Membedah Doa Qunut: Kajian Komprehensif

Ilustrasi tangan berdoa Ilustrasi tangan sedang berdoa memohon kepada Allah.

Doa adalah inti dari ibadah, sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Penciptanya. Di antara sekian banyak doa yang diajarkan dalam Islam, Doa Qunut memiliki tempat yang istimewa. Ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah manifestasi dari kepasrahan, permohonan, pengharapan, dan pengagungan kepada Allah SWT. Qunut, yang secara bahasa berarti 'berdiri lama', 'diam', atau 'ketaatan', secara istilah merujuk pada doa khusus yang dibaca dalam shalat pada waktu-waktu tertentu, dengan makna yang mendalam dan sejarah yang kaya.

Memahami Qunut secara menyeluruh berarti menyelami lautan ilmu fiqih, menelusuri jejak sejarah pensyariatannya, serta merenungkan setiap untaian kalimatnya yang penuh makna. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek terkait Doa Qunut, mulai dari landasan hukumnya dalam pandangan berbagai madzhab, jenis-jenisnya, hingga tata cara pelaksanaannya yang benar. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang jernih dan komprehensif, sehingga setiap Muslim dapat melaksanakan ibadah ini dengan keyakinan yang berlandaskan ilmu dan kekhusyukan yang lahir dari pemahaman.

Sejarah dan Latar Belakang Pensyariatan Qunut

Untuk memahami esensi dari Doa Qunut, penting bagi kita untuk melihat kembali ke masa lalu, tepatnya pada peristiwa yang melatarbelakangi pensyariatannya. Sejarah Qunut, terutama Qunut Nazilah, sangat erat kaitannya dengan sebuah tragedi memilukan yang dikenal sebagai Peristiwa Bi'r Ma'unah. Peristiwa ini menunjukkan betapa responsifnya syariat Islam terhadap kondisi umat, di mana doa menjadi senjata terkuat dalam menghadapi musibah.

Kisah ini bermula ketika seorang pemimpin dari kabilah Bani 'Amir, Abu Bara' 'Amir bin Malik, datang menemui Rasulullah ﷺ. Ia tidak langsung memeluk Islam, namun juga tidak menolaknya. Ia kemudian meminta Rasulullah ﷺ untuk mengirimkan beberapa sahabat terbaik untuk berdakwah kepada kaumnya di Nejd, seraya menjanjikan perlindungan dan keamanan bagi mereka. Rasulullah ﷺ, dengan harapan besar agar hidayah menyebar, mengabulkan permintaan tersebut. Beliau memilih sekitar tujuh puluh sahabat yang merupakan para penghafal Al-Qur'an terbaik, ahli ibadah, dan pejuang yang gigih. Mereka dikenal sebagai Al-Qurra' (para pembaca Al-Qur'an).

Rombongan mulia ini pun berangkat di bawah pimpinan Al-Mundzir bin 'Amr. Namun, di tengah perjalanan, di sebuah tempat bernama Bi'r Ma'unah (Sumur Ma'unah), terjadi pengkhianatan yang keji. Surat dari Rasulullah ﷺ yang dibawa oleh Haram bin Milhan justru dijawab dengan tusukan tombak dari belakang hingga menembus dadanya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Haram bin Milhan sempat berseru, "Allahu Akbar! Aku telah beruntung, demi Rabb Ka'bah!".

Setelah itu, 'Amir bin Thufail, keponakan Abu Bara' yang telah berkhianat, mengerahkan kabilah-kabilah di sekitarnya untuk menyerang sisa rombongan sahabat. Para sahabat yang tidak menyangka akan serangan ini berjuang dengan gagah berani hingga semuanya gugur sebagai syuhada, kecuali satu atau dua orang yang berhasil selamat untuk membawa kabar duka ini kepada Rasulullah ﷺ.

Ketika berita tragedi ini sampai ke Madinah, Rasulullah ﷺ merasakan kesedihan yang amat mendalam. Beliau sangat terpukul kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya dalam sebuah pengkhianatan yang begitu licik. Sebagai respons atas peristiwa ini, Allah SWT memberikan petunjuk kepada Rasulullah ﷺ untuk memanjatkan doa khusus dalam shalat. Selama sebulan penuh, setiap kali shalat fardhu, setelah bangkit dari ruku' (i'tidal) pada rakaat terakhir, Rasulullah ﷺ membaca Doa Qunut. Doa ini berisi laknat dan permohonan keburukan bagi kabilah-kabilah yang telah berkhianat, serta doa kebaikan bagi kaum Muslimin yang tertindas. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Qunut Nazilah, qunut yang dibaca ketika umat Islam ditimpa musibah besar.

Dari peristiwa inilah para ulama mengambil landasan bahwa Qunut disyariatkan, terutama ketika terjadi malapetaka, penindasan, atau bencana yang menimpa kaum Muslimin secara luas. Praktik ini kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan generasi setelahnya, menunjukkan bahwa Qunut Nazilah adalah bagian dari sunnah yang dapat dihidupkan kembali saat kondisi membutuhkannya.

Jenis-jenis Doa Qunut dan Hukumnya

Dalam perkembangannya, praktik Qunut tidak hanya terbatas pada saat terjadi musibah (Nazilah). Para ulama fiqih mengklasifikasikannya ke dalam beberapa jenis, masing-masing dengan waktu pelaksanaan dan hukum yang berbeda menurut pandangan berbagai madzhab. Perbedaan pandangan ini lahir dari interpretasi yang beragam terhadap dalil-dalil hadits yang ada, dan merupakan sebuah kekayaan intelektual dalam khazanah Islam.

1. Qunut Subuh

Ini adalah jenis qunut yang paling populer dan sering menjadi topik diskusi di kalangan umat Islam. Qunut Subuh adalah doa qunut yang dibaca secara rutin pada rakaat kedua Shalat Subuh, setelah i'tidal. Hukum pelaksanaannya menjadi salah satu titik perbedaan pendapat (khilafiyah) yang paling menonjol di antara madzhab empat.

Pandangan Madzhab Syafi'i

Menurut Madzhab Syafi'i, membaca Qunut pada Shalat Subuh hukumnya adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Meninggalkannya secara sengaja dianggap makruh, dan jika terlupa, dianjurkan untuk melakukan Sujud Sahwi sebelum salam. Pandangan ini didasarkan pada beberapa hadits, di antaranya:

Hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ketika beliau ditanya, "Apakah Rasulullah ﷺ melakukan qunut pada shalat Subuh?" Beliau menjawab, "Ya." Ditanya lagi, "Apakah sebelum ruku' atau sesudahnya?" Beliau menjawab, "Sesudah ruku'." (Muttafaqun 'alaih). Dalam riwayat lain, Anas bin Malik juga menyatakan, "Rasulullah ﷺ senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh hingga beliau wafat."

Meskipun sanad hadits yang terakhir ini diperdebatkan kekuatannya oleh sebagian ulama hadits, bagi para ulama Syafi'iyah, hadits ini dan riwayat-riwayat lainnya menjadi landasan kuat untuk mengamalkan Qunut Subuh secara rutin. Mereka berargumen bahwa praktik Qunut Nazilah yang dilakukan Rasulullah ﷺ selama sebulan itu kemudian dilanjutkan secara spesifik pada Shalat Subuh karena fajar adalah waktu permulaan hari, saat yang tepat untuk memohon perlindungan dan berkah.

Pandangan Madzhab Maliki

Madzhab Maliki memiliki pandangan yang mirip dengan Madzhab Syafi'i, yaitu menganggap Qunut Subuh sebagai amalan yang dianjurkan (mustahab/mandub). Namun, terdapat perbedaan dalam praktiknya. Para ulama Maliki berpendapat bahwa Qunut Subuh sebaiknya dibaca secara sirr (pelan), baik bagi imam maupun bagi yang shalat sendirian. Mereka juga berpendapat bahwa doanya bisa dilakukan sebelum ruku' setelah selesai membaca surat. Pandangan ini juga bersandar pada riwayat-riwayat dari para sahabat dan tabi'in yang menunjukkan adanya praktik tersebut di kalangan mereka.

Pandangan Madzhab Hanafi dan Hanbali

Berbeda dengan dua madzhab sebelumnya, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa melakukan Qunut secara spesifik dan rutin pada Shalat Subuh adalah tidak disyariatkan, bahkan sebagian menganggapnya makruh atau bid'ah. Argumen mereka didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan qunut hanya selama sebulan (saat Nazilah), kemudian meninggalkannya.

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang menceritakan bahwa setelah sebulan mendoakan keburukan bagi para pengkhianat, Rasulullah ﷺ meninggalkan qunut tersebut. Juga hadits dari Abu Malik Al-Asyja'i, ia berkata, "Aku berkata kepada ayahku, 'Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Apakah mereka melakukan qunut (pada shalat Subuh)?' Ayahku menjawab, 'Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (bid'ah).'"

Madzhab Hanbali memiliki pandangan yang serupa dengan Madzhab Hanafi dalam hal tidak mengamalkan Qunut Subuh secara rutin. Namun, mereka sangat menekankan disyariatkannya Qunut Nazilah. Jadi, menurut Madzhab Hanbali, Qunut tidak dibaca pada Shalat Subuh dalam kondisi normal, tetapi menjadi sangat dianjurkan untuk dibaca ketika umat Islam sedang menghadapi musibah besar. Ini adalah posisi yang dianggap jalan tengah antara Madzhab Syafi'i dan Hanafi.

2. Qunut Nazilah

Qunut Nazilah adalah qunut yang disepakati kesunnahannya oleh mayoritas ulama dari semua madzhab. Sebagaimana dijelaskan dalam sejarahnya, qunut ini dibaca ketika kaum Muslimin ditimpa oleh malapetaka, seperti perang, penindasan oleh musuh, wabah penyakit yang meluas, kelaparan, atau bencana alam yang dahsyat.

Beberapa poin penting terkait Qunut Nazilah:

Praktik Qunut Nazilah menunjukkan betapa Islam adalah agama yang dinamis dan relevan dengan setiap kondisi. Shalat tidak hanya menjadi ritual pribadi, tetapi juga medium untuk menyuarakan keprihatinan kolektif dan memohon pertolongan ilahi secara bersama-sama.

3. Qunut Witir

Qunut Witir adalah doa qunut yang dibaca pada rakaat terakhir Shalat Witir. Mengenai hukum dan waktunya, juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Lafadz yang digunakan untuk Qunut Witir pada umumnya sama dengan lafadz yang masyhur digunakan untuk Qunut Subuh, yaitu doa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ kepada cucunya, Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma.

Lafadz Doa Qunut, Transliterasi, dan Maknanya

Lafadz doa qunut yang paling umum dan sering diajarkan adalah doa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa'i, Abu Dawud, dan lainnya, yang bersumber dari Hasan bin Ali. Beliau berkata, "Rasulullah ﷺ mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam Shalat Witir..." Doa inilah yang juga diadopsi oleh mayoritas ulama Syafi'iyah untuk Qunut Subuh.

اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa 'aafinii fiiman 'aafaiit, wa tawallanii fiiman tawallaiit, wa baarik lii fiimaa a'thaiit, wa qinii syarra maa qadhaiit, fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaiik, wa innahu laa yadzillu man waalaiit, wa laa ya'izzu man 'aadaiit, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalaiit, falakal hamdu 'alaa maa qadhaiit, wa astagfiruka wa atuubu ilaiik, wa shallallaahu 'alaa sayyidinaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

"Ya Allah, berikanlah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku 'afiyah (keselamatan dan kesehatan) sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri 'afiyah. Uruslah aku sebagaimana orang-orang yang telah Engkau urus. Berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan. Lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menghukumi dan tidak dihukumi. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau beri kekuasaan, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami, dan Maha Tinggi. Maka bagi-Mu segala puji atas apa yang telah Engkau tetapkan. Aku memohon ampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, nabi yang ummi, beserta keluarga dan para sahabatnya."

Tadabbur (Perenungan) Makna Doa Qunut

Doa Qunut bukan sekadar hafalan, melainkan sebuah dialog mendalam yang sarat makna. Mari kita bedah setiap kalimatnya:

اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ

"Ya Allah, berikanlah aku petunjuk di antara orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk." Ini adalah permohonan pertama dan terpenting. Hidayah (petunjuk) adalah anugerah terbesar dari Allah. Kita memohon untuk dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang telah dipilih-Nya untuk menerima petunjuk. Hidayah ini mencakup dua hal: hidayah ilmu (hidayah al-irsyad), yaitu pengetahuan tentang kebenaran, dan hidayah taufiq (hidayah at-taufiq), yaitu kekuatan dan kemauan untuk mengamalkan kebenaran tersebut. Tanpa pertolongan Allah, akal dan usaha kita tidak akan cukup untuk tetap berada di jalan yang lurus.

وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ

"Dan berilah aku 'afiyah di antara orang-orang yang telah Engkau beri 'afiyah." Kata 'afiyah memiliki makna yang sangat luas. Ia bukan sekadar kesehatan fisik, melainkan keselamatan dan perlindungan dari segala macam keburukan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini mencakup perlindungan dari penyakit, dari fitnah, dari musibah, dari kezaliman manusia, dan yang terpenting, dari penyakit hati dan dosa. Meminta 'afiyah adalah meminta kehidupan yang seimbang, damai, dan selamat secara lahir dan batin.

وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ

"Dan uruslah (peliharalah) aku di antara orang-orang yang telah Engkau urus." Ini adalah pernyataan kepasrahan total. Kita meminta agar Allah menjadi Al-Wali bagi kita, yaitu Dzat yang mengurus segala urusan kita, yang melindungi, menolong, dan mencintai kita. Ketika Allah telah menjadi pelindung seorang hamba, maka tidak ada satu kekuatan pun di alam semesta yang dapat mencelakainya. Ini adalah permohonan untuk mendapatkan bimbingan dan penjagaan ilahi dalam setiap langkah kehidupan.

وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ

"Dan berkahilah untukku atas apa yang telah Engkau berikan." Barakah (keberkahan) adalah bertambahnya dan tetapnya kebaikan pada sesuatu. Kita tidak hanya meminta pemberian dari Allah, tetapi kita juga meminta agar setiap pemberian itu—baik berupa harta, ilmu, keluarga, waktu, atau kesehatan—dijadikan berkah. Sesuatu yang sedikit namun berkah jauh lebih baik daripada sesuatu yang banyak namun tidak membawa kebaikan. Dengan berkah, yang sedikit terasa cukup, dan yang banyak membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ

"Dan lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau takdirkan." Kalimat ini mengandung pengakuan penuh atas takdir (qadha) Allah. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas ketetapan-Nya. Namun, dalam ketetapan-Nya, bisa jadi ada sesuatu yang tampak buruk bagi kita, seperti sakit, kehilangan, atau kegagalan. Kita memohon kepada Allah agar dilindungi dari dampak buruk takdir tersebut dan diberi kekuatan untuk menghadapinya dengan sabar dan ridha. Ini adalah adab seorang hamba kepada Rabb-nya, meyakini kebaikan di balik setiap ketetapan-Nya sambil terus memohon perlindungan dari aspek yang tidak kita sukai.

فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ

"Karena sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan dan tidak ada yang menetapkan atas-Mu." Ini adalah kalimat penegasan akan kemahakuasaan Allah. Allah adalah Sang Pembuat keputusan absolut. Hukum-Nya berlaku atas segala sesuatu, sementara Dia tidak tunduk pada hukum apapun atau siapapun. Ini menguatkan keyakinan kita bahwa hanya kepada-Nya kita boleh bergantung dan memohon.

وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ

"Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau beri perlindungan, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi." Ini adalah deklarasi tentang sumber kemuliaan dan kehinaan yang hakiki. Kemuliaan sejati ('izzah) hanya datang dari Allah. Siapapun yang berada di bawah naungan perlindungan-Nya tidak akan pernah terhina. Sebaliknya, siapapun yang menjadi musuh Allah, tidak akan pernah menemukan kemuliaan sejati, sekalipun ia memiliki kekuasaan dan harta melimpah di dunia.

تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

"Maha Berkah Engkau, wahai Tuhan kami, dan Maha Tinggi." Sebuah kalimat pujian dan sanjungan yang agung. Tabaarakta berarti Engkau adalah sumber segala keberkahan. Ta'aalaita berarti Engkau Maha Tinggi dari segala sifat kekurangan dan dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi keagungan-Mu. Ini adalah pengakuan atas kesempurnaan Allah setelah rentetan permohonan yang kita panjatkan.

Tata Cara Pelaksanaan Qunut

Melaksanakan Qunut dengan benar sesuai tuntunan adalah bagian penting dari ibadah. Berikut adalah panduan tata cara pelaksanaan Qunut, khususnya dalam konteks Shalat Subuh atau Witir menurut pandangan yang mempraktikkannya:

  1. Posisi dan Waktu: Qunut dibaca pada rakaat terakhir sebuah shalat, yaitu setelah bangkit dari ruku' dan membaca bacaan i'tidal ("Sami'allahu liman hamidah, rabbanaa lakal hamdu..."). Jadi, posisinya adalah berdiri tegak (i'tidal) sebelum turun untuk sujud.
  2. Mengangkat Tangan: Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan saat membaca doa qunut, sebagaimana umumnya adab dalam berdoa. Posisi tangan seperti orang yang memohon, yaitu menengadah ke atas dengan telapak tangan terbuka. Hal ini didasarkan pada praktik beberapa sahabat Nabi.
  3. Suara Imam dan Makmum: Jika shalat dilakukan secara berjamaah, imam akan membaca doa qunut dengan suara yang dikeraskan (jahr) agar terdengar oleh makmum.
  4. Mengaminkan Doa: Tugas makmum saat imam membaca doa qunut adalah mengaminkan (mengucapkan "Aamiin") pada setiap jeda kalimat doa. Ketika imam membaca bagian pujian (seperti "Fa innaka taqdhii..." hingga akhir), makmum dianjurkan untuk ikut membaca dengan suara pelan atau cukup diam mendengarkan.
  5. Mengusap Wajah: Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum mengusap wajah setelah selesai berdoa qunut. Sebagian ulama menganggapnya sunnah berdasarkan hadits-hadits umum tentang adab berdoa, sementara sebagian lain menganggap hadits-hadits tersebut lemah sehingga tidak dianjurkan untuk melakukannya dalam konteks shalat.
  6. Sujud Sahwi Jika Lupa: Menurut Madzhab Syafi'i, karena Qunut Subuh termasuk Sunnah Ab'adh (sunnah yang jika ditinggalkan dianjurkan sujud sahwi), maka jika seseorang lupa membaca Qunut Subuh, ia dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi dua kali sebelum salam.

Hikmah dan Keutamaan Doa Qunut

Di balik setiap syariat yang ditetapkan, terkandung hikmah dan keutamaan yang mendalam. Demikian pula dengan Doa Qunut. Mengamalkannya dengan penuh pemahaman akan mendatangkan berbagai kebaikan spiritual bagi seorang Muslim.

Kesimpulan: Menghargai Perbedaan dalam Bingkai Persatuan

Doa Qunut adalah salah satu ibadah agung dalam Islam yang memiliki sejarah, makna, dan hikmah yang sangat dalam. Pembahasan mengenai hukumnya, terutama Qunut Subuh, memang menunjukkan adanya perbedaan pandangan (ikhtilaf) di antara para ulama madzhab. Perbedaan ini bukanlah sebuah aib atau alasan untuk perpecahan, melainkan sebuah rahmat dan bukti kekayaan khazanah intelektual Islam. Setiap madzhab memiliki landasan dalil dan metode ijtihad yang kuat dan patut dihormati.

Sikap yang paling bijaksana bagi seorang Muslim adalah mempelajari berbagai pandangan ini dengan pikiran terbuka, lalu mengikuti pandangan yang paling diyakininya berdasarkan bimbingan guru yang terpercaya, tanpa merendahkan atau menyalahkan mereka yang mengamalkan pandangan berbeda. Yang terpenting dari semua itu adalah esensi dari doa qunut itu sendiri: sebuah permohonan yang tulus, kepasrahan yang total, dan keyakinan yang tak tergoyahkan akan kekuasaan, kasih sayang, dan pertolongan Allah SWT. Baik yang mengamalkannya secara rutin maupun yang tidak, semoga kita semua senantiasa termasuk dalam golongan orang-orang yang diberi petunjuk, 'afiyah, perlindungan, dan keberkahan oleh-Nya.

🏠 Kembali ke Homepage