمُصَوِّرُ): Sang Pemberi Bentuk

Al-Mushawwir adalah Dzat yang memberikan rupa, bentuk, dan karakteristik unik kepada setiap ciptaan. Baik itu bentuk fisik manusia, warna mata, pola daun, atau orbit planet—semuanya dibentuk oleh Al-Mushawwir. Proses pembentukan ini menunjukkan keindahan, ketelitian, dan keragaman dalam ciptaan-Nya, yang menjadi bukti nyata Kemahakuasaan-Nya. Ketiga nama ini (Al-Khaliq, Al-Bari', Al-Mushawwir) sering disebut bersamaan untuk menunjukkan tahapan sempurna dalam proses penciptaan Ilahi.

Pernyataan Sentral: Asmaul Husna

لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ("Dia memiliki Asmaul Husna"). Pernyataan ini menjadi penutup bagi rangkaian nama-nama di Surah Al-Hasyr, menegaskan bahwa semua nama Allah adalah yang paling indah, sempurna, dan sesuai dengan keagungan-Nya. Nama-nama ini bukan sekadar label, tetapi manifestasi dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang harus menjadi fokus peribadatan dan doa seorang hamba.

Tugas Kosmik: Tasbih Semesta

يُسَبِّحُ لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ("Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya"). Ayat ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta, baik yang berakal maupun tidak, secara inheren mengakui dan mensucikan Allah. Tasbih ini bisa dalam arti tasbih lisan (bagi yang berakal) atau tasbih haliah, yaitu kesaksian keadaan, di mana keberadaan dan keteraturan setiap ciptaan adalah bukti nyata kesucian dan keesaan Sang Pencipta. Keteraturan kosmik adalah tasbih alam semesta.

Penutup Ayat 24: Al-'Aziz Al-Hakim

وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ ("Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana"). Ayat ditutup dengan dua nama yang menggabungkan kekuatan tak terbatas (Al-Aziz) dengan Kebijaksanaan sempurna (Al-Hakim). Kekuasaan Allah tidak pernah digunakan secara sembrono; setiap tindakan-Nya didasari oleh hikmah (kebijaksanaan) yang sempurna. Penutup ini menjamin bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, meskipun kadang tampak buruk di mata manusia, pasti memiliki tujuan dan kebijaksanaan Ilahi yang agung.

Analisis Mendalam Asmaul Husna dalam Al-Hasyr (V. 23-24)

Untuk memahami kedalaman ayat 23 dan 24, kita harus melihat setiap nama tidak sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai bagian dari kesatuan sifat Allah yang sempurna. Kedua belas nama ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama yang saling melengkapi.

Kelompok A: Sifat Kedaulatan dan Kekuasaan (Al-Malik, Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir)

Sifat-sifat ini menetapkan supremasi Allah. Jika Al-Malik adalah penguasa, Al-Aziz adalah yang memastikan kedaulatan itu tak tergoyahkan. Al-Jabbar menjamin pelaksanaan kehendak-Nya, dan Al-Mutakabbir adalah pemilik hak agung atas kebesaran. Kelompok ini menuntut pengakuan total akan otoritas dan keagungan Allah. Kehidupan seorang mukmin di bawah kelompok sifat ini adalah penyerahan total (Islam) kepada Penguasa Semesta. Ketika musibah datang, seorang mukmin ingat bahwa Al-Jabbar akan memperbaiki, dan Al-Aziz tidak akan meninggalkan hamba-Nya tanpa pertolongan yang perkasa.

Pentingnya Pemahaman Al-Jabbar dan Al-Mutakabbir

Dalam memahami nama-nama ini, sangat penting membedakan antara sifat Allah dan sifat makhluk. Manusia yang sombong (*mutakabbir*) dan diktator (*jabbar*) adalah tercela karena mereka mencoba meniru sifat yang hanya milik Allah. Hanya Allah yang memiliki kapasitas dan hak untuk menjadi Al-Jabbar dan Al-Mutakabbir, karena sifat-sifat ini pada diri-Nya adalah mutlak, sempurna, dan bersumber dari kesempurnaan Dzat-Nya. Sementara, manusia yang memiliki sifat tersebut adalah manifestasi dari kebodohan dan kelemahan.

Kelompok B: Sifat Kesucian dan Keselamatan (Al-Quddus, As-Salam, Al-Mu'min, Al-Muhaimin)

Sifat-sifat ini menegaskan bahwa Kekuasaan Allah adalah Kekuasaan yang bersih dari kekurangan. Al-Quddus menjamin kesempurnaan Dzat-Nya. As-Salam menyediakan kedamaian dan keselamatan sebagai hasil dari kesucian tersebut. Al-Mu'min memberikan jaminan aman bagi hamba-Nya yang taat. Dan Al-Muhaimin menjamin pengawasan yang detail dan adil. Kelompok ini membangun hubungan antara hamba dan Tuhan yang didasarkan pada kepercayaan dan ketenangan batin. Kita mencari keamanan (*amn*) hanya dari Al-Mu'min dan As-Salam.

Tuntutan As-Salam dan Al-Mu'min

Menghayati As-Salam menuntut seorang muslim untuk menjadi sumber kedamaian dan keselamatan bagi lingkungannya. Menghayati Al-Mu'min menuntut kita untuk menjadi orang yang dapat dipercaya, menjaga janji, dan memberikan rasa aman kepada orang lain, merefleksikan sebagian kecil dari sifat Allah yang agung.

Kelompok C: Sifat Penciptaan (Al-Khaliq, Al-Bari', Al-Mushawwir)

Sifat-sifat ini berfokus pada asal-usul wujud dan keunikan penciptaan. Ketiga nama ini mencakup semua proses eksistensi. Jika Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu, maka semua bentuk penyembahan terhadap ciptaan (berhala, materi, nafsu) adalah kesesatan. Kelompok ini adalah bukti paling kuat atas keesaan Allah, karena tidak ada yang berbagi dalam proses penciptaan dari ketiadaan, perwujudan, hingga pembentukan rupa.

Keunikan Al-Mushawwir

Al-Mushawwir menunjukkan seni dan kebijaksanaan tak terbatas Allah. Manusia dapat membuat patung atau gambar, tetapi mereka hanya meniru atau membentuk kembali materi yang sudah ada. Hanya Al-Mushawwir yang menciptakan bentuk (Shurah) dari tiada, memberikannya sifat, fungsi, dan takdir yang unik. Merenungkan keragaman bentuk manusia, flora, dan fauna adalah salah satu jalan terbaik untuk mengenal Al-Mushawwir.

Tadabbur (Perenungan) Ayat-Ayat Al-Hasyr

1. Khusyuk di Hadapan Firman-Nya

Ayat 21 mengajarkan bahwa standar interaksi kita dengan Al-Qur'an harus melebihi ketangguhan gunung. Ketika kita membaca, kita seharusnya merasa terancam oleh janji neraka, terhibur oleh janji surga, dan tunduk oleh keagungan firman. Jika kita mendapati hati kita keras saat membaca Al-Qur'an, itu adalah indikasi penyakit spiritual yang harus segera diobati. Perintah untuk berpikir (لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ) di akhir ayat ini adalah perintah untuk mengaktifkan akal dan hati secara simultan dalam memahami Kalamullah.

2. Pengamalan Tauhid dalam Setiap Sifat

Rangkaian 12 nama Allah ini adalah fondasi tauhid. Ketika seorang mukmin menghadapi kesulitan finansial, ia mengingat Al-Malik yang memiliki segala harta. Ketika ia merasa terancam, ia mencari perlindungan pada Al-Mu'min dan As-Salam. Ketika ia merasa putus asa atau kehilangan, ia mengingat Al-Jabbar yang mampu memperbaiki segala kerusakan. Semua sifat ini adalah pintu untuk mengenal Allah dan menyalurkan seluruh ibadah dan ketergantungan hanya kepada-Nya.

Penerapan praktis dari pengenalan 12 nama ini adalah dengan menyifati diri dengan akhlak yang merupakan refleksi terbatas dari sifat-sifat tersebut yang sesuai bagi makhluk. Contohnya: menuntut ilmu agar semakin mendekati 'Alimul Ghaib, memberikan keamanan agar mirip dengan Al-Mu'min, dan bersikap bijaksana (Hikmah) agar mendekati Al-Hakim.

3. Kekuatan Penutup: Al-'Aziz Al-Hakim

Penutup surah dengan Al-'Aziz Al-Hakim memberikan jaminan moral dan spiritual. Dalam dunia yang penuh ketidakadilan dan kekacauan, jaminan bahwa Yang Maha Perkasa juga Maha Bijaksana adalah sumber ketenangan. Keperkasaan-Nya memastikan bahwa keadilan akan ditegakkan tanpa gagal, dan kebijaksanaan-Nya memastikan bahwa penegakan keadilan itu tepat dan sempurna waktu serta caranya. Ini adalah penenang hati bagi mereka yang terzalimi dan peringatan bagi mereka yang zalim.


Elaborasi Teologis dan Filologis Lanjutan

Kedalaman Al-Hasyr 21-24 sering menjadi materi utama dalam pelajaran teologi Islam karena kompleksitasnya dalam memadukan sifat Dzat (seperti Al-Quddus) dan sifat Perbuatan (seperti Al-Khaliq). Sifat-sifat ini dikelompokkan oleh ulama menjadi Sifat Jalal (Keagungan/Kemuliaan) dan Sifat Jamal (Keindahan/Rahmat).

Hubungan Sifat Jalal dan Jamal

Al-Malik, Al-Aziz, Al-Jabbar, dan Al-Mutakabbir adalah contoh utama Sifat Jalal, yang menekankan kebesaran dan kekuatan transenden Allah. Sementara As-Salam, Al-Mu'min, Ar-Rahman, dan Ar-Rahim adalah Sifat Jamal, yang menekankan kasih sayang, keindahan, dan keramahan Allah kepada makhluk-Nya. Rangkaian di Al-Hasyr ini adalah perpaduan sempurna dari kedua aspek ini, menunjukkan bahwa kedaulatan Allah adalah kedaulatan yang didasarkan pada Rahmat dan Kebijaksanaan.

Pendekatan Linguistik: Akar Kata dan Makna

  1. Malik (م ل ك): Akar kata yang menunjukkan kepemilikan dan kekuasaan absolut. Ketika disandarkan pada Allah, berarti tidak ada batas waktu atau ruang pada kekuasaan-Nya.
  2. Quddus (ق د س): Akar kata yang merujuk pada pembersihan atau penyucian. Menghilangkan segala bentuk cela atau kekurangan yang bisa disematkan oleh pikiran makhluk.
  3. Muhaimin (ه ي م ن): Kata yang jarang digunakan, tetapi merujuk pada pengawasan dan pengamanan total, jauh lebih kuat dari sekadar 'melihat'.
  4. Khaliq, Bari', Mushawwir: Tiga kata ini mencakup spektrum penciptaan yang sangat detail. Khaliq (perencanaan), Bari' (implementasi dari tiada), Mushawwir (pemberian bentuk dan detail). Tidak ada bahasa lain yang memiliki tiga kata terpisah untuk mendeskripsikan tahap penciptaan seakurat ini, menunjukkan keagungan Al-Qur'an.

Kajian filologis ini menguatkan bahwa setiap huruf dan kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi Ilahi, memastikan bahwa ketika nama-nama ini disebutkan, ia membawa bobot teologis yang maksimal.

Tafsir Sufistik terhadap Al-Hasyr

Dalam pandangan tasawuf, ayat 21-24 adalah undangan untuk mencapai tingkat fana' (peleburan diri) dalam tauhid. Ketika seseorang merenungkan bahwa gunung pun tunduk (ayat 21), maka hati hamba harus lebih dulu tunduk. Pengenalan terhadap 12 nama ini adalah perjalanan spiritual: dari pengakuan kedaulatan (Malik), menuju pemurnian batin (Quddus), mencapai ketenangan (Salam), dan akhirnya menyaksikan kuasa penciptaan (Khaliq). Tujuan akhir dari ma'rifatullah adalah hilangnya ketergantungan pada sebab-sebab duniawi, karena segala sebab dan akibat dikuasai oleh Al-Khaliq, Al-Aziz, dan Al-Hakim.

Merenungkan Al-Mutakabbir mengajarkan seorang sufi untuk menghilangkan sifat sombong dari hatinya, karena kesombongan adalah tiruan dari sifat yang hanya milik Allah. Sementara merenungkan Al-Jabbar mendorong hamba untuk mencari perbaikan dan penyembuhan spiritual dan fisik hanya kepada-Nya.

Aspek Hukum dan Kosmis

Ayat 24 yang menyatakan bahwa semua yang di langit dan bumi bertasbih (يُسَبِّحُ لَهُ) memiliki implikasi hukum dan kosmis. Secara kosmis, ini menunjukkan harmoni universal; alam semesta tidak dalam kondisi acak, melainkan dalam ketaatan konstan kepada Penciptanya. Secara hukum, ayat ini membenarkan bahwa tugas utama manusia—sebagai khalifah di bumi—adalah bergabung dengan tasbih semesta tersebut melalui ibadah dan kepatuhan terhadap syariat. Ketaatan manusia adalah kelanjutan dari ketaatan kosmik. Ketika manusia tidak taat, ia menciptakan disonansi dalam harmoni alam semesta yang telah ditetapkan oleh Al-Bari' dan Al-Mushawwir.

Keseluruhan pesan dari Surah Al-Hasyr ayat 21-24 adalah sebuah siklus sempurna: Wahyu (Al-Qur'an) memiliki kekuatan yang luar biasa (Ayat 21); wahyu ini diturunkan oleh Dzat yang sempurna dalam Ilmu dan Rahmat (Ayat 22); Dzat tersebut adalah Penguasa Mutlak, Maha Suci, dan Pemberi Keamanan (Ayat 23); dan Dzat tersebut adalah Sang Pencipta, Pembuat Bentuk, yang diakhiri dengan jaminan Kekuasaan dan Kebijaksanaan (Ayat 24). Tidak ada kesimpulan yang lebih kuat dan mendalam mengenai Tauhid dalam seluruh Al-Qur'an selain rangkaian ayat yang agung ini.

Perluasan Makna Setiap Nama (Pengayaan Konteks)

Untuk benar-benar menghayati kedalaman Surah Al-Hasyr 21-24, pemahaman terhadap dimensi aplikatif dari setiap Nama adalah krusial. Kita akan memperluas pembahasan dari sudut pandang interaksi hamba dan Tuhannya.

Al-Malik: Mengatasi Materialisme

Dalam masyarakat modern yang mendewakan materi dan kepemilikan, pengenalan terhadap Al-Malik berfungsi sebagai penangkal materialisme. Kepemilikan manusia adalah fana dan terbatas. Ketika kekayaan dicabut atau kekuasaan hilang, mukmin yang menghayati Al-Malik tetap tenang karena ia tahu Raja sejati tidak pernah kehilangan kekuasaan-Nya. Doa dan pengharapan hanya diarahkan kepada Al-Malik, Raja yang tidak akan pernah pensiun, dipecat, atau mati.

Al-Quddus: Tuntutan Pemurnian Hati

Jika Allah Maha Suci, maka tujuan spiritual hamba adalah mencapai derajat kesucian batin (tazkiyatun nafs). Mencintai Al-Quddus berarti membenci segala bentuk kesyirikan, nifaq, dan sifat buruk dalam hati, karena semua itu adalah noda yang tidak layak di hadapan Sang Maha Suci. Setiap ibadah, khususnya salat, adalah upaya untuk mensucikan diri dan mengucapkan tasbih (SubhanaLlah), yang merupakan pengakuan fundamental terhadap Al-Quddus.

As-Salam: Menggali Sumber Kedamaian Sejati

Kedamaian di dunia sering dicari dalam hal-hal eksternal: stabilitas politik, kekayaan, atau kesehatan. Namun, As-Salam mengajarkan bahwa kedamaian sejati (salamah) adalah kondisi internal yang didapat melalui kepatuhan. Ketika hati seorang hamba tunduk pada kehendak Allah, ia mencapai kedamaian yang tidak dapat digoyahkan oleh gejolak duniawi. Surga, Dar As-Salam, adalah hadiah final bagi mereka yang mencapai kedamaian ini di dunia.

Al-Mu'min dan Al-Muhaimin: Kepercayaan Mutlak dan Pertolongan

Ketika mukmin merasa lemah atau terancam, ia bersandar pada Al-Mu'min, yang menjamin keamanan. Dia adalah Dzat yang memberikan janji-janji yang pasti (salah satunya adalah Hari Kebangkitan). Al-Muhaimin memberikan jaminan bahwa meskipun dunia tampak kacau, ada pengawas Ilahi yang sempurna yang mengatur setiap detail. Inilah fondasi tawakkal (penyerahan diri), karena pengawasan Allah itu sempurna dan tak pernah lalai.

Al-Aziz: Kekuatan Dalam Kelemahan

Seorang mukmin yang menghayati Al-Aziz akan menyadari bahwa kehormatan (Izzah) sejati tidak datang dari manusia atau materi, melainkan dari Allah. Mereka yang mencari kehormatan dari selain Allah akan mendapati diri mereka terhina. Kekuatan seorang mukmin adalah bersumber dari ketergantungan pada Al-Aziz. Bahkan dalam kondisi paling lemah, seorang mukmin merasa perkasa karena Tuhannya adalah Al-Aziz.

Al-Jabbar dan Al-Mutakabbir: Sikap Rendah Hati dan Penghiburan

Penghayatan Al-Mutakabbir memicu kerendahan hati yang ekstrem, menyadari bahwa kebesaran hanya milik Allah. Adapun Al-Jabbar, nama ini adalah sumber penghiburan bagi mereka yang patah hati atau menderita kerugian. Kapan pun ada kekalahan, kesedihan, atau kerusakan, Al-Jabbar memiliki kemampuan unik untuk memperbaiki (jabara) kembali keadaan hamba-Nya melebihi kondisi semula. Ini adalah harapan yang tak terhingga.

Al-Khaliq, Al-Bari', Al-Mushawwir: Inspirasi Kreativitas

Meskipun manusia dilarang meniru Allah dalam sifat-sifat keagungan mutlak, manusia didorong untuk meniru Allah dalam aspek-aspek yang relevan, seperti kreativitas dan kualitas. Pengenalan terhadap Al-Khaliq, Al-Bari', dan Al-Mushawwir seharusnya mendorong manusia untuk menjadi kreatif, inovatif, dan bekerja dengan kualitas tinggi (ihsan), karena mereka adalah bagian dari ciptaan Sang Maha Perancang Bentuk. Ini adalah panggilan untuk ilmu pengetahuan dan seni yang Islami.

Al-Hakim: Kedalaman Hikmah dalam Takdir

Setiap takdir, baik yang manis maupun yang pahit, berasal dari Al-Hakim, yang Maha Bijaksana. Kebijaksanaan-Nya menjamin bahwa tidak ada kejadian yang sia-sia. Hal ini membantu mukmin menerima ujian dengan kesabaran dan mencari hikmah di balik setiap peristiwa. Kesabaran (sabr) adalah manifestasi tertinggi dari pengakuan terhadap Al-Hakim.

Kesimpulan: Cahaya dari Surah Al-Hasyr

Rangkaian ayat 21 hingga 24 dari Surah Al-Hasyr adalah salah satu pilar akidah dalam Islam. Dimulai dengan mengingatkan manusia tentang beratnya beban wahyu (Ayat 21), kemudian menetapkan pondasi tauhid melalui Ilmu dan Rahmat (Ayat 22), dilanjutkan dengan pengukuhan kedaulatan, kesucian, dan kekuatan tak tertandingi (Ayat 23), dan diakhiri dengan penekanan pada hakikat penciptaan dan kebijaksanaan yang sempurna (Ayat 24).

Ayat-ayat ini menyimpulkan bahwa Tuhan yang layak disembah adalah Dzat yang memiliki kesempurnaan absolut dalam setiap dimensi: dari perencanaan (Khaliq) hingga perwujudan (Mushawwir), dari kedaulatan (Malik) hingga keagungan (Mutakabbir), dan dari pengetahuan (Alimul Ghaib) hingga kebijaksanaan (Hakim). Pengenalan terhadap kedua belas nama ini adalah kunci untuk mencapai ma'rifatullah sejati, menjadikan hati tunduk, dan hidup selaras dengan tasbih alam semesta. Ayat-ayat ini adalah hadiah dari Allah, sebagai bekal bagi kita untuk mengakhiri kehidupan ini dengan pengenalan yang mendalam tentang Dzat yang akan kita temui.

Oleh karena itu, setiap mukmin didorong untuk tidak hanya menghafal, tetapi merenungkan dan menerapkan makna dari Surah Al-Hasyr ayat 21-24, karena di dalamnya terdapat rangkuman dari seluruh keindahan dan keagungan sifat-sifat Ilahi. Dengan pemahaman yang mendalam, kita dapat mendekati standar ketundukan yang digambarkan oleh gunung yang pecah belah.

Ayat-ayat ini menegaskan kembali prinsip bahwa penyembahan hanya milik Allah, Yang Maha Perkasa (Aziz) dan Maha Bijaksana (Hakim), dan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memuji keagungan-Nya, menuntut manusia untuk bergabung dalam paduan suara tasbih kosmik tersebut.

🏠 Kembali ke Homepage