Pengantar: Mengapa Parikan Tetap Relevan?
Di tengah gempuran modernitas dan digitalisasi, kekayaan budaya lisan Indonesia, khususnya Jawa, masih memancarkan pesonanya. Salah satu bentuk sastra lisan yang tak lekang oleh waktu adalah parikan. Lebih dari sekadar susunan kata berima, parikan adalah cerminan kearifan lokal, sarana komunikasi yang cerdas, dan media hiburan yang merakyat.
Parikan adalah sejenis pantun Jawa yang memiliki ciri khas dan estetikanya sendiri. Ia bukan hanya sekadar permainan kata, melainkan sebuah seni merangkai makna yang bisa digunakan untuk menyampaikan nasihat, sindiran, guyonan, bahkan ekspresi cinta, semuanya dibungkus dalam bait-bait yang ringkas dan memikat. Keunikan parikan terletak pada strukturnya yang sederhana namun penuh daya, memisahkan bagian 'sampiran' (pembuka) dan 'isi' (pesan utama) dengan jembatan rima yang harmonis.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami dunia parikan secara mendalam. Kita akan mengupas tuntas mulai dari pengertian, sejarah, ciri-ciri, ragam jenis, hingga peran signifikansinya dalam kebudayaan Jawa. Tidak hanya itu, kita juga akan membahas cara membuat parikan, serta melihat bagaimana bentuk sastra lisan ini beradaptasi dan tetap menemukan relevansinya di era modern. Mari kita hargai dan lestarikan warisan budaya tak benda yang luar biasa ini.
Apa Itu Parikan? Definisi dan Akar Kata
Parikan berasal dari kata dasar "parik" dalam bahasa Jawa yang berarti 'membandingkan' atau 'menyamakan'. Dalam konteks sastra, parikan adalah bentuk puisi lama Jawa yang memiliki kemiripan dengan pantun Melayu, namun dengan beberapa ciri khas yang membedakannya. Secara sederhana, parikan dapat didefinisikan sebagai gubahan sastra lisan yang terdiri dari dua larik (baris) atau lebih, di mana larik pertama merupakan sampiran dan larik berikutnya merupakan isi, dengan pola rima akhir yang teratur.
Kecenderungan untuk 'membandingkan' atau 'menyamakan' dalam parikan terlihat jelas pada hubungan antara sampiran dan isi. Meskipun sampiran seringkali tampak tidak berhubungan langsung dengan isi secara makna, namun ia memiliki kesamaan rima atau irama yang menjadi jembatan ke bagian isi. Inilah letak keindahan dan kecerdasan parikan; ia mengajak pendengar atau pembaca untuk mencari keterkaitan tidak langsung, atau justru menikmati kejutan dari perpindahan makna tersebut.
Tradisi parikan telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa sejak dahulu kala. Ia lahir dari kebiasaan lisan dan seringkali disampaikan secara spontan dalam berbagai kesempatan, seperti saat berinteraksi di pasar, dalam acara keluarga, hingga di pentas seni tradisional seperti ludruk, ketoprak, atau wayang orang. Kemampuan untuk berparikan secara lincah dan jenaka seringkali menjadi tanda kecerdasan dan keluwesan seseorang dalam berbahasa.
Ciri-Ciri Khas Parikan: Membedah Strukturnya
Parikan memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari bentuk puisi lainnya, termasuk pantun Melayu. Memahami ciri-ciri ini adalah kunci untuk mengapresiasi keindahan dan kecerdasannya.
1. Pola Rima A-B-A-B (atau A-A-A-A)
Seperti pantun, parikan pada umumnya memiliki pola rima silang A-B-A-B. Artinya, suku kata akhir pada larik pertama berima sama dengan suku kata akhir pada larik ketiga, dan suku kata akhir pada larik kedua berima sama dengan suku kata akhir pada larik keempat. Namun, parikan juga sering ditemukan dengan pola rima lurus A-A-A-A, terutama pada parikan dua baris atau yang lebih sederhana.
- Contoh A-B-A-B:
Wajik klethik gula abang (A)
Enak men nganti ketagihan (B)
Aja sithik-sithik njaluk utang (A)
Yen wis nyilih kok angel balenake (B)Di sini, 'abang' berima dengan 'utang', dan 'ketagihan' berima dengan 'balenake' (meskipun 'balenake' lebih mirip rima yang tidak sempurna atau rima visual/bunyi dekat).
- Contoh A-A-A-A (untuk dua baris):
Kembang mlathi ambune wangi (A)
Tuku roti sing ati-ati (A)Dalam contoh ini, 'wangi' dan 'ati-ati' memiliki rima yang berdekatan.
2. Sampiran dan Isi
Setiap parikan terbagi menjadi dua bagian utama: sampiran dan isi. Ini adalah karakteristik paling fundamental dari parikan.
- Sampiran: Bagian pembuka parikan yang berfungsi sebagai pengantar rima dan irama. Sampiran biasanya menggambarkan sesuatu yang bersifat umum, alam, atau kejadian sehari-hari yang seolah tidak berhubungan langsung dengan pesan utama. Namun, ia menjadi jembatan akustik menuju isi.
Contoh pada parikan empat baris, dua baris pertama adalah sampiran. Pada parikan dua baris, baris pertama adalah sampiran.
- Isi: Bagian inti parikan yang memuat pesan, nasihat, sindiran, atau humor yang ingin disampaikan. Isi adalah esensi dari parikan tersebut, di mana maksud sebenarnya terungkap.
Contoh pada parikan empat baris, dua baris terakhir adalah isi. Pada parikan dua baris, baris kedua adalah isi.
Hubungan antara sampiran dan isi seringkali tidak logis secara makna, namun terikat erat secara bunyi. Ini adalah salah satu keunikan parikan yang menuntut kecermatan pendengar untuk menemukan 'jeda' dan 'lompatan' makna yang seringkali lucu atau mengejutkan.
3. Jumlah Baris Bervariasi
Tidak seperti pantun yang umumnya empat baris, parikan memiliki fleksibilitas dalam jumlah baris. Bentuk yang paling umum adalah dua baris dan empat baris, namun ada pula parikan enam atau bahkan delapan baris.
- Parikan Dua Baris (Parikan Kalih Gatra): Paling sederhana, satu sampiran dan satu isi.
Abang-abang dudu nangka,
Sing sabar bakal mulyo. - Parikan Empat Baris (Parikan Sekawan Gatra): Dua sampiran dan dua isi, ini yang paling populer.
Esuk-esuk adus banyu,
Banyune resik tanpa cacing.
Urip iku ojo ngeluh,
Yen pengin urip mulya makmur. - Parikan Enam Baris (Parikan Enem Gatra): Tiga sampiran dan tiga isi. Lebih jarang, menuntut kreativitas lebih.
Klapa mudha legi rasane,
Dijaluk dening wong adus.
Sinau sing tenanan wae,
Supaya dadi wong pinter.
Wong pinter pinter ngaji,
Mula pantes yen dadi dhuwur. - Parikan Delapan Baris (Parikan Wolu Gatra): Empat sampiran dan empat isi. Sangat jarang dan kompleks.
Ana kembang jenenge mawar,
Wernane abang mekar ngembang.
Yen wis gedhe aja gumedhe,
Merga urip iku mung siji.
Paling penting dadi wong sing jujur,
Aja lali karo sing Kuwasa.
Saben dina kudu syukur,
Kanthi ibadah nggolek swarga.
4. Bahasa Ringkas dan Padat
Meskipun jumlah barisnya bervariasi, parikan cenderung menggunakan bahasa yang ringkas, padat, dan langsung pada intinya, terutama pada bagian isi. Pilihan kata seringkali menggunakan kosakata sehari-hari dalam bahasa Jawa, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat umum.
5. Unsur Humor, Nasihat, atau Sindiran
Parikan sangat multifungsi. Ia bisa sangat lucu, penuh nasihat moral, atau bahkan tajam dalam menyindir. Jarang sekali parikan yang bersifat netral atau hanya deskriptif tanpa ada tujuan komunikatif.
Sejarah dan Akar Budaya Parikan
Sejarah parikan tidak tercatat secara formal dalam manuskrip kuno seperti halnya karya sastra keraton. Parikan lahir dan berkembang dari tradisi lisan masyarakat akar rumput Jawa, diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita, nyanyian, percakapan sehari-hari, dan pertunjukan rakyat. Ini menjadikannya bagian integral dari folklor dan kearifan lokal Jawa.
Tradisi Lisan yang Mengakar
Pada awalnya, parikan adalah bentuk ekspresi verbal yang spontan. Petani di sawah, pedagang di pasar, ibu-ibu yang sedang bekerja, atau anak-anak yang bermain, semuanya bisa saja melontarkan parikan untuk meramaikan suasana, memberi peringatan, atau sekadar berbagi tawa. Kemampuan untuk merangkai kata dengan cepat dan tepat dalam bentuk parikan merupakan indikator kecerdasan verbal dan kepekaan sosial seseorang.
Akar parikan sangat dalam, mungkin sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, seiring dengan perkembangan bahasa Jawa itu sendiri. Ia menjadi salah satu cara untuk berkomunikasi secara tidak langsung, menyampaikan pesan yang kadang sensitif dengan cara yang lebih halus atau humoris, khas budaya Jawa yang cenderung menghindari konfrontasi langsung.
Peran dalam Seni Pertunjukan Rakyat
Dalam perkembangannya, parikan juga menemukan tempatnya dalam berbagai seni pertunjukan rakyat Jawa. Ia menjadi bumbu penyedap dalam dialog atau monolog di pementasan:
- Ludruk: Seni drama tradisional Jawa Timur ini seringkali diselingi parikan-parikan lucu dan satir untuk mengundang tawa penonton atau menyindir realitas sosial.
Sego tiwul lawuhe teri,
Enak dipangan nalika sore.
Dadi wong ojo seneng meri,
Urip bareng kudu ngregani. - Ketoprak: Drama tradisional yang lebih berfokus pada cerita sejarah atau legenda ini juga menggunakan parikan, meskipun mungkin tidak sebanyak ludruk, untuk menyampaikan nasihat atau menyelipkan humor di antara adegan-adegan serius.
Numpak sepur menyang Madiun,
Ketemu kanca padha ngguyu.
Aja lali karo pitutur luhur,
Supaya uripmu tansah maju. - Wayang Orang: Dalam pertunjukan wayang orang, parikan seringkali digunakan oleh para punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) untuk melawak, memberi nasihat, atau menyampaikan kritik sosial kepada penonton maupun tokoh-tokoh wayang.
Gedhang goreng enak rasane,
Gawe cemilan karo ngopi.
Dadi wong ojo lali karo leluhur,
Supaya uripmu berkah lan rapi. - Campursari dan Langgam Jawa: Parikan juga sering disisipkan dalam lirik lagu campursari atau langgam Jawa untuk menambah variasi dan kedalaman makna, atau sekadar sebagai intermisi humor.
Kembang tebu dironce-ronce,
Dianggo hiasan ing pawon.
Tresnaku iki tulus tenan,
Ora bakal luntur yen wis kelakon.
Melalui pertunjukan-pertunjukan ini, parikan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai alat pendidikan moral dan refleksi sosial. Ia menjadi medium di mana nilai-nilai luhur dan kritik sosial disampaikan secara ringan namun mengena.
Parikan sebagai Cermin Kehidupan Masyarakat
Parikan juga mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Topik-topik yang diangkat sangat beragam, mulai dari pertanian, lingkungan, makanan, adat istiadat, hingga hubungan antarmanusia. Ini menunjukkan bahwa parikan adalah seni yang sangat dekat dengan realitas dan pengalaman hidup orang Jawa.
Dengan demikian, sejarah parikan adalah sejarah tentang bagaimana bahasa dan seni lisan tumbuh bersama masyarakat, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan cara mereka memahami serta berinteraksi dengan dunia.
Jenis-Jenis Parikan Berdasarkan Isinya
Keindahan parikan terletak pada fleksibilitasnya dalam menyampaikan berbagai jenis pesan. Berdasarkan isi atau tujuan pesannya, parikan dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis:
1. Parikan Lucu (Humor)
Jenis parikan ini bertujuan untuk menghibur dan mengundang tawa. Sampiran dan isinya seringkali memiliki hubungan yang mengejutkan atau absurd, menciptakan efek komedi.
-
Manuk emprit mencok pager,
Nggolek cacing nganti njegur.
Wis kadung ireng koyok pager,
Ora usah dandan malah ngisin-ngisini.Analisis: Sampiran tentang burung emprit dan cacing disandingkan dengan isi yang jenaka tentang seseorang yang sudah terlanjur 'ireng' (hitam) dan saran untuk tidak perlu dandan berlebihan karena malah memalukan. Humornya terletak pada perbandingan fisik yang blak-blakan dan nasihat yang satir.
-
Sego wuduk jangan kates,
Lawuhe iwak gabus.
Wis dadi bujang kok lemu banget,
Paling-paling yo gampang ngantuk.Analisis: Sampiran tentang makanan yang lezat menjadi pembuka untuk sindiran ringan kepada bujangan yang gemuk, dengan humor bahwa kegemukan bisa membuat mudah mengantuk.
-
Ana kodhok numpak sepedha,
Numpake munggah gunung.
Senajan kowe ora duwe dhuwit,
Sing penting atimu ora bingung.Analisis: Sampiran yang absurd (kodok naik sepeda ke gunung) membuat pendengar tergelak dan siap menerima isi yang lebih bijak, menyiratkan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada materi.
-
Tuku klambi regane larang,
Klambi batik motif kembang.
Arep crita kok isin-isin,
Yen wis nyekel malah ngilang.Analisis: Sampiran tentang membeli baju mahal mengantar ke isi yang menggambarkan tingkah laku seseorang yang awalnya malu-malu, namun setelah diberi kepercayaan (mungkin uang atau barang), malah menghilang. Humor satir tentang sifat tak bertanggung jawab.
-
Mangan sate dicampur bumbu,
Rasane pedes nanging nikmat.
Arep tangi esuk kok angel banget,
Paling-paling yo turu meneh.Analisis: Sampiran tentang sate yang pedas menyambung ke isi yang menggambarkan kesulitan bangun pagi, sebuah pengalaman universal yang seringkali lucu karena relasinya yang kontras dengan nikmatnya sate. Kekontrasan ini menciptakan humor.
2. Parikan Nasihat (Pitutur)
Parikan jenis ini digunakan untuk menyampaikan pesan moral, ajaran kebaikan, atau peringatan. Seringkali menggunakan perumpamaan dari alam atau kejadian sehari-hari.
-
Wajik klethik gula abang,
Kembang mawar abang warnane.
Aja sithik-sithik njaluk utang,
Yen wis nyilih kok angel balenake.Analisis: Sampiran tentang makanan dan bunga mengantarkan nasihat yang sangat praktis tentang kehati-hatian dalam berutang dan pentingnya mengembalikan pinjaman.
-
Sega liwet lawuhe tahu,
Mangan bareng karo kanca.
Urip iku kudu sinau,
Supaya dadi wong sing wicaksana.Analisis: Sampiran tentang kebersamaan saat makan menjadi pengantar yang hangat untuk nasihat tentang pentingnya belajar demi mencapai kebijaksanaan dalam hidup.
-
Mangan sate bareng kanca,
Nggawa sega saka pasar.
Yen pengin dadi wong sukses,
Kudu sregep lan kudu sabar.Analisis: Gambaran makan sate bersama teman dan membawa nasi dari pasar menjadi pembuka untuk nasihat tentang kerja keras dan kesabaran sebagai kunci kesuksesan. Hubungan antara sampiran dan isi bersifat metaforis.
-
Tuku klambi ing pasar Minggu,
Klambi anyar wernane biru.
Aja lali karo Gusti Kang Akarya,
Supaya uripmu tansah rahayu.Analisis: Sampiran tentang membeli pakaian di pasar menjadi pembuka untuk nasihat spiritual, mengingatkan pentingnya mengingat Tuhan agar hidup selalu damai dan selamat.
-
Nggolek kayu ing alas gung,
Kanggo nggo damar ing petengan.
Nggolek ilmu ojo gampang bingung,
Kabeh butuh proses lan ketenangan.Analisis: Sampiran yang menggambarkan aktivitas mencari kayu di hutan untuk penerangan di kegelapan, secara metaforis mengantarkan nasihat tentang pentingnya kesabaran dan ketenangan dalam mencari ilmu, karena proses pembelajaran butuh waktu.
3. Parikan Asmara (Cinta)
Parikan ini digunakan untuk mengungkapkan perasaan cinta, kerinduan, atau godaan romantis secara halus dan puitis.
-
Mangan getuk dicampur parutan kelapa,
Gawe cemilan karo ngopi.
Kowe tansah ana ing atiku,
Ora bakal luntur tresnaku iki.Analisis: Sampiran tentang makanan tradisional manis menjadi metafora untuk perasaan cinta yang manis dan tulus, yang tak akan luntur.
-
Kembang melati kembang kantil,
Ditandur ing pinggir dalan.
Atiku iki mung kanggo awakmu,
Ora bakal liyan sing tak tresnani.Analisis: Sampiran tentang bunga-bunga yang indah menjadi simbol keindahan dan ketulusan hati yang hanya dipersembahkan untuk satu orang kekasih.
-
Tuku bakpia rasane manis,
Rasane kaya tresnaku.
Senajan kadohan tetep wae,
Kowe sing tansah tak tunggu.Analisis: Sampiran tentang kue bakpia yang manis dikaitkan dengan manisnya cinta yang tetap abadi meski terpisah jarak dan waktu.
-
Klapa mudha legi rasane,
Dijaluk dening wong liwat.
Yen wis kadung tresna tenan,
Ati iki wis ra bisa minggat.Analisis: Sampiran tentang kelapa muda yang manis dan digemari menjadi metafora untuk perasaan cinta yang sudah terlanjur kuat dan tak bisa lagi pergi.
-
Sore-sore nyawang lintang,
Lintang e padhang sumunar.
Kowe pancen ayu tenan,
Gawe atiku tansah kelingan.Analisis: Sampiran tentang keindahan bintang di malam hari digunakan untuk memuji kecantikan seseorang yang membuat hati selalu teringat, menciptakan nuansa romantis.
4. Parikan Sindiran (Kritik Sosial)
Digunakan untuk menyampaikan kritik atau sindiran terhadap perilaku tertentu, situasi sosial, atau kebijakan, biasanya dengan cara yang halus namun menusuk.
-
Ana klapa dipangan bajing,
Mangan-mangan nganti wareg.
Wong sugih kok lali kancane,
Yen wis melarat lagi ngrasa kelangan.Analisis: Sampiran tentang tupai yang makan kelapa sampai kenyang, menjadi perumpamaan untuk orang kaya yang melupakan teman-temannya saat jaya, namun baru menyesal saat jatuh miskin. Ini adalah kritik sosial tentang kesetiakawanan.
-
Mlaku-mlaku menyang pasar,
Tuku jeruk karo dhuwit.
Omongane janji-janji wae,
Tibake kabeh mung lamis.Analisis: Sampiran sederhana tentang kegiatan di pasar mengantarkan sindiran tajam kepada orang yang hanya pandai berjanji namun tidak pernah menepatinya, menyoroti kemunafikan atau kebohongan.
-
Nandur pari ing sawah ijo,
Panenane akeh tur subur.
Dadi pejabat kok seneng korupsi,
Wong cilik dadi sengsara.Analisis: Sampiran tentang kesuburan sawah dan panen berlimpah disandingkan dengan kritik terhadap pejabat korup yang menyebabkan penderitaan rakyat kecil. Sindiran langsung namun tetap dalam bingkai parikan.
-
Manuk dara mangan ketan,
Ketane legi campur santan.
Wani ngomong ning mburine,
Giliran ketemu kok meneng wae.Analisis: Sampiran burung dara makan ketan mengantarkan sindiran kepada orang yang berani berbicara di belakang (ghibah) namun diam saja ketika bertemu langsung. Sebuah kritik terhadap sifat pengecut.
-
Godhong kates godhong jarak,
Diolah dadi sayur.
Ngaku pinter njaluk pangkat,
Kerjane mung mencla-mencle ora jujur.Analisis: Sampiran tentang daun pepaya dan jarak yang bisa diolah menjadi sayur mengantarkan sindiran kepada seseorang yang mengklaim diri pintar dan ingin jabatan, namun kenyataannya kerjanya tidak jujur dan tidak konsisten. Kritik terhadap mentalitas 'asal jadi' dan korupsi moral.
5. Parikan Anak-anak (Dolanan)
Parikan ini digunakan dalam lagu dolanan (lagu permainan anak-anak) atau sebagai tebak-tebakan ringan, dengan tema yang sederhana dan mudah dipahami anak-anak.
-
Pak Pulo, Bu Pilo,
Paling enak sega liwet.Analisis: Parikan sederhana yang sering menjadi bagian dari lagu permainan anak-anak, dengan rima dan objek yang akrab bagi mereka.
-
Siji loro telu,
Kucingku telu.
Mlayu-mlayu nang ngarepanmu,
Mesti kowe mesem ngguyu.Analisis: Parikan yang digunakan untuk berhitung atau bermain, dengan tema kucing yang lucu, bertujuan membuat anak tersenyum.
-
Menthok-menthok tak kandhani,
Munggah kandhang jik-jik mulih.Analisis: Bagian dari lagu dolanan "Menthok-Menthok" yang menggunakan struktur parikan untuk menggambarkan tingkah laku menthok (itik) yang lucu.
-
Kupu-kupu sing lucu,
Mabur menyang kebon kembang.
Ayo kanca padha sinau,
Supaya pinter lan ora gampang.Analisis: Sampiran tentang kupu-kupu yang indah menjadi pengantar nasihat ringan untuk anak-anak agar rajin belajar.
6. Parikan Teka-teki (Cangkriman)
Beberapa parikan juga berfungsi sebagai teka-teki, di mana sampiran atau isi memberikan petunjuk untuk menebak sesuatu.
-
Jenang gula, abang-abang dudu nangka,
Ana apa, ayo ditebak...Analisis: Parikan ini menggoda pendengar untuk menebak objek yang manis ('jenang gula') dan berwarna merah ('abang-abang') tapi bukan nangka. Jawabannya bisa saja 'gula aren' atau 'apel' tergantung konteks.
Fungsi dan Signifikansi Parikan dalam Budaya Jawa
Parikan lebih dari sekadar bentuk sastra; ia adalah jantung dari interaksi sosial dan pelestarian budaya dalam masyarakat Jawa. Fungsinya sangat beragam dan relevan hingga hari ini.
1. Alat Komunikasi yang Efektif
Parikan memungkinkan orang untuk menyampaikan pesan, baik yang serius maupun ringan, secara tidak langsung dan seringkali lebih diterima. Nasihat yang disampaikan melalui parikan terasa lebih halus dan tidak menggurui, sementara kritik atau sindiran menjadi lebih jenaka dan tidak terlalu menyakitkan. Ini sangat cocok dengan etika komunikasi Jawa yang mengutamakan harmoni dan kesopanan (unggah-ungguh).
2. Media Pendidikan Moral dan Karakter
Sejak dahulu, parikan digunakan sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan ajaran kebaikan kepada anak-anak maupun orang dewasa. Banyak parikan berisi nasihat tentang kejujuran, kerja keras, kesabaran, gotong royong, dan pentingnya menghormati sesama. Melalui rima dan irama yang mudah diingat, pesan-pesan ini tertanam kuat dalam benak.
Nandur kacang ing pinggir dalan,
Diaturi banyu ben cepet thukul.
Dadi bocah sing bekti wong tuwa,
Mesthi uripmu bakal mulya.
Parikan ini mengajarkan pentingnya berbakti kepada orang tua.
3. Hiburan dan Pencair Suasana
Salah satu fungsi paling menonjol dari parikan adalah sebagai hiburan. Parikan lucu mampu memecah ketegangan, mengundang tawa, dan membuat suasana menjadi lebih akrab. Ia sering digunakan dalam pertemuan informal, acara keluarga, hingga pementasan seni untuk meramaikan dan menghidupkan suasana.
Gedhang raja gedhang kepok,
Digoreng enak rasane.
Senajan wis tuwa ora kethoprak,
Nanging isih kuwat jogedan.
Parikan ini adalah contoh humor ringan tentang usia dan semangat.
4. Pelestarian Bahasa Jawa dan Kosakata Lokal
Dengan terus digunakan dan diwariskan, parikan secara otomatis melestarikan kekayaan kosakata Bahasa Jawa, termasuk idiom dan ungkapan lokal yang mungkin jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Ia menjadi jembatan antara generasi, memastikan bahwa bahasa dan nuansanya tetap hidup.
5. Perekat Sosial dan Identitas Komunitas
Kemampuan berparikan yang baik seringkali dihargai dalam masyarakat Jawa. Ia menciptakan ikatan dan rasa kebersamaan. Dalam konteks budaya lisan, parikan menjadi bagian dari identitas sebuah komunitas, merefleksikan cara pandang dan nilai-nilai yang dianut bersama.
6. Kritik Sosial yang Terselubung
Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi keharmonisan, menyampaikan kritik secara langsung bisa dianggap tidak sopan. Parikan menyediakan saluran yang aman dan santun untuk menyuarakan ketidakpuasan, mengkritik kebijakan, atau menyindir perilaku buruk tanpa menimbulkan konflik terbuka. Ini adalah bentuk kecerdasan linguistik dan sosial yang tinggi.
Numpak jaran nyabrang kali,
Kaline cethek nanging banyune buthek.
Dadi pemimpin ojo mung janji,
Rakyat butuh bukti sing nyata.
Parikan ini menyindir pemimpin yang hanya pandai berjanji tanpa bukti nyata.
Perbandingan Parikan dengan Pantun Melayu
Meskipun memiliki banyak kemiripan, parikan Jawa dan pantun Melayu memiliki perbedaan fundamental yang penting untuk dipahami:
-
Asal-usul dan Bahasa
- Parikan: Berasal dari kebudayaan Jawa dan menggunakan Bahasa Jawa.
- Pantun: Berasal dari kebudayaan Melayu dan menggunakan Bahasa Melayu (termasuk Indonesia).
-
Struktur Sampiran dan Isi
- Parikan: Umumnya, sampiran (baris 1-2) dan isi (baris 3-4) dalam parikan memiliki hubungan yang lebih longgar secara makna. Sampiran seringkali hanya berfungsi sebagai pengantar rima dan irama, tidak selalu harus menggambarkan alam yang ada di sekitar isi. Hubungan bisa bersifat asosiatif atau bahkan disosiatif secara makna, tetapi terikat kuat secara rima.
- Pantun: Sampiran (baris 1-2) pada pantun seringkali memiliki hubungan semantis atau metaforis dengan isi (baris 3-4), meskipun tidak langsung. Deskripsi alam pada sampiran pantun seringkali digunakan sebagai analogi atau perumpamaan untuk pesan di bagian isi. Ada kesan 'keselarasan' makna yang lebih kuat, bahkan jika tidak eksplisit.
Contoh Pantun:
Burung nuri terbang tinggi,
Hinggap di dahan pohon cemara.
Hati siapa tidak sedih,
Melihat ibu meneteskan air mata.Analisis Pantun: Meskipun tidak langsung, ada nuansa "ketinggian" dan "kesedihan" yang bisa dirasakan secara samar antara sampiran dan isi, atau setidaknya sampiran terasa lebih 'puitis' sebagai pendahulu. 'Burung nuri terbang tinggi' bisa diasosiasikan dengan kebebasan, namun di sisi lain, 'kesedihan' kehilangan kebebasan hati saat melihat ibu menangis.
Contoh Parikan:
Tuku krupuk ning pasar Pon,
Krupuke empuk enak rasane.
Ayo sinau sing tenanan,
Mumpung isih enom kanggo mbesukmu.Analisis Parikan: Hubungan antara membeli kerupuk di pasar dengan nasihat belajar sungguh-sungguh sangatlah jauh secara makna, tetapi rima 'Pon' dan 'tenanan' (serta 'rasane' dan 'mbesukmu') mengikatnya. Inilah ciri khas parikan yang lebih mengutamakan keterikatan bunyi daripada makna implisit antara sampiran dan isi.
-
Jumlah Baris
- Parikan: Lebih fleksibel, bisa dua, empat, enam, atau delapan baris. Parikan dua baris sangat umum.
- Pantun: Hampir selalu empat baris. Meskipun ada pantun enam atau delapan baris, namun jauh lebih jarang dan sering disebut sebagai "pantun berkait" atau "seloka".
-
Penggunaan dan Konteks
- Parikan: Seringkali lebih spontan, jenaka, dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, tebak-tebakan, atau banyolan dalam pertunjukan rakyat. Terkadang lebih blak-blakan dalam humor atau sindiran.
- Pantun: Cenderung lebih formal, puitis, dan digunakan dalam acara adat, upacara, atau sebagai pembuka dan penutup pidato. Seringkali lebih kental dengan pesan-pesan filosofis atau adat.
Singkatnya, baik parikan maupun pantun adalah warisan sastra lisan yang indah. Parikan memiliki kekhasan dalam kebebasan makna antara sampiran dan isi serta variasi jumlah barisnya, sementara pantun cenderung lebih terikat pada keselarasan makna tersirat dan struktur empat baris.
Cara Membuat Parikan: Panduan Kreatif
Membuat parikan adalah sebuah seni yang membutuhkan kreativitas, kepekaan terhadap bunyi bahasa, dan tentu saja, penguasaan kosakata Jawa. Berikut adalah langkah-langkah praktis untuk membuat parikan:
1. Tentukan Tema atau Pesan Inti (Isi)
Mulailah dengan memikirkan apa yang ingin Anda sampaikan. Apakah itu nasihat, guyonan, sindiran, atau ekspresi cinta? Ini akan menjadi bagian 'isi' dari parikan Anda.
- Contoh Isi Nasihat: "Dadi wong kudu jujur, ben uripmu ora nganggur." (Jadi orang harus jujur, agar hidupmu tidak sia-sia.)
- Contoh Isi Humor: "Awake lemu, polahe ora kena ditiru." (Badannya gemuk, tingkahnya tidak bisa ditiru.)
2. Pilih Pola Baris
Paling mudah adalah memulai dengan parikan dua baris atau empat baris.
- Dua Baris: Satu sampiran, satu isi.
Sampiran
Isi - Empat Baris: Dua sampiran, dua isi.
Sampiran 1 (A)
Sampiran 2 (B)
Isi 1 (A)
Isi 2 (B)
3. Kembangkan Bagian Isi (Larik 2 untuk 2 baris, atau Larik 3 & 4 untuk 4 baris)
Jika Anda memilih pola empat baris, tulis dulu dua larik isi yang mengandung pesan Anda, lalu perhatikan akhiran suku katanya. Misalnya, jika pesan Anda adalah tentang kejujuran:
... (A)
... (B)
Dadi wong kudu jujur, (A')
Ben uripmu ora ajur. (B')
Di sini kita punya akhiran 'jur' untuk A' dan 'jur' untuk B'. Ini rima lurus (A-A). Jika ingin A-B-A-B, maka harus mencari kata lain.
Mari coba dengan rima A-B-A-B untuk 4 baris:
... (A)
... (B)
Dadi wong kudu jujur, (A') => akhiran: -ur
Supaya uripmu berkah lan makmur. (B') => akhiran: -ur
Wah, ternyata masih A-A. Mari cari isi yang lebih cocok untuk A-B-A-B:
... (A)
... (B)
Dadi wong kudu jujur, (A') => akhiran: -ur
Aja seneng gawe geger. (B') => akhiran: -er
Nah, sekarang kita punya akhiran -ur (untuk A') dan -er (untuk B'). Ini akan menjadi target rima untuk sampiran.
4. Ciptakan Sampiran yang Berima (Larik 1 untuk 2 baris, atau Larik 1 & 2 untuk 4 baris)
Inilah bagian yang paling menantang sekaligus menyenangkan. Cari dua larik pertama (sampiran) yang memiliki akhiran suku kata yang sama dengan isi, namun maknanya bisa bebas atau terkesan tidak berhubungan.
Mengikuti contoh di atas, kita butuh sampiran dengan rima -ur (untuk A) dan -er (untuk B).
- Sampiran A (berima -ur): "Tuku jeruk ning pasar Legi, buah'e ijo isih seger..." (Membeli jeruk di pasar Legi, buahnya hijau masih segar...) - Kurang tepat. Coba lagi.
Cari kata yang berakhiran -ur:
"Nandur kembang mlathi dipekarangan," (menanam melati di pekarangan) - Tidak pas.
"Mangan bubur sumsum rasane gurih." (Makan bubur sumsum rasanya gurih.) - 'gurih' bukan 'ur'.Bagaimana kalau kata-kata yang mudah seperti 'bur' atau 'cur' atau 'lur'?
Contoh: "Mangan bubur dicampur sayur," (Makan bubur dicampur sayur) - Ah, 'ur' ada.
- Sampiran B (berima -er):
Cari kata yang berakhiran -er:
"Susu kedelai dicampur jahe," (Susu kedelai dicampur jahe) - Tidak pas.
"Golek banyu nganti mblenger." (Mencari air sampai bosan.) - 'mblenger' ada 'er'.
Maka, parikan kita bisa menjadi:
Mangan bubur dicampur sayur, (A: -ur)
Golek banyu nganti mblenger. (B: -er)
Dadi wong kudu jujur, (A: -ur)
Aja seneng gawe geger. (B: -er)
Voila! Sebuah parikan telah tercipta. Kunci di sini adalah mencari kata-kata yang berima, tidak peduli seberapa "nyambung" atau "tidak nyambung" maknanya dengan isi. Justru ketidaknyambungan itu yang sering membuat parikan menjadi lucu atau menarik.
5. Periksa Keselarasan dan Keindahan
Setelah jadi, baca kembali parikan Anda. Apakah rimanya sudah pas? Apakah iramanya enak didengar? Apakah pesannya jelas di bagian isi? Jika ada yang kurang, jangan ragu untuk mengganti kata atau frasa.
Ingat, latihan adalah kunci. Semakin sering Anda mencoba, semakin peka Anda terhadap bunyi dan semakin lihai Anda dalam merangkai kata-kata.
Parikan di Era Modern: Adaptasi dan Relevansi
Di era digital dan globalisasi ini, banyak tradisi lisan yang terancam punah. Namun, parikan menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia terus menemukan ruang dan relevansinya di tengah masyarakat modern.
1. Media Sosial dan Konten Digital
Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok menjadi lahan subur bagi parikan. Para pengguna media sosial sering membagikan parikan lucu, nasihat, atau sindiran sebagai status, caption, atau bagian dari video pendek. Format parikan yang ringkas dan mudah dicerna sangat cocok dengan sifat konsumsi konten digital yang cepat.
Banyak influencer atau kreator konten berbahasa Jawa menggunakan parikan untuk berinteraksi dengan pengikutnya, menciptakan tantangan berparikan, atau sekadar menyisipkan humor dalam konten edukasi.
Nggowo tas isi buku,
Mlaku-mlaku karo pacar.
Ayo sinau teknologi anyar,
Ben ora ketinggalan jaman.
Parikan ini beradaptasi dengan nasihat untuk melek teknologi.
2. Iklan dan Pemasaran
Beberapa produk lokal atau brand yang menargetkan audiens Jawa menggunakan parikan dalam kampanye iklan mereka. Penggunaan parikan dapat menciptakan kedekatan emosional dengan konsumen karena dianggap sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Humor dalam parikan juga efektif untuk menarik perhatian.
Esuk-esuk ngopi disik,
Kopine panas legi tenan.
Monggo tumbas produk kami sing paling apik,
Dijamin kualitas ora bakal nyesel.
Contoh parikan untuk iklan produk yang menarik.
3. Stand-up Comedy dan Hiburan Kontemporer
Para komedian tunggal (stand-up comedian) atau seniman humor seringkali menyisipkan parikan dalam penampilan mereka, terutama yang berbahasa Jawa. Parikan digunakan untuk membangun lelucon, menyindir situasi politik atau sosial, atau sekadar memancing tawa penonton dengan kejutan rima.
Mancing iwak oleh kathok,
Kathoke teles ora isa garing.
Dadi wong ojo gampang mangkel,
Urip iki kudu seneng lan guyu.
Parikan lucu yang cocok untuk segmen komedi.
4. Pendidikan dan Pelestarian di Sekolah
Di beberapa sekolah di Jawa, parikan masih diajarkan sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Jawa. Hal ini bertujuan untuk melestarikan sastra lisan dan memperkenalkan kekayaan budaya kepada generasi muda. Lomba berparikan atau membuat parikan sering diadakan untuk meningkatkan minat siswa.
5. Musik dan Karya Seni Lainnya
Lirik lagu-lagu campursari atau pop Jawa modern kadang masih menyertakan elemen parikan. Selain itu, beberapa seniman visual atau desainer juga mungkin terinspirasi oleh struktur dan estetika parikan dalam karya mereka.
Tantangan di Era Modern
Meskipun mampu beradaptasi, parikan juga menghadapi tantangan. Dominasi budaya populer global, kurangnya minat generasi muda terhadap bahasa daerah, dan perubahan gaya komunikasi yang lebih langsung dapat menggerus keberadaan parikan. Oleh karena itu, upaya pelestarian melalui digitalisasi, pendidikan, dan kreasi konten yang relevan menjadi sangat penting.
Dengan demikian, parikan tidak hanya sekadar relik masa lalu, melainkan sebuah bentuk seni lisan yang dinamis, terus bergerak dan beradaptasi, membuktikan bahwa kearifan lokal memiliki tempat abadi di hati masyarakatnya, bahkan di tengah hiruk pikuk modernitas.
Kumpulan Parikan Pilihan (Berbagai Tema)
Berikut adalah beberapa contoh parikan dari berbagai tema untuk memperkaya pemahaman Anda:
Parikan Nasihat dan Kebaikan
-
Numpak sepur menyang Blitar,
Aja lali nggawa bekal.
Yen sinau kudu sing pinter,
Mbesuk dadi wong sing duwe modal. -
Manuk dara mangani gabah,
Gabah sega diombe es.
Dadi wong kudu sing sabar,
Supaya uripe iso sukses. -
Godhong jarak godhong kates,
Godhong waru dianggo lalapan.
Dadi bocah sing sregep lan tangkas,
Ngerteni wong tuwo lan kanca. -
Mangan sate bumbune kecap,
Sate ayam sate sapi.
Aja lali karo sing Kuwasa,
Supaya uripmu tansah diberkahi. -
Klambi abang klambi biru,
Dijupuk adhi sing ayu.
Yen wis gedhe ojo lali ilmu,
Kanggo sangu uripmu. -
Tuku lombok ing pasar gede,
Lomboke abang seger-seger.
Dadi murid sing manut guru,
Ben dadi wong sing pinter. -
Kembang melati kembang mawar,
Dianggo hiasan ing meja.
Ayo kanca padha sinau,
Ben uripmu ora sengsara. -
Mlaku-mlaku menyang sawah,
Sawahe ijo asri tenan.
Dadi wong kudu sing ngalah,
Supaya tentrem lan ora gampang nesu. -
Numpak bis menyang kota,
Ketemu kanca padha nyapa.
Dadi wong kudu sing setya,
Aja gampang lali karo janji. -
Mangan roti nganggo keju,
Rotine enak gawe wareg.
Dadi wong kudu sing maju,
Ora gampang nyerah lan mandeg.
Parikan Lucu dan Jenaka
-
Tuku bakpia rasane gurih,
Barang tuku kok malah njaluk maneh.
Wis tuwa kok isih seneng guyonan,
Paling-paling yo gampang kesandung. -
Numpak sepedha roda telu,
Sepedhane mogok ing dalan.
Wis dadi bapak-bapak kok isih mlayu,
Paling-paling yo ngoyak layangan. -
Ana cicak mangan dhuwit,
Dhuwite ilang dicolong tikus.
Wis kadung elek kok ora isin,
Paling-paling yo seneng ngguyu-ngguyu. -
Kembang kopi kembang cengkeh,
Ambune wangi seger tenan.
Arep nyedhak kok isin-isin,
Akhire malah dijak mulih. -
Mangan bakso anget-anget,
Bakso sapi enak rasane.
Arep ngomong kok isin banget,
Paling-paling yo mung mesem wae. -
Nggowo tas isi gedhang,
Gedhange mateng kuning ijo.
Ngakune gantheng gagah perkasa,
Tibake wedi karo bojone. -
Esuk-esuk macul sawah,
Sawahe jembar butuh tenaga.
Wis dadi wong kok seneng ngeluh,
Paling-paling yo wegah nyambut gawe.
Parikan Asmara dan Kasih Sayang
-
Gula jawa rasane legi,
Digawe wedang anget-anget.
Atiku iki mung kanggo kowe,
Ora bakal luntur tresnaku iki. -
Klapa ijo klapa sawit,
Klapa degan seger rasane.
Yen wis tresna karo kowe,
Ati iki ora iso liyane. -
Kembang melati kembang mawar,
Kembang kenanga mekar nyebar.
Tresnamu iki sing tak golek,
Ora bakal lali nganti tuwa. -
Mangan pecel lawuhe tempe,
Tempe goreng enak rasane.
Kowe pancen gawe atiku luluh,
Ora iso pisah karo kowe. -
Sore-sore nyawang rembulan,
Rembulan padhang ing langit wengi.
Senajan adoh ora katon,
Kowe tetep ana ing ati.
Kumpulan parikan ini hanyalah sebagian kecil dari kekayaan parikan yang ada. Setiap parikan memiliki nuansa dan konteksnya sendiri, menunjukkan betapa luwesnya bentuk sastra lisan ini dalam merangkum berbagai aspek kehidupan.
Kesimpulan: Parikan sebagai Jendela Kearifan Lokal
Parikan, dengan segala kesederhanaan dan kedalamannya, adalah jendela menuju kearifan lokal masyarakat Jawa. Ia bukan sekadar permainan kata atau rima, melainkan sebuah manifestasi dari kecerdasan linguistik, kepekaan sosial, dan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Melalui struktur sampiran dan isi yang unik, parikan mampu menyampaikan berbagai pesan: mulai dari nasihat moral yang bijak, kritik sosial yang halus namun menusuk, humor yang mengocok perut, hingga ekspresi cinta yang puitis. Fleksibilitasnya dalam jumlah baris dan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai konteks menjadikannya relevan dari masa ke masa, bahkan di tengah hiruk pikuk modernitas.
Parikan juga berperan penting dalam melestarikan Bahasa Jawa, memperkaya kosakata, dan menjaga identitas budaya. Ia adalah pengingat bahwa kekayaan sebuah peradaban tidak hanya terletak pada monumen-monumen megah, tetapi juga pada untaian kata-kata sederhana yang hidup dalam ingatan dan lisan masyarakatnya.
Oleh karena itu, menjaga, mempelajari, dan terus menciptakan parikan adalah upaya untuk menghargai warisan tak benda yang tak ternilai harganya. Mari kita terus merayakan keindahan parikan, agar jiwa budaya Jawa ini tetap berdenyut dan menginspirasi generasi-generasi mendatang.