Pendahuluan: Konteks Surah Al-Anfal
Surah Al-Anfal (Rampasan Perang) adalah surah Madaniyah yang diturunkan setelah peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu Perang Badar. Surah ini tidak hanya membahas hukum-hukum terkait pembagian harta rampasan, tetapi yang lebih fundamental, ia menetapkan prinsip-prinsip moral, etika perang, dan yang paling krusial, fondasi struktural masyarakat Islam yang baru terbentuk di Madinah. Ayat-ayat dalam surah ini berfungsi sebagai konstitusi awal yang mengatur hubungan antara individu, kelompok, dan negara.
Ayat 72 dari Surah Al-Anfal memiliki kedudukan yang sangat istimewa karena ia secara eksplisit mendefinisikan hubungan keimanan, emigrasi, perjuangan, dan loyalitas sosial. Ayat ini merupakan cetak biru bagi konsep Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan Islam) yang melampaui ikatan suku atau darah. Ia membagi kaum mukmin menjadi tiga kategori utama berdasarkan aksi dan komitmen mereka, menetapkan hak dan kewajiban masing-masing, terutama dalam hal bantuan dan perlindungan militer.
Memahami kedalaman makna ayat ini adalah kunci untuk memahami bagaimana Islam berhasil membangun sebuah negara yang kohesif dari komunitas pengungsi (Muhajirin) dan penolong (Ansar) yang secara sosiologis berbeda. Ayat ini mengajarkan bahwa ikatan akidah (iman) lebih kuat daripada ikatan silsilah, namun ikatan ini hanya sempurna jika disertai dengan pengorbanan nyata, baik melalui harta, jiwa, maupun tindakan nyata, terutama dalam konteks Hijrah dan Jihad.
Teks Suci dan Terjemahan Ayat 72
Ayat ini adalah salah satu ayat terpenting yang menjelaskan hukum *al-Wala’* (loyalitas/pertalian) dan *al-Barā’* (pemutusan hubungan) dalam Islam pada masa awal Madinah. Berikut adalah teks Arab dan terjemahan standarnya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain menjadi pelindung (walī). Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu untuk melindungi mereka sedikit pun sebelum mereka berhijrah. (Namun) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan) agama, maka wajib atasmu memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Mendalam: Analisis Struktural Ayat
Ayat 72 membagi komunitas mukmin menjadi tiga kelompok utama, mendefinisikan hak dan kewajiban hukum (*fiqhiyah*) serta sosial (*ijtima’iyyah*) mereka. Pembagian ini sangat penting untuk memahami prioritas loyalitas dalam negara Islam yang baru berdiri.
I. Kelompok Pertama: Muhajirin dan Ansar (Awliyā’u Ba‘ḍin)
Bagian pertama ayat ini mengikat dua kelompok dalam ikatan persahabatan dan loyalitas mutlak (*al-walā’*):
1. Karakteristik Muhajirin: Iman, Hijrah, dan Jihad
Ayat ini menyebutkan tiga prasyarat bagi para emigran (Muhajirin) yang mendapat loyalitas penuh: iman, hijrah, dan jihad dengan harta dan jiwa. Penggabungan tiga elemen ini menunjukkan bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dengan tindakan: meninggalkan negeri kufur (Hijrah) dan berjuang keras (Jihad).
Hijrah (Emigrasi): Hijrah di sini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan pemutusan total dari lingkungan kufur dan kesediaan untuk membangun masyarakat baru di bawah naungan syariat. Para ulama tafsir sepakat bahwa pada konteks awal Madinah, Hijrah adalah kewajiban yang menentukan status kewarganegaraan dan loyalitas penuh. Ibnu Katsir menekankan bahwa Hijrah adalah pemisahan diri total demi agama, melepaskan segala kemewahan dan ikatan yang dimiliki di Makkah.
Jihad bi Amwalihim wa Anfusihim (Jihad dengan Harta dan Jiwa): Ini menunjukkan bahwa pengorbanan tidak hanya bersifat fisik dalam medan perang (jiwa), tetapi juga finansial (harta). Jihad harta seringkali luput dari perhatian, padahal ia adalah tulang punggung logistik dan keberlanjutan perjuangan. Penyebutan keduanya secara berdampingan menuntut komitmen totalitas dari Muhajirin.
2. Karakteristik Ansar: Āwaw wa Naṣarū
Ansar adalah penduduk asli Madinah (Aus dan Khazraj) yang memenuhi dua kriteria utama:
- Āwaw (Memberikan tempat kediaman/shelter): Tindakan ini menunjukkan keramahan luar biasa, kesediaan berbagi sumber daya, properti, dan bahkan keluarga, seperti yang dicontohkan dalam kisah persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar. Mereka secara fisik menaungi para pengungsi.
- Naṣarū (Memberikan pertolongan/dukungan): Ini meliputi dukungan militer, politik, dan moral. Ansar tidak hanya menampung, tetapi juga berdiri teguh membela Rasulullah ﷺ dan Muhajirin melawan segala ancaman luar.
Kesimpulan Ikatan: Awliyā’u Ba‘ḍin (Saling Melindungi)
Puncak dari ikatan ini adalah kalimat: أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ (mereka itu satu sama lain menjadi pelindung/wali). Loyalitas ini bersifat timbal balik dan mutlak. Para ulama fikih (seperti Syafi’i dan Hanafi) pada awalnya memahami bahwa *walāyah* ini mencakup tiga aspek:
- Walayah an-Nusrah (Loyalitas Pertolongan): Kewajiban membela dalam perang.
- Walayah al-Muwassah (Loyalitas Dukungan Sosial): Kewajiban membantu secara finansial dan sosial.
- Walayah al-Irs (Loyalitas Warisan): Dalam hukum Islam awal, loyalitas ini bahkan menggantikan ikatan darah dalam hal warisan. (Perlu dicatat, hukum warisan ini kemudian diubah oleh Surah Al-Ahzab ayat 6 yang mengembalikan prioritas warisan kepada kerabat sedarah, tetapi loyalitas perlindungan tetap utuh).
Gambar 1: Struktur Loyalitas Muhajirin dan Ansar berdasarkan Al-Anfal 72.
II. Kelompok Kedua: Mukmin yang Tidak Berhijrah
Bagian kedua ayat ini memberikan batasan keras: وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُم مِّن وَلَايَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا (Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu untuk melindungi mereka sedikit pun sebelum mereka berhijrah).
Kelompok ini adalah mereka yang telah menerima iman dan berikrar syahadat, tetapi memilih untuk tetap tinggal di Darul Kufur (negeri non-Islam, dalam konteks ini Makkah sebelum Fath Makkah) karena alasan harta, keluarga, atau enggan berkorban. Mereka adalah mukmin secara akidah, tetapi gagal memenuhi kewajiban strukturalnya.
Pencabutan Walayah Pertahanan
Penolakan terhadap *Walayah* (loyalitas perlindungan) dari kelompok ini bersifat hukum dan militer. Mereka masih saudara seiman, tetapi mereka tidak berhak menuntut dukungan militer atau perlindungan negara Islam, karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembentukan dan pertahanan negara tersebut. Loyalitas yang dibatalkan di sini adalah Walayah al-Irs (warisan, secara historis) dan Walayah an-Nusrah (perlindungan pertahanan). Ini adalah prinsip fundamental: hak perlindungan penuh hanya diberikan kepada mereka yang berkorban dan bersatu dalam struktur pertahanan Ummah.
Imam At-Tabari menjelaskan bahwa selama mereka tinggal di wilayah musuh, harta mereka dianggap harta musuh, dan darah mereka tidak mendapat perlindungan seperti darah Muhajirin dan Ansar, karena mereka menempatkan diri mereka di bawah kekuasaan Darul Kufur. Kondisi ini berlaku Ḥattā yuhājirū (sampai mereka berhijrah).
III. Kewajiban Khusus: Pertolongan Agama (Istinṣārukum fī al-Dīn)
Meskipun mukmin yang tidak berhijrah dicabut hak pertahanan militernya, ayat ini segera menambahkan pengecualian yang sangat penting, yang mempertahankan inti persaudaraan keimanan:
وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ (Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan) agama, maka wajib atasmu memberikan pertolongan).
Klausul ini menetapkan bahwa jika seorang mukmin yang tidak berhijrah dianiaya atau disiksa karena keimanannya (misalnya, dipaksa murtad, atau dihalangi menjalankan ibadah), kaum Muslimin di Madinah wajib memberikan pertolongan. Pertolongan ini mungkin tidak selalu berbentuk serangan militer skala besar, tetapi bisa berupa diplomasi, pembebasan tawanan, atau bantuan kemanusiaan. Ini adalah manifestasi dari persaudaraan yang tak terpisahkan, di mana batas geografis tidak menghapuskan tanggung jawab agama.
Batasan Pertolongan: Penjagaan Perjanjian (Mīthāq)
Ayat 72 kemudian menambahkan batasan moral dan hukum yang sangat tinggi dalam Islam: إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ (kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka).
Ini adalah ajaran supremasi perjanjian dalam hukum Islam. Jika mukmin yang teraniaya berada di bawah kekuasaan suatu kaum (negara, suku) yang memiliki perjanjian damai (*mīthāq*) dengan negara Islam (Madinah), maka kewajiban pertolongan harus diukur agar tidak melanggar perjanjian yang sah tersebut. Melanggar janji demi menolong sekelompok individu, meskipun mereka mukmin, dapat memicu perang dan merusak stabilitas negara secara keseluruhan. Allah mengajarkan bahwa menjaga stabilitas dan kehormatan janji adalah prioritas yang tidak dapat dilanggar, bahkan demi solidaritas emosional. Ini menunjukkan kesempurnaan etika perang dan diplomasi Islam.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam penjelasannya tentang hadis-hadis terkait ayat ini, menegaskan bahwa memenuhi janji adalah salah satu sifat paling utama dari seorang mukmin. Janji yang dibuat dengan non-muslim yang damai harus dijaga, meskipun ada kerugian taktis atau kerugian dalam memberikan bantuan langsung kepada mukmin di bawah kekuasaan mereka.
Prinsip Ukhuwah Islamiyah dan Loyalitas (Wala')
Ayat 72 adalah teks utama yang mendefinisikan hubungan horizontal antar-Muslim. Konsep *al-walā’* dalam ayat ini melampaui sekadar persahabatan; ia adalah kontrak tanggung jawab timbal balik dalam dukungan sosial, ekonomi, dan militer. Loyalitas ini didasarkan pada tiga hal yang mendasar:
1. Prioritas Loyalitas Akidah
Ayat ini menetapkan bahwa loyalitas politik dan militer harus didasarkan pada kesediaan berkorban dan kesatuan aksi (Hijrah dan Jihad), bukan hanya pada pengakuan verbal terhadap iman. Ini membedakan antara loyalitas iman (yang wajib tetap ada, lihat poin bantuan agama) dan loyalitas struktural-politik (yang hanya dimiliki oleh Muhajirin dan Ansar).
Pilar ini memastikan bahwa negara Islam (Madinah) dibangun atas dasar orang-orang yang berkomitmen penuh, sehingga menghindari risiko infiltrasi atau kurangnya komitmen dari mereka yang masih terikat dengan Darul Kufur. Konsep ini mengajarkan bahwa menjadi warga negara yang utuh dalam komunitas mukmin memerlukan pemutusan ikatan prioritas dengan lingkungan non-mukmin yang hostile.
2. Kontrak Sosial Madinah
Ayat ini berfungsi sebagai penguatan konstitusional terhadap peristiwa bersejarah yang mendahuluinya, yaitu perjanjian persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar (*Mu’akhah*). Ketika Rasulullah ﷺ mempersaudarakan 45 pasang Muhajirin dan Ansar, persaudaraan ini bukan hanya simbolis, tetapi juga nyata, di mana Ansar membagi harta, kebun, bahkan terkadang istri (sebelum hukum syariat melarang hal itu). Ayat 72 memberikan dasar teologis bagi pengorbanan material tersebut, mengikat mereka dalam loyalitas pertahanan abadi.
Kisah-kisah pengorbanan seperti Sa'ad bin Rabi' yang menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf menjadi bukti nyata bahwa *al-walā’* yang diwajibkan ayat ini diimplementasikan secara total, menunjukkan bahwa komunitas Islam adalah entitas tunggal yang anggotanya menanggung beban satu sama lain.
3. Loyalitas yang Terikat oleh Perjanjian
Ayat 72 mengajarkan bahwa meskipun solidaritas internal adalah mutlak, ia tidak boleh menghancurkan kerangka kerja etika dan hukum internasional yang sah. Klausul tentang *mīthāq* (perjanjian) menunjukkan bahwa Islam menghormati janji yang dibuat dengan kaum non-muslim. Jika terjadi konflik antara loyalitas kepada saudara seiman yang berada di wilayah musuh dan janji damai yang dibuat dengan negara musuh tersebut, janji damai harus diutamakan.
Prinsip ini sangat penting dalam diplomasi. Jika negara Islam melanggar perjanjian setiap kali salah satu anggotanya dianiaya di wilayah perjanjian, perdamaian tidak akan pernah tercapai. Prioritas ini mengajarkan stabilitas negara dan penghormatan terhadap komitmen, kecuali jika pihak lain yang melanggar janji terlebih dahulu (yang dibahas dalam ayat-ayat lain Surah Al-Anfal).
Gambar 2: Keseimbangan Fikih antara Loyalitas Internal (Wala') dan Kewajiban Menjaga Perjanjian (Mīthāq).
Penerapan Fikih dan Hukum Kontemporer
Ayat 72, meskipun diturunkan dalam konteks spesifik Hijrah dari Makkah ke Madinah, menyimpan prinsip-prinsip hukum Islam yang relevan hingga hari ini, terutama mengenai status loyalitas antar-Muslim dan hubungan dengan negara non-Muslim.
1. Status Hukum Hijrah Setelah Fath Makkah
Sejumlah ulama, termasuk Imam Bukhari dan Muslim, mencatat hadis terkenal Rasulullah ﷺ: "Tidak ada lagi Hijrah setelah Fath Makkah (Penaklukan Makkah), kecuali Jihad dan niat."
Hadis ini mengubah status hukum Hijrah yang diwajibkan secara mutlak dalam Surah Al-Anfal 72. Setelah Makkah menjadi Darul Islam, kewajiban meninggalkan Makkah berakhir. Namun, para ulama modern menafsirkan bahwa meskipun kewajiban Hijrah spesifik (dari Makkah ke Madinah) telah berakhir, prinsip Hijrah spiritual dan moral tetap berlaku. Hijrah kini diartikan sebagai meninggalkan perbuatan maksiat, atau secara fisik, pindah dari suatu negeri di mana seorang Muslim tidak dapat menjalankan agamanya dengan bebas menuju negeri yang lebih kondusif.
Oleh karena itu, prinsip Walayah (loyalitas) kini tidak lagi bergantung pada perpindahan geografis, tetapi pada komitmen terhadap negara yang menerapkan syariat (atau komunitas Muslim yang berusaha menerapkannya) dan kesediaan untuk berkorban bagi Ummah.
2. Loyalitas dan Kewarganegaraan di Era Modern
Para sarjana fikih kontemporer menghadapi tantangan dalam menerapkan konsep *Walayah* dari Al-Anfal 72 dalam konteks negara bangsa modern, di mana Muslim sering hidup sebagai minoritas (di Darul Kufur) atau sebagai warga negara penuh (di Darul Islam atau Darul Sulh/Perjanjian).
- Mukmin Minoritas (Tanpa Hijrah): Muslim yang hidup sebagai minoritas di negara non-Muslim, dan mereka berkomitmen pada hukum negara tersebut (tidak dalam konflik militer). Menurut Ayat 72, mereka tidak memiliki Walayah pertahanan penuh dari negara Muslim global, tetapi Walayah ad-Dīn (loyalitas agama) tetap wajib. Artinya, negara-negara Muslim wajib melakukan upaya diplomatik atau kemanusiaan jika minoritas tersebut dianiaya karena keyakinan mereka, asalkan hal itu tidak melanggar perjanjian yang sah.
- Kewajiban Bantuan Agama: Prinsip ini menjadi landasan bagi kebijakan luar negeri negara-negara Muslim terkait perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan beragama bagi Muslim di seluruh dunia. Kewajiban bantuan (Nusrah) ini menuntut mobilisasi solidaritas global Ummah.
3. Penerapan Prinsip Mi’thaq (Perjanjian)
Prinsip menjaga perjanjian menjadi sangat sentral dalam hukum modern. Ayat 72 secara tegas melarang Negara Islam melanggar perjanjian damai demi memberikan bantuan militer kepada kelompok seiman di bawah yurisdiksi pihak perjanjian. Ini adalah dasar fikih bagi negara-negara Muslim untuk mematuhi traktat internasional dan menghormati batas-batas kedaulatan, kecuali jika perjanjian tersebut secara eksplisit dilanggar oleh pihak lain.
Ketaatan terhadap *mīthāq* yang diamanatkan dalam ayat ini adalah manifestasi dari keadilan Islam, yang menuntut keadilan bahkan terhadap musuh, apalagi terhadap pihak yang telah berjanji damai. Konsep ini menolak tindakan sepihak yang didorong oleh emosi keagamaan tanpa pertimbangan strategis dan hukum.
“Keputusan dalam Al-Anfal 72 untuk memprioritaskan perjanjian damai di atas bantuan langsung kepada mukmin yang teraniaya menunjukkan bahwa kestabilan dan komitmen etika negara di mata dunia luar adalah bagian integral dari hukum Islam. Melanggar janji adalah pengkhianatan, dan Islam melarang pengkhianatan, bahkan dalam situasi yang sulit.” – (Analisis Fikih Kontemporer terhadap ayat Wala’).
Hikmah dan Pelajaran Abadi dari Al-Anfal 72
Ayat 72 bukan sekadar catatan sejarah tentang dinamika antara Muhajirin dan Ansar. Ia mengandung pelajaran universal yang relevan bagi setiap komunitas Muslim, kapan pun dan di mana pun:
1. Pentingnya Pengorbanan Total
Ayat ini mengajarkan bahwa status loyalitas penuh dalam komunitas Islam tidak diperoleh hanya dengan ucapan, tetapi melalui pengorbanan konkret: harta, jiwa, dan komitmen meninggalkan zona nyaman (Hijrah/Jihad). Setiap Muslim diwajibkan untuk berpartisipasi aktif dalam memajukan Ummah, baik melalui dukungan finansial, intelektual, maupun fisik.
2. Kontrak Sosial yang Adil
Sistem *Walayah* yang diatur ini memastikan keadilan sosial. Mereka yang menanggung risiko paling besar (Muhajirin yang kehilangan segalanya dan Ansar yang berbagi segalanya) mendapatkan hak dan loyalitas tertinggi dalam komunitas. Ini mendorong tanggung jawab dan menghilangkan parasit dalam masyarakat. Mereka yang tidak mau berkorban, tidak berhak menuntut hak perlindungan tertinggi.
3. Solidaritas Melebihi Batas Suku
Ayat ini adalah pukulan telak terhadap fanatisme suku (*‘asabiyyah*) yang dominan di Arab pra-Islam. Loyalitas tertinggi diikat oleh iman dan pengorbanan, bukan oleh darah atau silsilah. Seorang Muhajir dari Quraisy memiliki ikatan yang lebih kuat dengan seorang Ansar dari Aus, daripada dengan pamannya yang masih kafir di Makkah. Ini adalah fondasi revolusioner bagi konsep negara berdasarkan ideologi, bukan etnis.
4. Keadilan dalam Konflik dan Perdamaian
Penekanan pada pemeliharaan perjanjian (Mīthāq) menunjukkan betapa pentingnya integritas dalam hubungan luar negeri. Islam menetapkan bahwa menjaga kata-kata dan komitmen adalah bagian dari iman, bahkan ketika situasi menuntut pengorbanan pribadi atau kelompok. Ayat ini menekankan bahwa tujuan luhur (menolong saudara) tidak membenarkan cara yang melanggar etika dan hukum (melanggar janji).
Kajian mendalam terhadap Surah Al-Anfal Ayat 72 mengungkapkan bahwa fondasi komunitas Muslim adalah kombinasi kompleks dari iman yang teguh, pengorbanan tanpa syarat, dan kerangka hukum yang adil. Loyalitas (*Walayah*) adalah dua sisi mata uang: hak perlindungan didapat melalui pemenuhan kewajiban perjuangan. Ayat ini tetap menjadi mercusuar bagi umat Islam global dalam mendefinisikan tanggung jawab mereka terhadap sesama, serta etika mereka dalam berinteraksi dengan dunia luar.
Ayat ini mengajarkan kepada setiap generasi Muslim bahwa tantangan terbesar bukanlah musuh dari luar, tetapi konsistensi dalam menerapkan komitmen yang telah diikrarkan. Ketaatan terhadap Hijrah (dalam makna modern, menjauh dari keburukan) dan Jihad (dalam makna modern, perjuangan menegakkan kebenaran) adalah kunci untuk menjadi bagian dari kelompok *Awliyā’u Ba‘ḍin*—kelompok yang saling melindungi dan bertanggung jawab atas nasib satu sama lain.
Oleh karena itu, prinsip yang terkandung dalam Al-Anfal 72 adalah panggilan abadi kepada seluruh umat untuk bersatu, berjuang dengan segala daya, dan membangun sistem sosial yang didasarkan pada keadilan, persaudaraan, dan komitmen moral, sekaligus menjunjung tinggi kehormatan perjanjian yang telah dibuat.
5. Analisis Linguistik dan Semantik Kata Kunci
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Ayat 72, kita perlu menelaah beberapa istilah kunci dalam bahasa Arab Al-Qur'an:
A. Makna *Al-Walāyah* (الْوَلَايَةِ)
Kata ini berasal dari akar kata W-L-Y, yang berarti dekat, mengikuti, atau bertanggung jawab. Dalam konteks ayat ini, *walāyah* mencakup makna: 1) Perlindungan (Nusrah); 2) Dukungan (Muwālah); dan secara historis, 3) Hak Waris (Irth). Ketika Allah berfirman أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ, ini berarti mereka adalah pihak yang paling berhak atas bantuan dan loyalitas satu sama lain, mengalahkan loyalitas kesukuan atau keluarga non-mukmin. Ayat ini secara efektif menciptakan struktur sosial baru di mana ikatan iman dan perjuangan adalah sumber *walāyah* yang sah.
Kontrasnya muncul pada frasa مَا لَكُم مِّن وَلَايَتِهِم مِّن شَيْءٍ (tidak ada kewajiban atasmu untuk melindungi mereka sedikit pun). Penggunaan *min shay’in* (sedikit pun) sangat tegas, menunjukkan penolakan total terhadap tanggung jawab pertahanan militer, meskipun hubungan keimanan tetap ada. Loyalitas pertahanan adalah hak eksklusif yang diperoleh melalui Hijrah dan Jihad.
B. Makna *Al-Mīthāq* (مِّيثَاقٌ)
*Mīthāq* merujuk pada perjanjian yang kuat, ikatan yang dikukuhkan dengan sumpah atau janji. Dalam hukum Islam (Fiqh Siyar), perjanjian damai (*mu’ahadah* atau *muwada’ah*) dengan kaum non-muslim adalah suci. Ayat ini mengajarkan prinsip *pacta sunt servanda* (perjanjian harus ditepati). Imam Al-Qurtubi dan Al-Razi menekankan bahwa integritas moral negara Islam sangat bergantung pada pemenuhan janji-janji ini. Melanggar perjanjian, meskipun dengan niat menolong saudara seiman, akan merusak reputasi dan memicu permusuhan yang tidak perlu, yang bertentangan dengan tujuan stabilitas Ummah.
6. Kontekstualisasi Sejarah: Kisah-Kisah Nyata di Balik Ayat
Ayat 72 menjadi sangat hidup ketika kita melihat bagaimana ia dipraktikkan oleh para sahabat:
A. Kisah Abu Jandal bin Suhail
Salah satu contoh paling menyakitkan dari penerapan prinsip *Mīthāq* adalah peristiwa setelah Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut, Rasulullah ﷺ menyepakati bahwa setiap penduduk Makkah yang datang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan. Ketika Abu Jandal, seorang Muslim yang disiksa, berhasil melarikan diri dan tiba di hadapan Rasulullah ﷺ dalam keadaan terluka, ia memohon pertolongan.
Meskipun jiwa Rasulullah ﷺ dan para sahabat sangat teriris melihat penderitaan Abu Jandal, Rasulullah ﷺ terpaksa mengembalikannya kepada ayahnya (Suhail bin Amr) karena telah terikat oleh perjanjian (Mīthāq). Penolakan ini, yang sejalan dengan Al-Anfal 72, menunjukkan bahwa keadilan dan pemenuhan janji diletakkan di atas emosi solidaritas sesaat, meskipun Abu Jandal dijanjikan pertolongan Allah di masa depan. Peristiwa ini menunjukkan betapa seriusnya klausul pengecualian dalam Ayat 72.
B. Keseimbangan Antara Walayah dan Nusrah
Ayat 72 memisahkan Walayah (perlindungan penuh) dari Nusrah (bantuan). Mereka yang tidak berhijrah dicabut Walayah penuh mereka (hak waris dan perlindungan militer otomatis), tetapi mereka tetap wajib diberikan Nusrah (bantuan agama) jika dianiaya. Pemisahan ini merupakan kejeniusan hukum Islam awal, yang memastikan bahwa: (a) Negara Islam memprioritaskan warga negara yang berkomitmen; dan (b) Persaudaraan akidah tidak pernah benar-benar putus.
Nusrah dalam konteks ini berarti menggunakan segala cara non-militer yang mungkin (diplomasi, tekanan ekonomi, sanksi moral, atau bahkan infiltrasi rahasia untuk menyelamatkan individu) selama tidak melanggar perjanjian damai yang lebih besar yang menjamin stabilitas komunitas Ummah secara keseluruhan.
7. Tafsir *Bimā Ta‘malūna Baṣīr* (Allah Maha Melihat)
Ayat 72 ditutup dengan janji sekaligus peringatan: وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan). Penutup ini bukan sekadar kalimat penutup standar, tetapi penguatan atas seluruh rangkaian hukum yang telah dijelaskan.
Makna mendalamnya adalah: Ketika para mukmin dihadapkan pada dilema moral yang sulit—apakah membantu saudara seiman yang menderita ataukah memelihara perjanjian dengan kaum yang mungkin menindas mereka—keputusan yang diambil harus didasarkan pada keikhlasan, keadilan, dan ketaatan pada hukum Allah, bukan demi keuntungan politik semata. Allah mengamati setiap keputusan yang diambil, baik dalam hal pengorbanan Muhajirin/Ansar, penolakan Walayah bagi yang tidak berhijrah, maupun ketegasan menjaga Mīthāq.
Penutup ini mengikat semua tindakan dalam kerangka tanggung jawab ilahi. Ini memastikan bahwa umat Islam tidak akan berdalih atau mengurangi kadar komitmen mereka terhadap Walayah, Nusrah, maupun Mi’thaq, karena mereka tahu bahwa Pengawas tertinggi (Allah) mengetahui motivasi terdalam di balik setiap tindakan.
8. Peran Surah Al-Anfal 72 dalam Doktrin Jihad
Jihad dalam ayat ini didefinisikan secara luas: بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ (dengan harta dan jiwanya). Ini mengajarkan bahwa Jihad adalah upaya totalitas yang mencakup dimensi ekonomi dan fisik. Ayat ini merupakan salah satu dalil kuat yang menentang pandangan sempit tentang Jihad yang hanya berfokus pada pertempuran fisik.
Selain itu, ayat ini membatasi kewajiban Jihad dalam konteks pertahanan. Negara Islam diwajibkan untuk membela sesama mukmin (Nusrah), tetapi kewajiban ini dibatalkan jika melanggar perjanjian. Ini menunjukkan bahwa Jihad memiliki batasan etika dan hukum yang ketat. Jihad tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar janji, yang merupakan salah satu dosa besar dalam Islam.
9. Nilai Moral dari Hijrah dan Ansar
Ayat ini mengabadikan dua tipe pengorbanan yang menjadi model bagi umat: pengorbanan melepaskan (Muhajirin) dan pengorbanan berbagi (Ansar).
- Muhajirin: Mereka mengajarkan nilai kerelaan meninggalkan kenyamanan, kekayaan, dan tanah air demi prinsip akidah. Mereka adalah simbol keimanan yang menempatkan agama di atas dunia.
- Ansar: Mereka mengajarkan nilai kemurahan hati yang ekstrem, berbagi bukan hanya kelebihan, tetapi bahkan kekurangan mereka. Mereka adalah simbol Ukhuwah yang otentik, membuktikan bahwa persaudaraan iman dapat melampaui keegoisan material.
Kombinasi kedua kelompok ini menciptakan sebuah masyarakat utopis di mana solidaritas berfungsi sebagai hukum tak tertulis yang melengkapi hukum yang tertulis. Ayat 72 adalah pengakuan ilahi atas pengorbanan kolektif tersebut, menjamin mereka mendapatkan status Walayah yang tertinggi di sisi Allah dan dalam masyarakat Muslim.
Pada akhirnya, Surah Al-Anfal Ayat 72 berdiri tegak sebagai landasan teologis dan jurisprudensial bagi pembangunan Ummah yang adil, solid, dan berintegritas. Ayat ini mengajarkan bahwa kekuatan Islam terletak pada komitmen nyata para pengikutnya dan kejujuran mereka dalam memenuhi janji, baik kepada sesama mukmin maupun kepada pihak lain yang damai.
10. Diskusi Filantropi dan Zakat dalam Konteks Walayah
Meskipun ayat ini berfokus pada Walayah pertahanan, implikasi ekonominya sangat luas. Jihad dengan harta bagi Muhajirin dan tindakan *Āwaw* (memberi tempat tinggal) oleh Ansar adalah bentuk filantropi Islam yang paling tinggi. Dalam sistem fikih yang diilhami oleh ayat ini, Zakat dan Infaq memiliki peran ganda: sebagai ibadah dan sebagai instrumen untuk memperkuat Walayah sosial. Harta yang dikeluarkan menjadi sarana untuk menghilangkan perbedaan kelas dan memastikan bahwa kaum mukmin yang berkorban tidak ditinggalkan dalam kesulitan.
Para ulama seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa komitmen Jihad dengan harta yang disebutkan di sini tidak berakhir dengan berakhirnya perang. Ini adalah kewajiban berkelanjutan bagi umat Islam yang memiliki kemampuan finansial untuk mendukung perjuangan dan kebutuhan saudara seiman yang lebih lemah, terutama mereka yang menjadi korban penganiayaan atau konflik. Dengan demikian, Walayah yang diwajibkan dalam ayat 72 menjadi payung bagi semua bentuk bantuan kemanusiaan dan pembangunan yang bertujuan menyatukan barisan Ummah.
Jika kita melihat krisis pengungsi modern, konsep *Āwaw* dan *Naṣarū* dari Ansar menjadi model etika yang tak lekang waktu. Negara atau komunitas Muslim yang mampu secara ekonomi memiliki kewajiban moral, yang diindikasikan oleh semangat ayat ini, untuk tidak hanya menampung tetapi juga mengintegrasikan dan mendukung saudara-saudara mereka yang terpaksa berhijrah karena konflik atau penindasan. Kegagalan dalam melakukan hal ini dianggap sebagai kegagalan dalam mewujudkan Walayah yang diperintahkan oleh Allah.
11. Perbandingan dengan Ayat-ayat Loyalitas Lainnya
Ayat 72 seringkali dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang membahas loyalitas, seperti Al-Maidah ayat 51 (larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin/wali). Perbedaan kuncinya adalah bahwa Al-Anfal 72 berfokus pada definisi loyalitas internal komunitas mukmin berdasarkan pengorbanan dan komitmen Hijrah/Jihad, sedangkan Al-Maidah 51 dan sejenisnya berfokus pada batas loyalitas eksternal dalam konteks politik dan pertahanan. Ayat 72 memberikan batasan yang lebih nuansif: seorang mukmin yang tidak berhijrah (masih saudara seiman) tetap tidak mendapatkan Walayah pertahanan penuh, apalagi non-mukmin yang tidak terikat perjanjian.
Ayat ini menunjukkan bahwa struktur negara Islam (atau komunitas Muslim yang berdaya) harus dibangun di atas fondasi komitmen penuh. Meskipun Islam mengajarkan keadilan dan kebaikan terhadap semua manusia (termasuk non-muslim yang damai, sesuai Al-Mumtahanah 8), Walayah (loyalitas pertahanan dan politik) adalah hak istimewa yang harus diperjuangkan dan dilindungi.
12. Hikmah Keadilan terhadap Non-Mukmin dalam Perjanjian
Klausul *Mīthāq* dalam Ayat 72 adalah bukti keagungan syariat Islam. Islam tidak pernah mengajarkan pengkhianatan (*ghadr*). Jika seorang pemimpin Muslim atau negara Muslim melanggar perjanjian, hal itu akan menciptakan kekacauan dan kehilangan kepercayaan. Allah dengan tegas menyatakan bahwa jika ada perjanjian yang sah, perjanjian itu harus dihormati, meskipun ada kerugian bagi sebagian kelompok mukmin. Ini adalah pelajaran abadi tentang pentingnya etika politik dalam Islam: janji adalah utang, dan integritas adalah lebih tinggi dari taktik jangka pendek.
Jika kita merenungkan situasi di mana kaum mukmin yang teraniaya berada di bawah yurisdiksi musuh yang damai, Ayat 72 memberikan solusi diplomatik dan non-militer. Bantuan wajib diberikan (*Nusrah*), tetapi caranya harus sah dan tidak melanggar *Mīthāq*. Ini membuka pintu bagi negosiasi, pembelian tawanan, atau tekanan moral global, tanpa harus memicu perang yang lebih besar yang dapat membahayakan stabilitas ribuan mukmin lainnya.
13. Relevansi Ayat 72 bagi Diaspora Muslim
Dalam konteks modern di mana banyak Muslim hidup sebagai diaspora di negara-negara Barat, konsep Ayat 72 mengalami interpretasi baru. Walaupun Hijrah secara fisik dari "negeri kufur" kini tidak lagi wajib secara umum, para ulama menegaskan bahwa yang wajib adalah Hijrah dari maksiat dan menegakkan prinsip-prinsip Islam sejauh mungkin di tempat tinggal mereka.
Bagi Muslim diaspora, pesan ayat ini adalah: (a) Keterlibatan aktif dalam menegakkan kebaikan dan mendukung saudara seiman (mencontoh semangat Jihad dan Nusrah); (b) Menjaga loyalitas utama kepada Ummah dalam hal akidah dan moral; dan (c) Mematuhi perjanjian dan hukum negara tempat mereka tinggal (mencontoh semangat Mīthāq), asalkan tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat.
Solidaritas (Walayah) modern diwujudkan melalui lembaga-lembaga amal, gerakan advokasi, dan jaringan sosial yang memastikan bahwa ikatan persaudaraan tidak hilang hanya karena jarak geografis. Mereka yang berjuang untuk agama, baik dengan dakwah, harta, atau upaya sipil, adalah penerus Muhajirin dan Ansar di zaman ini, dan mereka berhak mendapatkan dukungan penuh dari komunitas Muslim global.