Panduan Lengkap Doa Qunut Pendek

Ilustrasi tangan berdoa اَللّٰهُمَّ

Ilustrasi tangan menengadah berdoa qunut

Doa Qunut merupakan salah satu amalan yang kerap menjadi pembahasan dalam khazanah fikih Islam. Secara bahasa, kata "Qunut" (القنوت) memiliki beberapa makna, di antaranya adalah berdiri lama, diam, taat, tunduk, dan berdoa. Dalam konteks ibadah shalat, qunut merujuk pada doa khusus yang dibaca pada waktu tertentu dalam shalat, dengan posisi berdiri setelah ruku' (i'tidal). Meskipun terdapat beberapa jenis qunut, yang paling dikenal dan sering diamalkan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, khususnya yang mengikuti mazhab Syafi'i, adalah qunut pada rakaat kedua shalat Subuh. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang "qunut pendek", sebuah istilah yang merujuk pada lafaz doa qunut yang paling umum dan ringkas, yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW kepada cucunya, Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma.

Pemahaman mengenai qunut pendek tidak hanya sebatas menghafal lafaznya, tetapi juga meresapi makna agung yang terkandung di dalamnya, mengetahui dasar hukumnya dalam pandangan para ulama, serta memahami tata cara pelaksanaannya yang benar. Doa ini, meskipun singkat, mencakup permohonan yang sangat komprehensif, meliputi permintaan petunjuk, kesehatan, perlindungan, keberkahan, hingga penjagaan dari takdir yang buruk. Oleh karena itu, menyelami setiap aspek dari qunut pendek adalah sebuah perjalanan untuk memperkaya kualitas ibadah dan memperdalam hubungan spiritual seorang hamba dengan Sang Pencipta.


Bacaan Doa Qunut Pendek, Latin, dan Artinya

Inti dari pembahasan qunut pendek adalah lafaz doanya. Doa ini diriwayatkan dalam hadis yang shahih, di mana Sayyidina Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam shalat witir..." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah). Meskipun hadis ini menyebutkan konteks shalat witir, para ulama mazhab Syafi'i menganalogikannya dan menjadikannya sebagai bacaan utama untuk qunut Subuh. Berikut adalah bacaan lengkapnya:

اَللّٰهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَا يُقْضٰى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلٰى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa 'aafinii fiiman 'aafaiit, wa tawallanii fiiman tawallaiit, wa baarik lii fiimaa a'thaiit, wa qinii syarra maa qadhaiit, fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaiik, wa innahuu laa yadzillu man waalaiit, wa laa ya'izzu man 'aadaiit, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalait, fa lakal hamdu 'alaa maa qadhaiit, astaghfiruka wa atuubu ilaiik.

Artinya: "Ya Allah, berikanlah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku bersama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berkahilah rezeki yang telah Engkau berikan kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan takdir yang telah Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan takdir dan bukan Engkau yang ditetapkan takdirnya. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang telah Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi. Bagi-Mu segala puji atas apa yang telah Engkau takdirkan. Aku memohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu."

Untuk shalat berjamaah, imam dianjurkan untuk mengubah lafaz tunggal (seperti "-nii" yang berarti "aku") menjadi lafaz jamak (seperti "-naa" yang berarti "kami"). Perubahan ini mencerminkan semangat kebersamaan dalam doa. Bacaannya menjadi:

اَللّٰهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ...

Allahummahdinaa fiiman hadaiit...

Artinya: "Ya Allah, berikanlah kami petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk..."

Setelah selesai membaca doa di atas, disunnahkan untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.

وَصَلَّى اللهُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Wa shallallaahu 'alaa sayyidinaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aalihii wa shahbihii wa sallam.

Artinya: "Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, nabi yang ummi, beserta keluarga dan para sahabatnya."


Menggali Makna Mendalam di Setiap Kalimat Doa Qunut

Doa qunut pendek bukan sekadar rangkaian kata tanpa makna. Setiap frasa di dalamnya merupakan permohonan yang sangat fundamental bagi kehidupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Memahami maknanya akan meningkatkan kekhusyukan dan kesadaran saat membacanya.

1. اَللّٰهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ (Ya Allah, berikanlah aku petunjuk...)

Ini adalah permohonan pertama dan terpenting. Hidayah atau petunjuk adalah anugerah terbesar dari Allah SWT. Tanpa hidayah, manusia akan tersesat. Permohonan ini mencakup dua jenis hidayah: Hidayatul Irsyad (petunjuk berupa ilmu, penjelasan, dan pemahaman terhadap kebenaran) dan Hidayatut Taufiq (kemampuan dan kemauan untuk mengamalkan kebenaran tersebut). Kita meminta untuk digolongkan bersama orang-orang yang telah Allah pilih untuk menerima petunjuk-Nya, seperti para nabi, orang-orang shalih, dan para syuhada. Ini adalah pengakuan bahwa hidayah sepenuhnya berada di tangan Allah.

2. وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ (Berilah aku kesehatan...)

Kata 'afiyah (kesehatan atau keselamatan) di sini memiliki makna yang sangat luas. Bukan hanya sehat secara fisik dari penyakit, tetapi juga mencakup:

Ini adalah permintaan perlindungan total dari segala hal yang dapat merusak jasmani dan rohani kita.

3. وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ (Pimpinlah aku bersama orang-orang yang Engkau pimpin...)

Tawalli berarti mengambil alih urusan, memberikan pertolongan, perlindungan, dan bimbingan. Ketika kita meminta Allah untuk menjadi Wali kita, kita sedang menyerahkan seluruh urusan kita kepada-Nya. Ini adalah bentuk tawakal tingkat tertinggi. Kita memohon agar Allah yang mengatur hidup kita, menolong kita dalam setiap kesulitan, dan membimbing kita dalam setiap keputusan. Dengan berada di bawah perwalian Allah, seorang hamba tidak akan pernah merasa sendirian atau tidak berdaya.

4. وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ (Berkahilah rezeki yang telah Engkau berikan kepadaku.)

Berkah (barakah) adalah kebaikan ilahi yang menetap pada sesuatu, membuatnya bertambah dan bermanfaat. Permohonan ini bukan hanya meminta tambahan rezeki, tetapi meminta agar apa pun yang telah Allah berikan kepada kita—baik itu harta, ilmu, waktu, keluarga, atau kesehatan—menjadi berkah. Harta yang berkah adalah harta yang halal, cukup, dan digunakan untuk ketaatan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Waktu yang berkah adalah waktu yang diisi dengan amal shalih. Ini adalah doa agar kualitas hidup kita meningkat, bukan hanya kuantitasnya.

5. وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ (Lindungilah aku dari keburukan takdir yang telah Engkau tetapkan.)

Ini adalah pengakuan iman terhadap qadha dan qadar Allah. Seorang mukmin percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas ketetapan Allah. Namun, kita diajarkan untuk berdoa memohon perlindungan dari aspek-aspek takdir yang terasa buruk bagi kita, seperti musibah, penyakit, atau kesulitan. Doa ini tidak menentang takdir, tetapi merupakan bagian dari ikhtiar spiritual untuk menghadapi takdir. Allah Maha Kuasa untuk mengubah akibat dari suatu takdir atau memberikan kita kekuatan dan kesabaran untuk menjalaninya. Ini adalah bentuk adab seorang hamba kepada Tuhannya.

6. فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَا يُقْضٰى عَلَيْكَ (Sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan takdir...)

Kalimat ini adalah penegasan atas kekuasaan mutlak Allah SWT. Allah adalah Sang Penentu, yang hukum-Nya berlaku atas segala sesuatu. Tidak ada satu kekuatan pun di alam semesta yang dapat mendikte atau memengaruhi keputusan-Nya. Ini adalah tauhid rububiyah, mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya. Dengan meyakini ini, hati menjadi tenang karena tahu bahwa nasibnya berada di tangan Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa.

7. وَاِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ (Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi.)

Ini adalah konsekuensi logis dari perwalian Allah. Siapa pun yang berada di bawah perlindungan (wilayah) Allah, ia tidak akan pernah terhina, meskipun seluruh dunia memusuhinya. Kemuliaan sejatinya ada di sisi Allah. Sebaliknya, siapa pun yang menjadi musuh Allah, ia tidak akan pernah merasakan kemuliaan sejati, meskipun ia memiliki kekuasaan dan harta melimpah di dunia. Kalimat ini menanamkan 'izzah (kemuliaan diri) seorang mukmin yang hanya bergantung pada Allah.

8. تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ (Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi.)

Ini adalah kalimat pujian dan pengagungan. Tabarakta berasal dari kata berkah, yang berarti Engkau adalah sumber segala kebaikan dan keberkahan. Ta'aalaita berarti Engkau Maha Tinggi dari segala sifat kekurangan dan dari segala sesuatu yang tidak layak bagi keagungan-Mu. Ini adalah bentuk sanjungan yang layak diucapkan setelah mengakui kekuasaan dan keagungan Allah dalam kalimat-kalimat sebelumnya.

9. فَلَكَ الْحَمْدُ عَلٰى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ (Bagi-Mu segala puji atas apa yang telah Engkau takdirkan. Aku memohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.)

Bagian penutup ini (yang merupakan tambahan dari beberapa riwayat) adalah puncak dari adab berdoa. Setelah memohon begitu banyak hal, kita menutupnya dengan pujian (hamdalah) atas apa pun ketetapan Allah, baik yang kita sukai maupun tidak. Ini menunjukkan keridhaan seorang hamba. Kemudian, kita mengakhirinya dengan istighfar (memohon ampun) dan taubat, sebagai pengakuan atas segala kekurangan dan dosa kita dalam beribadah dan menjalani hidup. Ini adalah cerminan kerendahan hati di hadapan Allah SWT.


Hukum dan Kedudukan Qunut Subuh dalam Fikih Islam

Salah satu aspek yang paling sering didiskusikan terkait doa qunut adalah hukum pelaksanaannya dalam shalat Subuh. Para ulama dari berbagai mazhab fikih memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini, yang semuanya didasarkan pada interpretasi dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Memahami perbedaan ini penting untuk menumbuhkan sikap toleransi (tasamuh) dan saling menghargai di antara umat Islam.

Pandangan Mazhab Syafi'i

Menurut mazhab Syafi'i, yang mayoritas dianut di Indonesia, hukum membaca doa qunut pada rakaat kedua shalat Subuh adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Jika sengaja ditinggalkan, shalatnya tetap sah namun dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi. Jika lupa membacanya, maka sangat dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Dasar utama pandangan ini adalah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang menyatakan: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh sampai beliau wafat." (HR. Ahmad, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi). Meskipun status kesahihan hadis ini diperdebatkan oleh sebagian ulama hadis, para ulama Syafi'iyah menganggapnya sebagai dalil yang kuat dan menjadi landasan utama amalan ini. Mereka juga berpegang pada praktik sebagian besar sahabat dan tabi'in yang melanjutkan amalan ini setelah wafatnya Nabi.

Pandangan Mazhab Maliki

Mazhab Maliki memiliki pandangan yang mirip dengan mazhab Syafi'i, yaitu menganggap qunut Subuh sebagai amalan yang dianjurkan (mandub atau mustahab). Namun, mereka memiliki kekhasan tersendiri. Para ulama Maliki menganjurkan agar qunut Subuh dibaca dengan suara pelan (sirr), baik bagi imam maupun bagi yang shalat sendirian. Mereka berpendapat bahwa doa pada dasarnya lebih afdal dilakukan secara lirih. Perbedaan ini lebih pada tatacara (kaifiyah) daripada hukum dasarnya.

Pandangan Mazhab Hanafi

Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa qunut secara spesifik hanya disyariatkan pada shalat Witir, bukan pada shalat fardhu seperti Subuh. Mereka tidak menganjurkan qunut pada shalat Subuh. Namun, mereka membolehkan qunut jika terjadi musibah besar yang menimpa umat Islam, yang dikenal sebagai Qunut Nazilah. Untuk qunut Subuh rutin, mereka menganggapnya tidak disunnahkan.

Dalil yang mereka gunakan antara lain adalah hadis dari Abu Malik al-Asyja'i yang bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Apakah mereka melakukan qunut (saat Subuh)?" Ayahnya menjawab, "Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (bid'ah)." (HR. Tirmidzi). Mereka juga berargumen bahwa hadis yang menyatakan Nabi melakukan qunut terus-menerus hingga wafat adalah lemah.

Pandangan Mazhab Hanbali

Pandangan mazhab Hanbali serupa dengan mazhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat Subuh secara rutin. Amalan qunut, menurut mereka, disyariatkan pada shalat Witir dan saat terjadi Qunut Nazilah. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab ini, juga bersandar pada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW hanya melakukan qunut pada shalat fardhu untuk sementara waktu karena adanya sebab tertentu (seperti mendoakan keburukan bagi suku Ri'l dan Dzakwan), lalu meninggalkannya.

Sikap Bijak Menghadapi Perbedaan (Khilafiyah)

Dari pemaparan di atas, jelas bahwa masalah qunut Subuh adalah ranah khilafiyah ijtihadiyah, yaitu perbedaan pendapat yang muncul dari ijtihad para ulama mujtahid. Semua pendapat memiliki dasar dalil dan argumentasi masing-masing. Sikap yang paling tepat adalah:

  1. Mengikuti Mazhab yang Diyakini: Seorang Muslim hendaknya mengikuti pandangan mazhab yang dianut oleh guru-gurunya atau yang diyakininya paling kuat dalilnya, tanpa merendahkan pendapat yang lain.
  2. Saling Menghormati: Jika shalat di belakang imam yang membaca qunut, makmum hendaknya mengikuti dengan mengaminkan doanya. Sebaliknya, jika shalat di belakang imam yang tidak qunut, makmum juga hendaknya tidak qunut dan tidak memisahkan diri dari jamaah.
  3. Fokus pada Substansi: Perbedaan dalam masalah cabang (furu') seperti ini tidak boleh merusak persatuan (ukhuwah islamiyah) umat. Fokus utama tetap pada kekhusyukan shalat dan pengagungan kepada Allah SWT.


Tata Cara Pelaksanaan Doa Qunut yang Benar

Bagi yang mengamalkan doa qunut, penting untuk mengetahui tata cara pelaksanaannya yang sesuai dengan tuntunan fikih agar ibadah menjadi lebih sempurna.

Waktu dan Posisi

Doa qunut dibaca pada rakaat kedua shalat Subuh. Waktu membacanya adalah setelah bangkit dari ruku' untuk i'tidal. Setelah membaca "Sami'allahu liman hamidah" (bagi imam dan yang shalat sendiri) atau "Rabbana lakal hamdu" (bagi makmum), sebelum turun untuk sujud, pada posisi i'tidal itulah doa qunut dibaca.

Mengangkat Tangan (Raf'ul Yadain)

Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan saat membaca doa qunut, sebagaimana umumnya adab dalam berdoa. Tangan diangkat setinggi dada atau bahu dengan telapak tangan terbuka menghadap ke langit. Ini didasarkan pada praktik yang diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi, seperti Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu. Setelah selesai berdoa, tidak dianjurkan untuk mengusap wajah dengan kedua tangan, karena tidak ada dalil yang kuat mengenai hal tersebut dalam konteks doa di dalam shalat.

Peran Imam dan Makmum dalam Berjamaah

Dalam shalat berjamaah, terdapat adab khusus yang perlu diperhatikan:

Jika Lupa Membaca Doa Qunut

Menurut pandangan mazhab Syafi'i, jika seseorang (baik imam maupun yang shalat sendiri) lupa membaca doa qunut dan sudah terlanjur turun untuk sujud, maka ia tidak perlu kembali berdiri untuk membaca qunut. Sebagai gantinya, ia disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi sebanyak dua kali sebelum salam. Sujud sahwi berfungsi untuk menambal kekurangan atau kelupaan yang terjadi dalam shalat, khususnya yang berkaitan dengan amalan sunnah ab'adh (sunnah yang sangat dianjurkan), di mana qunut Subuh termasuk di dalamnya.

Jika seorang imam lupa qunut dan langsung sujud, makmum wajib mengikuti imam untuk sujud. Makmum tidak boleh membaca qunut sendirian karena kewajiban mengikuti imam lebih utama. Nantinya, imam dan makmum bersama-sama melakukan sujud sahwi di akhir shalat.


Penutup: Esensi Doa dalam Ibadah

Doa qunut pendek, dengan segala aspek fikih dan hikmah yang melingkupinya, pada hakikatnya adalah manifestasi dari kebutuhan mendasar seorang hamba akan pertolongan, bimbingan, dan perlindungan dari Tuhannya. Lafaznya yang singkat namun padat makna mengajarkan kita untuk memohon hal-hal yang paling esensial dalam kehidupan: hidayah sebagai kompas hidup, 'afiyah sebagai benteng perlindungan, perwalian Allah sebagai jaminan pertolongan, berkah sebagai penambah nilai, dan perlindungan dari takdir buruk sebagai wujud tawakal.

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mengenai hukumnya, semangat yang terkandung dalam doa qunut adalah semangat untuk senantiasa terhubung dengan Allah, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Mempelajari, memahami, dan menghayati doa ini adalah sebuah langkah untuk memperkaya spiritualitas dan menjadikan shalat kita bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah dialog yang khusyuk antara hamba dengan Sang Khalik.

🏠 Kembali ke Homepage