Kajian Komprehensif Tafsir Surah ke-87 dalam Al-Qur'an
Surah Al-A'la, surah ke-87 dalam susunan mushaf, termasuk dalam kategori surah Makkiyah, bahkan sering diklasifikasikan sebagai salah satu surah yang diturunkan pada periode awal dakwah Rasulullah ﷺ di Mekah. Penempatan ini memiliki implikasi signifikan terhadap tema-tema yang diangkat. Surah-surah Makkiyah awal, seperti Al-A'la, berfokus kuat pada penanaman akidah dasar: Tauhid (keesaan Allah), kenabian, dan Hari Kebangkitan (Akhirat).
Nama surah ini diambil dari ayat pertamanya, "Al-A'la", yang berarti "Yang Maha Tinggi" atau "Yang Paling Luhur," merujuk langsung kepada sifat Allah SWT. Surah ini memiliki kedudukan istimewa dalam ibadah kaum Muslimin, karena sering dibaca oleh Rasulullah ﷺ dalam salat-salat witir, salat ‘Id, dan salat Jumat. Pengulangan surah ini menunjukkan pentingnya pesan intinya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam momen-momen perkumpulan besar.
Dalam 19 ayatnya yang ringkas, Surah Al-A'la menyajikan peta jalan spiritual yang padat dan kuat. Ia dimulai dengan perintah pensucian (Tasbih), kemudian beralih ke bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah melalui penciptaan, berlanjut pada kepastian wahyu dan kenabian, dan ditutup dengan formula kesuksesan di dunia dan akhirat, serta pengaitannya dengan kitab-kitab suci terdahulu.
Struktur Surah ini dapat dibagi menjadi empat bagian utama yang saling melengkapi:
Ayat 1: Pensucian dan Ketinggian Ilahi
Terjemah: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.
Kata kunci di sini adalah سَبِّحْ (Sabbih), yang merupakan perintah dari kata dasar Tasbih. Tasbih bukan sekadar memuji, tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam: menjauhkan, mensucikan, dan membersihkan Allah dari segala bentuk kekurangan, aib, atau kesamaan dengan makhluk. Ketika kita mengatakan "Subhanallah," kita mengakui bahwa Allah Maha Sempurna dan segala sesuatu yang kita bayangkan tentang ketidaksempurnaan adalah mustahil bagi-Nya.
Kata اسْمَ (Ism) berarti ‘nama’. Ada diskusi tafsir yang menarik mengenai penggunaan "nama" (Ism) daripada "Dzat" (Essence). Para ulama cenderung menafsirkan bahwa perintah Tasbih harus dihubungkan dengan Nama Allah, karena pengenalan kita terhadap Allah dimulai dari Asmaul Husna. Jika kita mengagungkan nama-Nya, kita secara otomatis mengagungkan Dzat-Nya. Beberapa mufassir, seperti Mujahid, bahkan menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk berzikir dan menyanjung nama-nama-Nya yang mulia.
الْأَعْلَى (Al-A'la), Yang Mahatinggi. Sifat ini menunjukkan ketinggian mutlak Allah, baik ketinggian Dzat (secara harfiah, Allah di atas seluruh alam semesta), maupun ketinggian status dan kekuasaan. Ketinggian ini menuntut pengagungan yang total dan penolakan terhadap pembandingan dengan makhluk manapun. Ayat ini meletakkan fondasi tauhid tanzih (mensucikan Allah dari kesamaan). Ia adalah perintah dasar yang harus menjiwai setiap amal dan keyakinan seorang Muslim.
Perintah dalam ayat pertama ini telah diwujudkan dalam praktik ibadah utama. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan umatnya untuk mengucapkan "Subhana Rabbiyal A'la" (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi) saat sujud dalam salat. Sujud adalah puncak ketundukan dan kerendahan seorang hamba. Dengan meletakkan wajah di tanah (simbol kehinaan) sambil mensucikan Allah dengan sebutan 'Al-A'la' (simbol ketinggian mutlak), terjadi kontras spiritual yang sangat mendalam, menegaskan bahwa kemuliaan sejati hanya milik Yang Mahatinggi, dan kita hanyalah hamba yang rendah.
Ayat 2: Kesempurnaan Penciptaan
Terjemah: Yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya).
Ayat ini adalah bukti pertama yang disajikan setelah perintah Tasbih. Bagaimana kita mengenal dan mensucikan Yang Mahatinggi? Melalui karya-Nya. خَلَقَ (Khalaqa), menciptakan, adalah tindakan mutlak Allah, membuat sesuatu dari ketiadaan. Namun, ayat ini tidak berhenti pada penciptaan saja, ia dilanjutkan dengan فَسَوَّىٰ (Fasawwa), lalu menyempurnakan atau merapikan. Ini merujuk pada kesempurnaan dan keseimbangan (itqan) yang ada pada setiap ciptaan.
Penciptaan alam semesta bukanlah proses yang acak atau cacat. Setiap detail, mulai dari partikel sub-atom hingga galaksi, mulai dari struktur biologis terkecil hingga fungsi sistem tata surya, semuanya diciptakan dengan proporsi, ukuran, dan fungsi yang tepat. Jika ada satu elemen yang melenceng, seluruh sistem akan hancur. Ayat ini mengajak manusia untuk melihat bukti-bukti kesempurnaan ini, yang pada gilirannya menuntut pengakuan akan kebesaran Sang Pencipta, Al-A'la.
Ayat 3: Pengaturan dan Petunjuk
Terjemah: Dan Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.
Kata قَدَّرَ (Qaddara) berasal dari Qadar, yang berarti menetapkan ukuran, kadar, atau takdir. Setelah menciptakan dan menyempurnakan, Allah menetapkan takdir dan ukuran spesifik bagi segala sesuatu. Ini mencakup hukum alam (fisika, kimia, biologi), batasan usia, rezeki, dan segala parameter yang mengendalikan eksistensi.
Misalnya, Allah menetapkan kadar air yang dibutuhkan tumbuhan, kadar gravitasi yang menahan planet, dan kadar nutrisi yang dibutuhkan tubuh manusia. Semuanya diatur dengan presisi yang luar biasa. Konsep ini adalah landasan bagi keyakinan terhadap Qada dan Qadar: segala sesuatu terjadi sesuai rencana Ilahi yang telah ditetapkan sejak azali.
فَهَدَىٰ (Fahada), lalu memberi petunjuk. Petunjuk ini memiliki dua dimensi:
Dengan demikian, ayat 3 adalah penegasan terhadap Allah sebagai Al-Khaliq (Pencipta), Al-Musawwir (Pembentuk), dan Al-Mudabbir (Pengatur). Semua kesempurnaan ini harus mengarahkan kita kembali pada perintah awal: mensucikan-Nya.
Ilustrasi 1: Pola kosmik yang mencerminkan keteraturan penciptaan.
Ayat 4-5: Siklus Kehidupan dan Kematian
Terjemah: Dan Yang menumbuhkan rumput-rumputan (4). Lalu dijadikan-Nya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman (5).
Dua ayat ini menyajikan metafora yang sangat kuat tentang siklus kehidupan, kematian, dan kebangkitan. Ini adalah argumen visual yang paling mudah dipahami oleh masyarakat gurun pada masa wahyu diturunkan, dan relevan hingga kini.
أَخْرَجَ الْمَرْعَىٰ (Akhraja Al-Mar'a), Dia mengeluarkan padang rumput atau tumbuh-tumbuhan hijau (mar’a, tempat merumput). Allah-lah yang menghidupkan bumi yang mati dengan hujan, menumbuhkan vegetasi yang menjadi sumber kehidupan bagi manusia dan hewan.
Namun, kehidupan ini fana. Tumbuhan hijau itu kemudian berubah menjadi غُثَاءً أَحْوَىٰ (Ghuthā’an Aḥwā), yakni sampah kering yang kehitam-hitaman. Warna hitam pekat menunjukkan kekeringan dan kematian total, setelah sebelumnya hijau subur. Ini adalah gambaran jelas dari kefanaan dunia; segala keindahan akan layu dan kembali menjadi debu.
Mengapa Allah menyajikan gambaran siklus ini? Ayat 4-5 berfungsi sebagai bukti nyata (demonstrasi) atas dua hal penting:
Hubungan antara Ayat 1-5 sangat kuat: Perintah untuk mensucikan (Ayat 1) didukung oleh bukti-bukti kesempurnaan ciptaan (Ayat 2), pengaturan (Ayat 3), dan kekuasaan atas siklus hidup dan mati (Ayat 4-5). Ini adalah argumentasi logis yang mengikat Tauhid.
Ayat 6-7: Memudahkan Hafalan dan Pemeliharaan Wahyu
Terjemah: Kami akan membacakan kepadamu (Al-Qur'an), maka kamu tidak akan lupa (6). Kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi (7).
Setelah membicarakan kekuasaan Allah di alam semesta (ayat 1-5), surah ini beralih ke kekuasaan Allah dalam hal wahyu dan risalah. Ayat-ayat ini adalah jaminan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ yang sering kali merasa khawatir akan kelupaan atau kekeliruan dalam menerima dan menyampaikan wahyu.
سَنُقْرِئُكَ (Sanuqri'uka), Kami akan membuatmu membaca (atau Kami akan membacakan untukmu). Ini adalah penegasan bahwa proses penerimaan dan penyampaian Qur'an adalah di bawah kendali Ilahi. فَلَا تَنْسَىٰ (Fala Tansa), maka kamu tidak akan lupa. Ini adalah jaminan mutlak tentang ingatan dan pemeliharaan wahyu dalam hati Nabi ﷺ. Allah menjamin bahwa Al-Qur'an akan terpelihara secara sempurna, tidak hanya di atas lembaran, tetapi juga dalam ingatan penerimanya.
Pengecualian إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ (Illā Mā Syā’allāh), kecuali apa yang dikehendaki Allah, adalah klausul yang menunjukkan kekuasaan mutlak Allah. Mufassir memberikan dua pandangan utama tentang pengecualian ini:
Ayat 7 ditutup dengan atribut pengetahuan Allah: إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ, Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang (terbuka) dan yang tersembunyi. Penggalan ini berfungsi sebagai alasan logis mengapa Allah dapat menjamin pemeliharaan wahyu. Dia yang mengetahui segala yang diucapkan (Jahra) dan segala yang ada di dalam hati (Yakhfa), tentu saja mampu menjaga dan mengendalikan proses penyampaian wahyu-Nya. Ini memberikan ketenangan bagi Nabi ﷺ dan meyakinkan umat bahwa sumber petunjuk mereka tidak akan pernah tercemari atau hilang.
Ayat 8: Memudahkan Jalan Kebaikan
Terjemah: Dan Kami akan memudahkanmu ke jalan kemudahan (kebaikan).
Kata وَنُيَسِّرُكَ (wa Nuyassiruka) berarti Kami akan memudahkanmu, dan الْيُسْرَىٰ (Al-Yusrā) berarti jalan kemudahan atau jalan yang paling baik. Ayat ini adalah janji kenyamanan dan kemudahan dalam melaksanakan tugas risalah.
Tugas dakwah dan kenabian adalah tugas yang sangat berat, penuh tantangan, penolakan, dan penderitaan. Namun, Allah berjanji kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwa Dia akan mempermudah jalannya. Kemudahan ini diinterpretasikan sebagai:
Ayat 8 adalah motivasi dan penguatan spiritual bagi Nabi, memastikan bahwa meskipun jalannya panjang, dukungan Ilahi selalu ada, selaras dengan janji kemudahan yang sering diulang dalam Al-Qur'an ("Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan").
Ayat 9-10: Tugas Dakwah dan Respon Hati
Terjemah: Oleh sebab itu berilah peringatan, jika peringatan itu bermanfaat (9). Orang yang takut (kepada Allah) akan mengambil pelajaran (10).
Setelah menerima jaminan tentang wahyu dan kemudahan tugas, Nabi diperintahkan untuk segera bertindak. فَذَكِّرْ (Fadzkir), berilah peringatan/nasihat/pengingat. Tugas utama Nabi adalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksa penerimaan.
Perintah ini diikuti oleh syarat: إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَىٰ (In Nafa'atidh Dzikrā), jika peringatan itu bermanfaat. Apakah ini berarti Nabi harus berhenti berdakwah jika dirasa tidak ada manfaat? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini tidak membatasi tugas dakwah hanya pada orang yang pasti menerima. Sebaliknya, tafsiran yang paling kuat adalah bahwa peringatan itu pasti akan bermanfaat bagi sekelompok orang, meskipun ditolak oleh kelompok lain.
Ayat 9 mengandung makna penekanan: tetaplah berdakwah karena dakwahmu pasti akan mendatangkan manfaat, setidaknya bagi orang-orang yang hatinya terbuka. Ini juga mengandung hikmah dakwah: sampaikanlah kebenaran dengan cara yang paling efektif dan sesuai dengan audiensnya.
Ayat 10 menjelaskan siapa yang akan mengambil manfaat dari peringatan tersebut: سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَىٰ (Sayadzdzkiru May Yakhsya), orang yang takut (kepada Allah) akan mengambil pelajaran. Kata Yakhsya (Takut) merujuk pada rasa takut yang didasarkan pada pengetahuan dan pengakuan akan kebesaran Allah. Ini adalah rasa takut yang membuahkan ketaatan, bukan rasa takut yang melumpuhkan.
Dengan kata lain, efektivitas dakwah bukan pada oratornya, tetapi pada kondisi hati pendengarnya. Mereka yang memiliki benih *Khasyyah* (ketakutan yang penuh hormat) dalam hati mereka—walaupun benih itu tersembunyi—akan segera merespon dan mengambil pelajaran dari wahyu, karena hati mereka telah dipersiapkan oleh fitrah.
Ayat 11-13: Ancaman Bagi yang Berpaling
Terjemah: Dan akan dijauhi (peringatan itu) oleh orang yang paling celaka (11). Yang akan memasuki api yang besar (Neraka) (12). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup (13).
Sebagai kontras dari orang yang takut (Ayat 10), Surah Al-A'la memperkenalkan الْأَشْقَى (Al-Asyqa), orang yang paling celaka atau paling sengsara. Mereka adalah orang-orang yang, meskipun peringatan telah disampaikan dengan jelas (Fadzkir), memilih untuk menolak dan berpaling (Wayatajannabuha).
Istilah *Al-Asyqa* sering dihubungkan dengan figur-figur kafir Mekah yang paling keras menentang Rasulullah ﷺ. Dalam pandangan umum, ini merujuk pada setiap individu yang menolak kebenaran setelah ia jelas terbentang di hadapannya. Mereka berpaling karena kesombongan, kecintaan pada dunia, atau takut kehilangan status sosial.
Akibat dari penolakan ini adalah memasuki النَّارَ الْكُبْرَىٰ (An-Nāral Kubrā), api yang besar. Istilah ‘Al-Kubrā’ (yang besar) menunjukkan tingkat siksaan dan intensitas api yang melebihi api dunia. Ini mungkin juga berfungsi untuk membedakannya dari siksa kubur (api kecil), menekankan bahwa siksa Akhirat adalah yang paling dahsyat.
Ayat 13 memberikan deskripsi yang mengerikan tentang siksaan abadi: لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ, ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Ini adalah puncak dari penderitaan. Jika mereka mati, mereka akan terlepas dari siksaan. Jika mereka hidup, mereka akan merasakan kenikmatan. Namun, mereka berada dalam keadaan antara hidup dan mati, di mana siksaan terus menerus dirasakan tanpa pernah mendapatkan kelegaan kematian. Dzat mereka tetap ada untuk terus merasakan rasa sakit. Ini adalah deskripsi tentang keputusasaan yang abadi.
Ayat 14-15: Kunci Kesuksesan (Tazakkah wa Salla)
Terjemah: Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri (14). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat (15).
Setelah menyinggung kesengsaraan orang yang celaka, Surah Al-A'la menyajikan kebalikannya: janji فَلَاحَ (Falāḥ), kesuksesan, kebahagiaan, dan keberuntungan sejati di akhirat. Ayat-ayat ini sering dianggap sebagai ringkasan praktis dari seluruh ajaran Islam.
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ (Qad Aflaḥa Man Tazakkā), Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri. Kata Tazakkā (pensucian) mencakup makna yang luas. Secara umum, ia merujuk pada dua hal:
Intinya, kesuksesan hanya dapat diraih melalui perjuangan internal untuk menjadi pribadi yang lebih bersih, baik secara spiritual maupun moral-sosial.
Ayat 15 merinci tindakan yang menyertai pensucian: وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ, Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Ini adalah hubungan yang kuat antara zikir (mengingat Allah) dan salat (ibadah fisik puncak).
Beberapa mufassir menghubungkan ayat ini secara spesifik dengan Salat Idul Fitri, di mana pensucian (zakat fitrah) dilakukan sebelum salat dan disertai takbir (dzikir). Namun, makna umum dari ayat ini lebih universal:
Ayat 14-15 adalah formula spiritual: Sucikan hati dan jiwa (Tazakkah), jaga kesadaran spiritual (Dzikir), dan tegakkan hubungan vertikal (Salat). Ini adalah resep yang dijamin menghasilkan Falāḥ.
Ayat 16-17: Prioritas Kehidupan
Terjemah: Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia (16). Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal (17).
Setelah memberikan formula Falāḥ, Allah mengkritik perilaku manusia secara umum, khususnya mereka yang menolak peringatan, karena kesalahan fundamental dalam menentukan prioritas. Mereka justru memilih jalan Al-Asyqa.
Kata بَلْ تُؤْثِرُونَ (Bal Tu'tsirūn) berarti ‘tetapi kamu mengutamakan’ atau ‘memilih’. Manusia, karena kecenderungannya, sering kali lebih memilih kehidupan dunia (Al-Ḥayātad Dunyā) yang bersifat sementara. Pengutamaan ini terjadi ketika manusia mengorbankan kewajiban agama, moral, dan etika demi keuntungan materi sesaat, popularitas, atau kenikmatan fisik.
Meskipun ayat ini secara langsung ditujukan kepada kaum musyrikin yang menolak, ia berfungsi sebagai cermin bagi setiap Muslim. Kapanpun kita meletakkan kekayaan, status, atau kesenangan sesaat di atas ketakwaan, kita telah jatuh ke dalam perangkap yang dikritik oleh ayat 16.
Ayat 17 memberikan perbandingan yang jelas dan logis: وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ, Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Ayat ini menggunakan dua sifat untuk Akhirat:
Pilihan antara Dunia dan Akhirat bukan hanya masalah moral, tetapi masalah rasionalitas. Mengapa seseorang yang berakal akan menukar yang kekal dan superior dengan yang sementara dan inferior?
Ayat 18-19: Kitab-kitab Suci Terdahulu
Terjemah: Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu (18). (Yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa (19).
Surah Al-A'la ditutup dengan pernyataan yang sangat penting, yang menghubungkan risalah Nabi Muhammad ﷺ dengan sejarah kenabian yang lebih tua. Pesan inti yang disampaikan dalam surah ini—yaitu perintah mensucikan diri (Tasbih), pensucian jiwa (Tazakkah), dan memprioritaskan Akhirat di atas dunia—bukanlah ajaran baru.
إِنَّ هَٰذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَىٰ, Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu. Frasa "ini" (Hādhā) merujuk pada prinsip-prinsip utama yang baru saja disebutkan, khususnya formula kesuksesan (Tazakkah wa Salla) dan penolakan terhadap pengutamaan duniawi (Ayat 14-17).
Pernyataan ini memiliki dua fungsi kritis:
Ayat 19 secara spesifik menyebutkan sumber-sumber terdahulu: صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ (Ṣuḥufi Ibrāhīma wa Mūsā), Kitab-kitab Ibrahim dan Musa. Suhuf (lembaran/kitab) Ibrahim dan Taurat Musa adalah dua fondasi utama dalam sejarah agama-agama Semitik.
Meskipun kita tidak memiliki Suhuf Ibrahim secara otentik, keberadaannya dikonfirmasi oleh Al-Qur'an. Penamaan ini menunjukkan garis silsilah keimanan. Pesan bahwa Akhirat lebih baik dan kekal, serta pentingnya Tazkiyatun Nafs, adalah inti yang tidak berubah sejak zaman Nabi Ibrahim, bapak para nabi. Ini adalah penutup yang kuat, menegaskan bahwa Al-Qur'an bukan membawa agama yang sama sekali baru, melainkan penyempurnaan dari pesan abadi yang sama.
Ilustrasi 2: Simbol Suhuf (Lembaran) kitab suci terdahulu.
Meskipun surah ini tergolong Makkiyah dan fokus pada akidah, ia memiliki implikasi hukum (fiqh) yang signifikan, terutama terkait dengan dua perintah utama: Tasbih dan Salat (Ayat 1 dan Ayat 15).
Ayat 1, "Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi," menjadi dasar legitimasi bacaan Tasbih dalam salat. Khususnya, penetapan bacaan "Subhana Rabbiyal A'la" saat sujud dan "Subhana Rabbiyal Adzim" saat rukuk. Secara fiqh Syafi'i, bacaan Tasbih ini sunnah, namun secara umum, ia adalah penyempurna salat yang wajib dijaga.
Beberapa ulama, seperti Imam Ahmad, menekankan bahwa jika seseorang lupa mengucapkan Tasbih saat sujud atau rukuk, ia wajib melakukan sujud sahwi. Bahkan, kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ membaca surah Al-A'la dalam dua rakaat pertama salat Witir dan salat ‘Id menunjukkan bahwa perintah Tasbih ini harus sering diulang, menancapkan kesadaran tentang ketinggian Allah dalam setiap ibadah utama.
Ayat 14, "Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri," ditafsirkan oleh sebagian ulama klasik sebagai merujuk spesifik pada Zakat Fitrah (pensucian diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat selama Ramadhan) dan Salat Idul Fitri (Ayat 15). Ibnu Abbas RA menafsirkan *Tazakkah* di sini sebagai Zakatul Fitr. Meskipun tafsiran ini spesifik, ia menyoroti hubungan integral antara pensucian batin dan kewajiban materi. Fiqh menetapkan Zakat Fitrah wajib dikeluarkan sebelum Salat Id, yang menunjukkan prioritas pensucian diri sebelum menghadap Allah dalam ibadah besar.
Surah ini menggunakan bahasa yang sangat puitis dan metaforis, sebuah ciri khas surah Makkiyah, untuk menyampaikan konsep-konsep tauhid yang abstrak menjadi nyata dan terbayangkan. Tiga metafora utama yang digunakan adalah:
Deskripsi Allah sebagai Yang menciptakan dan menyempurnakan, serta menentukan kadar dan memberi petunjuk, adalah metafora tentang desain cerdas. Ini bukan hanya pengamatan alam, tetapi juga argumen teleologis yang menyatakan bahwa kompleksitas alam semesta menuntut adanya perencana yang Mahakuasa. Metafora ini mengajak akal untuk menalar kebesaran Allah melalui bukti empiris.
Penggambaran rumput yang hijau subur berubah menjadi sampah kering kehitam-hitaman adalah metafora visual tentang kefanaan dunia dan kepastian kematian. Lebih penting lagi, ini adalah metafora kebangkitan. Jika Allah dapat menghidupkan kembali tanah yang mati, Dia pasti mampu menghidupkan kembali manusia. Ini adalah argumen yang mematahkan skeptisisme kaum musyrikin terhadap kebangkitan.
Kontras antara "Dunia" (yang fana, inferior) dan "Akhirat" (yang kekal, superior) adalah metafora untuk pilihan moral. Manusia digambarkan sebagai musafir yang harus memilih antara dua jalan. Siapa pun yang memilih Al-Dunya telah melakukan pertukaran yang merugikan. Metafora ini adalah seruan untuk menggunakan akal sehat dalam menentukan investasi jangka panjang yang sesungguhnya.
Seluruh Surah Al-A'la dapat dilihat sebagai piagam tentang Tazkiyatun Nafs (Pensucian Jiwa). Pensucian ini dimulai dari pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggi (Ayat 1) dan berpuncak pada amal saleh dan salat (Ayat 15).
Proses Tazkiyatun Nafs yang diajarkan surah ini bersifat komprehensif:
Keberuntungan sejati (Al-Falāḥ) dijamin hanya bagi mereka yang konsisten dalam proses pensucian ini. Jika hati tidak suci, ia akan mudah berpaling dan memilih dunia, yang berujung pada siksaan abadi. Surah ini memberikan kejelasan bahwa kesuksesan bukan dicapai melalui kekayaan atau kekuasaan, melainkan melalui kemurnian spiritual.
Praktik Nabi ﷺ membaca Surah Al-A'la dalam salat-salat tertentu menunjukkan bahwa surah ini memiliki ringkasan pesan yang sangat penting untuk dibaca secara rutin.
Dalam Salat Jumat dan Salat Id, Nabi biasanya membaca Surah Al-A'la di rakaat pertama dan Surah Al-Ghashiyah (Surah 88) di rakaat kedua. Dua surah ini memiliki hubungan tematik yang kuat: Al-A'la berfokus pada Tauhid dan formula kesuksesan, sementara Al-Ghashiyah berfokus pada deskripsi Akhirat (surga dan neraka). Dengan menggabungkan keduanya, Nabi ﷺ memastikan bahwa jamaah diingatkan tentang:
Pengulangan surah ini dalam momen-momen perkumpulan besar berfungsi sebagai pengingat kolektif yang mendalam dan ringkas tentang misi hidup setiap Muslim.
Surah Al-A'la, meskipun pendek, diakui memiliki keindahan linguistik yang luar biasa, dikenal sebagai i’jaz (keajaiban) Al-Qur'an.
Seluruh surah menggunakan rima akhir (faṣilah) yang berakhir dengan huruf Alif (ٰى - ā) seperti Al-A'la, Sawwa, Hadā, Mar’a, Aḥwā, Tansa, Yusrā, dan seterusnya. Rima yang konsisten ini memberikan irama dan harmoni yang khas, memudahkan penghafalan (sejalan dengan janji "Kami akan membuatmu membaca, maka kamu tidak akan lupa," Ayat 6) dan memperkuat pesan surah.
Selain rima, penggunaan kata kerja yang singkat dan padat (seperti Khalaqa, Fasawwa, Qaddara, Fahada) menunjukkan efisiensi bahasa. Dalam beberapa kata saja, Surah ini berhasil merangkum konsep kosmologi, teologi, kenabian, dan eskatologi. Ini adalah bukti bahwa Al-Qur'an adalah kalam yang singkat namun sarat makna, jauh melampaui kemampuan bahasa manusia biasa.
Jika kita kembali pada inti surah ini, yakni Ayat 14: "Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri (Tazakkah)," kita dapat menggali lebih jauh apa arti pensucian dalam konteks modern.
Tazkiyah Hati: Pensucian hari ini berarti melawan arus materialisme dan hedonisme yang mendominasi kehidupan. Ia adalah perjuangan untuk menolak idola-idola modern: uang, kekuasaan, dan citra diri semu. Hati disucikan dari syirik dengan memastikan bahwa tujuan setiap tindakan adalah keridaan Allah (Tauhidul Uluhiyyah) dan dari kesombongan dengan mengakui bahwa segala kesuksesan adalah Takdir (Tauhidur Rububiyyah).
Tazkiyah Lisan: Pensucian lisan diwujudkan melalui Tasbih dan Dzikir (Ayat 15). Lisan harus terbiasa mengucapkan Subhana Rabbiyal A'la, menjaga lisan dari ghibah, fitnah, dan perkataan sia-sia. Lisan yang suci adalah lisan yang selalu mengingat nama Allah.
Tazkiyah Amal: Salat (Ayat 15) adalah puncak amal yang disucikan. Salat adalah media untuk "me-reboot" fokus spiritual harian. Seseorang yang Tazakkah, ketika ia salat, salatnya akan mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, sesuai janji Allah di surah lain.
Surah Al-A'la, dengan pesan ringkasnya, adalah pengingat mendasar bahwa prioritas kita harus selaras dengan kehendak Yang Mahatinggi. Hanya dengan mensucikan-Nya dan mensucikan diri kita, barulah kita dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.
Setiap kali kita membaca atau mendengar surah ini, terutama saat sujud dalam salat, kita diingatkan bahwa kita sedang menundukkan diri kepada entitas yang Mutlak, yang telah mengatur segalanya dengan sempurna, dan menjamin keberuntungan bagi mereka yang memilih jalan-Nya, bukan jalan dunia.
Ayat-ayat ini memastikan bahwa petunjuk ilahi bersifat abadi, konsisten dari nabi ke nabi, dan tersimpul dalam satu pesan utama: bersihkan hatimu dan tegakkan ibadahmu, karena akhirat itu jauh lebih baik dan kekal.
Surah Al-A'la berfungsi sebagai kompas spiritual yang mengarahkan hati setiap mukmin kembali kepada fitrahnya dan prioritasnya yang sejati. Ia menggarisbawahi keharusan untuk memulai segala sesuatu dengan pengakuan dan penyucian (Tasbih) terhadap Allah Yang Maha Tinggi.
Kajian mendalam ini menunjukkan bagaimana Surah ke-87 dalam Al-Qur'an, meskipun singkat, mengikat erat tiga pilar utama akidah: Penciptaan sebagai bukti Tauhid, Wahyu sebagai jaminan petunjuk, dan Akhirat sebagai tujuan akhir dari pensucian diri. Pesan utamanya sederhana namun mendalam: Pilihlah jalan kesuksesan (Tazakkah wa Salla), karena dunia ini fana, dan Akhiratlah yang lebih baik dan abadi, sebuah kebenaran yang diwariskan melalui lembaran-lembaran suci Ibrahim dan Musa.
Semoga kita termasuk golongan yang mengambil pelajaran dari peringatan ini, golongan yang takut kepada Allah, dan yang senantiasa beruntung karena memilih yang kekal di atas yang sementara.