Surah Al Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai peta jalan kehidupan bagi umat Islam. Setelah menguraikan tiga kelompok manusia—orang yang bertakwa, orang kafir, dan orang munafik—Al-Qur'an segera melanjutkan dengan seruan universal yang menjadi fondasi utama ajaran Islam: Tauhid.
Ayat ke-21 dari Surah Al Baqarah bukan hanya perintah; ia adalah argumen logis yang mengikat akal manusia dengan kenyataan eksistensial. Ayat ini menetapkan korelasi tak terpisahkan antara pengenalan akan Pencipta (melalui pengamatan alam) dan kewajiban untuk menyembah-Nya (Ibadah).
Terjemahan Ayat 21: Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.
Terjemahan Ayat 22 (Ayat Pelengkap Argumen): (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan (air) itu Dia menghasilkan buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Meskipun secara numerik ayat ini adalah Ayat 21, secara tematik ia terikat erat dengan Ayat 22, yang menyediakan argumen logis (bukti penciptaan) untuk mendukung perintah ibadah yang diberikan dalam Ayat 21. Oleh karena itu, tafsir ayat ini haruslah komprehensif, mencakup keseluruhan argumen yang disajikan.
Pembukaan ayat ini menggunakan frasa "Yā Ayyuhan Nās" (Wahai Manusia). Ini adalah poin krusial yang membedakannya dari seruan lain dalam Al-Qur'an yang sering ditujukan hanya kepada orang-orang beriman (Yā Ayyuhal Ladhīna Āmanū).
Mengapa seruan ibadah pertama dalam Al-Baqarah ditujukan kepada seluruh umat manusia—termasuk yang kafir, musyrik, dan munafik—bukan hanya kepada kaum Muslimin? Ini menunjukkan bahwa kewajiban mendasar untuk menyembah Sang Pencipta adalah fitrah dan kewajiban universal, bukan hanya urusan suatu kelompok agama tertentu.
Implikasi Teologis: Perintah ini menegaskan bahwa sebelum seseorang memilih agama (Islam), ia sudah memiliki kewajiban moral dan rasional untuk mengakui dan menyembah Tuhan yang menciptakan dirinya. Pengenalan Rububiyah (Ketuhanan sebagai Pencipta dan Pemelihara) adalah prasyarat untuk Uluhiyah (Ketuhanan sebagai Yang Berhak disembah).
Seruan ini menyentuh fitrah murni yang ada pada setiap manusia. Meskipun seseorang mungkin sesat atau ingkar, secara mendasar, jiwanya mengakui adanya kekuatan yang Maha Agung. Ayat ini berfungsi untuk membangunkan kembali kesadaran fitriah tersebut, memanggil akal untuk melihat bukti nyata di sekitar mereka.
Pusat dari Ayat 21 adalah perintah "U'budū Rabbakum," yaitu perintah untuk beribadah kepada Tuhan. Kata 'ibadah' dalam Islam memiliki makna yang sangat luas, jauh melampaui sekadar ritual shalat atau puasa.
Menurut para ulama tafsir, khususnya Ibnu Taimiyyah, ibadah adalah istilah komprehensif yang mencakup semua perkataan dan perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT.
Allah tidak hanya memerintahkan ibadah (U'budū Allāh), tetapi secara spesifik menekankan ibadah kepada "Rabbakum" (Tuhan Pemeliharamu). Penggunaan kata Rabb di sini sangat strategis. Rabb menyiratkan makna Pencipta, Pengatur, Pemberi Rezeki, dan Pemelihara. Karena Dialah yang memelihara dan memberi nikmat tanpa henti, maka Dia sendirilah yang berhak disembah. Ibadah adalah respons logis terhadap pemeliharaan yang tak terhingga.
Ayat 21 segera memberikan alasan rasional mengapa manusia harus beribadah: "alladzī khalaqakum wa-l-ladhīna min qablikum" (yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu). Ini adalah argumen berbasis ontologi (ilmu tentang keberadaan).
Manusia diminta merenungkan asal-usulnya. Siapakah yang memberikan keberadaan dari ketiadaan? Siapakah yang membentuknya dari setetes air hina menjadi makhluk yang paling sempurna? Jawabannya adalah Sang Pencipta. Jika manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia menyembah sesuatu selain Penciptanya?
Penyebutan "wa-l-ladhīna min qablikum" (dan orang-orang sebelum kamu) menekankan bahwa Tauhid bukanlah konsep baru. Ia adalah ajaran primordial, pesan yang sama yang disampaikan kepada setiap generasi sejak Adam. Ini menghapus ilusi bahwa Islam adalah agama baru; sebaliknya, ia adalah puncak penyempurnaan dari pesan asli semua nabi.
Ayat 21 ditutup dengan pernyataan tujuan: "la'allakum tattaqūn" (agar kamu bertakwa). Ketakwaan (Taqwa) adalah hasil akhir dari ibadah yang benar dan pengenalan yang benar akan Rububiyah Allah.
Taqwa secara harfiah berarti menjaga diri, melindungi diri. Dalam konteks syariat, itu berarti melindungi diri dari siksa Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Taqwa adalah hasil dari ibadah yang tulus, yang membuahkan kesadaran ilahi (muraqabah) di setiap langkah kehidupan.
Allah tidak butuh ibadah kita. Tujuan dari perintah ibadah adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Melalui ibadah, manusia mencapai derajat takwa, yang merupakan bekal terbaik untuk kehidupan dunia dan akhirat. Ibadah adalah sarana, dan takwa adalah hasil spiritual yang diharapkan.
Ayat 22 memberikan bukti konkret dari Rububiyah (pemeliharaan) Allah di alam semesta, yang mendukung perintah ibadah. Ini dikenal sebagai Argumen Kosmologis dalam tafsir.
Allah menjadikan bumi sebagai firāshan (hamparan, tempat tidur). Metafora ini menekankan kemudahan dan kenyamanan. Bumi, meskipun berputar dengan kecepatan tinggi, memiliki gravitasi yang stabil, atmosfer yang melindungi, dan lapisan yang cukup lunak untuk dihuni. Jika bumi terlalu keras atau permukaannya terlalu tidak stabil, kehidupan akan mustahil.
Kekuatan Balaghah: Penggunaan kata 'firāsh' (tempat tidur) menunjukkan kelembutan dan kesempurnaan penyiapan lingkungan. Ini bukan sekadar planet, tapi rumah yang dirancang spesifik untuk kenyamanan manusia.
Langit dijadikan binā’an (atap atau bangunan yang kokoh). Langit di sini merujuk pada atmosfer dan lapisan kosmis yang melayani fungsi vital:
Ayat ini kemudian beralih pada siklus hidup: Allah menurunkan air (hujan) dari langit, dan dengan air itu Dia mengeluarkan buah-buahan sebagai rezeki. Rantai kejadian ini—evaporasi, pembentukan awan, curah hujan, hingga pertumbuhan tanaman—adalah bukti sempurna akan manajemen ilahi.
Air hujan adalah rezeki yang paling mendasar. Ia menghidupkan bumi yang mati, menyediakan makanan bagi manusia dan hewan, dan mempertahankan ekosistem. Ini adalah bukti terkuat bahwa ada Pengatur yang sangat peduli terhadap keberlangsungan hidup ciptaan-Nya.
Penekanan pada kata rizqan lakum (rezeki untukmu) menandakan bahwa semua proses kosmik ini tidak terjadi secara acak, melainkan dirancang secara sengaja demi kelangsungan hidup dan kemaslahatan manusia. Rezeki ini mencakup kebutuhan fisik (makanan) dan spiritual (kesempatan untuk bersyukur dan beribadah).
Setelah memberikan argumen Rububiyah yang kuat, ayat tersebut diakhiri dengan peringatan paling keras dalam Islam: larangan Shirk (menyekutukan Allah).
Kata Andādan (sekutu-sekutu) adalah jamak dari Nidd, yang berarti lawan, tandingan, atau sekutu yang setara. Syirik adalah meyakini atau memperlakukan sesuatu atau seseorang seolah-olah ia memiliki kekuatan, hak, atau otoritas yang setara dengan Allah SWT.
Peringatan ini menjadi kesimpulan logis dari seluruh argumen sebelumnya: Jika hanya Allah yang menciptakan, menghampar bumi, membangun langit, dan menurunkan rezeki, maka tidak ada satu pun yang berhak dijadikan tandingan dalam ibadah. Mengadakan sekutu bagi-Nya adalah bentuk kebodohan dan ketidakadilan terbesar, karena menempatkan ciptaan yang lemah pada kedudukan Sang Pencipta yang Maha Kuat.
Peringatan ini mencakup semua jenis syirik:
Penutup ayat ini, "wa antum ta'lamūn" (padahal kamu mengetahui), adalah kecaman moral dan intelektual terhadap mereka yang melakukan syirik.
Frasa ini menunjukkan bahwa bukti-bukti Rububiyah yang disajikan (bumi, langit, hujan, rezeki) begitu jelas, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengetahuinya. Mereka yang menyekutukan Allah melakukannya bukan karena ketidaktahuan total, melainkan karena kesombongan, mengikuti hawa nafsu, atau taklid buta terhadap leluhur.
Aspek Hukum: Pengetahuan adalah prasyarat pertanggungjawaban. Karena manusia dianugerahi akal dan diberikan bukti yang kasat mata, pengingkaran mereka adalah pilihan sadar, dan karenanya membawa konsekuensi yang berat.
Ayat 21 dan 22 membentuk satu kesatuan argumentatif yang sempurna. Para mufasir menekankan bahwa kedua ayat ini adalah contoh terbaik dari gaya retorika (balaghah) Al-Qur'an.
Struktur argumentasinya adalah sebagai berikut:
Melalui pola ini, Al-Qur'an tidak hanya memerintah, tetapi juga mendidik akal. Ia mengajarkan bahwa ibadah harus didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman akan keagungan Sang Khaliq.
Ayat ini mengintegrasikan dua kategori utama tauhid:
Orang-orang musyrik pada masa Nabi seringkali mengakui Tauhid Rububiyah (mereka tahu Allah adalah Pencipta), tetapi gagal dalam Tauhid Uluhiyah (mereka tetap menyembah perantara). Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa pengakuan Rububiyah *meniscayakan* pelaksanaan Uluhiyah.
Surah Al Baqarah Ayat 21 memiliki relevansi abadi, terutama dalam konteks kehidupan modern yang serba materialistis.
Di era modern, banyak orang cenderung menjadikan harta, jabatan, atau teknologi sebagai andādan (tandingan) bagi Allah. Mereka bergantung padanya sepenuhnya, mencintainya melebihi cinta kepada Allah, dan mencari penyelesaian masalah hanya melalui sarana-sarana tersebut, melupakan Sang Pemberi Sarana.
Penerapan: Merenungkan ayat ini membantu menempatkan nikmat dunia pada proporsinya yang benar: mereka adalah rezeki dari Allah, bukan tuhan yang harus disembah. Kesuksesan teknologi adalah manifestasi dari hukum alam yang diciptakan oleh Allah, bukan kekuatan independen.
Ayat ini mendorong penelitian ilmiah. Dengan merenungkan bagaimana bumi dijadikan hamparan dan bagaimana hujan diturunkan, manusia didorong untuk memahami mekanisme alam semesta. Semakin dalam ilmuwan memahami alam, semakin jelas bukti Rububiyah Allah. Sains, dalam pandangan Islam, seharusnya memperkuat ibadah, bukan melemahkannya.
Penyebutan rezeki (buah-buahan) sebagai penutup rangkaian bukti alam berfungsi untuk memicu rasa syukur. Ibadah yang sejati adalah ibadah yang didorong oleh rasa terima kasih atas nikmat kehidupan, keselamatan, dan rezeki yang tiada henti.
Ayat ini mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Allah menyediakan bumi sebagai tempat tinggal (duniawi) dan memerintahkan ibadah (ukhrawi). Keduanya tidak dapat dipisahkan; ibadah seharusnya memberdayakan manusia untuk menjalani kehidupan dunia dengan adil dan bertanggung jawab.
Perintah dalam Ayat 21 menjadi sumber bagi banyak hukum dan prinsip akhlak dalam Islam.
Jika Allah adalah Rabb yang Menciptakan kita dari ketiadaan, maka hak-Nya untuk ditaati adalah mutlak. Ini berarti bahwa ketaatan kepada syariat harus didahulukan di atas hawa nafsu, tradisi, atau tuntutan sosial yang bertentangan.
Karena bumi adalah firāsh (hamparan) yang disediakan oleh Allah sebagai rezeki bagi kita, manusia memiliki tanggung jawab (khilafah) untuk memeliharanya. Merusak lingkungan (polusi, eksploitasi berlebihan) dapat dilihat sebagai bentuk kufur nikmat, karena merusak 'tempat tidur' yang telah disiapkan dengan sempurna oleh Sang Pencipta.
Frasa "wa antum ta'lamūn" menekankan bahwa akal dan ilmu adalah anugerah terbesar. Orang yang berilmu adalah yang paling diwajibkan untuk beribadah dengan benar, karena mereka yang paling mampu memahami bukti-bukti di balik perintah tersebut. Ilmu bukan untuk kesombongan, melainkan untuk memperkuat iman.
Mufasir dari berbagai era memberikan penekanan yang sedikit berbeda pada Ayat 21-22, menunjukkan kedalaman makna ayat tersebut.
Tafsir klasik cenderung fokus pada aspek linguistik dan riwayat. Ibnu Katsir, misalnya, sangat menekankan bahwa Ayat 21 adalah fondasi Tauhid dan berfungsi sebagai perintah pertama setelah mukadimah tentang jenis-jenis manusia. Beliau menghubungkan secara eksplisit penyebutan penciptaan diri dan penciptaan alam sebagai bukti sah bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak atas ibadah.
Mufasir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, menyoroti aspek dinamis dari ayat tersebut. Qutb melihat ayat ini sebagai pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan kepada sesama manusia atau materi. Ibadah kepada Rabbul Alamin membebaskan jiwa dari ketergantungan pada kekuasaan atau harta duniawi.
Pilihan kata dalam Ayat 21 dan 22 menunjukkan ketelitian bahasa Arab yang luar biasa.
Mengapa Allah menggunakan kata firāshan (hamparan/tempat tidur) setelah menyebut al-ardha (bumi)? Penggunaan metafora 'firāsh' jauh lebih kuat daripada sekadar 'tempat'. Firāsh menyiratkan:
Langit disebut binā’an (bangunan). Bangunan menunjukkan struktur yang didirikan dengan sengaja, terencana, dan memiliki fungsi pelindung. Ini menghilangkan ide bahwa langit hanyalah ruang kosong, melainkan sebuah struktur vital yang menopang kehidupan di bumi.
Kata Khalaqakum (Dia menciptakan kamu) menggunakan bentuk lampau, menekankan bahwa tindakan penciptaan telah selesai, namun dampaknya (eksistensi kita) berlanjut. Ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan.
Ayat 21-22 berfungsi sebagai jembatan yang sangat penting dalam struktur Surah Al Baqarah.
Sebelum ayat ini, Al Baqarah fokus pada deskripsi tiga kelompok: Muttaqin (Ayat 1-5), Kuffar (Ayat 6-7), dan Munafiqun (Ayat 8-20). Setelah menjelaskan siapa yang menerima dan menolak petunjuk, Allah kemudian beralih ke perintah universal. Ini seolah berkata: "Terlepas dari kelompok mana pun Anda berada, inilah fondasi dasar yang harus Anda terima."
Ayat 21-22 yang berisi argumen Rububiyah dan perintah ibadah segera diikuti oleh tantangan kenabian dalam Ayat 23:
"Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya..."
Keterkaitannya jelas: Karena hanya Allah yang mampu menciptakan alam semesta dan mengatur segala rezeki (Ayat 21-22), maka hanya Dia yang mampu menurunkan wahyu yang sempurna dan tak tertandingi (Ayat 23). Keagungan Sang Pencipta tercermin dalam keagungan kalam-Nya.
Al-Qur'an sering mengulang bukti-bukti penciptaan (langit, bumi, hujan) di banyak surah. Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penguatan (ta'kid).
Dalam konteks Ayat 21-22, pengulangan ini berfungsi untuk:
Surah Al Baqarah Ayat 21, yang dilengkapi dengan Ayat 22, adalah pintu gerbang menuju seluruh ajaran Islam. Ia mengajarkan bahwa Tauhid bukan sekadar dogma teologis, tetapi adalah respons rasional dan moral yang tak terhindarkan terhadap kenyataan bahwa kita adalah ciptaan yang berada di bawah perlindungan dan pemeliharaan Tuhan semesta alam. Ibadah adalah perwujudan syukur, dan meninggalkan syirik adalah puncak dari kesadaran akal: "Padahal kamu mengetahui."