Memahami Shalat Tarawih 11 Rakaat

Ilustrasi shalat tarawih di malam Ramadhan

Keheningan malam Ramadhan dihiasi dengan ibadah, mencari kedekatan dengan Sang Pencipta.

Pendahuluan: Cahaya Malam Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah anugerah terindah bagi umat Islam di seluruh dunia. Ia bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah madrasah spiritual yang mendidik jiwa untuk kembali kepada fitrahnya yang suci. Salah satu amalan yang menjadi ikon dan primadona di bulan suci ini adalah shalat Tarawih. Shalat yang dikerjakan pada malam-malam Ramadhan ini memiliki keutamaan yang luar biasa, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."

Ketika berbicara tentang shalat Tarawih, salah satu topik yang sering menjadi pembahasan adalah jumlah rakaatnya. Di tengah masyarakat, kita bisa menemukan praktik yang beragam, mulai dari 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir (total 11 rakaat), hingga 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir (total 23 rakaat), bahkan lebih dari itu di beberapa tempat. Perbedaan ini, meskipun terkadang memicu diskusi, sesungguhnya merupakan bagian dari khazanah kekayaan fikih Islam yang menunjukkan kelapangan dalam beribadah. Artikel ini akan fokus untuk mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai pelaksanaan shalat Tarawih 11 rakaat, menelusuri dasar hukumnya dari sunnah Nabi, melihat jejak historisnya, memahami tata cara pelaksanaannya, serta merenungi hikmah di baliknya.

Tujuan dari pembahasan ini bukanlah untuk menyalahkan atau merendahkan praktik lain, melainkan untuk memberikan pemahaman yang utuh dan kuat bagi mereka yang memilih untuk mengikuti praktik shalat Tarawih 11 rakaat. Dengan pemahaman yang kokoh, diharapkan ibadah yang kita lakukan menjadi lebih mantap, khusyuk, dan didasari oleh ilmu yang bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, teladan terbaik bagi seluruh umat manusia.

Dasar Hukum dan Dalil Utama Shalat 11 Rakaat

Landasan utama bagi pelaksanaan shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat (8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir) bersumber langsung dari praktik shalat malam (Qiyamullail) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat Tarawih pada hakikatnya adalah Qiyamullail yang dikhususkan pelaksanaannya di bulan Ramadhan. Dalil yang paling kuat dan menjadi rujukan utama dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Ketika beliau ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman mengenai bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, Aisyah radhiyallahu ‘anha memberikan jawaban yang sangat jelas dan tegas. Jawaban ini terekam dalam kitab hadits paling shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah (shalat malam) di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian, beliau shalat lagi empat rakaat, dan janganlah engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian, beliau shalat tiga rakaat." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memiliki beberapa poin penting yang perlu kita bedah secara mendalam:

  1. Konsistensi Jumlah Rakaat: Pernyataan Aisyah, "tidak pernah menambah... lebih dari sebelas rakaat," menunjukkan sebuah konsistensi dari praktik Nabi. Ini adalah jumlah maksimal yang biasa beliau kerjakan, baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Penggunaan kata "tidak pernah" (مَا كَانَ ... يَزِيدُ) mengisyaratkan sebuah kebiasaan yang terjaga.
  2. Kualitas di Atas Kuantitas: Kalimat "janganlah engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya" (فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ) adalah penekanan yang luar biasa pada aspek kualitas. Ini bukan sekadar shalat 11 rakaat biasa, melainkan shalat yang dikerjakan dengan tuma'ninah (ketenangan), kekhusyukan, bacaan yang panjang dan merdu, serta ruku' dan sujud yang sempurna. Ini menjadi pelajaran penting bahwa esensi dari shalat malam adalah kualitas penghambaan, bukan sekadar mengejar jumlah rakaat.
  3. Formasi Shalat: Hadits ini juga memberikan gambaran mengenai salah satu formasi yang dilakukan oleh Nabi, yaitu 4 rakaat, kemudian 4 rakaat, dan ditutup dengan 3 rakaat witir. Para ulama menjelaskan bahwa pelaksanaan 4 rakaat ini dilakukan dengan satu kali salam di rakaat keempat, bukan dua salam setiap dua rakaat. Ini adalah salah satu cara yang sah dalam melaksanakannya.

Selain hadits dari Aisyah, terdapat riwayat lain yang juga menguatkan jumlah rakaat ini, meskipun dengan formasi yang berbeda. Salah satunya adalah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menceritakan pengalamannya menginap di rumah bibinya, Maimunah (istri Nabi), dan melihat langsung shalat malam Rasulullah. Dalam riwayat tersebut, Ibnu Abbas menggambarkan bahwa Nabi shalat dua rakaat, lalu dua rakaat, berulang kali hingga totalnya menjadi sebelas rakaat termasuk witir. Ini menunjukkan adanya variasi formasi, namun jumlah totalnya tetap konsisten pada angka sebelas.

Dari dalil-dalil ini, para ulama menyimpulkan bahwa 11 rakaat adalah jumlah yang paling sesuai dengan sunnah (petunjuk dan praktik) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah pilihan yang paling otentik dan paling kuat sandarannya jika tujuan kita adalah meneladani ibadah Nabi secara presisi. Memilih untuk melaksanakan shalat Tarawih 11 rakaat adalah sebuah upaya untuk menghidupkan sunnah beliau di malam-malam Ramadhan yang penuh berkah.

Jejak Historis: Dari Masa Nabi hingga Kini

Memahami sejarah pelaksanaan shalat Tarawih memberikan kita perspektif yang lebih luas tentang bagaimana ibadah ini berkembang. Praktik 11 rakaat memiliki akar yang sangat kuat sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di Masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid. Hal ini terjadi selama beberapa malam. Para sahabat yang melihat beliau shalat, ikut serta bermakmum di belakangnya. Malam pertama, jumlah jamaah masih sedikit. Malam kedua, jumlahnya bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, masjid menjadi penuh sesak oleh para sahabat yang antusias untuk shalat bersama Nabi.

Namun, melihat semangat yang begitu besar dari para sahabat, Rasulullah justru tidak keluar ke masjid pada malam berikutnya. Pagi harinya, beliau menjelaskan alasannya, "Sesungguhnya aku melihat apa yang kalian lakukan (semalam). Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, kecuali aku khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari peristiwa ini, kita bisa mengambil beberapa pelajaran. Pertama, shalat Tarawih berjamaah di masjid adalah sesuatu yang disyariatkan dan dicontohkan langsung oleh Nabi. Kedua, karena rasa kasih sayang beliau yang begitu besar kepada umatnya, beliau khawatir jika amalan ini terus-menerus dilakukan secara berjamaah, Allah akan mewajibkannya, sehingga akan memberatkan umatnya di kemudian hari. Setelah itu, hingga akhir hayat beliau, shalat Tarawih kembali dilakukan oleh para sahabat secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil di masjid.

Di Masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu

Setelah Rasulullah wafat dan masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, kondisi pelaksanaan shalat Tarawih masih sama seperti di akhir masa Nabi. Barulah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, sebuah perubahan signifikan terjadi. Suatu malam di bulan Ramadhan, Umar masuk ke masjid dan melihat orang-orang shalat dalam kelompok-kelompok terpisah dengan imam yang berbeda-beda. Beliau lalu berinisiatif untuk menyatukan mereka di belakang satu imam agar syiar Islam lebih tampak dan ibadah menjadi lebih teratur.

Umar kemudian menunjuk Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari untuk menjadi imam shalat Tarawih berjamaah. Mengenai jumlah rakaat pada masa Umar, terdapat beberapa riwayat. Riwayat yang paling kuat dan shahih, seperti yang tercatat dalam kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik, menyebutkan bahwa Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami orang-orang dengan sebelas rakaat.

Namun, ada juga riwayat lain yang menyebutkan praktik 20 rakaat pada masa Umar. Para ulama menjelaskan kemungkinan ini dengan beberapa cara. Salah satunya adalah bahwa pada masa itu, bacaan imam sangat panjang. Untuk meringankan jamaah, khususnya yang lemah atau tua, rakaatnya diperbanyak (menjadi 20) namun bacaan pada setiap rakaatnya diperpendek. Tujuannya adalah agar total durasi dan bacaan Al-Qur'an tetap sama, namun dengan jeda istirahat (salam) yang lebih sering. Ini merupakan bentuk ijtihad (penalaran hukum) dari Khalifah Umar untuk kemaslahatan umat pada saat itu.

Meskipun praktik 20 rakaat kemudian menjadi populer dan diadopsi oleh banyak ulama mazhab, praktik asli 11 rakaat tidak pernah hilang. Ia tetap menjadi pilihan utama bagi para ulama yang sangat berpegang teguh pada riwayat yang paling sesuai dengan praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelangsungan Praktik 11 Rakaat

Sepanjang sejarah Islam, praktik 11 rakaat terus dijaga dan diamalkan oleh banyak ulama besar dan komunitas Muslim di berbagai belahan dunia. Imam Malik, salah satu pendiri mazhab besar, dalam kitabnya Al-Muwaththa', meriwayatkan dan tampaknya lebih condong kepada praktik 11 rakaat sebagai amalan yang diperintahkan oleh Umar. Para ulama ahli hadits (Ahlul Hadits) secara konsisten memandang bahwa 11 rakaat adalah yang paling utama karena kesesuaiannya dengan hadits Aisyah yang sangat shahih.

Hingga saat ini, praktik shalat Tarawih 11 rakaat tersebar luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam yang menjadikan ittiba'us sunnah (mengikuti sunnah) sebagai prioritas utama umumnya mengamalkan jumlah rakaat ini. Ini bukanlah sebuah inovasi baru, melainkan sebuah upaya untuk kembali kepada praktik yang paling otentik dan dicontohkan oleh Sang Teladan Utama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tarawih 11 Rakaat

Pelaksanaan shalat Tarawih 11 rakaat dapat dilakukan dengan beberapa formasi yang berbeda. Semua formasi ini memiliki dasar dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fleksibilitas ini menunjukkan kemudahan dalam syariat Islam. Berikut adalah tata cara lengkapnya, mulai dari niat hingga doa penutup.

1. Niat

Niat adalah pondasi dari setiap amalan. Niat dilakukan di dalam hati sebelum takbiratul ihram. Tidak ada lafaz niat khusus yang diajarkan oleh Rasulullah. Cukup dengan memantapkan di dalam hati bahwa kita akan melaksanakan shalat sunnah Tarawih (atau Qiyam Ramadhan) karena Allah Ta'ala. Jika menjadi makmum, niatkan juga untuk mengikuti imam.

2. Formasi Rakaat

Ada dua formasi utama yang paling populer dan berdasarkan dalil yang kuat:

a. Formasi 4-4-3 (Empat rakaat, Empat rakaat, Tiga rakaat Witir)

Formasi ini didasarkan langsung pada penjelasan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan sebelumnya. Caranya adalah sebagai berikut:

b. Formasi 2-2-2-2-3 (Salam setiap Dua Rakaat)

Formasi ini juga sangat kuat dalilnya, berdasarkan hadits umum tentang shalat malam: "Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu subuh, maka hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah ia kerjakan." (HR. Bukhari dan Muslim). Formasi ini seringkali dianggap lebih ringan dan lebih mudah diikuti oleh jamaah.

Kedua formasi ini sama-sama sah dan sesuai dengan sunnah. Pilihan di antara keduanya tergantung pada kenyamanan imam dan makmum, atau kebiasaan di masjid setempat. Yang terpenting adalah menjaga kekhusyukan dan kualitas shalat.

3. Bacaan dalam Shalat

Tidak ada ketentuan surat atau ayat khusus yang wajib dibaca setelah Al-Fatihah dalam shalat Tarawih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka hafal. Namun, inti dari shalat Tarawih adalah memperpanjang berdirinya dengan memperbanyak bacaan Al-Qur'an.

Seorang imam dianjurkan untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil (perlahan dan jelas), serta menyesuaikan panjang bacaan dengan kondisi jamaah. Di banyak masjid, para imam berusaha mengkhatamkan 30 juz Al-Qur'an selama bulan Ramadhan, biasanya dengan membaca satu juz setiap malamnya. Ini adalah tradisi yang baik (sunnah hasanah) yang dipelopori oleh para ulama salaf untuk memotivasi umat agar mendengarkan seluruh isi Al-Qur'an.

Untuk shalat Witir, disunnahkan pada rakaat pertama membaca Surat Al-A'la, pada rakaat kedua membaca Surat Al-Kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca Surat Al-Ikhlas (ditambah Al-Falaq dan An-Nas jika witirnya satu rakaat setelah dua rakaat).

4. Zikir dan Doa Setelah Witir

Setelah selesai shalat Witir dan mengucapkan salam, disunnahkan untuk membaca zikir berikut sebanyak tiga kali, dengan mengeraskan dan memanjangkan suara pada bacaan ketiga:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

"Subhaanal Malikil Qudduus" (Maha Suci Raja Yang Maha Suci)

Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan membaca doa-doa lainnya, termasuk doa witir yang populer di masyarakat, meskipun lafaznya tidak berasal dari satu hadits spesifik, namun isinya adalah untaian doa yang baik. Yang paling utama adalah memperbanyak doa dan istighfar, memohon ampunan dan rahmat Allah di sisa malam yang penuh berkah tersebut.

Keutamaan dan Hikmah di Balik 11 Rakaat

Memilih untuk mengamalkan shalat Tarawih 11 rakaat bukan sekadar persoalan angka, tetapi mengandung keutamaan dan hikmah yang mendalam. Memahaminya akan semakin mengokohkan hati kita dalam beribadah.

1. Meneladani Sunnah Secara Tepat (Ittiba' As-Sunnah)

Keutamaan terbesar dari praktik 11 rakaat adalah kesesuaiannya yang sangat jelas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits Aisyah adalah saksi paling otentik dari "orang dalam" yang melihat langsung bagaimana ibadah Nabi di malam hari. Bagi seorang Muslim, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada bisa meneladani setiap detail kehidupan dan ibadah sang kekasih, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah bentuk cinta dan kepatuhan yang paling murni.

2. Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas

Sebagaimana ditekankan dalam hadits Aisyah, "janganlah engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya." Shalat 11 rakaat yang dilakukan dengan tuma'ninah, bacaan yang panjang dan dihayati, serta ruku' dan sujud yang sempurna, jauh lebih berkualitas dan bernilai di sisi Allah daripada shalat dengan jumlah rakaat lebih banyak namun dikerjakan terburu-buru seperti "mematuk ayam". Ibadah ini mengajarkan kita bahwa Allah tidak melihat pada jumlah bilangan, tetapi pada kualitas ketakwaan dan kekhusyukan hati yang ada di dalamnya.

3. Memberikan Kesempatan untuk Khusyuk dan Tadabbur

Dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit, seorang Muslim memiliki lebih banyak "ruang" dan "energi" untuk setiap rakaatnya. Bacaan imam tidak perlu terlalu cepat, sehingga makmum memiliki kesempatan untuk merenungi (tadabbur) ayat-ayat yang dibaca. Gerakan shalat yang tidak tergesa-gesa membantu hati untuk tetap hadir dan fokus, tidak sekadar melakukan gerakan fisik tanpa makna. Kekhusyukan adalah ruh dari shalat, dan 11 rakaat memberikan kondisi yang sangat kondusif untuk mencapainya.

4. Kemudahan dan Mencegah Kebosanan

Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan. Melaksanakan shalat Tarawih setiap malam selama sebulan penuh adalah sebuah tantangan. Dengan 11 rakaat, ibadah ini terasa lebih ringan dan mudah untuk dijaga konsistensinya (istiqamah) hingga akhir Ramadhan. Hal ini juga mencegah timbulnya rasa bosan atau lelah yang berlebihan, yang bisa mengurangi semangat beribadah di sepuluh malam terakhir, padahal saat itulah puncak dari ibadah Ramadhan.

Menyikapi Perbedaan Jumlah Rakaat dengan Bijak

Penting untuk dipahami bahwa masalah jumlah rakaat shalat Tarawih termasuk dalam kategori khilafiyah ijtihadiyah, yaitu perbedaan pendapat yang masih dalam koridor yang bisa ditoleransi dalam fikih Islam. Praktik 20 rakaat juga memiliki dasar, yaitu ijtihad dari Khalifah Umar bin Khattab dan diamalkan oleh mayoritas ulama empat mazhab. Mereka memandangnya sebagai amalan yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa itu (ijma' sukuti).

Oleh karena itu, sikap yang paling tepat dalam menghadapi perbedaan ini adalah:

Kesimpulan

Shalat Tarawih 11 rakaat adalah sebuah praktik ibadah yang memiliki landasan dalil yang sangat kuat, otentik, dan bersumber langsung dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan cerminan ibadah Nabi yang mengutamakan kualitas, kekhusyukan, dan tuma'ninah di atas sekadar kuantitas bilangan rakaat. Memilih untuk melaksanakannya adalah sebuah upaya terpuji untuk meneladani ibadah Sang Nabi dengan sedekat mungkin.

Dengan memahami dasar hukum, sejarah, dan tata caranya, diharapkan kita dapat melaksanakan ibadah ini dengan lebih mantap dan penuh keyakinan. Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah menjaga keikhlasan niat, menghadirkan hati dalam setiap gerakan dan bacaan, serta merenungi makna ayat-ayat Al-Qur'an yang dilantunkan. Pada akhirnya, tujuan utama dari shalat Tarawih dan seluruh ibadah di bulan Ramadhan adalah untuk membersihkan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih derajat takwa. Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua di bulan yang penuh berkah ini.

🏠 Kembali ke Homepage