Ilustrasi Masjid di Malam Hari

Mengupas Tuntas Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Setiap kali bulan suci Ramadhan tiba, salah satu pemandangan paling indah adalah semaraknya umat Islam menghidupkan malam dengan ibadah, terutama shalat Tarawih. Shalat yang dikerjakan secara berjamaah ini menjadi simbol kebersamaan dan kekhusyukan. Namun, di tengah keindahan tersebut, sering kali muncul sebuah diskursus yang tak lekang oleh waktu: Berapakah jumlah rakaat shalat Tarawih yang sesungguhnya? Sebagian masjid melaksanakannya sebanyak 8 rakaat ditambah 3 rakaat Witir, sementara sebagian lainnya melaksanakan 20 rakaat ditambah 3 rakaat Witir.

Perbedaan ini, yang telah berlangsung selama berabad-abad, terkadang menimbulkan kebingungan, bahkan perdebatan di kalangan awam. Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam, objektif, dan komprehensif mengenai perdebatan jumlah rakaat shalat Tarawih. Kita akan menelusuri akar sejarahnya, menelaah dalil-dalil yang menjadi landasan masing-masing pandangan, serta memahami bagaimana para ulama menyikapi perbedaan ini dengan bijaksana. Tujuannya bukan untuk menyatakan satu pendapat lebih benar dari yang lain, melainkan untuk membangun pemahaman yang utuh dan menumbuhkan sikap saling menghargai dalam keragaman praktik ibadah.

Definisi, Hukum, dan Keutamaan Shalat Tarawih

Memahami Makna Tarawih

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami makna dari "Tarawih" itu sendiri. Secara etimologis, kata Tarawih (تراويح) adalah bentuk jamak dari kata tarwihah (ترويحة) yang berarti "istirahat" atau "jeda sejenak". Penamaan ini sangat relevan dengan praktik pelaksanaannya. Para sahabat dan generasi setelahnya (salafus shalih) biasa melaksanakan shalat malam Ramadhan dengan jeda atau istirahat setelah setiap empat rakaat (dua kali salam). Jeda ini mereka gunakan untuk berzikir, berdoa, atau sekadar melepaskan lelah sebelum melanjutkan rakaat berikutnya. Dengan demikian, shalat ini dikenal sebagai "shalat yang memiliki banyak istirahat" atau Shalat Tarawih.

Hukum Pelaksanaan Shalat Tarawih

Para ulama sepakat (ijma') bahwa hukum melaksanakan shalat Tarawih adalah Sunnah Mu'akkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan dan hampir mendekati wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Kedudukannya yang begitu kuat didasarkan pada anjuran dan praktik yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Meskipun beliau tidak melaksanakannya secara berjamaah terus-menerus di masjid, anjuran lisan beliau sangat jelas dan tegas mengenai keutamaan menghidupkan malam Ramadhan.

Keutamaan yang Luar Biasa

Shalat Tarawih menyimpan fadhilah atau keutamaan yang sangat besar. Ia bukan sekadar ritual tambahan, melainkan sebuah kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang sangat populer, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa yang beribadah (shalat Tarawih) di malam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi motivasi terbesar bagi umat Islam untuk tidak melewatkan shalat Tarawih. Janji ampunan dosa masa lalu adalah sebuah anugerah tak ternilai yang Allah sediakan khusus di bulan yang penuh berkah ini. Oleh karena itu, fokus utama seharusnya adalah pada pelaksanaan ibadah itu sendiri dengan penuh keimanan (imanan) dan pengharapan (ihtisaban), bukan terjebak dalam perdebatan yang dapat mengurangi esensi dan kekhusyukan ibadah.

Akar Sejarah Praktik Shalat Tarawih

Untuk memahami perbedaan jumlah rakaat, kita harus kembali ke masa lampau, menelusuri bagaimana shalat ini dipraktikkan dari zaman Rasulullah ﷺ hingga masa para Khulafaur Rasyidin. Sejarah ini adalah kunci untuk membuka tabir perbedaan pandangan yang ada saat ini.

Di Masa Rasulullah ﷺ

Pada masa kenabian, shalat malam Ramadhan (yang kemudian dikenal sebagai Tarawih) dilaksanakan oleh Rasulullah ﷺ. Namun, beliau tidak melakukannya secara rutin berjamaah di masjid sepanjang bulan. Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan:

"Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pada suatu malam shalat di masjid, lalu shalatlah bersama beliau beberapa orang. Kemudian pada malam berikutnya, beliau shalat lagi dan orang-orang yang ikut bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tetapi Rasulullah ﷺ tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi hari, beliau bersabda: 'Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir (shalat ini) akan diwajibkan atas kalian.' Dan itu terjadi di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis ini, kita dapat menarik beberapa kesimpulan penting. Pertama, shalat Tarawih berjamaah di masjid pernah dipraktikkan dan dipimpin langsung oleh Rasulullah ﷺ. Kedua, beliau menghentikannya bukan karena tidak menyukainya, melainkan karena rasa kasih sayang beliau yang mendalam kepada umatnya. Beliau khawatir jika praktik ini terus berlanjut, Allah akan mewajibkannya, sehingga memberatkan umat di masa mendatang. Setelah itu, Rasulullah ﷺ melaksanakannya di rumah, dan para sahabat pun melakukannya secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil di masjid.

Di Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Selama masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, kondisi ini tidak berubah. Umat Islam tetap melaksanakan shalat malam Ramadhan sebagaimana di akhir masa Nabi, yaitu secara terpisah-pisah. Khalifah Abu Bakar disibukkan dengan urusan yang lebih mendesak, seperti memerangi kaum murtad dan menstabilkan negara Islam yang baru ditinggal wafat oleh Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, urusan shalat Tarawih berjamaah belum menjadi prioritas utama.

Di Masa Khalifah Umar bin Khattab: Titik Balik Sejarah

Perubahan besar terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu. Suatu malam di bulan Ramadhan, Umar keluar menuju masjid dan mendapati orang-orang shalat dalam kelompok-kelompok yang terpencar. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat berjamaah dengan beberapa orang. Melihat pemandangan ini, Umar memiliki sebuah gagasan cemerlang.

Abdurrahman bin 'Abdul Qari menceritakan:

"Aku keluar bersama Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pada suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid. Ternyata orang-orang shalat dalam keadaan berkelompok-kelompok terpisah. Ada yang shalat sendiri, ada pula yang shalat diikuti oleh beberapa orang. Maka Umar berkata: 'Menurutku, seandainya aku kumpulkan mereka di belakang satu imam, itu akan lebih baik.' Kemudian beliau bertekad untuk melakukannya dan mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin Ka'ab."

Inilah ijtihad monumental dari seorang Umar bin Khattab. Beliau menyatukan jamaah yang terpencar di belakang satu imam, yaitu Ubay bin Ka'ab, seorang sahabat yang paling ahli dalam bacaan Al-Qur'an. Pada malam berikutnya, ketika Umar melihat umat Islam shalat dengan rapi di belakang satu imam, beliau berkomentar:

"Sebaik-baik bid'ah adalah ini."

Perkataan Umar tentang "bid'ah" di sini perlu dipahami dalam konteks linguistik (bahasa), bukan terminologi syariat. Maksudnya adalah sebuah "inovasi yang baik" dalam hal cara pelaksanaan (manajemen jamaah), bukan mengada-ada dalam syariat. Ibadahnya tetaplah shalat malam Ramadhan yang dianjurkan Nabi, namun kini dilaksanakan dengan cara yang lebih terorganisir. Ijtihad ini disetujui oleh para sahabat lain yang masih hidup saat itu, sehingga menjadi sebuah praktik yang memiliki landasan kuat.

Pertanyaan besarnya, berapa rakaat yang dikerjakan pada masa Umar tersebut? Di sinilah letak pangkal dari perbedaan pendapat yang kita kenal hingga hari ini.

Pandangan Pertama: Shalat Tarawih 11 Rakaat (8 Tarawih + 3 Witir)

Pendapat yang menyatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih adalah 11 rakaat bersandar pada dalil-dalil yang sangat kuat dan jelas, terutama yang menggambarkan praktik langsung dari Rasulullah ﷺ. Argumen utama mereka adalah bahwa ibadah terbaik adalah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi.

Dalil Utama: Hadis Aisyah Radhiyallahu 'anha

Landasan paling pokok bagi pandangan ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mu'minin, Aisyah radhiyallahu 'anha, orang yang paling mengetahui tentang ibadah malam Rasulullah ﷺ di rumahnya. Ketika beliau ditanya tentang shalat malam Nabi di bulan Ramadhan, beliau menjawab:

"Rasulullah ﷺ tidak pernah menambah (shalat malam) di bulan Ramadhan dan tidak pula di luarnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian, beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian, beliau shalat tiga rakaat (Witir)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini dianggap sangat jelas (shahih dan sharih). Beberapa poin penting dari hadis ini adalah:

  1. Konsistensi Jumlah: Aisyah menegaskan bahwa jumlah 11 rakaat ini adalah praktik konsisten Rasulullah ﷺ, baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Ini menunjukkan bahwa shalat Tarawih pada hakikatnya adalah qiyamul lail (shalat malam) yang dikhususkan di bulan Ramadhan.
  2. Kualitas di Atas Kuantitas: Penekanan Aisyah pada "jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya" mengisyaratkan bahwa fokus utama shalat Nabi adalah pada kualitas: bacaan yang panjang, tuma'ninah yang sempurna, dan kekhusyukan yang mendalam.
  3. Format Pelaksanaan: Hadis ini juga menjelaskan formatnya, yaitu 4 rakaat salam, 4 rakaat salam, lalu ditutup dengan 3 rakaat Witir. Para ulama menjelaskan bahwa maksud "empat rakaat" adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, lalu istirahat sejenak.

Argumentasi Pendukung

Para ulama yang berpegang pada pendapat ini, seperti Imam Malik dalam salah satu riwayatnya, dan banyak ulama kontemporer seperti Syaikh Nashiruddin Al-Albani, mengajukan beberapa argumentasi pendukung:

  • Mengikuti Sunnah Nabi Adalah yang Terbaik: Prinsip dasar dalam beribadah adalah meneladani Rasulullah ﷺ semaksimal mungkin. Karena hadis Aisyah adalah riwayat yang paling otentik dan eksplisit mengenai jumlah rakaat shalat malam Nabi, maka mengikutinya adalah pilihan yang paling utama (afdhal).
  • Riwayat Lain yang Menguatkan: Terdapat riwayat dari Jabir bin Abdillah yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ mengimami para sahabat selama beberapa malam, beliau shalat sebanyak 8 rakaat kemudian melakukan shalat Witir. Meskipun ada perdebatan mengenai status hadis ini, ia dianggap sebagai penguat bagi hadis Aisyah.
  • Menjaga Kualitas Shalat: Dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit (8 rakaat), imam dan makmum dapat lebih fokus pada kualitas shalat. Bacaan ayat bisa lebih panjang, ruku' dan sujud bisa lebih tuma'ninah, dan kekhusyukan lebih terjaga. Ini sejalan dengan deskripsi shalat Nabi dalam hadis Aisyah.

Pendapat ini kuat karena bersandar langsung pada praktik Nabi Muhammad ﷺ yang terekam dalam hadis-hadis dengan derajat kesahihan tertinggi. Bagi penganut pandangan ini, apa yang dicontohkan langsung oleh Nabi adalah standar emas yang tidak bisa disaingi oleh praktik siapapun setelahnya.

Pandangan Kedua: Shalat Tarawih 23 Rakaat (20 Tarawih + 3 Witir)

Di sisi lain, praktik shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat juga memiliki landasan yang kuat dan telah menjadi amalan mayoritas umat Islam selama berabad-abad. Pandangan ini tidak menafikan hadis Aisyah, tetapi mereka mendasarkan argumentasinya pada ijtihad dan praktik para sahabat di masa Khalifah Umar bin Khattab, yang dianggap sebagai sebuah bentuk kesepakatan (ijma').

Dalil Utama: Praktik di Masa Umar bin Khattab

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sejarah, Khalifah Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali melembagakan shalat Tarawih berjamaah secara rutin di masjid di belakang satu imam. Sejumlah riwayat menyebutkan jumlah rakaat yang ditetapkan pada masa itu.

Salah satu riwayat yang paling sering dijadikan sandaran berasal dari Yazid bin Ruman, ia berkata:

"Manusia (pada masa Khalifah Umar bin Khattab) melakukan shalat (Tarawih) di bulan Ramadhan sebanyak dua puluh tiga rakaat (20 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir)." (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa')

Meskipun sebagian ahli hadis mengkritik sanad riwayat ini karena Yazid bin Ruman tidak bertemu langsung dengan Umar (munqathi'/terputus), para pendukung pendapat 20 rakaat memiliki jawaban kuat. Mereka berargumen bahwa:

  1. Adanya Ijma' Sukuti (Kesepakatan Diam-diam): Ketika Umar menetapkan kebijakan ini, banyak sahabat besar lainnya yang masih hidup, seperti Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, dan lainnya. Tidak adanya penolakan atau sanggahan yang tercatat dari mereka menunjukkan persetujuan mereka secara diam-diam. Ijma' sahabat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sumber hukum Islam.
  2. Amal Ahlul Madinah (Praktik Penduduk Madinah): Imam Malik, yang menulis kitab Al-Muwaththa', sering kali mendasarkan fiqihnya pada praktik yang berlaku di kalangan penduduk Madinah, karena mereka adalah generasi yang mewarisi ajaran Islam langsung dari para sahabat. Praktik 20 rakaat menjadi amalan yang mapan di Madinah dan juga di Makkah selama berabad-abad.
  3. Riwayat Lain yang Saling Menguatkan: Ada riwayat-riwayat lain, meskipun sebagiannya lemah jika berdiri sendiri, yang secara kolektif menguatkan praktik 20 rakaat ini. Misalnya, riwayat dari As-Sa'ib bin Yazid yang juga menyebutkan praktik 20 rakaat.

Argumentasi dan Pandangan Empat Mazhab

Pandangan 20 rakaat ini dianut oleh mayoritas ulama dari empat mazhab besar:

  • Mazhab Hanafi: Menganggap 20 rakaat adalah sunnah mu'akkadah dan merupakan praktik yang disepakati para sahabat.
  • Mazhab Syafi'i: Ini adalah pendapat yang paling masyhur dalam mazhab Syafi'i. Imam An-Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi'i, menyatakan bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunnah berdasarkan ijma' sahabat di masa Umar.
  • Mazhab Hanbali: Imam Ahmad bin Hanbal memilih 20 rakaat sebagai jumlah yang lebih utama, karena mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Umar bin Khattab dan disepakati para sahabat.
  • Mazhab Maliki: Meskipun Imam Malik sendiri meriwayatkan beberapa versi (termasuk 36 rakaat oleh penduduk Madinah untuk menyamai pahala penduduk Makkah yang melakukan tawaf di sela-sela Tarawih), pendapat yang populer dalam mazhab ini juga condong ke 20 rakaat atau lebih, dan tidak membatasinya pada 8 rakaat.

Hikmah di Balik Ijtihad Umar

Para ulama menjelaskan hikmah di balik kebijakan Umar menetapkan 20 rakaat. Shalat malam yang dilakukan Rasulullah ﷺ sebanyak 8 rakaat memiliki bacaan yang sangat panjang dalam setiap rakaatnya. Hal ini bisa jadi berat bagi sebagian besar umat Islam. Dengan memperbanyak jumlah rakaat menjadi 20, bacaan di setiap rakaat bisa diperpendek. Ini adalah bentuk keringanan (rukhsah) dan kemudahan bagi jamaah. Total bacaan Al-Qur'an dalam satu malam bisa tetap banyak (misalnya satu juz), tetapi dibagi ke dalam 20 rakaat yang lebih pendek-pendek, sehingga lebih mudah diikuti oleh orang tua, anak-anak, dan orang awam.

Dengan demikian, pandangan 20 rakaat ini memiliki fondasi yang kokoh pada praktik para sahabat, yang dipandang sebagai generasi terbaik yang paling memahami maksud dan tujuan syariat setelah Rasulullah ﷺ.

Rekonsiliasi Pandangan dan Sikap yang Bijak

Setelah membedah dalil dan argumentasi dari kedua belah pihak, terlihat jelas bahwa baik pendapat 11 rakaat maupun 23 rakaat sama-sama memiliki landasan yang kuat. Pendapat pertama berpegang pada sunnah fi'liyah (perbuatan) Nabi, sementara pendapat kedua berpegang pada sunnah taqririyah (persetujuan) Nabi terhadap shalat malam Ramadhan dan ijtihad para Khulafaur Rasyidin yang diperintahkan untuk kita ikuti.

Imam Asy-Syafi'i memberikan pandangan yang sangat menyejukkan. Beliau menyatakan bahwa jika seseorang shalat dengan rakaat yang sedikit namun memanjangkan bacaan dan rukunnya, itu baik. Dan jika seseorang memperbanyak jumlah rakaat dengan bacaan yang lebih ringan, itu juga baik. Ini menunjukkan adanya kelapangan (keluasan) dalam masalah ini.

Ini Bukan Masalah Aqidah, Tapi Fiqih

Poin terpenting yang harus dipahami adalah bahwa perbedaan jumlah rakaat shalat Tarawih merupakan ranah furu'iyyah (cabang) dalam fiqih, bukan masalah ushuliyyah (pokok) dalam aqidah. Ini adalah kategori khilafiyah mu'tabarah, yaitu perbedaan pendapat yang diakui dan dihormati dalam tradisi keilmuan Islam karena kedua pihak memiliki dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menjadikan perbedaan ini sebagai sumber perpecahan, saling menyalahkan, atau merasa paling benar adalah sikap yang keliru dan bertentangan dengan semangat persaudaraan Islam yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah.

Esensi Adalah Menghidupkan Malam Ramadhan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar yang dikenal dengan ketegasannya, memberikan pandangan yang sangat bijak dalam masalah ini. Beliau menjelaskan bahwa shalat malam Ramadhan tidak memiliki batasan jumlah rakaat yang baku. Baik 11 rakaat, 23 rakaat, 36 rakaat, atau bahkan lebih, semuanya baik. Yang paling utama (afdhal) adalah yang paling sesuai dengan kondisi seseorang; jika ia mampu shalat dengan rakaat sedikit tapi panjang dan khusyuk, itu baik. Jika ia lebih bersemangat dengan rakaat banyak tapi bacaan lebih ringan, itu pun baik.

Inti dari shalat Tarawih adalah Qiyamu Ramadhan, yaitu menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah. Berapa pun jumlah rakaat yang dikerjakan, selama dilakukan dengan ikhlas, sesuai tuntunan dasar shalat, dan penuh kekhusyukan, maka insya Allah akan diterima di sisi Allah SWT.

Sikap Terbaik Seorang Muslim

Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil?

  1. Ikuti Imam Setempat: Jika Anda shalat di masjid yang imamnya melaksanakan 20 rakaat, maka ikutilah imam hingga selesai untuk mendapatkan pahala shalat semalam suntuk, sebagaimana sabda Nabi. Begitu pula sebaliknya, jika imam melaksanakan 8 rakaat, ikuti hingga selesai. Jangan memisahkan diri dari jamaah karena perbedaan jumlah rakaat.
  2. Tinggalkan Perdebatan yang Sia-sia: Hindari perdebatan kusir yang tidak berujung dan hanya menimbulkan kebencian. Fokuskan energi kita untuk memperbaiki kualitas shalat kita sendiri, memperbanyak tilawah Al-Qur'an, berzikir, dan bersedekah.
  3. Lapang Dada dan Saling Menghormati: Hargai pilihan saudara muslim kita yang mungkin berbeda dalam praktik jumlah rakaat. Pahami bahwa mereka juga memiliki landasan dan dalil yang mereka ikuti dari para ulama yang terpercaya.
  4. Fokus pada Substansi: Ingatlah kembali hadis tentang keutamaan Tarawih: "karena iman dan mengharap pahala". Inilah substansinya. Pastikan niat kita lurus, dan setiap gerakan serta bacaan kita diresapi dengan penuh penghayatan.

Kesimpulan

Perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih antara 11 dan 23 rakaat adalah sebuah rahmat dan bukti keluasan syariat Islam. Keduanya adalah praktik yang memiliki akar sejarah dan landasan dalil yang kuat. Formasi 11 rakaat merujuk langsung pada praktik konsisten Rasulullah ﷺ, yang menekankan pada kualitas dan kekhusyukan dalam shalat yang panjang. Sementara itu, formasi 23 rakaat merujuk pada ijtihad cemerlang Khalifah Umar bin Khattab yang disetujui oleh para sahabat, dengan hikmah memberikan kemudahan dan keringanan bagi kaum muslimin secara umum.

Tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim kebenaran mutlak dan menyalahkan pihak lain. Sikap yang paling bijak adalah memahami kedua pandangan, mengambil mana yang lebih menenangkan hati dan sesuai dengan kondisi, serta yang terpenting adalah menjaga persatuan dan kesatuan umat. Marilah kita jadikan bulan Ramadhan sebagai momentum untuk menyatukan hati, bukan mempertajam perbedaan. Sebab, tujuan akhir kita semua sama: meraih ampunan dan ridha Allah SWT di bulan yang mulia ini.

🏠 Kembali ke Homepage