AL-BAQARAH AYAT 213: HIKMAH DI BALIK PERSELISIHAN

كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً وَٰحِدَةً فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ وَمَا يَخْتَلِفُ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ ٱلْبَيِّنَٰتُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَا ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ مِنَ ٱلْحَقِّ بِإِذْنِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Mula-mula manusia adalah umat yang satu. Lalu Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah diberikan Kitab, setelah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, karena dengki antara sesama mereka. Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman tentang kebenaran yang diperselisihkan itu dengan izin-Nya. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.

Ilustrasi Hidayah dan Kitab Suci Ilustrasi yang menggambarkan Kitab Suci sebagai sumber cahaya (hidayah) yang memancar, menyatukan dua sisi yang awalnya terpisah (perselisihan). Al-Kitab Pemberi Keputusan

Pengantar: Jejak Sejarah Umat Manusia dalam Perspektif Ilahi

Surah Al-Baqarah ayat 213 (2:213) adalah salah satu fondasi teologis terpenting dalam memahami sejarah sosial dan spiritual umat manusia. Ayat ini memberikan gambaran yang ringkas namun komprehensif tentang bagaimana peradaban bermula, mengapa nubuwwah (kenabian) dibutuhkan, dan apa akar terdalam dari perselisihan yang terus menerus menyelimuti manusia hingga hari kiamat. Ayat ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan petunjuk metodologis tentang cara kembali kepada persatuan hakiki setelah terjerumus dalam jurang perbedaan.

Analisis terhadap ayat ini membutuhkan penggalian yang mendalam terhadap tiga fase utama: fase kesatuan primordial (*Ummah Wāḥidah*), fase intervensi Ilahi (pengutusan para Nabi dan penurunan Kitab), dan fase perpecahan yang disengaja (disebabkan oleh *Baghy* atau kedengkian) yang hanya dapat diatasi melalui Hidayah Allah.

I. Fasa Primordial: Keadaan Umat yang Satu (*Kānan nāsū ummatan wāḥidatan*)

Kata kunci pembuka ayat ini, "Mula-mula manusia adalah umat yang satu," memuat makna teologis yang sangat kaya. Para mufassir berbeda pendapat mengenai kapan tepatnya periode "umat yang satu" ini terjadi, namun pada dasarnya, mereka merujuk pada kondisi awal yang fitrah, sebelum munculnya perbedaan mendasar dalam akidah dan syariat.

A. Kesatuan Fitrah dan Akidah Awal

Tafsiran yang paling masyhur menyatakan bahwa periode ini merujuk pada era setelah Nabi Adam dan keturunannya yang masih berada dalam tauhid yang murni. Dalam rentang waktu tersebut, kebutuhan terhadap hukum-hukum yang kompleks belum muncul, dan manusia hidup dalam kesederhanaan fitrah yang mengakui keesaan Allah tanpa syirik. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan yang bersifat remeh dan bukan fundamental, seperti perbedaan dalam masalah penghidupan dan muamalah dasar.

Kesatuan ini adalah kesatuan ideologis, di mana inti kepercayaan (tauhid) masih utuh. Meskipun jumlah manusia bertambah dan tersebar, ikatan fundamental mereka adalah satu kebenaran yang diwariskan langsung dari Adam, yaitu Islam dalam maknanya yang luas (penyerahan diri kepada Tuhan). Keadaan ini menunjukkan bahwa persatuan adalah kondisi asal (al-ashl) manusia, sementara perpecahan adalah kondisi turunan atau penyimpangan.

B. Munculnya Kebutuhan Syariat

Seiring berjalannya waktu, populasi membesar, kepentingan duniawi mulai berbenturan, dan terutama, bisikan hawa nafsu dan kesenangan materi mulai mengikis kesatuan akidah. Perbedaan pendapat mulai muncul, bukan hanya dalam hal duniawi, tetapi juga dalam interpretasi terhadap kebenaran spiritual. Inilah titik kritis di mana fitrah manusia mulai terkontaminasi oleh ego dan kepentingan pribadi, menciptakan konflik yang tidak dapat diselesaikan oleh akal murni saja. Konflik ini, yang pada awalnya mungkin kecil, berpotensi membesar menjadi perpecahan akidah, sebagaimana yang terjadi pada umat Nabi Nuh, yang merupakan umat pertama yang didera syirik secara massif.

Kebutuhan akan intervensi Ilahi menjadi mutlak. Akal manusia, betapapun cemerlangnya, tidak memiliki otoritas absolut untuk menyelesaikan pertikaian spiritual atau menetapkan batas-batas moral universal yang diterima semua pihak. Di sinilah peran Allah SWT sebagai ar-Rabb (Pemelihara) terwujud melalui pengutusan rasul.

II. Intervensi Ilahi: Fungsi Nabi dan Kitab Suci

Untuk mengatasi perpecahan yang mulai mengancam eksistensi spiritual manusia, Allah mengutus para nabi (*fa ba'aṡallāhu an-nabiyyīna*). Pengutusan ini adalah rahmat terbesar, sebuah jembatan komunikasi antara langit dan bumi, bertujuan untuk mengembalikan manusia pada jalur fitrah yang telah mereka lupakan.

A. Peran Ganda Para Nabi: Mubasysyirin wa Munżirīn

Para nabi diutus dengan dua tugas utama yang saling melengkapi:

  1. Mubasysyirīn (Pembawa Kabar Gembira): Ini adalah peran memberikan harapan dan motivasi. Mereka memberitakan ganjaran abadi, kenikmatan surga, dan keridhaan Allah bagi mereka yang patuh dan beriman. Kabar gembira ini berfungsi sebagai daya tarik spiritual dan insentif untuk melakukan kebaikan, menguatkan ikatan sosial, dan menjauhi kezaliman.
  2. Munżirīn (Pemberi Peringatan): Ini adalah peran pencegahan. Mereka memperingatkan manusia tentang konsekuensi buruk dari penyimpangan, kemaksiatan, syirik, dan penindasan, yaitu siksa neraka dan murka Ilahi. Peringatan ini berfungsi sebagai rem moral, menahan manusia dari dorongan hawa nafsu yang destruktif dan egois.

Keseimbangan antara *Tarbiyah* (pendidikan) melalui janji dan *Takhwif* (menakut-nakuti) melalui ancaman memastikan bahwa risalah yang disampaikan menjangkau segala jenis jiwa manusia—mereka yang termotivasi oleh harapan dan mereka yang dihalangi oleh rasa takut.

B. Kitab Suci sebagai Hakim Absolut (*Al-Kitāba bil-Ḥaqqi*)

Nabi tidak diutus sendirian. Bersama mereka, Allah menurunkan Al-Kitab, yang digambarkan sebagai diturunkan "dengan kebenaran" (*bil-Ḥaqqi*). Fungsi utama Kitab Suci adalah: *liyaḥkuma bainan-nāsi fīma ikhtalafū fīh* (untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan).

Kitab Suci adalah konstitusi Ilahi yang menawarkan solusi tertinggi di atas keputusan akal manusia yang bias dan nafsu yang fluktuatif. Ia memberikan kebenaran definitif (*al-Ḥaqq*) tentang:

Dengan Kitab Suci, perselisihan tidak lagi mengarah pada kehancuran total. Selama umat merujuk kembali kepada sumber otoritas tertinggi yang bebas dari kepentingan duniawi, potensi persatuan selalu terbuka lebar. Kitab tersebut menjadi titik temu yang imparsial, sebuah timbangan keadilan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta.

III. Tragedi Perpecahan: Kedengkian Sebagai Akar Kehancuran

Bagian tengah ayat 2:213 memuat kritik keras terhadap umat-umat terdahulu yang menerima Kitab Suci. Meskipun mereka telah menerima kebenaran yang jelas, mereka justru menjadi sumber perpecahan itu sendiri. Allah berfirman: *Wa mā yakhtalifu fīhi illal-lażīna ūtul-kitāba mim ba'di mā jā'athumul-bayyinātu baghyam bainahum.*

A. Ironi Orang yang Diberi Kitab

Ironisnya, yang berselisih tentang Kitab Suci bukanlah orang-orang yang belum pernah mendapat petunjuk, melainkan justru mereka yang telah diberi Kitab (*al-lażīna ūtul-kitāba*). Mereka memiliki pengetahuan, mereka menyaksikan mukjizat, dan mereka memiliki bukti-bukti nyata (*al-bayyinātu*). Bukti-bukti ini mencakup kejelasan teks suci itu sendiri, tanda-tanda kenabian, dan kesesuaian ajaran dengan fitrah dan akal sehat.

Meskipun memiliki kejelasan yang sedemikian rupa, mereka justru merusak kesatuan dan makna Kitab tersebut. Ini adalah tragedi spiritual terbesar: memiliki obat namun memilih racun.

B. Analisis Mendalam Mengenai *Baghy* (Kedengkian dan Kezaliman)

Penyebab perselisihan ini diringkas dalam satu kata kunci yang sangat penting: *Baghyam bainahum*. *Baghy* secara harfiah berarti melampaui batas, mencari-cari kesalahan, kezaliman, dan yang paling sering diartikan dalam konteks ini adalah kedengkian, iri hati, atau semangat mencari dominasi.

Perpecahan ini bukan didasarkan pada ketidakjelasan dalil (karena *al-bayyinātu* telah datang), melainkan didasarkan pada motivasi kotor dan kepentingan egois:

  1. Kedengkian terhadap Kepemimpinan: Para ulama dan pemimpin agama pada masa lampau sering kali mendengki satu sama lain karena takut kehilangan status, pengaruh, dan kekuasaan yang mereka nikmati sebagai pemegang otoritas Kitab. Mereka memutarbalikkan tafsir hanya untuk menopang kekuasaan klan atau mazhab mereka.
  2. Fanatisme Mazhab: Ketika interpretasi Kitab menjadi lebih penting daripada Kitab itu sendiri, fanatisme buta (ta'assub) muncul. Masing-masing kelompok mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik kebenaran, menolak hakikat yang sama yang datang melalui jalur kenabian yang berbeda (misalnya, menolak nabi yang datang dari suku atau garis keturunan yang berbeda).
  3. Kezaliman (Oppression): *Baghy* juga berarti bertindak zalim. Mereka menzalimi Kitab dengan menyembunyikan kebenaran, menzalimi orang lain dengan memaksakan interpretasi yang salah demi keuntungan pribadi, dan menzalimi diri sendiri dengan menukarkan petunjuk dengan kesesatan.

Dengan demikian, ayat 213 mengajarkan bahwa perbedaan pendapat yang sehat (ikhtilaf tanawwu' atau perbedaan keragaman) adalah keniscayaan manusia, tetapi perpecahan yang membawa pada kehancuran (*ikhtilaf tadadd* atau perbedaan yang saling bertentangan) selalu berakar pada kerusakan moral dan spiritual, terutama *Baghy*.

IV. Mekanisme Hidayah: Petunjuk Bagi Kaum Beriman

Setelah menjelaskan sumber perpecahan, ayat 213 menyajikan solusi, yaitu campur tangan Ilahi melalui petunjuk (*Hidayah*): *Fa hadallāhu al-lażīna āmanū limākhktalafū fīhi minal-ḥaqqi bi iznih.*

A. Pembeda Antara Iman dan Kedengkian

Ayat ini membedakan secara tegas dua kelompok dalam menghadapi perselisihan:

Orang-orang yang beriman, melalui ketulusan hati dan keikhlasan dalam mencari petunjuk, diberi kemampuan oleh Allah untuk memilah dan memilih kebenaran dari tumpukan perselisihan. Mereka diberi kejelasan (*bayan*) di tengah kekeruhan tafsir. Ini menegaskan bahwa iman adalah prasyarat fundamental untuk mendapatkan pemahaman yang benar, karena orang yang beriman telah membersihkan hatinya dari *Baghy*.

B. Kedaulatan Mutlak Allah (*Bi Iznihi* dan *Yahdī May Yasyā'u*)

Ada dua frase kunci yang menegaskan kedaulatan Allah dalam proses Hidayah:

1. Bi Iznihi (Dengan Izin-Nya): Petunjuk untuk menemukan kebenaran di tengah perselisihan tidak datang dari kepintaran semata, melainkan dari izin dan karunia Allah. Seseorang mungkin memiliki semua teks dan alat analisis, tetapi tanpa izin Ilahi, hatinya tetap tertutup. Ini mengajarkan pentingnya doa, kerendahan hati, dan penyerahan diri total kepada Allah, mengakui bahwa Hidayah adalah anugerah, bukan hak yang didapat.

2. Wallāhu Yahdī May Yasyā'u ilā Ṣirāṭim Mustaqīm (Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus): Ayat ditutup dengan penegasan bahwa Hidayah menuju jalan yang lurus (*Ṣirāṭim Mustaqīm*) sepenuhnya berada dalam kehendak Allah. Kehendak ini, tentu saja, tidak diberikan secara acak, melainkan diberikan kepada mereka yang telah menunjukkan kemauan untuk membersihkan diri dari penyakit hati (terutama *Baghy*) dan bersungguh-sungguh mencari kebenaran dengan ikhlas.

Bagi umat Muhammad, petunjuk ini berarti bahwa melalui Al-Qur'an dan Sunnah, kaum mukminin mampu memecahkan simpul-simpul perselisihan yang diciptakan oleh umat-umat terdahulu. Islam berfungsi sebagai Kitab pemutus yang membersihkan ajaran-ajaran kenabian sebelumnya dari segala penyimpangan yang disebabkan oleh kedengkian dan nafsu manusia.

V. Al-Baqarah 213 dalam Konteks Kontemporer Umat Islam

Meskipun ayat ini merujuk pada umat sebelum Nabi Muhammad, pelajarannya sangat relevan bagi umat Islam saat ini. Umat Islam juga menghadapi tantangan perselisihan (*ikhtilaf*), yang sering kali berakar pada kecenderungan *Baghy* modern.

A. Perpecahan Fiqh dan Mazhab

Dalam sejarah Islam, telah terjadi banyak perselisihan fiqh, kalam, dan politik. Ayat 2:213 mengingatkan kita bahwa selama perselisihan itu didasari oleh usaha tulus untuk mencari kebenaran (ijtihad), maka perselisihan tersebut dapat ditoleransi. Namun, ketika perbedaan ijtihad berubah menjadi perpecahan mazhab yang didorong oleh *Baghy*—seperti ketika suatu kelompok memfitnah, merendahkan, atau mengkafirkan kelompok lain hanya untuk menegaskan superioritas politik atau intelektual—maka umat Islam telah jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti umat terdahulu.

Ayat ini berfungsi sebagai alarm: perbedaan yang memecah-belah selalu bermuara pada nafsu kekuasaan dan ketakutan kehilangan otoritas, bukan karena kebenaran teologis itu sendiri.

B. Kedengkian Intelektual dan Egoisme Ilmiah

Fenomena *Baghy* tidak hanya terbatas pada perebutan politik, tetapi juga merasuk dalam ranah intelektual. Kedengkian intelektual terjadi ketika seorang ulama atau cendekiawan menolak pendapat yang benar hanya karena pendapat itu datang dari rivalnya, atau karena pengakuan terhadap kebenaran tersebut akan mengurangi pamor dirinya. Sikap ini sangat bertentangan dengan semangat Hidayah yang menuntut ketulusan dan keterbukaan.

Oleh karena itu, kunci untuk mendapatkan Hidayah di tengah banyaknya perbedaan pandangan modern adalah kembali kepada etos "Haqq" (kebenaran) yang imparsial, membuang jauh-jauh egoisme akademik dan kekakuan mazhab yang ekstrem.

VI. Analisis Linguistik dan Semantik untuk Kedalaman Tafsir

Untuk memahami sepenuhnya keluasan makna ayat 213, penting untuk menyelami makna linguistik dari kata-kata kunci Arab yang digunakan.

A. Ummah Wāḥidah (Umat yang Satu)

Kata *Ummah* dalam bahasa Arab merujuk pada sekelompok manusia yang disatukan oleh tujuan, waktu, atau agama yang sama. Ketika dilekatkan pada kata *Wāḥidah* (satu), ia merujuk pada kesatuan yang utuh, menunjukkan bahwa pada awalnya, perbedaan yang ada hanyalah superfisial. Mayoritas mufassir seperti Ibnu Abbas dan Qatadah sepakat bahwa ini merujuk pada kesatuan akidah tauhid murni yang bertahan selama periode antara Adam dan Nuh, sebelum syirik mulai merajalela.

B. Liyaḥkuma (Untuk Memberi Keputusan)

Penggunaan kata *liyaḥkuma* (dari akar kata *ḥukm*) menekankan bahwa fungsi Kitab Suci adalah yudikatif dan legislatif. Kitab adalah Hakim, bukan saran. Ketika perselisihan timbul, manusia tidak diharapkan mencari jalan keluar melalui kompromi politik yang mengorbankan prinsip, melainkan melalui penetapan hukum yang tegas dan adil berdasarkan wahyu. Ini mengukuhkan otoritas tertinggi (hakimiyyah) bagi Wahyu dalam kehidupan manusia.

C. Al-Bayyinātu (Bukti-bukti yang Nyata)

Frase *mim ba'di mā jā'athumul-bayyinātu* menegaskan bahwa perselisihan terjadi bukan karena keraguan, tetapi karena keengganan. *Al-Bayyinātu* merujuk pada ayat-ayat Al-Kitab yang jelas, mukjizat, atau tanda-tanda kenabian yang sedemikian nyata sehingga tidak ada alasan logis untuk menolaknya. Penolakan setelah datangnya *Al-Bayyinātu* menunjukkan adanya masalah fundamental di hati, yaitu penyakit moral, yang merupakan definisi operasional dari *Baghy*.

VII. Implikasi Teologis dan Universalitas Pesan 2:213

Ayat 213 bukan hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga merumuskan hukum sosial Ilahi yang berlaku secara universal di setiap zaman dan tempat.

A. Tiga Pilar Kebenaran Universal

Ayat ini menetapkan tiga pilar yang harus ada dalam setiap masyarakat untuk mencapai persatuan dan keadilan sejati:

  1. Kesadaran akan Asal Mula (Tauhid Fitrah): Pengakuan bahwa semua manusia berasal dari satu sumber dan harus kembali kepada satu tujuan. Ini menolak semua bentuk rasisme dan fanatisme primordial.
  2. Otoritas Wahyu (Risalah dan Kitab): Pengakuan bahwa penyelesaian konflik tertinggi harus datang dari sumber di luar ego dan kepentingan manusia, yaitu Allah.
  3. Kewajiban Moral untuk Menghindari *Baghy*: Penolakan terhadap kedengkian, kezaliman, dan perebutan kekuasaan sebagai motif utama perbedaan.

B. Pertautan Antara Kehendak Manusia dan Kehendak Ilahi

Ayat ini secara halus menyentuh isu takdir dan kehendak bebas. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih *Ikhtilaf* (berbeda) yang didorong oleh *Baghy*. Namun, pilihan untuk menerima Hidayah (*Hadayallahu allazina amanu*) adalah anugerah yang diberikan kepada mereka yang telah memilih jalan keimanan. Dengan kata lain, manusia memulai langkah keimanan (dengan menolak *Baghy* dan mencari kebenaran), dan Allah menyempurnakan langkah tersebut dengan memberikan petunjuk yang terperinci (*Bi Iznihi*).

VIII. Analisis Kritis terhadap Ancaman *Baghy* dalam Komunitas Modern

Jika *Baghy* adalah penyakit yang merusak umat-umat terdahulu, bagaimana ia bermanifestasi dalam kehidupan umat Islam kontemporer? *Baghy* modern seringkali terselubung di balik jargon-jargon keagamaan yang terdengar saleh.

A. Eksklusivitas dan Klaim Kepemilikan Kebenaran

Bentuk *Baghy* yang paling umum adalah eksklusivitas ekstrim, di mana suatu kelompok mengklaim diri sebagai satu-satunya penerima Hidayah yang benar, bahkan sampai pada menolak validitas tafsir atau metodologi orang lain, padahal semua merujuk pada Kitab yang sama. Klaim ini seringkali didorong oleh hasrat untuk mengisolasi dan mendominasi ranah keagamaan, yang pada intinya adalah perebutan kekuasaan simbolis.

B. Manipulasi Teks untuk Keuntungan Politik

Salah satu bentuk *Baghy* yang paling berbahaya adalah manipulasi teks suci. Ketika Al-Qur'an dan Sunnah ditarik dari konteksnya yang luas hanya untuk membenarkan tindakan politik tertentu, atau untuk menjustifikasi penindasan terhadap kelompok minoritas, ini adalah manifestasi langsung dari *Baghy*. Mereka menggunakan Kitab sebagai alat kezaliman, bukan sebagai Hakim yang adil.

Ayat 2:213 dengan tegas memperingatkan bahwa mereka yang telah menerima *Al-Bayyinātu* (kejelasan) namun tetap berselisih karena *Baghy* adalah mereka yang paling jauh dari petunjuk, meskipun mereka terlihat paling berilmu.

IX. Jalan Menuju *Shirāṭim Mustaqīm* (Jalan yang Lurus)

Penutupan ayat ini, *Wallāhu yahdī may yasyā'u ilā ṣirāṭim mustaqīm*, memberikan penekanan akhir pada tujuan seluruh risalah: Jalan yang Lurus. Jalan ini adalah puncak dari Hidayah yang membebaskan manusia dari *Ikhtilaf* yang destruktif.

A. Definisi Jalan yang Lurus

*Ṣirāṭim Mustaqīm* adalah jalan yang adil dan seimbang, tidak melenceng ke ekstremisme (ghuluw) dan tidak pula terlalu longgar (tafrith). Ayat 213 menyiratkan bahwa Jalan yang Lurus adalah jalan yang di dalamnya:

  1. Kebenaran Kitab Suci diterima tanpa diubah atau disembunyikan.
  2. Hati bebas dari kedengkian dan nafsu dominasi (*Baghy*).
  3. Semua perselisihan dirujuk kembali kepada Wahyu dengan ketulusan dan kerendahan hati.

Jalan ini merupakan gabungan antara ilmu yang benar (melalui Kitab) dan amal yang ikhlas (bebas dari *Baghy*). Keduanya harus berjalan beriringan. Ilmu tanpa keikhlasan akan menghasilkan *Baghy*; Keikhlasan tanpa ilmu akan menghasilkan kesesatan yang tidak disengaja.

B. Rekonstruksi Persatuan

Berdasarkan ayat ini, rekonstruksi persatuan umat Islam dan bahkan persatuan kemanusiaan (seperti yang pernah terjadi pada fasa *Ummah Wāḥidah*) hanya dapat dicapai melalui penolakan kolektif terhadap *Baghy*. Hal ini memerlukan reformasi moral yang radikal pada tingkat individu dan institusional. Para pemimpin agama, cendekiawan, dan politisi harus melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok demi kebenaran yang mutlak dan universal.

Ayat 213 menawarkan harapan: meskipun manusia cenderung terpecah-belah, pintu Hidayah selalu terbuka lebar bagi mereka yang memilih iman dan menjauhkan diri dari penyakit kedengkian. Petunjuk Ilahi akan selalu hadir untuk menunjukkan kebenaran di tengah kekacauan perselisihan, asalkan kita mendekatinya dengan izin Allah (*bi iznih*).

X. Konklusi: Ayat 213 sebagai Pedoman Abadi

Surah Al-Baqarah ayat 213 adalah kapsul waktu yang merangkum keseluruhan narasi teologis dan sejarah manusia. Dimulai dari kesatuan murni, melalui kebutuhan akan wahyu, hingga bahaya tersembunyi yang timbul dari keserakahan rohani. Ayat ini mengajarkan bahwa perselisihan bukanlah takdir, melainkan pilihan. Kita memilih apakah perselisihan kita akan menjadi jalan menuju kebenaran yang lebih kaya (melalui ijtihad ikhlas) atau menjadi jalan menuju kehancuran (melalui *Baghy*).

Pesan sentralnya tetap kuat: Kembalilah kepada Kitab, tetapi kembalilah dengan hati yang bersih. Hanya dengan membuang kedengkian dan kezaliman, umat manusia—dan secara khusus kaum beriman—dapat berharap untuk menerima petunjuk Allah dan berjalan di atas *Ṣirāṭim Mustaqīm*, sebagaimana yang dijanjikan dalam ayat ini.

Sejarah peradaban adalah saksi bahwa setiap kali suatu komunitas meninggalkan prinsip-prinsip moral demi kepentingan kekuasaan, menggunakan kebenaran sebagai alat, dan membiarkan *Baghy* merajalela, mereka pasti tergelincir ke dalam perpecahan yang mendalam. Sebaliknya, saat komunitas bersatu di bawah otoritas Wahyu dengan keikhlasan, mereka mencapai puncak kemajuan spiritual dan sosial. Ayat 2:213 adalah peta jalan abadi menuju persatuan hakiki.

***

XI. Refleksi Mendalam Terhadap Konsep *Umatan Wāḥidah*

Kajian mendalam terhadap frasa pembuka ayat, *Kānan nāsū ummatan wāḥidatan*, perlu diperluas untuk mengapresiasi kondisi awal manusia. Mufassir kontemporer sering melihat konsep ini tidak hanya sebagai kesatuan agama, tetapi juga sebagai kesatuan sosial dan budaya yang belum terkotak-kotak. Dalam keadaan ini, kebutuhan akan hukum yang terstruktur belum mendesak. Kehidupan awal manusia setelah Adam A.S. didominasi oleh naluri kebertahanan hidup dan tata nilai yang sangat sederhana, yang secara intrinsik mendorong kerja sama, bukan persaingan destruktif.

Beberapa ulama, seperti Ibnu Zaid, menafsirkan *Ummah Wāḥidah* sebagai manusia yang mulanya berada dalam kesesatan. Namun, tafsir yang lebih kuat, sebagaimana dipegang oleh Ibnu Jarir al-Thabari, adalah bahwa mereka mulanya berada dalam kebenaran (tauhid), dan kemudian terjadi penyimpangan yang memicu perlunya nubuwwah. Tafsir kedua ini lebih sesuai dengan konteks ayat, di mana pengutusan nabi adalah solusi terhadap perselisihan yang muncul, bukan solusi terhadap kekosongan iman.

Kesatuan fitrah ini mengajarkan kita bahwa persatuan sejati harus dibangun di atas pondasi yang bersifat universal dan primordial, yaitu tauhid. Setiap upaya persatuan yang hanya didasarkan pada kepentingan politik, ekonomi, atau rasial akan rapuh, karena ia tidak merujuk kembali kepada *ashl* (asal) kebenaran yang satu.

XII. Peran Kitab dalam Menyelamatkan Nalar Manusia dari Kekeliruan

Fungsi Kitab Suci sebagai hakim, *liyaḥkuma bainan-nāsi*, adalah penyelamat bagi nalar manusia yang terbatas dan cenderung subjektif. Ketika manusia mulai berselisih, setiap pihak akan menggunakan akalnya untuk membenarkan posisinya. Jika tidak ada standar kebenaran di luar akal yang berselisih tersebut, maka konflik tidak akan pernah selesai; ia akan menjadi perang hermeneutika yang tak berujung.

Kitab Suci menyediakan tiga fungsi penting dalam hukum Ilahi:

  1. Penetapan Garis Batas: Kitab menetapkan batas antara halal dan haram, hak dan batil, membatasi ruang lingkup perdebatan yang destruktif.
  2. Prinsip Keadilan: Ia memberikan prinsip-prinsip keadilan yang melampaui kepentingan klan atau kelas, memastikan bahwa hukum berlaku sama untuk semua.
  3. Pemberi Motivasi Akhirat: Kitab mengaitkan kepatuhan terhadap hukum dengan ganjaran abadi, memberikan insentif moral yang lebih tinggi daripada sekadar sanksi duniawi.

Oleh karena itu, penolakan atau penyelewengan terhadap Kitab, seperti yang dilakukan oleh *al-lażīna ūtul-kitāba*, merupakan bentuk kejahatan ganda: kejahatan terhadap Tuhan (dengan mengabaikan wahyu) dan kejahatan terhadap sesama manusia (dengan melanggengkan perselisihan dan kezaliman).

XIII. Kedengkian (*Baghy*) sebagai Penyakit Kualitas dan Kuasa

Penting untuk dicatat bahwa ayat 213 menargetkan mereka yang memiliki kualitas (mereka yang diberi Kitab, *ūtul-kitāba*) sebagai pelaku utama perpecahan. Ini adalah peringatan keras bahwa ilmu pengetahuan agama yang tinggi tidak menjamin keselamatan moral. Justru, ilmu yang tinggi, jika tidak diiringi dengan keikhlasan yang dalam, dapat menjadi alat *Baghy* yang paling efektif.

Mengapa ilmuwan dan pemimpin agama lebih rentan terhadap *Baghy*? Karena mereka memiliki modal intelektual dan spiritual yang besar. Kedengkian mereka bukan sekadar iri pada harta, melainkan iri pada kedudukan spiritual, otoritas tafsir, dan pengikut yang lebih banyak. Mereka berjuang untuk memonopoli kebenaran, menolak melihatnya pada orang lain, bahkan jika bukti (*al-bayyinātu*) sangat jelas.

Dalam konteks modern, hal ini terwujud dalam persaingan antarlembaga dakwah, pertarungan antara figur publik keagamaan, dan penolakan ijtihad yang inovatif hanya karena ia berasal dari generasi atau sekolah pemikiran yang berbeda. Semua ini adalah manifestasi dari *Baghy* yang tersembunyi, merusak persatuan umat dari dalam.

XIV. Dialektika Iman dan Hidayah (*Fa hadallāhu al-lażīna āmanū*)

Frasa *Fa hadallāhu al-lażīna āmanū* menunjukkan sebuah proses seleksi Ilahi. Allah memberikan petunjuk kepada mereka yang telah mengambil langkah awal untuk beriman. Ini adalah janji bahwa kesungguhan hati akan dihargai dengan kejelasan intelektual dan spiritual.

Hidayah yang diberikan kepada kaum beriman di sini adalah kemampuan untuk memilah *al-ḥaqqi* (kebenaran) dari perselisihan yang telah dikacaukan oleh umat terdahulu. Ini bukan berarti kaum beriman tidak pernah berselisih; tetapi ketika mereka berselisih, mereka memiliki mekanisme internal dan spiritual untuk merujuk kembali kepada sumber otentik (Al-Qur'an dan Sunnah) tanpa didorong oleh *Baghy*.

Proses Hidayah ini menuntut beberapa hal dari kaum beriman:

XV. Jalan yang Lurus dan Persatuan Multidimensi

Kesimpulan ayat, yang merujuk pada *Ṣirāṭim Mustaqīm*, melampaui sekadar ketaatan ritual. Ia adalah jalan yang menjamin persatuan multidimensi:

  1. Persatuan Vertikal: Persatuan antara hamba dan Penciptanya (tauhid murni).
  2. Persatuan Horizontal: Persatuan di antara sesama manusia (keadilan sosial, *ukhuwah*).
  3. Persatuan Kognitif: Keselarasan antara wahyu, akal, dan realitas (terhindar dari kontradiksi batin).

Ayat 2:213 dengan demikian berfungsi sebagai piagam kehidupan umat manusia. Ia menetapkan bahwa tujuan akhirnya adalah kesatuan, tetapi jalan menuju kesatuan itu harus melalui Kitab Suci, dan musuh terbesar persatuan bukanlah ketidaktahuan, melainkan kezaliman dan kedengkian hati yang disengaja (*Baghy*).

Keagungan ayat ini terletak pada universalitasnya. Ia mengingatkan setiap generasi, termasuk kita, bahwa Kitab Suci telah diturunkan sebagai pemisah antara hak dan batil. Jika kita menemukan diri kita dalam perselisihan yang destruktif, penyebabnya tidak terletak pada kelemahan Kitab, melainkan pada kelemahan moral yang membiarkan *Baghy* mengambil alih hati kita. Hanya dengan kembali kepada keikhlasan dan menjadikan Wahyu sebagai Hakim tanpa pamrih, kita dapat berharap mendapatkan izin Ilahi untuk menapak di Jalan yang Lurus.

***

XVI. Penebalan Konteks: Historisitas dan Keniscayaan Risalah

Penyampaian risalah kenabian adalah keniscayaan teologis. Setelah manusia meninggalkan kesatuan primordialnya, mereka tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Kebutuhan akan kenabian bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban bagi Allah sebagai Rabb al-'Alamīn (Tuhan Semesta Alam) untuk memberikan *Hujjah* (argumentasi/bukti yang mengikat) kepada manusia. Tanpa nabi, manusia akan beralasan pada Hari Kiamat bahwa mereka tidak tahu apa yang benar dan salah, dan mereka akan menyalahkan Tuhan atas perselisihan mereka.

Ayat 213 menolak klaim tersebut. Dengan mengutus *Mubasysyirīn wa Munżirīn* dan menurunkan *Al-Kitāb bil-Ḥaqqi*, Allah telah memenuhi kewajiban-Nya dan memberikan perangkat hukum yang sempurna untuk menyelesaikan semua perselisihan. Kegagalan mencapai kesatuan, oleh karena itu, sepenuhnya terletak pada manusia yang memilih untuk mengkhianati Kitab Suci yang telah diberikan kepada mereka. Ini menegaskan prinsip tanggung jawab individu dalam Islam.

XVII. Bahaya Subjektivitas dalam Tafsir di Hadapan *Bayyināt*

Konsep *Bayyināt* (bukti-bukti nyata) adalah poin krusial. Dalam ilmu ushul fiqh, *Bayyināt* adalah dalil yang jelas dan tidak ambigu. Ketika dalil sudah jelas, tidak ada ruang untuk penafsiran yang mengarah pada penyimpangan akidah. Ayat ini secara eksplisit mengutuk mereka yang tetap berselisih bahkan setelah kejelasan datang. Ini berbeda dengan perselisihan dalam masalah furu’ (cabang) yang memang terbuka untuk ijtihad.

Kesalahan umat terdahulu adalah mentransformasikan kejelasan menjadi ambiguitas, hanya demi mempertahankan kepentingan pribadi. Mereka menggunakan nalar yang canggih bukan untuk memahami, tetapi untuk memutarbalikkan. Mereka menciptakan dalih-dalih teologis untuk membenarkan *Baghy*. Ini menunjukkan bahwa nalar manusia, jika dilepaskan dari kendali moral, dapat menjadi alat paling berbahaya untuk menghancurkan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu terpampang jelas di hadapan mata.

XVIII. Pengamalan Hidayah dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana kaum beriman modern dapat mempraktikkan pelajaran dari 2:213? Hal ini dapat diringkas dalam beberapa langkah metodologis:

  1. Menghormati Asal Muasal Umat: Memandang semua manusia, terlepas dari perbedaan agama atau etnis, sebagai keturunan dari satu *Ummah Wāḥidah* yang memiliki fitrah yang sama.
  2. Merujuk kepada Sumber Primer: Dalam perselisihan yang fundamental, selalu kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah otentik sebagai Hakim yang tertinggi.
  3. Introspeksi *Baghy*: Sebelum berdebat atau mengkritik, tanyakan pada diri sendiri: Apakah motif saya didorong oleh kedengkian, ingin mendominasi, atau murni mencari wajah Allah?
  4. Penerimaan Hidayah *Bi Iznihi*: Menyertai setiap upaya ilmiah dan ijtihad dengan doa dan pengakuan bahwa keberhasilan dalam menemukan kebenaran adalah karunia Allah, bukan semata-mata kecerdasan diri.

Jika setiap Muslim menerapkan introspeksi terhadap potensi *Baghy* dalam hatinya, maka perselisihan dalam umat (khususnya *ikhtilaf* dalam ranah tafsir dan fiqh) akan berubah dari konflik yang memecah belah menjadi keragaman yang memperkaya, sesuai dengan janji Allah untuk membimbing mereka yang beriman kepada kebenaran yang diperselisihkan.

XIX. Penutup Epik: Sumpah Ketaatan Abadi

Ayat 213 berfungsi sebagai ringkasan kosmologis tentang perjuangan abadi antara kesatuan dan perpecahan, antara fitrah dan hawa nafsu. Ia menunjukkan bahwa meskipun perselisihan adalah bagian tak terhindarkan dari pengalaman manusia setelah kejatuhan dari kesatuan primordial, Allah telah memberikan jalan keluar yang sempurna. Kitab Suci adalah mercusuar, nabi adalah pemandu, dan *Baghy* adalah batu sandungan. Umat yang beriman adalah mereka yang bertekad melompati batu sandungan tersebut, menggunakan izin Ilahi, untuk kembali ke jalan yang lurus. Tugas umat manusia, dalam esensinya, adalah mempertahankan kesatuan yang telah diperselisihkan oleh generasi sebelumnya, dengan menjadikan Wahyu sebagai hakim mutlak atas segala nafsu dan kedengkian.

🏠 Kembali ke Homepage