Tindakan yang dikenal sebagai menyelonong adalah salah satu fenomena sosial yang paling sering kita temui, namun jarang kita analisis secara mendalam. Ia bukan sekadar pelanggaran etika lalu lintas atau kesabaran dalam antrean; ia adalah manifestasi kompleks dari interaksi antara kebutuhan individu, percepatan modernitas, dan runtuhnya norma-norma kolektif. Konteks kata ini, yang sering digunakan dalam bahasa Melayu dan Indonesia, merujuk pada aksi mengambil jalan pintas, memotong barisan secara tiba-tiba, atau menyusup ke dalam celah yang semestinya bukan haknya, seringkali tanpa izin atau pertimbangan terhadap pihak lain yang dirugikan.
Dalam eksplorasi ini, kita akan membongkar lapisan demi lapisan makna di balik kata "menyelonong," menganalisis bagaimana tindakan transgresif mikro ini membentuk psikologi massa, serta bagaimana ia bergerak dari arena fisik jalan raya menuju ruang digital yang tak terbatas. Pemahaman terhadap aksi menyelonong memberikan kita jendela untuk melihat konflik abadi antara efisiensi pribadi dan harmoni sosial, antara ego yang mendesak dan kewajiban komunal yang tak terucapkan.
Secara etimologis, kata menyelonong mengandung unsur kecepatan, ketidaksabaran, dan pelanggaran. Ia menggambarkan suatu gerakan yang tajam, cepat, dan seringkali tidak terduga, memasuki ruang atau urutan yang sudah ditetapkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisinya berkisar pada tindakan menyusup, memotong, atau menyempil. Namun, di luar definisi leksikalnya, makna sosiologisnya jauh lebih kaya dan sarat muatan emosional, mencerminkan kejengkelan kolektif terhadap ketidakadilan waktu.
Ruang publik, baik itu jalan, antrean bank, atau pintu masuk stasiun kereta, diatur oleh serangkaian aturan tak tertulis yang menjamin keadilan distributif (distributive justice). Aturan ini menyatakan bahwa siapa yang datang lebih dulu, berhak dilayani lebih dulu—prinsip dasar dari antrean (queueing theory). Ketika seseorang menyelonong, ia secara langsung menolak sistem ini. Ia mengambil apa yang disebut para sosiolog sebagai 'keuntungan waktu' (temporal advantage) yang semestinya dimiliki oleh orang lain, menukarnya dengan rasa marah dan disorientasi bagi mereka yang tertib.
Fenomena ini menjadi kian relevan dalam masyarakat perkotaan yang padat, di mana sumber daya (termasuk waktu dan ruang) menjadi langka. Di tengah kemacetan yang luar biasa, misalnya, aksi menyelonong bukan hanya tentang memotong, tetapi tentang penegasan superioritas atau kebutuhan mendesak yang dipaksakan. Ini adalah deklarasi bahwa waktu pelaku lebih berharga daripada waktu kolektif.
Konsekuensi dari tindakan ini bersifat kumulatif. Satu tindakan menyelonong mungkin hanya menunda satu atau dua orang. Namun, ketika ini menjadi budaya, ia meruntuhkan kepercayaan dasar (social trust) yang diperlukan untuk kohesi sosial. Masyarakat yang sering dihadapkan pada aksi saling memotong cenderung lebih rentan terhadap kekacauan dan kurang kooperatif, menciptakan lingkaran setan ketidaktertiban yang dimulai dari pelanggaran kecil.
Dalam era kecepatan tinggi, di mana teknologi menjanjikan gratifikasi instan, kesabaran menjadi komoditas yang langka. Tuntutan untuk mencapai tujuan secepat mungkin memicu naluri untuk menyelonong. Ini bukan lagi sekadar dorongan impulsif, melainkan respons yang dipelajari terhadap sistem yang dirasakan lambat dan tidak efisien. Jika sistem—apakah itu birokrasi, lalu lintas, atau layanan publik—gagal bergerak pada kecepatan yang diharapkan individu, individu tersebut merasa berhak untuk menciptakan efisiensi pribadinya sendiri, seringkali dengan melanggar hak orang lain.
Kita hidup dalam masyarakat yang menghargai kecepatan dan efikasi. Iklan, teknologi, dan bahkan filsafat manajemen modern mendorong kita untuk mengoptimalkan setiap detik. Dalam lingkungan ini, menunggu dianggap sebagai kerugian, sebagai waktu yang terbuang. Oleh karena itu, bagi sebagian orang, menyelonong adalah tindakan rasional, sebuah optimalisasi mikro yang dilakukan di tengah kekacauan besar. Namun, rasionalitas individu ini secara inheren merusak rasionalitas sistem kolektif.
Untuk memahami dampaknya, kita harus melihat di mana tindakan ini paling sering terjadi. Tiga arena utama di mana aksi menyelonong menjadi drama sehari-hari adalah lalu lintas, antrean layanan, dan komunikasi interpersonal.
Lalu lintas adalah habitat paling subur bagi aksi menyelonong. Ini terjadi ketika pengendara motor atau mobil, didorong oleh ketidaksabaran atau urgensi yang diklaim, secara agresif memasuki jalur di mana kendaraan lain sudah berbaris tertib. Fenomena ini diperparah di persimpangan jalan atau di area yang mengalami penyempitan jalur (bottleneck). Di sini, tindakan menyelonong seringkali melibatkan manuver berbahaya yang tidak hanya melanggar etika tetapi juga keselamatan fisik.
Kendaraan menjadi perpanjangan dari ego. Di balik setir, anonimitas relatif memberikan keberanian kepada individu untuk melakukan pelanggaran yang tidak akan mereka lakukan jika berhadapan muka. Pengendara yang menyelonong merasa kebal, menggunakan massa dan kecepatan kendaraannya sebagai alat dominasi. Mereka menjustifikasi tindakan mereka dengan alasan "semua orang juga melakukannya," atau "kalau tidak begitu, tidak akan sampai."
Konteks lalu lintas ini juga menunjukkan bagaimana menyelonong dapat beresonansi dengan ketidakpercayaan terhadap otoritas. Jika penegakan hukum lemah atau dianggap korup, individu akan merasa bahwa aturan tidak lagi berlaku, dan efisiensi pribadi menjadi satu-satunya hukum yang sah. Ketidaktertiban yang diakibatkan oleh satu atau dua pengendara yang menyelonong dapat menyebabkan kemacetan yang meluas (the ripple effect), memperlambat ratusan orang lainnya yang sebenarnya sudah patuh.
Antrean adalah simbol kesetaraan waktu. Setiap orang menyerahkan waktu mereka untuk mendapatkan layanan secara bergantian. Aksi menyelonong dalam antrean adalah serangan langsung terhadap kesetaraan ini. Pelaku queue jumping seringkali menggunakan taktik psikologis, seperti berpura-pura tidak melihat antrean, memanfaatkan distraksi petugas, atau berbohong tentang alasan mendesak.
Reaksi terhadap menyelonong dalam antrean biasanya lebih emosional dibandingkan di lalu lintas karena pelakunya berhadapan langsung dengan korban. Korban merasa dirampas dan direndahkan. Seringkali, konflik yang timbul dari aksi ini adalah pertarungan moral: apakah kita harus menegakkan aturan dan mengambil risiko konfrontasi, atau mengalah demi menghindari gesekan sosial? Kegagalan kolektif untuk menantang pelaku yang menyelonong hanya akan menguatkan keyakinan pelaku bahwa tindakan mereka dapat diterima.
Fenomena ini juga berkaitan erat dengan konsep 'hak istimewa' (privilege). Seseorang mungkin merasa berhak untuk menyelonong karena status sosialnya, pakaiannya, atau koneksinya. Dalam kasus ini, aksi menyelonong adalah penegasan hierarki sosial di ruang publik yang seharusnya egalitarian.
Dalam ranah komunikasi, aksi menyelonong berwujud interupsi agresif. Ini terjadi ketika seseorang memotong pembicaraan orang lain secara kasar, mengganti topik secara tiba-tiba, atau mengambil alih panggung diskusi, mengabaikan struktur giliran bicara yang disepakati. Meskipun tidak melibatkan fisik, interupsi ini merampas 'waktu bicara' (turn-taking) seseorang, merusak alur pemikiran, dan menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap kontribusi orang lain.
Interupsi yang bersifat menyelonong sering didorong oleh keinginan kuat untuk mendominasi narasi atau menunjukkan pengetahuan yang superior. Pelakunya tidak mendengarkan untuk memahami, melainkan mendengarkan hanya untuk menunggu kesempatan mereka untuk berbicara (atau lebih tepatnya, memotong). Dalam lingkungan kerja, interupsi ini dapat merusak dinamika tim dan membuat anggota yang lebih pendiam merasa disensor atau tidak dihargai, padahal kontribusi mereka mungkin sama pentingnya.
Mengapa seseorang memilih untuk menyelonong, mengambil risiko dipermalukan atau dihukum, hanya untuk menghemat beberapa menit atau bahkan detik? Motivasi di balik tindakan transgresif ini bersifat multifaktorial, melibatkan ego, persepsi waktu, dan konteks sosial.
Inti dari tindakan menyelonong adalah penempatan prioritas diri di atas kolektivitas. Pelaku cenderung memiliki pandangan yang egosentris terhadap situasi. Mereka melihat antrean atau kemacetan bukan sebagai sistem yang harus ditaati, melainkan sebagai hambatan yang harus diatasi. Kekurangan empati memainkan peran besar; mereka gagal—atau memilih untuk tidak—membayangkan atau merasakan ketidaknyamanan yang dialami oleh orang-orang yang mereka potong.
Psikologi kognitif menunjukkan bahwa ketika seseorang merasa tertekan oleh waktu (time pressure), kemampuan mereka untuk berempati dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang akan menurun drastis. Dorongan untuk segera lepas dari situasi yang stagnan (kemacetan, antrean panjang) mengalahkan rasa tanggung jawab sosial. Proses pengambilan keputusan ini adalah pertarungan antara sistem emosional yang mendesak ("Saya harus cepat!") melawan sistem rasional yang lambat ("Apa dampak tindakan saya pada orang lain?"). Dalam aksi menyelonong, sistem emosional seringkali menang.
Anonimitas yang ditawarkan oleh keramaian atau berada di dalam kendaraan (terutama mobil dengan kaca gelap) berfungsi sebagai penutup moral. Ini adalah fenomena disinhibisi di mana individu merasa bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab atas tindakan mereka karena identitas mereka tersembunyi atau terdispersi dalam kerumunan. Di balik kemudi, pengemudi yang menyelonong hanyalah bagian dari arus, bukan individu yang terisolasi.
Efek disinhibisi ini sangat kuat dalam lingkungan digital, yang akan kita bahas nanti. Namun, dalam konteks fisik, hal ini memungkinkan pelaku untuk melanggar norma sosial tanpa harus menghadapi rasa malu atau sanksi sosial secara langsung. Mereka tahu bahwa sangat kecil kemungkinan orang yang mereka rugikan akan mengejar atau membalas dendam. Kepastian sanksi yang rendah ini menjadi pendorong utama bagi mereka untuk berani menyelonong.
Ironisnya, beberapa orang menyelonong karena mereka merasa bahwa sistem itu sendiri tidak adil atau tidak efisien. Mereka berargumen, "Mengapa saya harus patuh jika sistemnya sudah rusak?" Jika seseorang melihat terlalu banyak orang lain lolos setelah menyelonong, atau jika mereka percaya bahwa antrean/aturan dibuat secara sewenang-wenang, motivasi mereka untuk mematuhi aturan akan terkikis. Ini adalah manifestasi dari teori Anomie Durkheim, di mana individu merasa terputus dari norma-norma sosial.
Dalam kasus ini, tindakan menyelonong adalah semacam pemberontakan mikro, sebuah upaya untuk memulihkan keadilan yang dirasakan telah hilang. Tentu saja, pemberontakan ini seringkali hanya menghasilkan ketidakadilan yang lebih besar, tetapi bagi pelaku, ia memberikan rasa kontrol dan kemenangan sementara di tengah situasi yang mereka anggap tidak terkendali.
Konsep menyelonong tidak terbatas pada antrean dan lalu lintas. Ketika kita memperluas definisinya menjadi "tindakan mengambil jalan pintas atau melanggar batasan yang sah untuk keuntungan pribadi," kita mulai melihat manifestasinya di tingkat yang lebih besar, termasuk dalam politik, ekonomi, dan dunia digital.
Di arena birokrasi, menyelonong termanifestasi sebagai korupsi prosedur. Ini adalah tindakan menggunakan koneksi, uang, atau kekuasaan untuk melewati proses normal yang seharusnya dilalui semua warga negara. Fenomena "jalur khusus" atau "VIP" yang didasarkan pada pengaruh, bukan kebutuhan mendesak yang sah, adalah bentuk menyelonong yang dilembagakan.
Jika di jalan raya aksi menyelonong menghasilkan kemacetan, dalam birokrasi, ia menghasilkan penundaan, inefisiensi, dan biaya yang lebih tinggi bagi warga negara biasa yang patuh. Ketika seorang pejabat atau politisi menggunakan posisinya untuk mendapatkan izin, tender, atau layanan dengan cepat, mereka secara efektif menyelonong di depan ribuan aplikasi atau permohonan yang menunggu, merusak prinsip meritokrasi dan transparansi.
Konsekuensi makro dari menyelonong jenis ini jauh lebih merusak daripada pemotongan antrean fisik. Ini menumbuhkan sinisme publik, memperkuat ketidakpercayaan terhadap institusi, dan pada akhirnya, mendefinisikan kembali apa artinya menjadi warga negara yang patuh. Jika kepatuhan hanya menjanjikan penundaan dan ketidaknyamanan, sementara transgresi menjanjikan kecepatan dan keuntungan, maka budaya menyelonong akan berakar kuat.
Dalam dunia korporasi, menyelonong dapat dilihat dalam bentuk pelanggaran regulasi, pemotongan standar etika, atau penggunaan informasi orang dalam (insider trading) untuk mendapatkan keuntungan finansial. Perusahaan yang memilih untuk menyelonong mungkin menghindari biaya kepatuhan lingkungan atau standar keselamatan kerja, demi mencapai keuntungan jangka pendek yang cepat.
Ketika sebuah entitas bisnis menyelonong, dampaknya terasa secara sistemik. Praktik ini tidak hanya merugikan pesaing yang bermain adil, tetapi juga merusak pasar, menipu konsumen, dan menimbulkan risiko eksternalitas negatif (seperti polusi atau kerugian finansial massal). Filosofi di balik menyelonong bisnis adalah bahwa aturan hanyalah saran, dan keberhasilan ditentukan oleh seberapa mahir seseorang memanfaatkan celah hukum dan etika.
Ketika masyarakat bermigrasi ke dunia maya, demikian pula perilaku sosial, termasuk transgresi. Menyelonong digital mengambil bentuk-bentuk baru, memanfaatkan anonimitas dan kecepatan jaringan untuk mengganggu atau mengambil keuntungan.
Salah satu bentuk menyelonong digital yang paling umum adalah spam. Email spam atau pesan promosi yang tidak diminta adalah upaya untuk menyelonong masuk ke kotak masuk seseorang, melewati filter privasi dan perhatian. Pelaku spam tidak peduli dengan izin atau kenyamanan penerima; tujuannya adalah memaksakan perhatian mereka. Mereka mengambil 'waktu perhatian' kita, sumber daya mental yang semakin langka di era informasi berlebih.
Phishing dan *scamming* adalah bentuk menyelonong yang lebih berbahaya, di mana pelaku menyusup ke ruang pribadi seseorang (data, akun bank) dengan berpura-pura menjadi entitas yang sah. Mereka menyelonong masuk ke dalam kepercayaan korban, memanfaatkan kelemahan sistem dan psikologis untuk mencuri informasi.
Dalam konteks media sosial dan mesin pencari, menyelonong terjadi ketika kreator konten menggunakan teknik *black hat SEO* atau manipulasi algoritma untuk mendapatkan visibilitas dan trafik secara tidak adil. Daripada membangun otoritas dan kualitas secara bertahap (seperti antrean yang sah), mereka mencoba menyelonong ke puncak hasil pencarian atau *feed* pengguna.
Manipulasi ini merusak ekosistem digital. Pengguna dipaksa melihat konten yang tidak relevan atau berkualitas rendah, sementara kreator yang patuh terdesak ke bawah. Pertarungan melawan menyelonong digital adalah pertarungan terus-menerus antara pengelola platform yang mencoba menegakkan keadilan prosedur (melalui algoritma) dan para pelaku yang selalu mencari celah baru untuk mendapatkan keuntungan temporal.
Pada tingkat teknis, serangan *Distributed Denial of Service* (DDoS) adalah bentuk menyelonong yang ekstrem. Pelaku membanjiri server dengan permintaan palsu, secara efektif menyelonong di depan permintaan sah dan menolak akses bagi pengguna yang benar-benar membutuhkan layanan tersebut. Ini adalah pembajakan digital dari antrean akses, di mana keuntungan pelaku adalah disrupsi, bukan kecepatan layanan. Tindakan ini menunjukkan bahwa motivasi menyelonong tidak selalu didorong oleh urgensi pribadi, tetapi bisa jadi didorong oleh niat jahat murni untuk mengganggu ketertiban.
Untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan tertib, kita harus mengatasi akar budaya yang memungkinkan tindakan menyelonong menjadi endemik. Ini memerlukan intervensi pada tiga tingkatan: individu, sistem, dan budaya.
Perubahan harus dimulai dari kesadaran diri. Setiap individu perlu merenungkan biaya moral dari aksi menyelonong. Apakah beberapa detik yang dihemat sebanding dengan kontribusi terhadap kekacauan sosial dan erosi kepercayaan? Filosofi moral Kant, dengan imperatif kategorisnya, relevan di sini: Bertindaklah hanya berdasarkan maksim yang, pada saat yang sama, engkau dapat kehendaki menjadi hukum universal. Jika semua orang menyelonong, sistem akan runtuh total. Oleh karena itu, tindakan menyelonong secara inheren tidak etis karena ia tidak dapat diuniversalkan.
Melatih kesabaran dan empati adalah kunci. Individu perlu memahami bahwa waktu orang lain sama berharganya dengan waktu mereka sendiri. Diperlukan upaya sadar untuk menahan dorongan untuk mencari jalan pintas, terutama dalam situasi yang menguji kesabaran. Resistensi terhadap dorongan menyelonong adalah tindakan kewargaan yang heroik dalam skala mikro.
Sistem yang baik harus dirancang untuk meminimalkan peluang menyelonong. Dalam lalu lintas, ini berarti desain jalan yang menghilangkan celah ambigu, penegakan hukum yang konsisten dan terlihat, serta infrastruktur yang efisien sehingga orang tidak merasa terdorong untuk melanggar. Jika waktu tunggu di antrean terlalu lama, orang akan mencari jalan keluar, dan menyelonong adalah salah satunya. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi layanan publik secara fundamental adalah strategi anti-menyelonong yang paling efektif.
Sistem yang transparan juga mengurangi insentif untuk menyelonong. Jika antrean virtual atau fisik memiliki waktu tunggu yang jelas dan terprediksi, orang akan lebih cenderung menerima proses tersebut. Ambiguitas menciptakan peluang bagi mereka yang bersedia melanggar untuk memanfaatkannya. Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu terhadap semua pelaku menyelonong—baik yang di jalan raya maupun di meja birokrasi—adalah penangkal utama.
Pada akhirnya, isu menyelonong adalah isu budaya. Kita harus bergeser dari budaya yang mengagungkan kecepatan dan kecerdasan melanggar aturan, menuju budaya yang menghargai ketertiban, kesabaran, dan keadilan prosedur. Hal ini memerlukan edukasi yang menekankan bahwa kepatuhan bukanlah tanda kelemahan atau kebodohan, melainkan pilar dari masyarakat yang berfungsi dengan baik.
Media dan pemimpin masyarakat memiliki peran penting dalam membentuk narasi ini. Kisah-kisah yang menyoroti manfaat dari keteraturan dan kerugian dari pelanggaran harus disebarkan. Sanksi sosial (seperti teguran publik yang sopan) juga dapat menjadi alat yang kuat untuk memperkuat norma, selama dilakukan tanpa kekerasan dan penghakiman yang berlebihan. Tantangannya adalah mengubah stigma: membuat menyelonong menjadi hal yang memalukan, bukan praktik yang diterima.
Tingkat frekuensi dan penerimaan terhadap tindakan menyelonong dalam suatu masyarakat dapat berfungsi sebagai indikator yang kuat mengenai kesehatan sosial, terutama dalam hal kepercayaan dan keadilan. Jika tindakan transgresif mikro ini dilakukan secara massal dan tanpa sanksi yang jelas, ini menunjukkan adanya keretakan yang mendalam dalam kontrak sosial.
Konsep *Broken Windows Theory* (Teori Jendela Pecah) sangat relevan di sini. Teori ini menyatakan bahwa tanda-tanda kecil ketidaktertiban yang tidak diatasi (seperti jendela yang pecah, atau dalam kasus kita, satu pengendara yang menyelonong) mendorong pelanggaran yang lebih besar. Ketika orang melihat bahwa pelanggaran kecil tidak dihukum, mereka menyimpulkan bahwa tidak ada yang peduli pada aturan, dan ini membuka jalan bagi ketidaktertiban yang lebih serius.
Setiap kali kita membiarkan seseorang menyelonong di depan kita tanpa ada konsekuensi, kita secara tidak langsung memasang 'jendela pecah' dalam sistem sosial. Kita mengirimkan pesan bahwa antrean itu opsional, bahwa norma dapat diabaikan, dan bahwa agresivitas dihargai. Akumulasi dari 'jendela pecah' etis ini pada akhirnya melemahkan otoritas moral aturan dan penegakannya.
Negara-negara dengan tingkat kepercayaan sosial (social trust) yang tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang rendah dan efisiensi birokrasi yang lebih baik. Budaya menyelonong adalah antitesis dari kepercayaan sosial. Ia mengasumsikan bahwa orang lain adalah pesaing, bukan rekan kooperatif. Jika saya percaya bahwa orang di belakang saya akan mencoba menyelonong jika diberi kesempatan, saya akan merasa tertekan untuk melakukan hal yang sama sebagai tindakan pencegahan. Ini menciptakan ekuilibrium yang buruk (bad equilibrium) di mana semua orang bertindak egois, dan hasilnya adalah kerugian kolektif.
Dalam ekonomi perilaku, hal ini disebut sebagai dilema narapidana yang diperluas ke masyarakat luas. Kepatuhan (kooperasi) secara individu memberikan hasil yang buruk (kehilangan waktu) jika orang lain curang, sementara kecurangan (menyelonong) secara individu memberikan hasil yang baik, tetapi jika dilakukan oleh semua orang, akan menghasilkan bencana (kemacetan total, birokrasi macet). Upaya untuk menghilangkan budaya menyelonong adalah upaya untuk menggerakkan masyarakat menuju ekuilibrium yang lebih baik di mana kooperasi dihargai.
Perjuangan melawan dorongan untuk menyelonong adalah perjuangan yang berkelanjutan melawan egoisme primitif yang melekat dalam diri manusia. Ini adalah ujian terhadap komitmen kita terhadap gagasan bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari kebutuhan mendesak kita sendiri. Tantangan modernitas bukanlah hanya bagaimana membuat semuanya lebih cepat, tetapi bagaimana mengelola kecepatan tanpa mengorbankan keadilan.
Masyarakat yang matang secara sipil adalah masyarakat di mana prinsip giliran (turn-taking) dan proses dihargai setara dengan hasil. Menghargai proses berarti menghargai waktu semua orang, mengakui hak orang lain untuk didahulukan berdasarkan aturan yang telah disepakati. Ketika kita menunggu giliran, kita tidak hanya menaati aturan; kita sedang berinvestasi dalam modal sosial (social capital) yang akan bermanfaat bagi kita semua.
Tindakan sederhana untuk tidak menyelonong, di jalan, di antrean, atau dalam percakapan, adalah bentuk kontribusi paling fundamental terhadap ketertiban umum. Ia adalah afirmasi bahwa kita mengakui kehadiran dan martabat orang lain. Dalam kesunyian kepatuhan ini, terletaklah fondasi dari masyarakat yang beradab dan berfungsi, sebuah tempat di mana efisiensi dicapai melalui kerja sama, bukan transgresi.
Analisis mengenai menyelonong membawa kita pada kesimpulan bahwa masalah ini lebih dari sekadar isu moralitas personal. Ia adalah cerminan dari kegagalan sistemik untuk mengelola sumber daya, waktu, dan harapan. Selama kebutuhan akan kecepatan melebihi komitmen terhadap keadilan, dorongan untuk menyelonong akan selalu hadir. Masa depan yang tertib dan adil bergantung pada kemampuan kolektif kita untuk menahan dorongan instan, menerima batas-batas, dan menghormati proses yang berlaku bagi semua orang, tanpa terkecuali. Setiap keputusan untuk menunggu dengan sabar adalah sebuah kemenangan kecil bagi harmoni sosial.
Oleh karena itu, setiap individu memiliki peran krusial dalam melawan godaan untuk mengambil jalan pintas yang tidak sah. Ketaatan terhadap giliran adalah mata uang dari kepercayaan. Dengan menolak untuk menyelonong, kita tidak hanya mematuhi hukum, tetapi kita sedang aktif membangun kembali struktur kepercayaan yang telah lama terkikis oleh percepatan dan egoisme modern. Inilah esensi dari etika transgresi dalam ruang publik kontemporer, sebuah etika yang menuntut kita untuk selalu memilih keadilan kolektif di atas efisiensi pribadi.
Proses pemulihan ini membutuhkan ketekunan yang luar biasa. Pendidikan etika sejak dini harus mencakup penghargaan terhadap waktu dan ruang orang lain. Ketika anak-anak belajar untuk menunggu giliran mereka di taman bermain atau di kelas, mereka sedang mempelajari pelajaran pertama tentang kewarganegaraan. Pembelajaran ini harus dibawa hingga dewasa, di mana medan perjuangannya adalah persimpangan yang macet atau antrean yang panjang. Budaya yang menghargai ketertiban adalah budaya yang menghargai warganya, dan budaya tersebut dimulai dengan menolak godaan untuk menyelonong. Ini adalah janji yang harus kita pegang teguh demi masa depan yang lebih tertata dan inklusif bagi semua.
Kita tidak bisa mengharapkan perubahan besar dalam moralitas publik tanpa mengatasi detail-detail kecil ini. Tindakan menyelonong mungkin terasa sepele dalam skala individu, tetapi akumulasi dari jutaan tindakan tersebut membentuk karakter bangsa. Apakah kita ingin menjadi masyarakat yang didominasi oleh yang paling agresif, atau masyarakat yang diatur oleh kesepakatan bersama dan rasa saling menghormati? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada keputusan yang kita buat setiap kali kita berhadapan dengan sebuah antrean, sebuah batas jalur, atau kesempatan untuk memotong. Itu adalah pilihan antara kekacauan yang cepat atau ketertiban yang berkesinambungan.