Kortison: Manfaat, Efek Samping, dan Penggunaan Medis
Ilustrasi sederhana tentang bagaimana kortison membantu menenangkan kondisi peradangan dalam tubuh.
Kortison adalah nama yang tidak asing dalam dunia medis. Sering disebut sebagai "obat dewa" karena kemampuannya yang luar biasa dalam meredakan peradangan dan menekan sistem kekebalan tubuh, kortison telah menyelamatkan jutaan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup banyak pasien. Namun, seperti pedang bermata dua, kekuatan kortison juga datang dengan potensi efek samping yang signifikan jika tidak digunakan dengan bijak dan di bawah pengawasan medis yang ketat. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang kortison, mulai dari sejarahnya, bagaimana ia bekerja dalam tubuh, berbagai indikasi medisnya, hingga berbagai bentuk sediaan, dosis, dan tentu saja, efek samping yang mungkin timbul serta cara pengelolaannya.
Apa Itu Kortison?
Kortison adalah hormon steroid yang secara alami diproduksi oleh kelenjar adrenal dalam tubuh. Secara spesifik, kortison adalah prodrug, yang berarti ia tidak aktif dalam bentuk aslinya dan harus diubah oleh hati menjadi bentuk aktifnya, yaitu kortisol (juga dikenal sebagai hidrokortison). Kortisol adalah glukokortikoid endogen utama dalam tubuh manusia, memainkan peran krusial dalam berbagai fungsi fisiologis, termasuk respons stres, metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, serta regulasi respons inflamasi dan kekebalan.
Sebagai obat, kortison dan derivat sintetisnya (sering disebut kortikosteroid) digunakan secara luas untuk meniru atau memperkuat efek kortisol alami. Kortikosteroid sintetis ini dirancang untuk memiliki potensi anti-inflamasi dan imunosupresif yang lebih kuat dan durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan kortisol alami, menjadikannya alat yang sangat berharga dalam penanganan berbagai kondisi medis.
Sejarah Singkat Kortison
Penemuan kortison adalah salah satu terobosan paling signifikan dalam sejarah kedokteran abad ke-20. Pada tahun 1930-an, ahli kimia Amerika Edward Calvin Kendall berhasil mengisolasi kortison dari korteks adrenal hewan. Namun, baru pada tahun 1940-an, reumatolog Philip S. Hench menemukan bahwa kortison memiliki efek dramatis dalam meredakan gejala rheumatoid arthritis. Bersama dengan Tadeus Reichstein, Kendall dan Hench dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1950 atas penemuan mereka yang membuka jalan bagi penggunaan luas kortikosteroid dalam pengobatan.
Sejak penemuan tersebut, penelitian terus berlanjut untuk mengembangkan kortikosteroid sintetis dengan profil efek samping yang lebih baik dan potensi yang lebih spesifik. Ini telah menghasilkan beragam obat seperti prednison, deksametason, metilprednisolon, dan banyak lainnya yang menjadi tulang punggung terapi untuk berbagai penyakit inflamasi dan autoimun.
Mekanisme Kerja Kortison dalam Tubuh
Untuk memahami bagaimana kortison bekerja, kita perlu melihat peran kortisol alami dan bagaimana kortikosteroid sintetis meniru efeknya. Kortisol adalah bagian dari kelas hormon steroid yang disebut glukokortikoid. Nama "glukokortikoid" mengacu pada perannya dalam metabolisme glukosa ("gluco"), diproduksi di korteks adrenal ("cortico"), dan strukturnya yang seperti steroid ("steroid").
Interaksi dengan Reseptor Glukokortikoid
Kortison, setelah diubah menjadi kortisol, atau kortikosteroid sintetis, bekerja dengan berinteraksi dan mengaktifkan reseptor glukokortikoid (GR) yang terdapat di dalam sitoplasma sel hampir di seluruh tubuh. GR adalah protein yang ketika berikatan dengan glukokortikoid, akan mengalami perubahan konformasi.
Translokasi Nukleus: Kompleks glukokortikoid-reseptor ini kemudian berpindah dari sitoplasma ke nukleus sel.
Pengikatan DNA: Di dalam nukleus, kompleks ini berikatan dengan sekuens DNA spesifik yang disebut elemen respons glukokortikoid (GRE) di daerah promotor gen-gen tertentu.
Modulasi Transkripsi Gen: Pengikatan ini dapat secara langsung mengaktifkan (upregulasi) atau menghambat (downregulasi) transkripsi gen-gen target.
Efek Anti-inflamasi: Kortikosteroid secara kuat menghambat ekspresi gen yang terlibat dalam jalur inflamasi. Mereka mengurangi produksi sitokin pro-inflamasi (seperti IL-1, IL-6, TNF-alpha), kemokin, molekul adhesi, dan enzim seperti siklooksigenase-2 (COX-2) dan fosfolipase A2. Dengan menghambat fosfolipase A2, mereka mencegah pelepasan asam arakidonat, prekursor penting untuk prostaglandin dan leukotrien, mediator inflamasi yang kuat.
Efek Imunosupresif: Mereka juga mengurangi jumlah dan aktivitas sel-sel kekebalan, seperti limfosit (terutama T-sel), eosinofil, dan makrofag, serta menghambat presentasi antigen dan produksi antibodi.
Efek Metabolisme: Kortikosteroid meningkatkan glukoneogenesis (produksi glukosa dari non-karbohidrat), mengurangi penggunaan glukosa perifer, memobilisasi asam amino dari otot, dan mendistribusikan ulang lemak.
Selain efek genomik yang lambat (karena melibatkan sintesis protein baru), kortikosteroid juga memiliki efek non-genomik yang cepat, terjadi melalui interaksi dengan reseptor membran atau jalur sinyal intraseluler lainnya yang tidak melibatkan pengikatan langsung dengan DNA. Efek ini, meskipun kurang dipahami, mungkin berkontribusi pada respons terapeutik akut, seperti stabilisasi membran atau penghambatan cepat pelepasan mediator inflamasi.
Bentuk dan Derivat Kortison (Kortikosteroid Sintetis)
Meskipun kortison adalah nama generik, dalam praktik klinis, dokter sering merujuk pada glukokortikoid sintetis lainnya yang memiliki kekuatan, durasi, dan profil efek samping yang bervariasi. Kortikosteroid ini dapat dikategorikan berdasarkan potensi dan durasi kerjanya.
Kortikosteroid Kerja Pendek (Durasi Biologis 8-12 Jam)
Kortison: Sebagai prodrug, harus diubah menjadi hidrokortison. Memiliki potensi anti-inflamasi dan efek retensi natrium yang mirip dengan hidrokortison.
Hidrokortison (Kortisol): Ini adalah kortikosteroid alami. Digunakan untuk terapi penggantian pada insufisiensi adrenal dan sebagai agen anti-inflamasi topikal atau oral pada dosis rendah hingga sedang.
Kortikosteroid Kerja Menengah (Durasi Biologis 12-36 Jam)
Kelompok ini paling umum digunakan karena keseimbangan antara efikasi dan durasi.
Prednison: Salah satu kortikosteroid oral yang paling sering diresepkan. Prednison adalah prodrug yang diubah di hati menjadi prednisolon. Empat kali lebih poten dari hidrokortison dalam efek anti-inflamasi dan memiliki efek retensi natrium yang minimal.
Prednisolon: Bentuk aktif dari prednison. Dapat diberikan secara oral, intravena, atau topikal. Sangat berguna pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang mungkin kesulitan mengonversi prednison. Potensinya serupa dengan prednison.
Metilprednisolon: Lima kali lebih poten dari hidrokortison dan memiliki efek retensi natrium yang sangat sedikit. Tersedia dalam bentuk oral, injeksi (intravena, intramuskular), dan topikal. Sering digunakan untuk kondisi peradangan akut atau kondisi autoimun yang parah.
Triamcinolone: Sekitar lima kali lebih poten dari hidrokortison, dengan hampir tidak ada efek retensi natrium. Tersedia dalam bentuk oral, injeksi (intra-artikular, intramuskular), dan topikal (untuk kondisi kulit).
Kortikosteroid Kerja Panjang (Durasi Biologis 36-72 Jam)
Kortikosteroid ini memiliki potensi anti-inflamasi yang sangat tinggi dan durasi kerja yang panjang, namun juga berpotensi menimbulkan efek samping yang lebih besar.
Dexamethasone: Salah satu kortikosteroid terkuat, sekitar 25-30 kali lebih poten dari hidrokortison. Hampir tidak memiliki efek retensi natrium. Digunakan dalam dosis rendah untuk menekan axis HPA, pengobatan alergi berat, edema serebral, dan sebagai anti-emetik. Tersedia dalam bentuk oral dan injeksi.
Betamethasone: Mirip dengan deksametason dalam potensi dan durasi kerja, sekitar 25 kali lebih poten dari hidrokortison dengan efek retensi natrium minimal. Sering digunakan dalam bentuk topikal untuk kondisi kulit dan sebagai suntikan prenatal untuk mempercepat pematangan paru janin.
Kortikosteroid Topikal, Inhalasi, dan Lokal Lainnya
Ini adalah formulasi yang dirancang untuk memberikan efek lokal dengan penyerapan sistemik minimal, mengurangi risiko efek samping sistemik.
Kortikosteroid Topikal (Krim, Salep, Losion):
Hidrokortison: Potensi rendah, sering untuk eksim ringan, gigitan serangga.
Betametason, Triamsinolon, Flusinolon, Klovetasol: Potensi menengah hingga sangat tinggi, digunakan untuk psoriasis, eksim parah, dermatitis kontak.
Kortikosteroid Inhalasi (Inhaler, Nebulizer):
Budesonide, Fluticasone, Mometasone, Beclomethasone: Digunakan untuk asma dan PPOK. Bekerja langsung di saluran napas untuk mengurangi peradangan.
Kortikosteroid Nasal (Semprot Hidung):
Fluticasone, Mometasone, Budesonide: Digunakan untuk rhinitis alergi dan polip hidung.
Kortikosteroid Oftalmik (Tetes Mata):
Prednisolon, Deksametason: Untuk peradangan mata (uveitis, konjungtivitis alergi berat).
Kortikosteroid Otik (Tetes Telinga):
Untuk peradangan telinga luar.
Kortikosteroid Rektal (Supositoria, Enema):
Budesonide, Hidrokortison: Untuk kolitis ulseratif atau proktitis.
Indikasi Medis Kortison (Manfaat Utama)
Kortison dan derivatnya memiliki spektrum indikasi medis yang sangat luas karena sifat anti-inflamasi dan imunosupresifnya yang kuat. Mereka digunakan untuk berbagai kondisi di hampir setiap sistem organ dalam tubuh.
1. Kondisi Anti-inflamasi
Ini adalah penggunaan kortikosteroid yang paling umum. Mereka secara efektif mengurangi kemerahan, bengkak, nyeri, dan kehilangan fungsi yang terkait dengan peradangan.
Penyakit Autoimun dan Reumatik:
Rheumatoid Arthritis (RA): Mengurangi nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES): Mengelola peradangan yang meluas yang memengaruhi kulit, sendi, ginjal, otak, dan organ lain.
Penyakit Radang Usus (Inflammatory Bowel Disease/IBD): Seperti Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif, untuk mengendalikan peradangan di saluran pencernaan.
Multiple Sclerosis (MS): Mengurangi keparahan dan durasi serangan akut.
Vaskulitis: Peradangan pembuluh darah, seperti arteritis temporal, granulomatosis dengan poliangitis.
Psoriatic Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Gout: Untuk meredakan episode peradangan akut.
Kondisi Alergi Parah:
Asma: Kortikosteroid inhalasi adalah pengobatan lini pertama untuk asma persisten, mengurangi peradangan saluran napas. Kortikosteroid oral digunakan untuk eksaserbasi akut.
Reaksi Alergi Berat (Anafilaksis): Bersama dengan epinefrin, untuk mengurangi peradangan dan pembengkakan.
Dermatitis Atopik (Eksim Parah): Kortikosteroid topikal adalah terapi utama.
Rhinitis Alergi: Kortikosteroid nasal mengurangi peradangan di hidung.
Urtikaria Kronis (Biduran): Untuk episode parah yang tidak responsif terhadap antihistamin.
Kondisi Kulit:
Psoriasis: Kortikosteroid topikal kuat atau sistemik untuk kasus parah.
Dermatitis Kontak: Untuk meredakan gatal dan peradangan.
Lichen Planus, Pemphigus, Bullous Pemphigoid: Penyakit kulit autoimun.
Kondisi Pernapasan Lainnya:
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK): Kortikosteroid inhalasi sering digunakan dalam kombinasi, kortikosteroid oral untuk eksaserbasi akut.
Sarkoidosis, Fibrosis Paru: Untuk mengurangi peradangan di paru-paru.
Kondisi Mata:
Uveitis, Iritis, Keratitis: Mengurangi peradangan pada mata.
Kondisi Ortopedi/Sendi:
Bursitis, Tendinitis, Sindrom Terowongan Karpal: Injeksi kortikosteroid lokal dapat memberikan peredaan cepat.
Osteoarthritis: Injeksi intra-artikular untuk meredakan nyeri dan peradangan pada sendi yang terkena.
Edema Serebral:
Terutama yang terkait dengan tumor otak, untuk mengurangi pembengkakan otak dan tekanan intrakranial.
2. Efek Imunosupresif
Kortison juga sangat efektif dalam menekan respons kekebalan tubuh, yang berguna dalam situasi di mana sistem kekebalan tubuh terlalu aktif atau menyerang jaringan tubuh sendiri.
Pencegahan Penolakan Transplantasi Organ:
Digunakan dalam rejimen imunosupresif untuk mencegah sistem kekebalan tubuh menyerang organ yang ditransplantasikan.
Pengobatan Kanker Tertentu:
Terutama leukemia, limfoma, dan multiple myeloma. Kortikosteroid dapat menyebabkan apoptosis (kematian sel terprogram) pada sel-sel kanker tertentu dan mengurangi mual/muntah serta meningkatkan nafsu makan pada pasien kanker.
Anemia Hemolitik Autoimun dan Purpura Trombositopenik Idiopatik (ITP):
Untuk menekan penghancuran sel darah merah atau trombosit oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.
3. Terapi Penggantian Hormon
Dalam kondisi di mana tubuh tidak memproduksi cukup kortisol alami, kortikosteroid digunakan untuk menggantikan hormon yang kurang.
Insufisiensi Adrenal (Penyakit Addison):
Pasien membutuhkan hidrokortison (atau kadang prednison) sebagai terapi penggantian seumur hidup untuk menjaga fungsi fisiologis normal.
Hiperplasia Adrenal Kongenital (CAH):
Untuk menekan produksi berlebihan androgen adrenal dan menggantikan defisiensi kortisol.
Bentuk Sediaan dan Cara Pemberian
Kortison dan kortikosteroid tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, memungkinkan target pengobatan yang spesifik dan meminimalkan efek samping sistemik bila memungkinkan.
Oral (Tablet, Kapsul, Sirup):
Ini adalah rute pemberian yang paling umum untuk efek sistemik. Contoh termasuk prednison, prednisolon, deksametason, dan metilprednisolon. Dosis dan durasi bervariasi tergantung kondisi dan keparahan penyakit. Sangat penting untuk mengikuti petunjuk dosis dokter dengan cermat.
Injeksi:
Intravena (IV): Untuk efek sistemik cepat dalam kondisi darurat atau parah (misalnya, eksaserbasi asma akut, syok anafilaksis, cedera kepala traumatis dengan edema serebral). Contoh: metilprednisolon, deksametason.
Intramuskular (IM): Untuk efek sistemik yang lebih lambat dan berkepanjangan. Kadang digunakan untuk alergi musiman parah atau kondisi yang membutuhkan dosis satu kali. Contoh: triamcinolone, betamethasone.
Intra-artikular (Suntikan Sendi): Langsung ke sendi yang meradang (misalnya, lutut, bahu) untuk osteoarthritis, rheumatoid arthritis, bursitis. Bertujuan untuk efek lokal dengan penyerapan sistemik minimal. Contoh: triamcinolone, metilprednisolon.
Epidural/Intratekal: Untuk nyeri punggung kronis atau radikulopati yang disebabkan oleh peradangan saraf.
Infiltrasi Jaringan Lunak: Untuk kondisi seperti tendinitis, bursitis, sindrom terowongan karpal.
Topikal (Krim, Salep, Losion, Gel):
Digunakan untuk kondisi kulit seperti eksim, psoriasis, dermatitis. Formulasi ini memungkinkan obat bekerja langsung di area yang terkena dengan penyerapan sistemik yang minimal. Tersedia dalam berbagai potensi, dari hidrokortison potensi rendah hingga klovetasol potensi sangat tinggi.
Inhalasi (Inhaler, Nebulizer):
Dihirup langsung ke paru-paru untuk mengelola asma dan PPOK, mengurangi peradangan saluran napas. Ini meminimalkan efek samping sistemik. Contoh: budesonide, fluticasone, mometasone.
Nasal (Semprot Hidung):
Digunakan untuk rhinitis alergi dan polip hidung. Contoh: fluticasone, mometasone, budesonide.
Oftalmik (Tetes Mata, Salep Mata):
Untuk mengobati peradangan mata seperti uveitis atau konjungtivitis alergi parah. Contoh: prednisolon, deksametason.
Otik (Tetes Telinga):
Untuk mengobati peradangan pada telinga. Contoh: hidrokortison.
Rektal (Supositoria, Enema, Busa):
Untuk mengobati peradangan di usus besar bagian bawah, seperti kolitis ulseratif atau proktitis. Contoh: hidrokortison, budesonide.
Dosis dan Penyesuaian Kortison
Dosis kortison dan kortikosteroid sangat individual dan bergantung pada beberapa faktor, termasuk kondisi yang diobati, tingkat keparahan penyakit, respons pasien terhadap pengobatan, usia, berat badan, dan adanya kondisi medis lain.
Pentingnya Dosis Individual
Tidak ada dosis "standar" yang berlaku untuk semua. Dokter akan menentukan dosis awal berdasarkan kondisi akut pasien, kemudian mungkin menyesuaikannya seiring waktu. Tujuannya adalah untuk menggunakan dosis efektif terendah untuk periode sesingkat mungkin guna mengendalikan gejala, sambil meminimalkan risiko efek samping.
Penurunan Dosis (Tapering)
Salah satu aspek paling krusial dalam penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang adalah penurunan dosis secara bertahap, atau "tapering". Menghentikan kortikosteroid secara mendadak setelah penggunaan jangka panjang (biasanya lebih dari 3 minggu) atau dosis tinggi dapat menyebabkan "sindrom penarikan steroid" atau insufisiensi adrenal akut. Ini terjadi karena penggunaan kortikosteroid eksternal menekan produksi kortisol alami tubuh oleh kelenjar adrenal (axis HPA - Hypothalamic-Pituitary-Adrenal).
Jika pengobatan dihentikan tiba-tiba, kelenjar adrenal mungkin belum pulih untuk memproduksi kortisol yang cukup, yang bisa menyebabkan gejala seperti kelelahan parah, kelemahan, nyeri sendi/otot, hipotensi, hipoglikemia, mual, muntah, bahkan kolaps kardiovaskular yang mengancam jiwa. Proses tapering memungkinkan kelenjar adrenal untuk perlahan-lahan memulihkan fungsinya.
Skema tapering bervariasi, tetapi umumnya melibatkan pengurangan dosis secara bertahap selama beberapa minggu hingga bulan, tergantung pada dosis awal dan durasi pengobatan. Selama tapering, pasien mungkin mengalami gejala penarikan ringan, yang harus dilaporkan kepada dokter.
Dosis Pulsus
Pada kondisi akut atau penyakit autoimun yang parah, dokter mungkin meresepkan "dosis pulsus" kortikosteroid. Ini melibatkan pemberian dosis yang sangat tinggi (misalnya, metilprednisolon 500-1000 mg) secara intravena selama beberapa hari. Tujuannya adalah untuk mencapai efek anti-inflamasi dan imunosupresif yang sangat cepat dan kuat untuk mengendalikan penyakit yang mengancam jiwa atau menyebabkan kerusakan organ. Dosis pulsus biasanya diikuti dengan dosis oral yang lebih rendah dan tapering.
Efek Samping Kortison
Meskipun sangat efektif, penggunaan kortison, terutama pada dosis tinggi dan jangka panjang, dikaitkan dengan berbagai efek samping. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua orang akan mengalami semua efek samping ini, dan keparahan efek samping sering kali bergantung pada dosis, durasi pengobatan, jenis kortikosteroid, dan respons individu.
Peningkatan Nafsu Makan dan Penambahan Berat Badan: Sangat umum.
Perubahan Mood/Perilaku: Euforia, insomnia, kegelisahan, iritabilitas, depresi, atau bahkan psikosis pada kasus yang jarang.
Retensi Cairan dan Garam: Menyebabkan pembengkakan (edema) dan terkadang peningkatan tekanan darah.
Peningkatan Gula Darah (Hiperglikemia): Dapat menyebabkan "diabetes steroid" pada individu yang rentan atau memperburuk diabetes yang sudah ada.
Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi): Terutama pada pasien yang sudah memiliki riwayat hipertensi.
Gangguan Lambung: Mual, muntah, nyeri ulu hati, dan peningkatan risiko tukak lambung, terutama jika dikombinasikan dengan NSAID.
Insomnia: Kesulitan tidur.
Efek Samping Jangka Panjang (Dosis Tinggi/Durasi Panjang)
Efek samping ini lebih serius dan memerlukan pemantauan ketat.
Sistem Endokrin dan Metabolisme:
Sindrom Cushing: Ini adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh paparan kortikosteroid berlebihan. Ciri-ciri meliputi:
Wajah Bulan (Moon Face): Pembengkakan dan penumpukan lemak di wajah.
Punuk Kerbau (Buffalo Hump): Penumpukan lemak di bagian belakang leher dan bahu.
Obesitas Sentral: Penumpukan lemak di sekitar perut dan batang tubuh.
Striae: Stretch mark merah muda keunguan pada kulit, terutama di perut, paha, dan lengan.
Penipisan Kulit dan Mudah Memar: Kulit menjadi rapuh dan mudah mengalami memar.
Pertumbuhan Rambut Berlebihan (Hirsutisme): Pada wanita.
Penekanan Sumbu HPA (Insufisiensi Adrenal): Seperti yang dijelaskan di bagian tapering, kelenjar adrenal berhenti memproduksi kortisol, menyebabkan ketergantungan pada obat eksogen.
Diabetes Melitus: Risiko tinggi terkena diabetes atau memperburuk diabetes yang sudah ada karena kortikosteroid meningkatkan resistensi insulin dan produksi glukosa.
Osteoporosis: Peningkatan risiko pengeroposan tulang dan patah tulang karena kortikosteroid menghambat pembentukan tulang dan meningkatkan resorpsi tulang. Ini adalah salah satu efek samping yang paling serius dan umum pada penggunaan jangka panjang.
Keterlambatan Pertumbuhan pada Anak: Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan.
Gangguan Menstruasi: Dapat menyebabkan menstruasi tidak teratur atau amenore pada wanita.
Sistem Kardiovaskular:
Hipertensi: Peningkatan tekanan darah.
Disfungsi Endotel: Potensial meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
Retensi Cairan: Memperburuk gagal jantung kongestif.
Sistem Gastrointestinal:
Tukak Peptik dan Pendarahan Saluran Cerna: Peningkatan risiko, terutama bila dikombinasikan dengan NSAID.
Pankreatitis: Meskipun jarang, dapat terjadi.
Sistem Muskuloskeletal:
Miopati Steroid: Kelemahan otot, terutama di paha dan lengan atas.
Nekrosis Avaskular (Osteonekrosis): Kematian jaringan tulang akibat kurangnya suplai darah, paling sering terjadi di kepala tulang paha, dapat menyebabkan nyeri dan kerusakan sendi.
Sistem Dermatologi:
Penipisan Kulit, Mudah Memar, Atrofi: Terutama dengan kortikosteroid topikal yang kuat.
Jerawat (Acne Vulgaris).
Hirsutisme.
Perubahan Pigmentasi Kulit.
Striae.
Sistem Oftalmologi (Mata):
Katarak Subkapsular Posterior: Umum terjadi pada penggunaan jangka panjang.
Glaukoma: Peningkatan tekanan intraokular, yang dapat merusak saraf optik.
Infeksi Mata: Peningkatan risiko infeksi virus (herpes simpleks) atau jamur.
Sistem Imunologi:
Peningkatan Risiko Infeksi: Menekan sistem kekebalan tubuh membuat pasien lebih rentan terhadap infeksi bakteri, virus, jamur, dan parasit. Ini termasuk reaktivasi infeksi laten seperti tuberkulosis atau virus varicella zoster (cacar air/herpes zoster).
Penurunan Respons Imun Terhadap Vaksin: Efektivitas vaksin hidup dapat berkurang.
Sistem Neurologi dan Psikiatri:
Depresi, Mania, Psikosis: Perubahan suasana hati yang lebih parah.
Peningkatan Jumlah Sel Darah Putih (Leukositosis).
Hepatotoksisitas: Kerusakan hati (jarang).
Kontraindikasi dan Peringatan
Meskipun kortison sangat berguna, ada beberapa kondisi di mana penggunaannya harus dihindari atau dilakukan dengan sangat hati-hati.
Kontraindikasi Absolut
Infeksi Sistemik Aktif yang Tidak Diobati: Kecuali dalam kasus spesifik seperti sepsis berat di mana kortikosteroid dosis rendah mungkin bermanfaat, atau meningitis tuberkulosis. Kortikosteroid dapat memperburuk infeksi.
Pemberian Vaksin Hidup: Pada pasien yang menerima dosis imunosupresif kortikosteroid, karena risiko infeksi yang disebarkan oleh vaksin.
Hipersensitivitas: Terhadap kortison atau komponen formulasi lainnya.
Peringatan dan Tindakan Pencegahan
Penyakit Jantung: Hipertensi, gagal jantung kongestif (karena retensi cairan), infark miokardium.
Diabetes Melitus: Pemantauan gula darah yang ketat diperlukan karena kortikosteroid dapat meningkatkan kadar glukosa.
Osteoporosis: Dapat memperburuk kondisi, tindakan pencegahan seperti suplemen kalsium dan vitamin D, bisfosfonat, mungkin diperlukan.
Ulkus Peptikum/Penyakit Gastrointestinal: Peningkatan risiko perdarahan dan perforasi.
Gangguan Jiwa: Dapat memperburuk kondisi seperti depresi atau psikosis.
Glaukoma atau Katarak: Kortikosteroid dapat memperburuk kondisi mata ini.
Infeksi Herpes Simplex pada Mata: Kortikosteroid dapat memperburuk infeksi virus mata.
Gagal Ginjal atau Hati: Dapat mempengaruhi metabolisme dan eliminasi kortikosteroid.
Hipotiroidisme: Efek kortikosteroid dapat diperpanjang pada pasien dengan tiroid yang kurang aktif.
Kehamilan dan Menyusui: Penggunaan harus dipertimbangkan dengan cermat terhadap manfaat dan risikonya. Beberapa kortikosteroid dianggap lebih aman daripada yang lain.
Anak-anak: Pemantauan pertumbuhan yang ketat diperlukan.
Usia Lanjut: Mungkin lebih rentan terhadap efek samping seperti osteoporosis.
Riwayat Tuberkulosis: Kortikosteroid dapat mengaktifkan kembali TBC laten. Profilaksis mungkin diperlukan.
Interaksi Obat
Kortison dan kortikosteroid dapat berinteraksi dengan berbagai obat lain, mengubah efektivitas kedua obat tersebut atau meningkatkan risiko efek samping.
NSAID (Obat Anti-inflamasi Non-Steroid):
Kombinasi dengan NSAID (seperti ibuprofen, naproxen, aspirin) sangat meningkatkan risiko tukak lambung dan perdarahan saluran cerna.
Antikoagulan Oral (misalnya Warfarin):
Kortikosteroid dapat memengaruhi efek antikoagulan, meningkatkan atau menurunkan INR (International Normalized Ratio), memerlukan pemantauan ketat.
Karena kortikosteroid meningkatkan kadar gula darah, dosis obat antidiabetes mungkin perlu disesuaikan.
Diuretik Loop dan Tiazid:
Peningkatan risiko hipokalemia (kadar kalium rendah) karena kortikosteroid juga dapat menyebabkan kehilangan kalium.
Glikosida Jantung (misalnya Digoksin):
Risiko toksisitas digoksin meningkat pada pasien dengan hipokalemia yang disebabkan oleh kortikosteroid.
Barbiturat, Fenitoin, Rifampisin, Efedrin:
Obat-obat ini menginduksi enzim hati yang memetabolisme kortikosteroid, sehingga dapat menurunkan kadar kortikosteroid dalam darah dan mengurangi efektivitasnya.
Ketoconazole, Itraconazole, Ritonavir:
Obat-obat ini menghambat enzim hati yang memetabolisme kortikosteroid, sehingga dapat meningkatkan kadar kortikosteroid dalam darah dan meningkatkan risiko efek samping.
Kontrasepsi Oral (Pil KB):
Estrogen dalam kontrasepsi oral dapat meningkatkan kadar kortikosteroid dalam darah.
Vaksin:
Respons imun terhadap vaksin hidup dapat ditekan, dan ada risiko infeksi dari vaksin hidup pada pasien yang menerima dosis imunosupresif kortikosteroid.
Antasida:
Mengurangi penyerapan kortikosteroid oral jika diberikan bersamaan.
Pengelolaan Efek Samping Kortison
Mengelola efek samping kortison merupakan bagian integral dari terapi. Banyak strategi yang dapat diterapkan untuk meminimalkan risiko dan mengatasi efek samping yang muncul.
1. Dosis dan Durasi Minimal Efektif
Prinsip utama adalah menggunakan dosis efektif terendah untuk periode sesingkat mungkin. Dokter akan selalu berusaha menurunkan dosis (tapering) begitu kondisi pasien terkontrol.
2. Pemantauan Rutin
Gula Darah: Pemantauan rutin, terutama pada pasien diabetes atau yang berisiko.
Tekanan Darah: Pengukuran teratur untuk mengelola hipertensi yang diinduksi steroid.
Kepadatan Tulang (Bone Mineral Density/BMD): Skrining osteoporosis secara berkala, terutama untuk penggunaan jangka panjang. Suplemen kalsium dan vitamin D, serta bisfosfonat, dapat diresepkan untuk pencegahan.
Elektrolit: Pemantauan kadar kalium.
Pemeriksaan Mata: Skrining rutin untuk katarak dan glaukoma, terutama setelah 6 bulan hingga 1 tahun penggunaan.
Tinggi Badan dan Berat Badan Anak: Pemantauan pertumbuhan pada anak-anak.
3. Modifikasi Gaya Hidup dan Diet
Diet:
Rendah Garam: Untuk mengurangi retensi cairan dan tekanan darah tinggi.
Tinggi Kalium: Untuk mencegah hipokalemia. Sumber kalium termasuk pisang, jeruk, kentang, bayam.
Cukup Kalsium dan Vitamin D: Penting untuk kesehatan tulang. Dapat berasal dari makanan atau suplemen.
Kontrol Kalori: Untuk mencegah penambahan berat badan yang berlebihan.
Olahraga:
Aktivitas fisik teratur (dengan batasan jika ada kondisi medis tertentu) dapat membantu menjaga massa otot, kepadatan tulang, dan mengelola berat badan.
Berhenti Merokok dan Mengurangi Konsumsi Alkohol:
Keduanya dapat memperburuk efek samping kortikosteroid, terutama pada tulang dan lambung.
4. Pengobatan Tambahan
Obat Pelindung Lambung: Proton pump inhibitors (PPIs) atau H2 blockers dapat diberikan untuk mencegah tukak lambung, terutama pada pasien dengan riwayat tukak atau yang juga mengonsumsi NSAID.
Suplemen Kalsium dan Vitamin D: Rutin diberikan pada pasien yang menerima kortikosteroid jangka panjang untuk mencegah osteoporosis.
Bisfosfonat: Untuk pasien dengan risiko tinggi atau diagnosis osteoporosis.
Vaksinasi: Pastikan vaksinasi up-to-date, tetapi hindari vaksin hidup pada pasien yang sangat imunosupresi. Diskusikan dengan dokter.
Antasida: Untuk meredakan dispepsia ringan.
5. Edukasi Pasien
Jangan Menghentikan Obat Tiba-tiba: Penting untuk selalu menekankan pentingnya tapering.
Laporkan Efek Samping: Mendorong pasien untuk melaporkan setiap efek samping yang mereka alami kepada dokter.
Identifikasi Medis: Pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang harus membawa kartu identitas medis atau mengenakan gelang identifikasi yang menunjukkan bahwa mereka sedang dalam terapi steroid, terutama dalam keadaan darurat, untuk mencegah krisis adrenal.
Komunikasi Terbuka: Mendorong pasien untuk bertanya dan memahami sepenuhnya rejimen pengobatan mereka.
Kortison dan Gaya Hidup
Mengelola kondisi yang memerlukan kortison sering kali berarti menyesuaikan gaya hidup untuk mendukung pengobatan dan meminimalkan dampak negatifnya. Kepatuhan terhadap rencana perawatan, komunikasi yang efektif dengan tim medis, dan perhatian terhadap kesehatan secara keseluruhan menjadi kunci.
Pentingnya Kepatuhan Terhadap Pengobatan
Mengikuti jadwal dosis yang diresepkan dengan cermat adalah hal fundamental. Melewatkan dosis atau mengubah jadwal tanpa persetujuan dokter dapat memengaruhi efektivitas pengobatan atau memicu masalah. Begitu pula, tidak boleh menghentikan kortikosteroid secara mendadak karena risiko krisis adrenal.
Manajemen Stres
Stres dapat memengaruhi kondisi peradangan dan juga respons tubuh terhadap obat. Mengembangkan strategi manajemen stres yang sehat, seperti meditasi, yoga, atau hobi, dapat mendukung kesehatan secara keseluruhan.
Peran Gizi
Seperti yang telah dibahas, diet memainkan peran penting. Mengadopsi pola makan sehat yang kaya buah, sayuran, biji-bijian, dan protein tanpa lemak, sambil membatasi makanan olahan, tinggi gula, dan tinggi garam, dapat membantu mengelola berat badan, gula darah, dan tekanan darah.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang teratur, disesuaikan dengan kemampuan individu, esensial untuk menjaga massa otot, kesehatan tulang, dan meningkatkan suasana hati. Namun, harus hati-hati agar tidak membebani sendi yang mungkin sudah rentan akibat efek samping steroid.
Perawatan Kulit
Karena kortison dapat menyebabkan penipisan kulit dan mudah memar, penting untuk melindungi kulit dari sinar matahari dan cedera. Pelembap dapat membantu menjaga hidrasi kulit.
Dukungan Psikologis
Perubahan suasana hati adalah efek samping umum dari kortison. Penting untuk mengakui ini dan mencari dukungan dari keluarga, teman, atau profesional kesehatan jika diperlukan. Terapi atau konseling dapat membantu mengelola masalah emosional atau psikologis.
Masa Depan Terapi Kortison
Meskipun kortison telah menjadi landasan pengobatan selama beberapa dekade, penelitian terus berlanjut untuk mengembangkan kortikosteroid baru yang lebih selektif atau memiliki profil efek samping yang lebih baik. Beberapa arah penelitian meliputi:
Kortikosteroid Disosiasi Selektif (Selective Glucocorticoid Receptor Agonists/SEGRAs): Obat-obatan ini dirancang untuk mempertahankan efek anti-inflamasi dan imunosupresif glukokortikoid tetapi meminimalkan efek samping metabolisme dan endokrin dengan secara selektif memodulasi jalur sinyal reseptor glukokortikoid.
Formulasi Baru: Mengembangkan cara pemberian yang lebih bertarget atau terkontrol untuk memaksimalkan efek lokal dan meminimalkan paparan sistemik.
Kombinasi Terapi: Mengidentifikasi kombinasi obat yang memungkinkan penggunaan kortikosteroid dengan dosis lebih rendah atau durasi yang lebih singkat, sehingga mengurangi efek samping.
Tujuannya adalah untuk memaksimalkan manfaat terapeutik kortison sambil meminimalkan risikonya, sehingga pasien dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik dengan aman.
Kesimpulan
Kortison dan kortikosteroid adalah kelompok obat yang sangat kuat dan serbaguna yang telah merevolusi pengobatan berbagai penyakit inflamasi, autoimun, dan kondisi terkait. Dari penyelamatan nyawa dalam keadaan darurat hingga pengelolaan penyakit kronis yang melemahkan, peran mereka dalam kedokteran tidak dapat diremehkan.
Namun, kekuatan mereka datang dengan tanggung jawab besar. Pemahaman yang mendalam tentang mekanisme kerjanya, berbagai indikasi, bentuk sediaan, dan terutama, potensi efek samping dan cara pengelolaannya, sangat penting bagi pasien maupun profesional kesehatan. Penggunaan kortison harus selalu di bawah pengawasan medis yang ketat, dengan dosis yang disesuaikan secara individual dan pemantauan yang cermat untuk menyeimbangkan manfaat terapeutik dengan risiko yang melekat.
Dengan komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter, kepatuhan terhadap rejimen pengobatan, serta modifikasi gaya hidup yang mendukung, kortison akan terus menjadi alat vital yang membantu banyak orang mencapai kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik.