Simbol Doa dan Warisan

Doa Warisan Abadi: Analisis Mendalam Surah Al-Anbiya Ayat 89

I. Pintu Gerbang Harapan: Konteks Ayat 89

Surah Al-Anbiya (Para Nabi) adalah salah satu surah Makkiyah yang kaya akan kisah-kisah para utusan Allah, menekankan tauhid, kebangkitan, dan kemenangan kebenaran atas kebatilan. Surah ini menyajikan rangkaian narasi profetik yang bertujuan menguatkan hati Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya. Setelah membahas kisah Musa, Harun, Ibrahim, Lut, dan Nuh, Al-Qur'an beralih pada serangkaian kisah lain, termasuk kisah Nabi Ayyub, Ismail, Idris, Dzulkifli, dan puncaknya, kisah Nabi Zakariya, yang diabadikan dalam ayat 89.

Ayat 89 adalah sebuah manifestasi keimanan yang luar biasa, sebuah doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba yang sudah mencapai usia senja, menghadapi keputusasaan biologis, namun memegang teguh harapan spiritual. Doa ini bukan sekadar permintaan untuk memiliki keturunan, tetapi sebuah penyerahan total kepada kehendak Ilahi, sambil merumuskan keinginan terdalamnya untuk meninggalkan warisan kebaikan. Ayat ini menjadi saksi betapa tulusnya komunikasi seorang nabi dengan Tuhannya, sebuah dialog yang melampaui logika duniawi dan mengakar kuat pada keyakinan terhadap kemahakuasaan Allah SWT.

Kisah Nabi Zakariya diletakkan dalam rangkaian para nabi yang gigih dalam menghadapi cobaan. Penempatan narasi beliau setelah kisah-kisah para nabi besar lainnya menunjukkan bahwa cobaan yang dihadapi Zakariya, yakni cobaan berupa kesendirian dan kekhawatiran akan terputusnya mata rantai dakwah, adalah cobaan yang setara dalam kemuliaannya dengan cobaan fisik atau penganiayaan yang dihadapi nabi-nabi sebelumnya. Doa yang terkandung dalam ayat ini adalah puncak dari perjuangan batin seorang pemimpin agama yang mengkhawatirkan masa depan risalah Tuhan di tengah umatnya.

Doa yang agung ini berbunyi:

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Tuhannya: ‘Ya Tuhanku janganlah Engkau biarkan aku hidupku seorang diri, dan Engkaulah Waris yang paling baik.’” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 89)

Kalimat pendek ini mengandung kedalaman teologis, linguistik, dan psikologis yang memerlukan analisis mendalam untuk memahami implikasi spiritualnya bagi umat manusia sepanjang zaman. Kita akan membedah setiap frasa dalam doa ini, menelusuri konteks historisnya, dan menggali tafsiran para ulama klasik hingga kontemporer.

II. Kedalaman Makna: Bedah Linguistik Ayat

Untuk memahami kekuatan spiritual ayat 89, kita harus mengurai makna setiap kata kunci dalam bahasa Arab aslinya. Struktur doa ini merupakan contoh sempurna dari Balaghah (retorika) Al-Qur'an, di mana setiap pilihan kata membawa bobot makna yang berlipat ganda.

1. 'Rabbi' (يا رَبِّ - Ya Tuhanku)

Penggunaan kata Rabbi, yang berarti Pemelihara, Penguasa, dan Pendidik, bukan hanya sapaan biasa. Ini menunjukkan hubungan yang intim dan pengakuan penuh Zakariya terhadap kekuasaan Allah untuk mengatur segala urusan, termasuk urusan yang mustahil secara kausalitas. Seruan ini adalah pengakuan atas otoritas absolut Allah atas proses penciptaan dan reproduksi. Dengan memulai doanya dengan Rabbi, Zakariya meletakkan fondasi doanya pada tauhid rububiyyah (keesaan Allah sebagai pengatur alam semesta).

Dalam konteks permohonan yang berhubungan dengan kelanjutan hidup dan penciptaan, menyapa Allah sebagai 'Rabb' adalah pilihan yang paling tepat, karena hanya Rabb yang memiliki kemampuan untuk mengubah ketidakmungkinan menjadi kenyataan. Ini mengindikasikan bahwa Zakariya tidak hanya meminta seorang anak, tetapi ia meminta 'pembentukan' kembali takdir dan kondisi yang telah ditetapkan oleh-Nya, melalui tangan Pemelihara Yang Maha Kuasa.

2. 'La Tadzarni Fardan' (لَا تَذَرْنِي فَرْدًا - Janganlah Engkau Biarkan Aku Sendirian)

Kata kunci di sini adalah Fard (فَرْدًا), yang berarti sendiri, tunggal, atau unik. Dalam konteks ayat ini, para ulama tafsir memberikan beberapa dimensi makna yang saling melengkapi:

A. Kesendirian Keturunan: Ini adalah makna paling dasar, yaitu Zakariya tidak ingin wafat tanpa meninggalkan ahli waris biologis atau spiritual yang melanjutkan garis keturunannya. Dia dan istrinya sudah sangat tua, dan harapan untuk memiliki anak telah lama pupus secara alami. Permintaan ini adalah tangisan hati seorang manusia yang khawatir akan kepunahan garisnya.

B. Kesendirian Misi (Suksesi Spiritual): Ini adalah interpretasi yang lebih dalam dan sering diangkat oleh Mufassirun. Zakariya bukan hanya khawatir akan warisan harta (karena para nabi tidak mewarisi harta), tetapi ia khawatir tidak ada yang akan mengambil alih kepemimpinan agama (imamah) dan tugas kenabian di kalangan Bani Israil setelah wafatnya. Dalam Surah Maryam, Zakariya secara eksplisit menyatakan kekhawatiran tentang 'mawaliya min wara-i' (kerabat-kerabatnya sepeninggalnya) yang dikhawatirkan akan menyia-nyiakan agama. Oleh karena itu, *fardan* berarti 'sendirian tanpa penerus yang saleh dalam dakwah.'

C. Kesendirian dalam Kehidupan: Meskipun Nabi Zakariya memiliki istri, frasa ini juga mencerminkan kesendirian eksistensial dalam menghadapi usia tua tanpa sandaran masa depan. Kehidupan yang lengkap menurut pandangan profetik seringkali mencakup kesinambungan misi melalui keturunan yang beriman. Kesendirian ini adalah kesendirian yang pahit karena tidak adanya jaminan bahwa pekerjaan besar yang ia mulai akan dilanjutkan oleh tangan yang mampu dan berintegritas.

3. 'Wa Anta Khayru al-Warithin' (وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ - Dan Engkaulah Waris yang Paling Baik)

Frasa penutup ini adalah titik sentral dari keindahan dan kedalaman teologis doa ini. Setelah memohon agar tidak dibiarkan sendiri, Zakariya segera memuji Allah dengan gelar ‘Sebaik-baik Pewaris.’ Frasa ini memiliki dua fungsi utama:

A. Penyerahan Mutlak (Tawakkul): Zakariya mengakui bahwa, meskipun ia meminta warisan keturunan, pada akhirnya, segala sesuatu akan kembali kepada Allah. Jika pun ia wafat tanpa keturunan, Allah adalah satu-satunya Pewaris sejati yang akan mewarisi langit dan bumi beserta segala isinya. Ini adalah bentuk kerendahan hati yang ekstrim; ia meminta sesuatu, tetapi jika Allah memutuskan sebaliknya, ia sadar bahwa warisan itu berada di tangan yang paling mulia dan sempurna.

B. Jaminan Kekal: Jika yang diminta Zakariya adalah warisan spiritual (melanjutkan misi), maka dengan menyebut Allah sebagai sebaik-baik Pewaris, ia meyakinkan dirinya bahwa bahkan jika keturunannya gagal, misi agama itu sendiri tidak akan pernah hilang karena Allah-lah yang menjamin kelangsungannya. Allah akan selalu mempertahankan kebenaran, baik melalui keturunan Zakariya, atau melalui cara lain yang Dia kehendaki.

Dalam pandangan linguistik, frasa ini juga berfungsi sebagai ‘Istithna’ (pengecualian) yang indah. Seolah-olah Zakariya berkata: "Ya Allah, jangan biarkan aku sendiri, tapi jika Engkau memutuskan demikian, aku tahu Engkau tidak akan pernah sendiri, dan Engkau akan mewarisi aku dan seluruh makhluk. Permintaanku hanyalah refleksi dari kebutuhanku, bukan keraguan atas Kekuasaan-Mu."

III. Latar Belakang Profetik: Motivasi di Balik Doa

Kisah Nabi Zakariya AS sering dikaitkan erat dengan Surah Maryam dan Ali Imran, yang memberikan detail lebih lanjut mengenai kondisi psikologis dan historis yang melatarbelakangi ayat 89. Zakariya adalah seorang nabi dari Bani Israil dan pemimpin rohani di Baitul Maqdis. Ia adalah seorang yang saleh, bertakwa, dan sangat bersemangat dalam menjalankan tugas kenabiannya.

1. Krisis Usia dan Harapan yang Pudar

Ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an (khususnya Surah Maryam) menjelaskan bahwa Zakariya telah mencapai usia yang sangat lanjut, dan istrinya, Isya’, digambarkan sebagai ‘aqiran (mandul). Kondisi ini secara medis menutup semua peluang untuk memiliki keturunan. Permintaan dalam ayat 89 muncul setelah melewati puluhan tahun pernikahan tanpa hasil. Doa ini bukan permintaan yang tergesa-gesa, melainkan hasil dari refleksi panjang, kesabaran, dan perjuangan batin yang mendalam. Permintaan ini dilakukan saat harapan manusiawi telah mencapai titik nol.

Perlu dicatat bahwa harapan Zakariya tidak berpusat pada kenikmatan duniawi, melainkan pada kebutuhan untuk mengisi kekosongan kepemimpinan spiritual. Ia melihat generasi di sekitarnya semakin jauh dari ajaran Allah. Inilah yang mendorongnya, pada usia yang mustahil, untuk meminta keajaiban. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab profetik (risalah) lebih berat daripada keinginan pribadi. Kekhawatiran akan kekosongan risalah menjadi motivasi utama di balik pengucapan doa tersebut.

2. Kekhawatiran Terhadap Warisan Spiritual

Seperti yang disinggung di Surah Maryam (19: 5-6), Zakariya khawatir tentang mawaliya min wara-i (kerabat-kerabatnya) yang akan mewarisi kepemimpinan setelahnya. Kerabat-kerabat ini diduga adalah orang-orang yang tidak memiliki integritas agama yang cukup untuk memimpin Baitul Maqdis dan menjaga ajaran Taurat. Jika kepemimpinan jatuh ke tangan orang yang tidak saleh, seluruh warisan kenabian Bani Israil akan tercemar atau hilang.

Oleh karena itu, permintaannya adalah untuk seorang anak yang dapat mewarisi ‘Ali Yaaquub’ (Keluarga Ya’qub), yang berarti warisan kenabian dan hikmah, bukan warisan materi. Anak yang ia minta harus menjadi pribadi yang ‘radhiyyan’ (diridhai) oleh Allah, sebuah permintaan yang menunjukkan fokus utama Zakariya adalah pada kualitas agama, bukan sekadar kuantitas keturunan.

Kekhawatiran ini menggarisbawahi peran nabi sebagai penjaga kebenaran. Zakariya tidak takut mati, tetapi ia takut misi Ilahi yang dipercayakan kepadanya akan terhenti atau disalahgunakan. Ayat 89 adalah catatan sejarah tentang komitmen abadi seorang utusan Tuhan terhadap kesinambungan risalah, bahkan ketika kondisi fisik tampak menghalangi.

IV. Lautan Hikmah: Tafsir Para Ulama Mengenai Ayat 89

Para mufassir (ahli tafsir) telah memberikan perhatian khusus pada ayat ini karena mengandung pelajaran mendalam tentang adab berdoa (etika doa), tawakkul, dan prioritas spiritual.

1. Tafsir Ibnu Katsir dan At-Tabari: Fokus pada Suksesi

Imam Ibnu Katsir, merujuk pada tafsir klasik, menekankan bahwa kekhawatiran Zakariya adalah murni tentang suksesi. Ia mengutip Surah Maryam untuk menjelaskan bahwa Zakariya mencari anak yang akan mewarisi kenabiannya dan menjadi penerus bagi keluarga Ya’qub dalam mengemban amanah. Tafsir ini mengukuhkan bahwa istilah fardan (sendirian) merujuk pada 'sendirian tanpa pendukung yang saleh dalam tugas risalah.'

Imam At-Tabari menambahkan bahwa penggunaan gelar ‘Khayru al-Warithin’ adalah puncak pengakuan Zakariya terhadap kekuasaan Allah. Meskipun seorang manusia dapat mewarisi harta, nama, atau jabatan dari orang lain, Allah adalah pemilik hakiki dari segala sesuatu. Bahkan ketika seorang anak lahir dan mewarisi ayahnya, pada akhirnya, anak itu akan kembali kepada Allah, dan Allah-lah yang mewarisi anak itu. Ini adalah penegasan bahwa setiap warisan manusiawi adalah fana, sementara warisan Ilahi adalah abadi.

2. Tafsir Al-Qurtubi: Adab dan Kerendahan Hati

Imam Al-Qurtubi berfokus pada aspek adab (etika) dalam doa. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Zakariya mengajarkan kita bagaimana memohon yang mustahil. Dengan mengatakan ‘Wa Anta Khayru al-Warithin,’ Zakariya mendahului permintaannya dengan pujian dan penyerahan. Seolah-olah dia berkata: "Ya Allah, aku memohon seorang anak karena Engkau telah memberiku tanggung jawab, tetapi jika Engkau menolak, itu tidak mengurangi kesempurnaan-Mu sebagai Waris segala-galanya. Kekurangan ini hanya milikku, dan Engkau Maha Sempurna."

Al-Qurtubi juga membahas pandangan yang menyatakan bahwa para nabi tidak mewarisi uang. Oleh karena itu, jika Zakariya memang memiliki kekayaan duniawi, ia tidak akan mengkhawatirkan itu, melainkan mengkhawatirkan ilmu dan hikmah yang harus diwariskan. Ini membedakan nabi dari orang awam; fokus mereka adalah pada warisan yang kekal.

3. Tafsir Al-Razi: Interpretasi Filosofis dan Teologis

Fakhr al-Din al-Razi menawarkan analisis yang sangat mendalam mengenai konsep *Warith*. Menurut Al-Razi, Allah disebut *Khayru al-Warithin* karena tiga alasan teologis:

Pertama, semua kepemilikan makhluk akan musnah, dan hanya Allah yang kekal abadi, sehingga Dia adalah pewaris mutlak segala sesuatu. Kedua, pewarisan manusia seringkali mengandung perselisihan dan ketidakadilan, tetapi pewarisan oleh Allah adalah murni keadilan dan kesempurnaan. Ketiga, warisan manusia terbatas pada hal-hal fisik, sedangkan Allah mewarisi dan mengelola segala aspek, baik fisik maupun spiritual.

Al-Razi berpendapat bahwa pengakuan Zakariya ini adalah pengakuan tertinggi terhadap tauhid. Doa ini menunjukkan bahwa bahkan dalam puncak hasrat pribadi (memiliki anak), hati seorang nabi tetap terikat pada realitas bahwa Allah adalah tujuan akhir dari segala eksistensi.

4. Interpretasi Modern: Warisan Misi

Para ulama kontemporer cenderung menguatkan pandangan bahwa ayat ini adalah template (cetak biru) bagi setiap muslim yang memegang amanah atau misi besar. Ayat ini mengajarkan bahwa kekhawatiran terbesar seorang pemimpin bukanlah tentang dirinya, tetapi tentang kelangsungan misinya setelah ia tiada. Doa Rabbi la tadharni fardan adalah permintaan agar Allah menyediakan mekanisme kesinambungan, baik itu melalui anak, murid, atau struktur organisasi yang mampu menjaga risalah.

Oleh karena itu, bagi umat modern, ayat ini relevan bagi siapa pun yang mendirikan sekolah, yayasan dakwah, atau perusahaan yang memiliki nilai spiritual; mereka berdoa agar misi itu tidak terhenti bersamanya, dan Allah adalah penjamin terbaik dari kelangsungan misi tersebut.

V. Implikasi Teologis dan Adab Doa

Surah Al-Anbiya ayat 89 mengajarkan beberapa prinsip teologis fundamental dan etika berdoa yang harus diteladani oleh setiap mukmin.

1. Prioritas Warisan Spiritual di Atas Material

Konsep *Warith* dalam ayat ini secara mutlak menolak pemahaman bahwa nabi mengkhawatirkan harta. Nabi Zakariya mengajarkan umatnya bahwa kekayaan sejati yang patut diwariskan adalah hikmah (kebijaksanaan), ilmu (ilmu agama), dan dakwah (risalah). Jika fokus Zakariya adalah pada harta, ia tidak akan dipuji oleh Al-Qur'an. Ini memberikan penekanan bahwa aspirasi tertinggi seorang mukmin harus selalu terkait dengan amal jariyah dan kesinambungan kebaikan setelah kematian.

Penolakan terhadap warisan material sebagai fokus utama nabi juga diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad ﷺ, "Kami (para nabi) tidak mewarisi dan tidak diwarisi; apa yang kami tinggalkan adalah sedekah (untuk kepentingan umat)." Dengan demikian, doa Zakariya adalah tentang memastikan ‘sedekah’ kenabiannya terus berlanjut dan berbuah, yang hanya mungkin terjadi melalui seorang penerus yang saleh.

2. Menggantungkan Harapan pada Kemustahilan

Kisah Zakariya, bersama dengan kisah Ibrahim dan Sarah, adalah contoh klasik dalam Al-Qur'an tentang meminta sesuatu yang melanggar hukum kausalitas duniawi (sunnatullah). Ini mengajarkan bahwa batasan manusia (usia tua, kemandulan) bukanlah batasan bagi Allah. Kekuatan doa terletak pada keyakinan mutlak bahwa Allah adalah *Al-Qadir* (Yang Maha Kuasa) atas segala sesuatu. Zakariya tidak mengeluh tentang situasinya; ia hanya memaparkan kondisinya dan kemudian memohon solusi dari Yang Maha Penyelesai.

Adab ini mengajarkan bahwa doa haruslah ambisius, selama didasarkan pada kebutuhan spiritual yang mendesak. Ketika seorang hamba berdoa, ia harus mengabaikan keterbatasan dirinya dan memfokuskan pikirannya pada kemahakuasaan Allah. Keyakinan inilah yang menjadi kunci diterimanya doa Zakariya.

3. Hubungan antara Doa dan Amal Saleh

Dalam Surah Al-Anbiya, sebelum dan sesudah ayat 89, Allah memuji para nabi (termasuk Zakariya) dengan sifat-sifat tertentu. Ayat 90 secara khusus menyebutkan bahwa mereka (Zakariya, Yahya, dan lainnya) adalah orang-orang yang “bersegera dalam kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harapan dan ketakutan, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”

Ini adalah pengajaran teologis yang vital: doa yang diterima bukanlah doa yang tiba-tiba, tetapi doa yang dipanjatkan oleh hati yang telah ditempa oleh amal saleh, ibadah yang konsisten, dan kekhusyukan yang mendalam. Doa Zakariya adalah hasil dari kehidupan yang dipenuhi dengan pelayanan dan ketakwaan, bukan sekadar permintaan sesaat.

VI. Koherensi Narasi: Kaitan Ayat 89 dengan Surah Maryam dan Ali Imran

Pemahaman utuh terhadap doa Nabi Zakariya memerlukan integrasi dengan dua surah lain yang memberikan konteks respon Ilahi terhadap permohonannya: Surah Ali Imran dan Surah Maryam.

1. Surah Ali Imran (3: 38-41): Doa di Mihrab dan Tanda Awal

Di Ali Imran, Zakariya melihat karunia yang diberikan Allah kepada Maryam binti Imran di Mihrabnya (tempat ibadah khusus). Maryam, tanpa pekerjaan duniawi, menerima makanan dan rezeki dari surga. Fenomena ini memicu keyakinan Zakariya bahwa jika Allah mampu memberikan rezeki yang luar biasa (rezeki yang menantang hukum kausalitas) kepada Maryam, maka Allah juga mampu memberikan keturunan kepadanya, meskipun ia sudah tua dan istrinya mandul.

Doa yang ia panjatkan di mihrab (seperti yang dicatat dalam Ali Imran 3:38) adalah: "Rabbi hab li mil ladunka dzurriyyatan tayyibatan innaka sami'ud du'a" (Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-Mu seorang keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa). Meskipun frasanya sedikit berbeda dari Al-Anbiya 89, esensinya sama: permohonan untuk keturunan yang berkualitas, yang lahir dari kekuasaan Ilahi langsung (mil ladunka).

Korelasi ini menunjukkan bahwa Ayat 89 dalam Al-Anbiya adalah ringkasan dari momen spiritual mendalam yang dipicu oleh kesaksiannya terhadap mukjizat Maryam. Mukjizat Maryam berfungsi sebagai katalisator yang mengubah keyakinan teoritis Zakariya menjadi keyakinan praktis, mendorongnya untuk meminta keajaiban bagi dirinya sendiri.

2. Surah Maryam (19: 5-11): Detail Kekhawatiran dan Pemberian Nama

Surah Maryam memberikan detail paling dramatis, menjelaskan kekhawatiran Zakariya akan ‘kerabat-kerabatnya yang buruk’ yang akan mewarisi kepemimpinan setelahnya. Di sini, Allah tidak hanya mengabulkan permintaan Zakariya, tetapi juga memberikan nama bagi anak itu sebelum ia lahir: Yahya. Pemberian nama ini adalah sebuah kehormatan luar biasa, karena biasanya orang tua yang menamai anak mereka.

Allah berfirman (Maryam 19:7): "Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya."

Ini adalah respons langsung terhadap doa ‘La tadharni fardan’. Allah tidak hanya memberinya anak, tetapi memberinya seorang anak yang namanya, sifatnya, dan misinya dijamin oleh Allah sendiri. Yahya menjadi simbol dari Waris yang paling baik (setelah Allah), yang melanjutkan garis keturunan spiritual dan kenabian Bani Israil. Yahya (Yohanes Pembaptis) menjadi pemersatu antara tradisi Zakariya dan kemunculan Nabi Isa (Yesus).

Kesinambungan narasi ini menegaskan bahwa ketika seorang hamba meminta dengan kejujuran dan niat suci (seperti yang dilakukan Zakariya), Allah meresponsnya dengan karunia yang melampaui permintaan dasar, memenuhi kebutuhan terbesarnya: memastikan kesinambungan misi Ilahi.

VII. Studi Mendalam: Konsep Al-Wirathah (Warisan) dalam Islam

Ayat 89 memuat konsep penting al-wirathah (warisan) dalam konteks teologis yang sangat berbeda dari penggunaannya dalam hukum waris (Fara'idh). Membedah istilah ini membantu kita memahami mengapa Zakariya menggunakan frasa ‘Khayru al-Warithin.’

1. Warisan Profetik vs. Warisan Duniawi

Dalam hukum Islam, warisan (mirath) adalah transfer kepemilikan harta benda setelah kematian seseorang. Namun, dalam konteks kenabian, warisan spiritual adalah transfer ilmu, hikmah, dan misi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: "Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sempurna."

Zakariya, sebagai seorang nabi, menyadari bahwa warisannya adalah ilmu dan kepemimpinan agama. Kekhawatiran ‘La tadharni fardan’ adalah ketakutan akan kegagalan warisan ilmu ini. Ia takut risalah yang ia pegang akan mati bersamanya, bukan takut kehilangan harta benda yang ia miliki.

Ayat 89 menunjukkan bahwa permintaan Zakariya akan seorang anak (Yahya) adalah permintaan akan khalifah (pengganti) dalam urusan agama. Yahya akan menjadi jembatan antara generasi kenabian lama dan generasi baru yang akan menyambut Isa Al-Masih, memastikan kesinambungan tauhid dalam Bani Israil.

2. Allah sebagai Waris Tertinggi (Al-Warith)

Sifat Allah sebagai Al-Warith adalah salah satu nama-Nya yang indah (Asmaul Husna), yang berarti Yang Kekal dan Mewarisi. Semua yang dimiliki makhluk, baik kekuasaan, kehidupan, harta, atau bahkan eksistensi, pada akhirnya akan kembali kepada Allah saat makhluk itu musnah. Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami-lah yang mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan." (Q.S. Maryam [19]: 40).

Penggunaan gelar ‘Khayru al-Warithin’ dalam doa Zakariya adalah pengakuan bahwa Allah adalah pewaris yang paling baik karena:

Oleh karena itu, ketika Zakariya memohon agar tidak dibiarkan sendirian, ia mengakhiri dengan kalimat yang merangkul takdir: "Jika pun aku sendiri, ya Allah, dan Engkau mewarisi segalanya, itu sudah cukup bagiku, karena Engkaulah yang terbaik dalam memegang kendali." Kalimat ini berfungsi sebagai penutup kerendahan hati dan pengakuan akan kedaulatan Ilahi.

3. Perspektif Sufi tentang 'Fardan'

Dalam tradisi Sufi (tasawuf), kata fardan (sendirian) dapat diinterpretasikan secara mistis. Selain kesendirian fisik, ia juga merujuk pada ketakutan akan kesendirian spiritual, yakni takut mati sebelum mencapai persatuan atau kesempurnaan batin. Doa ini adalah permintaan agar Allah tidak membiarkan hamba-Nya sendirian, terputus dari rantai spiritual kebaikan, atau terputus dari rahmat-Nya saat sakaratul maut.

Bagi kaum arif billah (orang-orang yang mengenal Allah), warisan yang paling mereka inginkan adalah warisan iman dan amal yang terus mengalir (amal jariyah). Mereka memahami bahwa anak yang saleh, seperti Yahya, adalah sumber dari amal jariyah yang abadi, yang memastikan bahwa 'kesendirian' di alam kubur diringankan oleh doa dan manfaat yang terus mengalir dari keturunan yang ditinggalkan.

VIII. Pelajaran Abadi dari Surah Al-Anbiya Ayat 89

Meskipun kisah ini terjadi ribuan tahun yang lalu, pelajaran yang terkandung dalam doa Nabi Zakariya sangat relevan bagi kehidupan modern seorang mukmin, terutama dalam menghadapi tantangan kepemimpinan, keputusasaan, dan mencari makna hidup.

1. Mengubah Keputusasaan Menjadi Harapan Aktif

Ayat ini adalah anti-tesis dari keputusasaan (ya's). Zakariya berada dalam kondisi yang secara definitif tertutup secara biologis, namun ia memilih jalur doa yang aktif dan penuh keyakinan. Ini mengajarkan umat Islam bahwa batas kemampuan manusia harus menjadi awal, bukan akhir, dari seruan kepada Allah. Tidak ada permintaan yang terlalu besar bagi Dzat Yang Maha Besar.

Pelajaran praktisnya adalah dalam menghadapi kesulitan finansial, kesehatan, atau permasalahan sosial, mukmin diajarkan untuk meniru adab Zakariya: paparkan masalah kepada Allah (Rabbi la tadharni fardan), akui keterbatasan diri, dan segera diikuti dengan pengakuan atas kekuasaan tak terbatas Allah (Wa Anta Khayru al-Warithin). Ini adalah formulasi sempurna untuk mengikis rasa putus asa.

2. Pentingnya Legacy (Misi Abadi)

Ayat 89 mendorong setiap muslim untuk berpikir melampaui rentang usia pribadinya. Pertanyaan yang diajukan Zakariya—Siapa yang akan melanjutkan misi ini setelah aku tiada?—harus menjadi pertanyaan utama bagi setiap individu yang diberi amanah, baik sebagai orang tua, guru, pemimpin, atau aktivis sosial.

Fokus harus beralih dari warisan harta (yang fana) kepada warisan ilmu dan karakter (yang abadi). Anak-anak harus dididik sebagai penerus spiritual dan moral, bukan sekadar penerus nama keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, setiap usaha kebaikan yang kita bangun harus memiliki sistem keberlanjutan (sustainability), karena kita tahu bahwa meskipun kita akan musnah, Allah, Sebaik-baik Pewaris, akan menjaga benih kebaikan itu jika kita telah menanamnya dengan niat yang murni.

3. Kesabaran dan Waktu Doa

Doa ini adalah puncak dari kesabaran yang panjang. Zakariya tidak berdoa ini saat muda; ia menunggu sampai usia tuanya, yang menunjukkan ketekunan dan kesabarannya dalam menghadapi takdir. Ini mengajarkan bahwa pengabulan doa seringkali memerlukan waktu dan kematangan spiritual. Seringkali, apa yang kita minta baru diberikan Allah pada waktu yang paling tepat, bukan pada waktu yang kita inginkan.

Pemberian Yahya di usia tua memastikan bahwa Zakariya telah memenuhi seluruh kewajibannya sebagai nabi dan pemimpin. Hadiah itu datang sebagai penutup yang indah, sebuah pemenuhan yang sempurna bagi seorang hamba yang telah mendedikasikan hidupnya. Doa yang terkandung dalam Al-Anbiya 89 adalah lambang bahwa kesabaran panjang selalu berujung pada hadiah yang tak terduga dari Allah SWT.

IX. Epilog: Warisan yang Tak Pernah Berakhir

Surah Al-Anbiya ayat 89, yang mengabadikan doa Nabi Zakariya, adalah salah satu permata spiritual dalam Al-Qur'an. Ayat ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan instruksi abadi tentang bagaimana seorang hamba harus berkomunikasi dengan Tuhannya di tengah situasi yang paling sulit.

Doa "Rabbi la tadharni fardan wa anta khayru al-warithin" adalah perpaduan harmonis antara kebutuhan manusia yang mendesak dan pengakuan teologis yang mendalam terhadap kedaulatan Ilahi. Ia mengajarkan kita untuk berharap tanpa batas, tetapi pada saat yang sama, menyerahkan segala hasil kepada Waris yang Paling Baik.

Melalui respons Allah yang menakjubkan—pemberian Nabi Yahya, yang namanya ditetapkan langsung oleh Allah—kita belajar bahwa kepemimpinan spiritual dan kesinambungan misi Ilahi adalah prioritas utama di sisi-Nya. Warisan yang dicari oleh Zakariya adalah warisan cahaya (ilmu dan kenabian), dan Allah mengabulkannya dengan cara yang melampaui harapan manusia. Hikmah dari ayat ini akan terus menjadi sumber kekuatan bagi setiap jiwa yang merasa sendirian dalam perjuangan kebaikan, mengingatkan mereka bahwa Allah SWT adalah pendamping terbaik dan Waris dari segala keabadian.

🏠 Kembali ke Homepage