Kartu merah. Dua kata ini, diikuti oleh gerakan tegas wasit menunjuk ke luar lapangan, memiliki kekuatan untuk mengubah arah pertandingan, menghancurkan strategi tim, dan menentukan nasib kompetisi. Dalam konteks sepak bola modern, kartu merah bukan hanya sekadar hukuman; ia adalah manifestasi tertinggi dari Law 12 dalam Laws of the Game (LOTG) yang ditetapkan oleh International Football Association Board (IFAB).
Kartu merah melambangkan pemecatan atau pengusiran seorang pemain, pemain pengganti, atau ofisial tim dari lapangan dan area teknis, seringkali diikuti dengan sanksi larangan bermain dalam beberapa pertandingan berikutnya. Keputusan ini memerlukan ketelitian, pemahaman mendalam tentang intensitas pelanggaran, dan keberanian dari wasit, menjadikannya salah satu momen paling kontroversial dan krusial dalam olahraga ini.
Konsep penggunaan kartu berwarna dalam sepak bola lahir dari kebutuhan untuk menghilangkan ambiguitas dan hambatan bahasa. Sosok di balik ide revolusioner ini adalah Ken Aston, seorang wasit Inggris terkemuka dan anggota Komite Wasit FIFA. Inspirasinya muncul setelah insiden kontroversial di Piala Dunia 1966, di mana terjadi kebingungan mengenai pengusiran pemain Argentina, Antonio Rattín. Rattín menolak meninggalkan lapangan karena merasa tidak diusir secara resmi oleh wasit Jerman, Rudolf Kreitlein, yang berbicara bahasa Jerman.
Aston, saat sedang mengemudi pulang dan berhenti di lampu lalu lintas, melihat lampu kuning dan merah. Ia menyadari bahwa warna-warna ini, yang memiliki arti universal (kuning berarti hati-hati/peringatan, merah berarti berhenti/bahaya/pemecatan), dapat digunakan untuk menyampaikan keputusan wasit secara jelas kepada pemain, penonton, dan media, terlepas dari bahasa yang digunakan.
Kartu kuning (peringatan) dan kartu merah (pengusiran) secara resmi diperkenalkan dalam aturan sepak bola pada Piala Dunia 1970 di Meksiko. Implementasi ini berhasil menghilangkan kebingungan komunikasi dan standar disiplin lapangan menjadi lebih konsisten di seluruh dunia. Kartu merah pertama yang digunakan dalam sebuah pertandingan resmi tingkat internasional diperkirakan diberikan kepada Carlos Caszely dari Chili pada Piala Dunia 1974.
Semua peraturan mengenai pelanggaran dan kesalahan, termasuk yang berujung pada pengusiran, dikodifikasikan dalam Law 12 dari Laws of the Game. Law 12 membagi pelanggaran menjadi dua kategori utama: Pelanggaran yang dikenakan tendangan bebas (atau penalti) dan Pelanggaran yang Dikenakan Sanksi Disiplin (Kartu Kuning/Merah).
Seorang pemain, pemain pengganti, atau pemain yang telah diganti, dianggap diusir jika wasit menunjukkan kartu merah langsung atau menunjukkan kartu kuning kedua dalam satu pertandingan. Setelah diusir, individu tersebut harus segera meninggalkan lapangan permainan dan area teknis sekitarnya. Mereka tidak diizinkan untuk berpartisipasi lebih lanjut dalam pertandingan tersebut dan tidak boleh duduk di bangku cadangan.
Terdapat dua mekanisme utama yang mengakibatkan pengusiran:
IFAB telah mengidentifikasi tujuh kategori utama pelanggaran yang, jika dilakukan oleh pemain, harus dihukum dengan kartu merah langsung. Ini mencerminkan tingkat bahaya, niat jahat, atau penghinaan ekstrem terhadap semangat permainan.
Pelanggaran serius adalah tekel atau tantangan yang menggunakan kekuatan berlebihan atau brutal terhadap lawan, terutama ketika membahayakan keselamatan lawan. Kekuatan berlebihan berarti pemain melampaui penggunaan kekuatan yang wajar dan perlu, sehingga membahayakan lawan.
Kekerasan didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan berlebihan atau brutal terhadap lawan ketika bola tidak dalam jangkauan, terhadap rekan setim, penonton, ofisial pertandingan, atau orang lain. Ini seringkali menunjukkan niat untuk menyakiti.
Meludah ke arah lawan atau orang lain (termasuk wasit atau penonton) selalu dianggap sebagai tindakan penghinaan yang ekstrem dan harus dihukum dengan kartu merah langsung. Ini adalah pelanggaran disiplin yang tidak memerlukan kontak fisik, namun menunjukkan kurangnya rasa hormat yang parah.
DOGSO adalah pelanggaran yang mencegah gol yang jelas atau kesempatan mencetak gol yang jelas melalui handball (secara ilegal) atau pelanggaran yang dikenakan tendangan bebas (atau penalti). Ini adalah salah satu aturan yang paling sering ditafsirkan dan memerlukan analisis mendalam terhadap empat kriteria kunci.
Penggunaan bahasa atau gerakan yang ofensif, menghina, atau kasar terhadap siapapun harus dihukum dengan pengusiran. Standar untuk menentukan apakah bahasa tersebut ‘menghina’ atau ‘kasar’ bersifat subjektif tetapi biasanya mencakup rasialisme, homofobia, ancaman fisik, atau kata-kata makian ekstrem.
Pemain yang menerima kartu kuning kedua dalam pertandingan yang sama harus diusir. Wasit harus menunjukkan kartu kuning, mencatatnya, dan segera setelah itu menunjukkan kartu merah.
Pelanggaran yang relatif baru ditambahkan, yakni jika pemain cadangan, pemain yang telah diganti, atau ofisial tim memasuki Ruang Operasi Video (VOR) – tempat wasit VAR bertugas – hal ini dianggap sebagai gangguan ekstrem dan harus dihukum dengan kartu merah langsung.
DOGSO (Denying an Obvious Goal-Scoring Opportunity) adalah area peraturan yang paling kompleks karena melibatkan penilaian situasional oleh wasit. Sanksi untuk DOGSO adalah kartu merah, kecuali jika pelanggaran tersebut terjadi di dalam area penalti dan upaya pelanggar ditujukan untuk merebut bola (bukan hanya menahan, menarik, atau mendorong tanpa upaya bermain bola), dalam hal ini berlaku aturan modifikasi 'Hukuman Ganda' (Triple Punishment).
Agar pelanggaran dianggap DOGSO, wasit harus yakin bahwa empat faktor berikut terpenuhi pada saat pelanggaran terjadi:
Sebelum revisi peraturan, pelanggaran DOGSO di kotak penalti selalu menghasilkan hukuman penalti, kartu merah, dan skorsing (Triple Punishment). Hal ini sering dianggap terlalu keras, terutama jika pelanggaran tersebut adalah upaya yang sah untuk merebut bola.
Peraturan dimodifikasi: Jika seorang pemain melakukan DOGSO di kotak penalti dengan pelanggaran yang melibatkan upaya untuk bermain bola (misalnya, tekel yang sedikit terlambat), hukuman disiplin dikurangi menjadi kartu kuning. Namun, jika pelanggaran DOGSO di kotak penalti dilakukan melalui menahan, menarik, mendorong, atau tidak ada kemungkinan memainkan bola, maka kartu merah tetap harus diberikan.
Sangat penting untuk membedakan antara DOGSO (kartu merah) dan SPA (Stopping a Promising Attack) yang hanya berujung kartu kuning. SPA adalah pelanggaran yang menghentikan serangan berbahaya, tetapi tidak memenuhi kriteria "obvious goal-scoring opportunity" karena, misalnya, terlalu banyak pemain bertahan yang berada di dekatnya, atau jarak ke gawang terlalu jauh, atau arahnya tidak langsung. Wasit harus menilai tingkat 'keterlihatan' peluang gol tersebut.
Kartu kuning melambangkan peringatan, sedangkan kartu merah melambangkan pengusiran segera dari lapangan.
Konsekuensi paling instan dari kartu merah adalah tim yang bersangkutan harus melanjutkan pertandingan dengan satu pemain lebih sedikit. Tim tersebut tidak diizinkan untuk mengganti pemain yang diusir dengan pemain cadangan, meskipun tim belum menghabiskan kuota pergantian pemain mereka. Penalti numerik ini berlaku untuk sisa durasi pertandingan, termasuk babak perpanjangan waktu.
Jika pemain pengganti atau pemain yang sudah diganti diusir (misalnya karena bentrokan di bangku cadangan), hal ini tidak mengurangi jumlah pemain di lapangan, tetapi individu tersebut tetap harus meninggalkan area teknis dan dikenakan sanksi berikutnya.
Penting untuk dicatat bahwa wasit memiliki wewenang untuk memberikan kartu merah dari momen mereka memasuki lapangan untuk inspeksi pra-pertandingan hingga mereka meninggalkan lapangan setelah peluit akhir. Jika pelanggaran berat terjadi sebelum pertandingan dimulai (misalnya saat pemanasan atau di lorong), pemain tersebut harus diusir. Dalam kasus ini, tim diizinkan untuk mengganti pemain yang diusir dengan pemain cadangan, dan jumlah pemain di lapangan tetap 11. Namun, jika pelanggaran terjadi setelah wasit meniup peluit kickoff, penggantian tidak diizinkan.
Kartu merah hampir selalu diikuti oleh skorsing otomatis untuk pertandingan berikutnya. Jenis dan durasi skorsing bergantung pada sifat pelanggaran, yang akan ditinjau oleh badan pengatur kompetisi (misalnya, FA, FIFA, atau komite disiplin liga):
Law 12 diperluas untuk mencakup ofisial tim, termasuk pelatih, manajer, fisioterapis, dan staf pendukung lainnya yang berada di area teknis. Wasit, dibantu oleh Ofisial Keempat, memiliki hak untuk menunjukkan kartu kuning atau kartu merah kepada ofisial tim yang melakukan kesalahan.
Pelanggaran ofisial yang seringkali berujung pada kartu merah termasuk:
Jika wasit tidak dapat mengidentifikasi ofisial tim mana yang melakukan kesalahan, hukuman diberikan kepada Pelatih Kepala (Head Coach) yang berada di area teknis tersebut. Setelah diusir, ofisial harus meninggalkan area teknis dan tribun penonton, atau area di mana mereka dapat mengganggu pertandingan.
Inti dari banyak kontroversi kartu merah terletak pada penilaian niat (intent) dan intensitas (intensity) pelanggaran, yang merupakan interpretasi subjektif wasit. Misalnya, membedakan antara 'kecelakaan murni', 'tindakan ceroboh' (peringatan), dan 'kekuatan berlebihan' (pengusiran) adalah tugas yang sangat sulit, terutama dalam kecepatan tinggi permainan modern.
Penilaian apakah sebuah tekel adalah Serious Foul Play sering bergantung pada apakah kaki pemain meninggalkan tanah, apakah tekel tersebut dari samping/belakang, dan titik kontak. Wasit harus mempertimbangkan faktor bahaya terhadap pemain lawan.
Pengenalan VAR telah mengubah dinamika pemberian kartu merah, terutama untuk insiden yang terjadi di luar pandangan wasit atau yang penilaian awalnya dinilai "jelas dan nyata salah" (Clear and Obvious Error).
VAR dapat merekomendasikan peninjauan ulang (On-Field Review/OFR) untuk kasus yang melibatkan:
VAR tidak dapat mengintervensi atau merekomendasikan kartu kuning kedua (kecuali dalam kasus kesalahan identitas). VAR bertujuan untuk meningkatkan konsistensi dalam keputusan pengusiran, namun keputusan akhir tetap berada di tangan wasit lapangan setelah meninjau monitor.
Jika wasit mengusir pemain yang salah karena kesalahan identitas (misalnya, dua pemain terlihat mirip dalam keributan), VAR dapat membantu mengoreksi identitas tersebut sebelum kartu ditunjukkan, atau badan pengelola dapat membatalkan hukuman terhadap pemain yang tidak bersalah pasca-pertandingan, sementara hukuman dialihkan kepada pelaku yang benar.
Gerakan wasit yang menunjuk ke luar lapangan menandakan pengusiran segera.
Handball yang dilakukan oleh pemain (selain kiper di areanya) yang secara sengaja menyentuh bola dan mencegah bola masuk ke gawang atau mencegah DOGSO, harus dihukum kartu merah. Sanksi ini berlaku bahkan jika bola tidak bergerak menuju gawang, selama handball tersebut jelas-jelas menghentikan peluang gol yang sudah pasti.
Insiden kekerasan yang terjadi jauh dari lokasi bola (misalnya, pemain memukul lawan di saat menunggu tendangan sudut) tetap berujung pada kartu merah dan tendangan bebas tidak langsung di tempat pelanggaran terjadi, atau tendangan penalti jika terjadi di dalam kotak penalti tim yang menyerang (seperti kasus jika pemain melanggar wasit).
Jika pemain yang sudah diganti kembali ke lapangan dan mengganggu permainan (misalnya, menghentikan bola masuk gawang), ia harus diusir karena kekerasan dan permainan dilanjutkan dengan tendangan bebas langsung (atau penalti) di tempat gangguan tersebut. Jika ia mengganggu ofisial atau pemain lain, ini masuk kategori kekerasan dan juga berujung kartu merah.
Dalam situasi konflik di mana banyak pemain terlibat, wasit harus mengidentifikasi pelaku utama. Pemain yang melakukan kekerasan (memukul, menendang) akan diusir. Pemain yang hanya terlibat dalam konfrontasi atau dorong-dorongan mungkin hanya menerima kartu kuning, tetapi jika wasit menilai keterlibatan mereka adalah eskalasi yang serius, kartu merah dapat diberikan.
Peraturan kartu merah terus mengalami revisi minor seiring perkembangan taktik dan kebutuhan untuk meningkatkan keadilan. IFAB secara berkala meninjau Law 12 untuk memastikan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan.
Modifikasi terbesar dalam dekade terakhir adalah penghapusan hukuman ganda yang keras (penalti, kartu merah, skorsing) untuk pelanggaran DOGSO di kotak penalti yang melibatkan upaya sah untuk bermain bola. Perubahan ini memastikan bahwa tim tidak dihukum tiga kali untuk satu kesalahan, meningkatkan keadilan dalam situasi penalti.
Meskipun belum diimplementasikan pada tingkat tertinggi sepak bola profesional, IFAB telah menguji penggunaan ‘Sin Bins’ (pengusiran sementara, biasanya 10 menit) untuk pelanggaran tertentu seperti perbedaan pendapat dengan wasit atau pelanggaran taktis ringan. Jika skema ini diadopsi di masa depan, kartu merah akan diperuntukkan bagi pelanggaran yang sangat serius, sementara Sin Bin mengisi celah antara kartu kuning (peringatan) dan kartu merah (pengusiran permanen).
Tren terbaru dalam interpretasi kartu merah menunjukkan peningkatan fokus pada keselamatan pemain. Tekel yang membahayakan, bahkan jika tidak ada niat jahat yang jelas, semakin sering dihukum kartu merah. Misalnya, tekel yang menyebabkan kontak langsung ke kepala lawan, meskipun tidak disengaja, sering dianggap sebagai SFP karena risiko cedera yang ditimbulkannya.
Dengan adanya VAR, standar penerapan kartu merah diharapkan menjadi lebih seragam di berbagai kompetisi. Wasit kini memiliki alat untuk mengoreksi kesalahan fatal terkait pengusiran, membatalkan kartu merah yang diberikan secara keliru, atau memberikan kartu merah untuk insiden yang terlewat. Meskipun kontroversi tetap ada, peran VAR adalah memastikan bahwa keputusan yang mengubah permainan, seperti pengusiran, didasarkan pada tinjauan bukti video yang akurat.
Untuk memahami kompleksitas penerapan kartu merah, penting untuk menganalisis beberapa skenario kritis yang sering membingungkan.
Seorang pemain bertahan sengaja menggunakan tangan untuk menepis bola yang akan masuk ke gawang di garis gawangnya sendiri. Wasit memberikan penalti dan kartu merah.
Keputusan: Tepat. Ini adalah DOGSO melalui handball. Karena upaya tersebut jelas ilegal (disengaja), aturan 'Triple Punishment' yang dimodifikasi (kartu kuning di kotak penalti) tidak berlaku. Penggunaan tangan untuk mencegah gol yang pasti selalu berujung kartu merah, terlepas dari lokasi pelanggaran di area penalti.
Pelatih A berteriak pada pelatih lawan B, kemudian dengan cepat mendorong bahu Pelatih B yang menyebabkan B tersandung. Wasit mengeluarkan kartu merah.
Keputusan: Tepat. Mendorong lawan dengan kekuatan yang tidak perlu dan agresif di area teknis dianggap sebagai Kekerasan (Violent Conduct), yang berujung pada pengusiran bagi ofisial tim. Pelatih yang diusir harus meninggalkan area teknis.
Pemain A melakukan tekel kaki tinggi yang ekstrem, menunjukkan sepatu di dada lawan, namun tidak terjadi kontak fisik karena lawan melompat. Wasit memberikan kartu merah.
Keputusan: Tepat. Dalam Laws of the Game, niat untuk melukai atau potensi bahaya yang ekstrem sudah cukup untuk dianggap sebagai Serious Foul Play atau Kekerasan. Jika wasit menilai tindakan tersebut menggunakan kekuatan berlebihan dan membahayakan keselamatan lawan, meskipun tidak ada kontak, kartu merah harus diberikan.
Penyerang A berlari menuju gawang, hanya kiper yang ada di depannya. Bek B yang tertinggal berlari dari samping dan menarik baju Penyerang A di luar kotak penalti. Namun, ada satu bek C yang bergerak cepat dan mungkin bisa mencapai bola.
Keputusan: Ini adalah kasus ambigu. Jika bek C dianggap memiliki peluang nyata untuk menghentikan serangan, kriteria DOGSO (maksimal satu bek) tidak terpenuhi, dan hukuman diturunkan menjadi SPA (kartu kuning). Wasit harus menilai kecepatan dan posisi bek C. Jika bek C terlalu jauh, maka Bek B tetap menerima kartu merah karena DOGSO.
Kartu merah, dalam kejelasan visualnya yang dramatis, adalah alat vital bagi wasit untuk menjaga disiplin, keadilan, dan keselamatan pemain di lapangan. Ia berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan, memastikan bahwa keunggulan taktis tidak dicapai melalui cara-cara yang melanggar batas etika dan hukum permainan.
Dari sejarahnya yang lahir dari kebutuhan untuk menghilangkan hambatan bahasa hingga penerapannya yang kompleks dalam situasi seperti DOGSO, peraturan kartu merah terus berevolusi. Keputusan pengusiran mencerminkan standar moral dan profesionalisme yang tinggi dalam sepak bola. Meskipun selalu menjadi sumber perdebatan, eksistensi kartu merah memastikan bahwa setiap pelanggaran serius menerima konsekuensi yang tegas, menjaga integritas dan semangat fair play yang menjadi dasar dari olahraga terindah di dunia ini.