Sholawat Asnawiyah: Gema Cinta Rasul dan Spirit Kebangsaan

Ilustrasi Menara Kudus Sebuah ilustrasi Menara Kudus, simbol kota asal KH. Raden Asnawi, penggubah Sholawat Asnawiyah.

Ilustrasi Menara Kudus, simbol kota asal dan perjuangan KH. Raden Asnawi.

Pengantar: Melodi Rindu dari Tanah Para Wali

Di antara hamparan khazanah spiritual Islam Nusantara, terdapat untaian-untaian doa dan pujian kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai sholawat. Setiap sholawat memiliki warna, aroma, dan ruhnya tersendiri, yang mencerminkan kedalaman cinta, harapan, dan konteks zaman sang penggubahnya. Salah satu mutiara sholawat yang lahir dari rahim bumi pertiwi, khususnya dari kota Kudus yang dijuluki "Kota Kretek" dan "Kota Santri", adalah Sholawat Asnawiyah. Sholawat ini bukan sekadar lantunan puji-pujian biasa. Ia adalah rekaman jejak sejarah, cerminan spirit perjuangan, dan pancaran cahaya keilmuan seorang ulama besar yang namanya terpatri abadi dalam sanubari umat: Kiai Haji Raden Asnawi.

Sholawat Asnawiyah mengalun dengan lirik yang sederhana namun sarat makna, mudah dihafal namun menyimpan kedalaman teologis yang luar biasa. Ia menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan hati para pelantunnya langsung kepada hadirat Rasulullah SAW, seraya memohon curahan rahmat dan keberkahan dari Allah SWT. Lebih dari itu, sholawat ini juga menyiratkan semangat kebangsaan dan doa untuk keselamatan negeri, sebuah refleksi dari kehidupan sang penggubah yang tak pernah lepas dari perjuangan membela agama dan negara. Mempelajari Sholawat Asnawiyah berarti menyelami samudra kearifan ulama Nusantara, memahami bagaimana ajaran Islam yang luhur dapat menyatu dengan denyut nadi keindonesiaan, serta merasakan getaran cinta yang tulus kepada Sang Nabi Akhir Zaman.

Sosok di Balik Sholawat: Biografi Singkat KH. Raden Asnawi Kudus

Untuk memahami jiwa dari Sholawat Asnawiyah, kita harus terlebih dahulu mengenal sang empunya, KH. Raden Asnawi. Beliau adalah seorang ulama besar, pejuang kemerdekaan, dan salah satu tokoh sentral dalam pendirian jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Dilahirkan di desa Damaran, Kudus, beliau tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius. Ayahnya, H. Abdullah Husnin, dan ibunya, Raden Sarbinah, adalah keturunan dari para pembesar dan ulama, yang silsilahnya bahkan disebut-sebut bersambung hingga ke Sunan Kudus (Sayyid Ja'far Shadiq).

Perjalanan intelektual dan spiritual KH. R. Asnawi dimulai sejak usia belia. Beliau mengaji di berbagai pondok pesantren terkemuka di Jawa, seperti Pesantren Kasingan Rembang di bawah asuhan KH. Kholil Harun, Pesantren Buntet Cirebon, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah bimbingan langsung Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari. Dahaga akan ilmu membawanya berkelana hingga ke Tanah Suci Mekkah Al-Mukarramah. Di sana, beliau menimba ilmu dari para ulama besar Hijaz, seperti Syekh Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Kholil al-Bangkalani (saat di Mekkah). Pengembaraan ilmu ini menempa beliau menjadi seorang alim yang memiliki kedalaman ilmu yang mumpuni dalam berbagai disiplin, mulai dari Fiqih, Tafsir, Hadits, hingga Tasawuf.

Sekembalinya ke tanah air, KH. R. Asnawi tidak hanya berdiam diri. Beliau terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat. Beliau mendirikan Madrasah Qudsiyyah di Kudus, sebuah lembaga pendidikan yang menjadi mercusuar ilmu dan kaderisasi ulama di pesisir utara Jawa. Namun, perjuangan beliau tidak terbatas pada mimbar dan pengajaran di madrasah. Di era kolonialisme Belanda, beliau adalah singa podium yang tak kenal takut. Ceramah-ceramahnya yang berapi-api membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah, meneguhkan identitas keislaman dan kebangsaan. Keberaniannya ini membuatnya sering berurusan dengan pemerintah kolonial, bahkan hingga merasakan dinginnya jeruji besi.

Peran monumental lainnya adalah keterlibatan beliau dalam Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal lahirnya Nahdlatul Ulama. Bersama KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Chasbullah, dan para kiai sepuh lainnya, beliau turut membidani lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Beliau adalah representasi ulama yang 'alim (berilmu), 'amil (mengamalkan ilmunya), dan mujahid (pejuang). Dalam pribadi beliau, menyatu tiga pilar utama: keilmuan yang kokoh, spiritualitas yang mendalam, dan semangat nasionalisme yang membara. Dari rahim kepribadian yang agung inilah, Sholawat Asnawiyah lahir, membawa serta warisan spiritual dan semangat perjuangan beliau yang tak pernah padam.

Teks Lengkap Sholawat Asnawiyah: Arab, Latin, dan Terjemahan

Berikut adalah teks lengkap dari Sholawat Asnawiyah yang menjadi amalan dan wirid bagi banyak kaum muslimin, khususnya di lingkungan Nahdliyin. Disajikan dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk mempermudah pelafalan, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk memahami maknanya.

يَا رَبِّ صَلِّ عَلَى رَسُوْلِ
مُحَمَّدٍ سِرِّ الْعُلَا
وَالْأَنْبِيَا وَالْمُرْسَلِيْنَ
الْغُرِّ خَتْمًا أَوَّلَا

Yâ Robbi sholli ‘alâ Rosûli
Muhammadin sirril ‘ulâ
Wal anbiyâ wal mursalîna
l-ghurri khotman awwalâ

Wahai Tuhanku, limpahkanlah rahmat kepada sang Rasul,
Yakni Muhammad, rahasia keluhuran.
Juga kepada para nabi dan para rasul,
Yang mulia, sebagai penutup dan permulaan.

يَا رَبِّ نَوِّرْ قَلْبَنَا
بِنُوْرِ قُرْآنٍ جَلَا
وَافْتَحْ لَنَا بِدَرْسِ عِلْمٍ
أَنْبِيَاكَ الْأُصْفِيَا

Yâ Robbi nawwir qolbanâ
Binûri qur-ânin jalâ
Waftah lanâ bidarsi ‘ilmin
Anbiyâkal ashfiyâ

Wahai Tuhanku, terangilah hati kami,
Dengan cahaya Al-Qur'an yang nyata.
Dan bukakanlah bagi kami dengan pelajaran ilmu,
(Ilmu) para nabi-Mu yang suci.

صَلِّ سِيَامِي وَصَلَاتِي
وَكَذَا حَجِّي اَقْبَلَا
وَصُحْبَةِ الْأَخْيَارِ كُنْ لِي
يَا إِلٰهِي مُقْبِلَا

Sholli siyâmî wa sholâtî
Wa kadzâ hajjî aqbalâ
Wa shuhbatil akhyâri kun lî
Yâ Ilâhî muqbilâ

(Ya Allah) Perbaikilah puasaku dan shalatku,
Demikian pula, terimalah hajiku.
Dan jadikanlah aku senantiasa bersama orang-orang pilihan,
Wahai Tuhanku, kabulkanlah.

Tafsir dan Makna Mendalam Bait per Bait

Keindahan Sholawat Asnawiyah tidak hanya terletak pada iramanya yang syahdu, tetapi terutama pada kedalaman makna yang terkandung dalam setiap baitnya. Mari kita selami samudra kearifan di balik untaian kata-katanya.

Bait Pertama: Fondasi Tauhid dan Risalah

Yâ Robbi sholli ‘alâ Rosûli, Muhammadin sirril ‘ulâ
Wal anbiyâ wal mursalîna, l-ghurri khotman awwalâ

Bait pembuka ini adalah inti dari akidah Islam. Dimulai dengan seruan "Yâ Robbi" (Wahai Tuhanku), sebuah pengakuan akan posisi hamba yang hina di hadapan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ini adalah adab dalam berdoa, mengakui rububiyah Allah sebelum memohon apapun. Kemudian, permohonan pertama yang dipanjatkan bukanlah untuk diri sendiri, melainkan untuk makhluk termulia, dengan kalimat "sholli ‘alâ Rosûli" (limpahkanlah rahmat kepada sang Rasul). Ini mengajarkan kita bahwa pintu untuk mendekat kepada Allah adalah melalui kecintaan kepada utusan-Nya. Bersholawat adalah manifestasi cinta dan pengakuan atas jasa agung Rasulullah SAW.

Frasa "Muhammadin sirril ‘ulâ" (Muhammad, rahasia keluhuran) adalah puncak pujian dalam bait ini. Ini bukan sekadar menyebut nama. Kata "sirr" (rahasia) menunjukkan bahwa keluhuran dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW memiliki dimensi batiniah yang tak terhingga, sebuah rahasia ilahi yang hanya Allah yang mengetahui sepenuhnya. Beliau adalah manifestasi terindah dari sifat-sifat kesempurnaan Tuhan di alam semesta. Keluhuran akhlaknya, kedalaman ilmunya, dan keagungan risalahnya adalah rahasia dari segala keluhuran yang bisa dicapai oleh manusia.

Selanjutnya, sholawat ini tidak berhenti pada Nabi Muhammad saja, tetapi juga mencakup "Wal anbiyâ wal mursalîna" (Dan kepada para nabi dan para rasul). Ini adalah cerminan dari akidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang mengimani seluruh nabi dan rasul tanpa membeda-bedakan. Ini menunjukkan universalitas ajaran Islam yang merupakan kelanjutan dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Kata "al-ghurri" yang berarti "yang mulia" atau "yang bercahaya wajahnya" memberikan penghormatan tertinggi kepada mereka.

Kalimat penutup "khotman awwalâ" (sebagai penutup dan permulaan) mengandung makna filosofis yang dalam. Nabi Muhammad SAW adalah "Khatam an-Nabiyyin", penutup para nabi secara syariat dan kenabian. Namun, secara hakikat (Nur Muhammad), beliau adalah "awwal", yang pertama kali diciptakan oleh Allah sebelum segala sesuatu. Bait ini secara ringkas merangkum seluruh pilar keimanan kepada para rasul, dari yang pertama hingga yang terakhir, dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW pada posisi sentral sebagai rahasia segala keluhuran.

Bait Kedua: Permohonan Cahaya Ilmu dan Petunjuk

Yâ Robbi nawwir qolbanâ, binûri qur-ânin jalâ
Waftah lanâ bidarsi ‘ilmin, Anbiyâkal ashfiyâ

Setelah memantapkan fondasi akidah, sholawat ini beralih ke permohonan untuk pencerahan batin. Seruan "Yâ Robbi nawwir qolbanâ" (Wahai Tuhanku, terangilah hati kami) adalah doa yang sangat fundamental. Hati (qalb) adalah pusat kehidupan spiritual. Hati yang gelap dipenuhi keraguan, was-was, dan penyakit-penyakit batin. Sedangkan hati yang terang akan memancarkan keimanan, ketenangan, dan kearifan. Doa ini adalah permohonan agar Allah membersihkan dan menerangi wadah spiritual kita.

Bagaimana cara menerangi hati? Jawabannya ada di baris selanjutnya: "binûri qur-ânin jalâ" (dengan cahaya Al-Qur'an yang nyata). KH. R. Asnawi menegaskan bahwa sumber cahaya sejati untuk hati adalah Al-Qur'an. Bukan sekadar cahaya dari membacanya, tetapi cahaya dari memahami, merenungi (tadabbur), dan mengamalkan isi kandungannya. Kata "jalâ" (yang nyata/jelas) mengisyaratkan bahwa petunjuk Al-Qur'an itu terang benderang, tidak ada keraguan di dalamnya bagi orang-orang yang bertakwa.

Permohonan dilanjutkan dengan "Waftah lanâ bidarsi ‘ilmin" (Dan bukakanlah bagi kami dengan pelajaran ilmu). Ini adalah doa agar diberi kemudahan dalam menuntut ilmu. Kata "iftah" (bukakanlah) menyiratkan bahwa ilmu adalah pintu-pintu yang terkunci yang hanya bisa dibuka dengan pertolongan Allah. Tanpa taufiq dan hidayah-Nya, secerdas apapun seseorang, ia tidak akan mampu meraih ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi'). Ini adalah refleksi dari kerendahan hati seorang penuntut ilmu.

Ilmu seperti apa yang diminta? Jawabannya sangat spesifik: "Anbiyâkal ashfiyâ" ([ilmu] para nabi-Mu yang suci/pilihan). Ini bukan sembarang ilmu. Ini adalah permohonan untuk mewarisi ilmu para nabi, yaitu ilmu yang mengantarkan kepada pengenalan (ma'rifat) dan ketakutan (khasyyah) kepada Allah. Ini adalah ilmu yang membersihkan jiwa, meluruskan akhlak, dan bermanfaat bagi umat. Para ulama adalah pewaris para nabi (al-ulama waratsatul anbiya), dan doa ini adalah permohonan agar kita dimasukkan ke dalam barisan para pewaris mulia tersebut.

Bait Ketiga: Doa untuk Kesempurnaan Ibadah dan Lingkungan yang Baik

Sholli siyâmî wa sholâtî, wa kadzâ hajjî aqbalâ
Wa shuhbatil akhyâri kun lî, Yâ Ilâhî muqbilâ

Bait terakhir ini memuat permohonan yang sangat praktis dan relevan bagi kehidupan seorang hamba. Dimulai dengan "Sholli siyâmî wa sholâtî". Secara harfiah, "sholli" berarti "perbaikilah" atau "sempurnakanlah". Ini adalah sebuah pengakuan bahwa ibadah puasa (siyam) dan shalat kita penuh dengan kekurangan. Kita memohon kepada Allah untuk menambal segala cacat dan kelalaian dalam ibadah kita, agar ibadah tersebut menjadi berkualitas dan diterima di sisi-Nya. Ini adalah puncak tawadhu', di mana setelah berusaha beribadah, kita tetap menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah.

Permohonan ini diperluas kepada ibadah haji, "wa kadzâ hajjî aqbalâ" (demikian pula, terimalah hajiku). Haji adalah puncak dari rukun Islam, sebuah perjalanan spiritual yang agung. Doa agar haji diterima (maqbul) adalah dambaan setiap muslim yang menunaikannya. Menyebutkan tiga pilar ibadah utama (shalat, puasa, haji) menunjukkan betapa pentingnya kualitas ibadah ritual dalam membangun hubungan vertikal dengan Allah SWT.

Namun, kesalehan individual tidaklah cukup. Islam adalah agama sosial. Oleh karena itu, doa dilanjutkan dengan permohonan yang bersifat hubungan horizontal: "Wa shuhbatil akhyâri kun lî" (Dan jadikanlah aku senantiasa bersama orang-orang pilihan). "Shuhbah" berarti persahabatan, pertemanan, atau lingkungan pergaulan. "Al-akhyar" adalah jamak dari "khair", artinya orang-orang yang baik, saleh, dan terpilih. Ini adalah doa yang sangat penting. Seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Berteman dengan orang saleh akan membawa kita pada kesalehan, sementara bergaul dengan orang yang buruk dapat menjerumuskan kita. KH. R. Asnawi mengajarkan kita untuk memohon kepada Allah agar selalu ditempatkan dalam lingkungan yang baik, yang mendukung ketaatan dan menjauhkan dari kemaksiatan.

Sholawat ini ditutup dengan seruan pasrah yang tulus, "Yâ Ilâhî muqbilâ" (Wahai Tuhanku, kabulkanlah). Setelah memanjatkan segala puji dan permohonan, akhir dari doa adalah penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah, dengan harapan besar bahwa semua doa tersebut akan diijabah oleh-Nya. Ini adalah penutup yang sempurna, menyatukan antara ikhtiar (dalam berdoa) dan tawakal (dalam menerima hasilnya).

Fadhilah dan Keutamaan Mengamalkan Sholawat Asnawiyah

Setiap sholawat yang digubah oleh para ulama yang ikhlas dan memiliki kedekatan dengan Allah SWT diyakini memiliki fadhilah (keutamaan) dan keberkahan tersendiri. Meskipun keutamaan utama dari semua sholawat adalah untuk mendapatkan syafaat Rasulullah SAW dan rahmat dari Allah, Sholawat Asnawiyah, berdasarkan kandungan doa di dalamnya, diyakini memiliki beberapa keutamaan spesifik, antara lain:

Tentu saja, semua fadhilah ini akan terwujud atas izin Allah SWT dan harus diiringi dengan niat yang tulus, keyakinan yang kuat, serta ikhtiar lahiriah dalam memperbaiki diri dan amalan sehari-hari.

Relevansi Sholawat Asnawiyah di Era Modern

Di tengah derasnya arus modernisasi dan tantangan zaman yang semakin kompleks, Sholawat Asnawiyah tidak kehilangan relevansinya. Justru, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya semakin terasa dibutuhkan.

Pertama, sebagai benteng spiritual. Di era digital yang penuh dengan distraksi dan informasi yang simpang siur, hati mudah menjadi gelisah dan kering. Melantunkan Sholawat Asnawiyah dapat menjadi oase yang menyejukkan jiwa, mengingatkan kembali pada tujuan hidup yang hakiki, dan menyambungkan kembali koneksi spiritual dengan Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, sebagai pedoman dalam menuntut ilmu. Krisis adab seringkali lebih berbahaya daripada krisis ilmu. Sholawat ini mengajarkan adab tertinggi dalam belajar: memohon pertolongan Allah, berniat mewarisi ilmu para nabi yang berlandaskan akhlak, bukan sekadar ilmu untuk mengejar materi atau gengsi. Ini adalah pengingat penting bagi para pelajar, mahasiswa, dan siapa pun yang berada di jalan ilmu.

Ketiga, sebagai peneguh identitas keislaman dan kebangsaan. Sholawat Asnawiyah adalah produk asli ulama Nusantara. Mengamalkannya berarti turut serta merawat dan melestarikan warisan intelektual dan spiritual para pendahulu bangsa. Ia adalah bukti bahwa Islam di Indonesia memiliki akar yang kuat, yang mampu memadukan antara kesalehan ritual, kedalaman spiritual, dan semangat cinta tanah air.

Penutup: Warisan Abadi Sang Kiai Pejuang

Sholawat Asnawiyah adalah sebuah mahakarya spiritual yang ringkas namun padat makna. Ia lebih dari sekadar untaian kata; ia adalah sari pati dari kehidupan, keilmuan, dan perjuangan KH. Raden Asnawi Kudus. Setiap baitnya adalah doa, setiap kalimatnya adalah pelajaran, dan setiap lantunannya adalah getaran cinta kepada Sang Nabi Agung.

Melalui sholawat ini, kita diajak untuk meneguhkan kembali pilar-pilar akidah, memohon cahaya untuk menerangi kalbu dengan Al-Qur'an, berdoa agar dibukakan pintu ilmu para nabi, serta memohon kesempurnaan ibadah dan lingkungan yang baik. Ia adalah paket doa yang komprehensif, mencakup hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama. Mengamalkan dan merenungi maknanya adalah salah satu cara terbaik untuk meneladani semangat para ulama Nusantara dan menyambungkan sanad spiritual kita kepada mereka, hingga sampai kepada Baginda Rasulullah SAW. Semoga kita semua tergolong sebagai pecinta beliau dan mendapatkan syafaatnya di hari kemudian. Aamiin.

🏠 Kembali ke Homepage