Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 148)
Surah Al-Baqarah Ayat 148 adalah sebuah permata kebijaksanaan yang terletak di tengah-tengah pembahasan krusial mengenai perubahan arah kiblat. Rangkaian ayat-ayat sebelumnya (142–147) berbicara tentang polemik yang timbul di kalangan Yahudi dan Nasrani, serta kaum munafik di Madinah, terkait pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka'bah di Makkah. Perubahan ini, yang secara teologis dikenal sebagai Tahwil al-Qiblah, bukanlah sekadar perubahan geografis, melainkan sebuah ujian fundamental terhadap keimanan, kepatuhan, dan pandangan universalitas risalah Islam.
Ayat 148 datang sebagai penutup yang tegas dan ringkas terhadap perdebatan tersebut. Ketika sebagian umat sibuk memperdebatkan keutamaan arah tertentu, Allah SWT mengalihkan fokus mereka dari hal-hal seremonial dan geografis menuju substansi keimanan itu sendiri. Allah berfirman, "Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya." Pernyataan ini menunjukkan relativitas arah fisik dalam kerangka sejarah ketuhanan. Umat terdahulu memiliki arah shalat mereka, namun yang terpenting bukanlah arah itu sendiri, melainkan kepatuhan total kepada perintah Sang Pencipta.
Perubahan kiblat adalah manifestasi nyata kekuasaan Allah untuk menguji hamba-Nya. Umat Islam diuji: apakah mereka beribadah mengikuti hawa nafsu dan tradisi, ataukah murni karena ketaatan mutlak terhadap wahyu. Dengan mengakhiri perdebatan kiblat, ayat 148 memberikan perintah yang abadi: meninggalkan perdebatan yang tidak substansial dan segera fokus pada tindakan nyata, yaitu fastabiqul khairat.
Frasa sentral dalam ayat ini, "fastabiqul khairat," berarti "maka berlomba-lombalah dalam (membuat) kebaikan." Ini adalah salah satu perintah Al-Qur'an yang paling dinamis dan mendorong tindakan. Perintah ini tidak hanya mengizinkan persaingan, tetapi mewajibkannya, asalkan persaingan tersebut diarahkan pada kebaikan, kebajikan, dan amal shaleh.
Kata al-khairat (kebaikan-kebaikan) dalam konteks Al-Qur'an memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi segala bentuk amal perbuatan, ucapan, dan niat yang diridhai oleh Allah SWT. Kebaikan ini melampaui ritual ibadah semata, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik vertikal (hubungan dengan Allah) maupun horizontal (hubungan antar sesama makhluk).
Para mufassir membagi lingkup kebaikan menjadi beberapa kategori utama:
Inti dari perintah ini adalah bahwa seorang mukmin tidak boleh merasa puas dengan sekadar melakukan kewajiban. Ia harus senantiasa mencari peluang untuk meningkatkan kualitas amal dan kuantitas kebajikan. Jika ia melihat saudaranya melakukan amal shaleh yang besar, dorongan yang muncul di hatinya seharusnya bukan rasa iri hati yang menjatuhkan, melainkan semangat untuk meniru atau melampaui kebaikan tersebut, semata-mata demi mencari keridhaan Allah.
Perlombaan dalam Islam sangat berbeda dengan persaingan duniawi. Persaingan duniawi seringkali didorong oleh ego, keinginan untuk diakui, dan akumulasi materi, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan sosial. Sebaliknya, fastabiqul khairat memiliki tiga pilar utama:
Amal kebaikan harus murni didasari oleh niat untuk meraih wajah Allah. Perlombaan ini tidak dimaksudkan untuk pamer atau mencari pujian manusia (riya). Jika perlombaan tersebut ternodai oleh niat duniawi, maka ia kehilangan nilai substansialnya di sisi Allah. Perlombaan yang sejati adalah perlombaan antara diri sendiri dengan waktu, dan antara diri sendiri dengan potensi kebaikan yang Allah berikan.
Kata fastabiqū mengandung makna kecepatan dan kesegeraan (al-musara'ah). Seorang mukmin didorong untuk tidak menunda-nunda kebaikan. Ketika kesempatan beramal datang, ia harus segera menyambutnya. Al-Qur'an sering mengaitkan perlombaan ini dengan kecepatan: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 133) Kecepatan adalah penanda keseriusan dan keyakinan terhadap janji pahala di akhirat.
Meskipun cepat, kebaikan harus dilakukan dengan kualitas terbaik (itqan) dan konsistensi (istiqamah). Kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas yang dilakukan secara tergesa-gesa. Berlomba bukan berarti hanya bersemangat di awal, tetapi terus menerus menjaga ritme kebaikan hingga akhir hayat. Rasulullah SAW bersabda bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten, meskipun sedikit.
Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, perintah fastabiqul khairat menjadi semakin relevan. Perlombaan ini dapat diwujudkan dalam berbagai lini kehidupan:
Sikap dasar yang harus dimiliki dalam perlombaan ini adalah optimisme dan tawadhu (rendah hati). Optimisme karena setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kebaikan, dan tawadhu karena hasil perlombaan sejati hanya ditentukan oleh Allah SWT.
Penempatan perintah fastabiqul khairat tepat setelah diskusi tentang kiblat menunjukkan adanya pergeseran fokus teologis yang mendasar dalam Islam. Allah ingin mengajarkan bahwa perdebatan mengenai bentuk luar atau simbol ritual (seperti arah shalat) adalah sekunder dibandingkan dengan inti dari ketaatan itu sendiri.
Ayat 148 menegaskan bahwa setiap komunitas (umat) memiliki arah atau tradisi yang diyakini. Ini adalah pengakuan atas pluralitas sejarah agama-agama. Namun, Islam datang bukan untuk meniru tradisi, melainkan untuk menetapkan standar universal baru yang diperintahkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Perubahan kiblat berfungsi sebagai saringan:
Kiblat, sejatinya, adalah titik pertemuan fisik, simbol persatuan ritual. Namun, Allah menekankan bahwa yang lebih penting daripada tempat berdiri kita adalah apa yang keluar dari hati kita dan apa yang kita lakukan dengan tangan kita. Perdebatan tentang arah hanya membuang energi yang seharusnya digunakan untuk berlomba dalam kebaikan.
Jika seorang mukmin patuh mengubah kiblat dari Yerusalem ke Makkah, meskipun hati dan kebiasaannya sudah terikat pada kiblat sebelumnya, ini membuktikan kekuatan kepatuhan mutlaknya kepada Allah. Setelah ujian ketaatan tersebut berhasil dilewati, fokus selanjutnya adalah menerapkan ketaatan itu dalam bentuk amal shaleh yang berkelanjutan.
Perintah untuk berlomba dalam kebaikan juga berfungsi sebagai mekanisme pencegah perpecahan. Manusia cenderung terpecah belah karena perbedaan mazhab, metode ibadah, atau bahkan simbol-simbol keagamaan. Ayat 148 mengarahkan energi persaingan ke tempat yang produktif: kebaikan. Jika semua umat Islam berlomba-lomba untuk menjadi yang paling dermawan, paling jujur, dan paling berilmu, maka persaingan tersebut justru akan memperkuat persatuan dan kualitas komunitas (Ummah).
Jika umat Islam disibukkan dengan mencari keunggulan dalam membantu fakir miskin, dalam berbuat adil, atau dalam menyebarkan ilmu, maka mereka tidak akan memiliki waktu untuk saling mencela dan menjatuhkan karena perbedaan pandangan minoritas (furu’iyyah). Kebaikan menjadi benang merah yang menyatukan seluruh perbedaan, karena kebaikan adalah bahasa universal fitrah manusia.
Konsep kiblat yang beragam (seperti yang diakui di awal ayat) menunjukkan luasnya Rahmat Allah. Allah tidak terpaku pada satu arah atau tempat saja. Dia Mahahidup dan Maha Berdiri Sendiri, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Setelah memberikan pengakuan atas kiblat yang berbeda, Allah kemudian memberikan perintah yang melampaui arah fisik: yaitu kebaikan yang dilakukan di mana saja. Dengan demikian, ayat ini mengajarkan bahwa meskipun ada fokus geografis (Ka'bah) untuk ritual, amal shaleh dapat dilakukan di setiap sudut bumi.
Ayat 148 mencapai puncaknya dengan dua penegasan universal yang memberikan perspektif akhirat pada perlombaan tersebut:
أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا
Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Frasa "Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian" berfungsi sebagai janji sekaligus ancaman. Janji bagi mereka yang berlomba dalam kebaikan, bahwa tidak ada satu pun amal mereka yang akan sia-sia, tidak peduli seberapa tersembunyi lokasi amal itu dilakukan. Ancaman bagi mereka yang lalai atau yang sibuk berdebat tanpa beramal, bahwa mereka akan dikumpulkan dan dimintai pertanggungjawaban atas setiap detik waktu yang mereka habiskan.
Penegasan ini sangat penting dalam konteks perubahan kiblat. Ketika umat Islam diperintahkan untuk shalat menghadap Ka'bah, sementara sebagian sahabat masih berada di tempat yang jauh (seperti mereka yang berhijrah ke Habasyah), ayat ini meyakinkan mereka bahwa jarak geografis tidak menjadi penghalang bagi keimanan. Yang penting bukanlah jarak fisik, melainkan ketaatan hati. Di padang pasir, di tengah laut, di puncak gunung, atau di perkotaan; kebaikan yang dilakukan akan dicatat dan pelakunya akan dikumpulkan oleh Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa kekuasaan Allah melampaui batas-batas fisik dan dimensi spasial. Konteks pengumpulan ini merujuk pada Hari Kebangkitan (Yaumul Ba'ats), di mana seluruh manusia dari zaman Nabi Adam hingga manusia terakhir akan dibangkitkan dari kubur mereka dan dihimpun di Padang Mahsyar untuk menerima pembalasan yang setimpal.
إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat ditutup dengan penegasan kekuasaan Allah yang sempurna: Innallaha 'ala kulli shay'in qadir. Penutup ini berfungsi sebagai pondasi teologis bagi seluruh perintah dan janji yang disebutkan sebelumnya. Mengapa kita harus berlomba dalam kebaikan? Karena Allah Maha Kuasa memberikan pahala yang besar dan berlipat ganda. Mengapa kita yakin Allah akan mengumpulkan kita semua? Karena Dia Maha Kuasa membangkitkan yang mati dan mengatur seluruh alam semesta.
Penegasan Qadir memiliki implikasi yang mendalam. Kekuasaan Allah mencakup:
Keyakinan pada kekuasaan Allah (Qudrah) inilah yang memotivasi seorang mukmin untuk bersungguh-sungguh dalam perlombaan kebaikan. Rasa yakin bahwa janji surga adalah nyata, dan bahwa segala kesulitan dalam beramal adalah kecil dibandingkan kekuasaan-Nya memberikan pahala yang tak terhingga.
Untuk memahami kedalaman perintah fastabiqul khairat, kita perlu membedah lebih lanjut mekanisme dan tujuan dari perlombaan spiritual ini. Ini bukan sekadar ajakan, tetapi sebuah strategi hidup yang dirancang untuk mencapai keunggulan (ihsan) dalam penghambaan.
Jihad terbesar, sebagaimana sabda Nabi, adalah jihad melawan hawa nafsu. Perlombaan sejati dimulai dari pertarungan internal. Seseorang berlomba untuk mengalahkan sifat malas, menunda-nunda, kikir, dan sifat-sifat buruk lainnya yang menghalangi kebaikan. Jika seseorang berhasil mengalahkan godaan untuk tidur di waktu shalat Subuh atau godaan untuk menahan harta saat ada kesempatan sedekah, ia telah memenangkan satu babak dalam perlombaan spiritual.
Kebaikan yang dilakukan dalam keadaan sulit dan berat (misalnya, berinfak saat kondisi ekonomi sedang sulit, atau berpuasa di hari yang sangat panas) memiliki nilai perlombaan yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa perlombaan diukur bukan hanya dari kuantitas, tetapi dari tingkat pengorbanan dan perjuangan yang dilakukan.
Waktu (umur) adalah modal utama dalam perlombaan ini. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang hilang atau dimanfaatkan. Seorang mukmin yang menerapkan fastabiqul khairat menyadari urgensi waktu dan berusaha mengisi setiap celah waktu luang dengan amal yang produktif. Mereka tidak menunda taubat, tidak menunda pelaksanaan kewajiban, dan tidak menunda kesempatan untuk berbuat baik.
Ayat ini secara implisit menantang budaya prokrastinasi (penundaan). Kenapa harus menunggu kaya untuk sedekah? Kenapa harus menunggu tua untuk beribadah khusyuk? Kesempatan berbuat baik hari ini mungkin tidak datang lagi esok hari. Kematian dapat datang kapan saja, dan hanya amal yang telah dilakukanlah yang akan menemani.
Meskipun perlombaan kebaikan adalah individual, dampaknya bersifat komunal. Ayat ini ditujukan kepada Ummah secara keseluruhan. Ketika individu-individu berlomba untuk mencapai kesempurnaan, Ummah secara kolektif akan terangkat. Ini menciptakan sebuah ekosistem sosial di mana kebaikan menjadi norma, bukan pengecualian.
Dalam komunitas yang menerapkan fastabiqul khairat, terjadi persaingan positif: siapa yang paling cepat tanggap terhadap bencana, siapa yang paling gigih dalam mendidik anak yatim, siapa yang paling berani menegakkan keadilan. Persaingan ini melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas tinggi dan umat yang memiliki moralitas yang kokoh.
Jika persaingan duniawi sering menghasilkan keserakahan (zero-sum game), perlombaan kebaikan justru menghasilkan kekayaan spiritual yang berlipat ganda (positive-sum game). Keberhasilan satu individu dalam kebaikan tidak mengurangi peluang individu lain; sebaliknya, hal itu memotivasi dan memperkuat mereka.
Perintah fastabiqul khairat bukan berdiri sendiri. Ia diperkuat oleh beberapa ayat lain yang menggunakan terminologi serupa, yaitu dorongan untuk segera bertindak (musara'ah) dan berlomba (sabq) menuju tujuan akhirat.
Dalam Surah Ali Imran Ayat 133, Allah berfirman: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." Ayat ini menggunakan kata sāri'ū (bersegeralah), yang merupakan sinonim dari kecepatan yang terkandung dalam fastabiqū.
Korelasi ini menunjukkan bahwa tujuan akhir dari perlombaan kebaikan adalah meraih ampunan (maghfirah) dan Surga (Jannah). Artinya, kebaikan tidak dilakukan demi kebaikan itu sendiri, melainkan sebagai jalan untuk mencapai keridhaan Allah dan tempat kembalinya yang abadi. Perlombaan di dunia adalah penentu posisi di akhirat. Kecepatan dalam beramal hari ini menentukan kecepatan masuk Surga kelak.
Surah Al-Maidah Ayat 48, ketika membahas keragaman syariat yang diturunkan kepada nabi-nabi, juga menutupnya dengan penekanan pada perlombaan: "Maka berlomba-lombalah kamu (berbuat) kebaikan. Kepada Allahlah kembali kamu semuanya; lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan keragaman hukum dan syariat antar umat (yang diwakili oleh Taurat, Injil, dan Al-Qur'an) dengan perlombaan kebaikan. Pesan utamanya konsisten: Meskipun Allah menurunkan syariat yang berbeda untuk periode waktu tertentu, substansi dan tujuan akhirnya adalah sama—yaitu ketaatan dan amal saleh. Perbedaan hukum tidak seharusnya menjadi alasan untuk berkonflik, melainkan pemicu untuk bersaing dalam kebaikan yang universal.
Ini adalah pelajaran penting bagi umat Islam kontemporer. Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam masalah hukum tidak boleh menghentikan energi untuk berbuat kebaikan. Alih-alih sibuk berdebat tentang detail yang tidak esensial, energi umat harus diarahkan pada solusi nyata terhadap masalah kemanusiaan.
Analisis kebahasaan terhadap Ayat 148 memperkuat makna dinamis yang dikandungnya. Pemilihan kata oleh Allah SWT selalu tepat dan penuh hikmah.
Frasa awal, "wa li kullin wajhatun huwa muwallīhā," menggunakan kata wajh-ah (kiblat/arah) yang berasal dari kata wajh (wajah). Ini menunjukkan bahwa arah shalat adalah sesuatu yang dihadapi secara fisik dan spiritual.
Kata muwallīhā (yang ia menghadap kepadanya) berasal dari akar kata walī, yang bisa berarti ‘mengurus’ atau ‘memalingkan wajah’. Dalam konteks ini, artinya adalah ‘setiap umat telah ditentukan arah yang harus mereka ikuti’. Penggunaan bentuk kalimat ini menekankan otoritas Illahi dalam menetapkan kiblat, dan menghilangkan keraguan bahwa penetapan itu didasarkan pada keinginan Nabi atau tradisi lokal.
Kata fastabiqū adalah bentuk perintah (fi'il amr) dari akar kata sabq (mendahului). Awalan 'fa' (maka) menunjukkan hubungan sebab-akibat atau konsekuensi logis. Karena setiap umat memiliki arah yang berbeda, dan arah hanyalah simbol, maka konsekuensi logisnya adalah mengalihkan fokus dari simbol menuju substansi: perlombaan kebaikan.
Bentuk kata tafā'ala (yang diwakili oleh fastabiqū) dalam bahasa Arab menunjukkan adanya partisipasi aktif dan resiprokal (saling). Ini menyiratkan bahwa perlombaan itu tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga dalam interaksi dengan orang lain, dalam semangat kompetisi yang sehat dan saling memotivasi.
Frasa "ya'ti bikumu Allāhu jamī'an" (pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian) menggunakan kata jamī'an (sekalian/semuanya). Penggunaan kata ini memastikan bahwa tidak ada satu pun individu yang akan tertinggal atau terlupakan, tidak peduli apa perbedaan kiblat atau amal perbuatan yang mereka miliki di dunia.
Penegasan ini sangat kuat karena menghapus keraguan tentang kebangkitan. Ini meyakinkan bahwa setiap tindakan, baik yang dilakukan di tempat yang paling terpencil maupun di tengah keramaian, akan dibawa ke hadapan Allah. Keadilan Allah adalah mutlak dan universal.
Menerapkan Ayat 148 membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman tekstual; ia memerlukan perubahan pola pikir dan pembentukan budaya yang mendukung perlombaan kebaikan. Budaya ini harus dibangun dari tingkat individu hingga struktur masyarakat.
Langkah pertama dalam perlombaan adalah mencapai ihsan—melakukan sesuatu seolah-olah Anda melihat Allah, dan jika tidak, yakinlah bahwa Dia melihat Anda. Ihsan adalah standar kualitas tertinggi dalam Islam. Dalam konteks perlombaan, ini berarti:
Institusi seperti keluarga, sekolah, masjid, dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mendorong fastabiqul khairat:
Ketika budaya ini tertanam kuat, masyarakat akan melihat perlombaan dalam kebaikan sebagai hal yang paling membanggakan, menggantikan obsesi pada harta, jabatan, atau popularitas semata. Keunggulan sejati diukur dari seberapa besar manfaat yang diberikan seseorang kepada orang lain, yang merupakan puncak dari amal shaleh.
Meskipun perintahnya jelas, jalan menuju kebaikan penuh dengan jebakan yang harus dihindari agar perlombaan tidak berakhir sia-sia.
Perlombaan yang melibatkan orang lain secara inheren berisiko jatuh pada ri’ya, yaitu keinginan untuk dipuji dan diakui. Niat yang tulus adalah prasyarat utama. Seorang yang berlomba dalam kebaikan harus secara konstan mengevaluasi motifnya: apakah ia ingin didengar atau dilihat oleh manusia, ataukah ia hanya ingin disaksikan oleh Allah?
Beberapa ulama menekankan bahwa kebaikan yang paling tinggi nilainya dalam perlombaan adalah kebaikan yang disembunyikan (sirr), karena itu adalah tanda kejujuran yang paling murni dan paling sulit dicapai. Namun, kebaikan yang dilakukan secara terang-terangan (jahr) juga diperbolehkan jika tujuannya adalah memotivasi orang lain, asalkan niat pribadi tetap terjaga.
Dalam konteks Ayat 148 yang membicarakan kiblat dan perbedaan, bahaya lain adalah fanatisme buta terhadap cara atau mazhab tertentu, sehingga menganggap semua cara lain salah dan tidak bernilai dalam perlombaan kebaikan.
Ayat ini mengajarkan keterbukaan. Fokusnya adalah pada 'kebaikan' (al-khairat), yang melampaui batas-batas formalitas. Selama suatu perbuatan dikategorikan sebagai kebajikan dalam syariat, ia sah untuk dijadikan arena perlombaan, dan kita tidak boleh mencela mereka yang memilih metode kebaikan yang berbeda dari kita.
Ketika seseorang merasa telah mencapai banyak prestasi dalam perlombaan kebaikan, ia mungkin jatuh ke dalam ujub atau kepuasan diri. Ujub dapat menghancurkan amal, bahkan amal yang sangat besar. Seorang yang ujub merasa bahwa kebaikannya adalah hasil dari usahanya sendiri, melupakan bahwa semua kemampuan untuk berbuat baik (taufik) berasal dari Allah SWT.
Dalam perlombaan ini, seorang mukmin harus selalu melihat kebaikan orang lain dan merasa dirinya masih kurang, sehingga ia terus terpacu, bukan merasa telah menang. Sikap ini memastikan bahwa ia selalu mencari peningkatan, bukan berpuas diri di zona nyaman spiritual.
Surah Al-Baqarah Ayat 148 adalah salah satu ayat paling fundamental yang menetapkan etika kerja dan moralitas umat Islam. Ia merangkum seluruh perdebatan mengenai identitas, ritual, dan persatuan dengan sebuah jawaban yang ringkas namun mendalam: yang terpenting adalah tindakan, bukan sekadar simbol.
Pesan utama ayat ini adalah ajakan untuk meninggalkan polemik yang tidak produktif dan mengarahkan seluruh energi manusia menuju pencapaian spiritual dan kemanusiaan tertinggi.
Pertama, Kiblat menunjukkan bahwa ketaatan adalah yang utama. Arah fisik hanyalah manifestasi ketaatan mutlak kepada perintah Allah.
Kedua, Perintah Fastabiqul Khairat adalah mandat Ilahi untuk terus bergerak maju, tidak pernah stagnan, dan senantiasa mencari peluang untuk memberi manfaat lebih besar kepada diri sendiri dan alam semesta.
Ketiga, Pengumpulan universal dan kekuasaan Allah (Qadir) memberikan motivasi tertinggi dan kepastian mutlak bahwa setiap amal kebaikan, tidak peduli betapa tersembunyi atau kecilnya, akan diperhitungkan secara adil di hadapan-Nya.
Oleh karena itu, bagi setiap mukmin, hidup adalah sebuah trek perlombaan yang tiada henti, dan satu-satunya hadiah yang sejati adalah keridhaan Allah SWT. Perlombaan ini harus dipertandingkan dengan kecepatan, kualitas, dan keikhlasan, hingga hari di mana Allah mengumpulkan kita semua.
"Maka berlomba-lombalah dalam (membuat) kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."