Membedah Makna dan Tata Cara Tahiyat Awal
Shalat adalah tiang agama, sebuah dialog suci antara seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakan dan bacaan di dalamnya memiliki makna yang mendalam dan aturan yang telah ditetapkan. Salah satu rukun qauli (ucapan) yang menjadi bagian integral dari shalat adalah tahiyat, atau yang lebih dikenal sebagai tasyahud. Terdapat dua jenis tahiyat dalam shalat yang memiliki lebih dari dua rakaat, yaitu tahiyat awal dan tahiyat akhir. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif segala aspek yang berkaitan dengan tahiyat awal, mulai dari bacaan, terjemahan, makna filosofis setiap kalimat, hukumnya dalam berbagai mazhab, hingga tata cara pelaksanaannya yang benar.
Memahami tahiyat awal bukan sekadar menghafal bacaannya, tetapi menyelami esensi dari sebuah pengakuan agung yang kita sampaikan dalam shalat. Ini adalah momen refleksi, di mana kita mengulang kembali dialog mulia yang terjadi saat peristiwa Isra' Mi'raj, memperbarui syahadat, dan mengirimkan salam kepada insan-insan terbaik. Dengan pemahaman yang utuh, diharapkan kualitas shalat kita dapat meningkat, dari sekadar rutinitas menjadi sebuah ibadah yang penuh kekhusyuan dan penghayatan.
Bacaan Lengkap Tahiyat Awal dan Terjemahannya
Bacaan tahiyat awal merupakan inti dari duduk di rakaat kedua. Terdapat beberapa riwayat mengenai lafal tasyahud, namun yang paling masyhur dan banyak diamalkan di Indonesia, khususnya oleh pengikut mazhab Syafi'i, adalah tasyahud yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas. Berikut adalah bacaan yang paling umum digunakan:
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
"Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah. Assalaamu 'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah. Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad."
Artinya: "Segala penghormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan tercurah kepadamu wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya. Semoga keselamatan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad."
Bacaan ini adalah sebuah rangkaian doa dan pengakuan yang sarat makna. Untuk benar-benar menghayatinya, kita perlu membedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya.
Makna Mendalam di Balik Setiap Kalimat Tahiyat Awal
Setiap kata dalam bacaan tahiyat awal bukanlah sekadar susunan huruf tanpa arti. Kalimat-kalimat ini menyimpan sejarah, teologi, dan spiritualitas yang luar biasa. Mari kita selami makna dari setiap penggalan kalimat tersebut.
1. "Attahiyyaatul Mubaarakaatush Shalawaatuth Thayyibaatu Lillaah"
Ini adalah kalimat pembuka yang ditujukan langsung kepada Allah SWT. Kalimat ini terdiri dari empat unsur utama yang semuanya dipersembahkan hanya untuk Allah.
- Attahiyyaat (التَّحِيَّاتُ): Secara harfiah berarti "segala penghormatan" atau "segala salam keselamatan". Namun, maknanya jauh lebih luas. Kata ini mencakup segala bentuk pengagungan, pujian, sanjungan, dan pemuliaan. Ia juga bisa diartikan sebagai keabadian dan kekekalan kerajaan. Dengan mengucapkan ini, kita mengakui bahwa hanya Allah yang berhak atas segala bentuk penghormatan tertinggi, karena segala kerajaan dan kekuasaan di langit dan di bumi adalah milik-Nya semata.
- Al-Mubaarakaat (الْمُبَارَكَاتُ): Berasal dari kata "barakah" yang artinya keberkahan, kebaikan yang melimpah, dan pertumbuhan yang terus-menerus. Dengan mengucapkan ini, kita menyatakan bahwa segala sumber keberkahan, kebaikan yang hakiki, dan pertumbuhan yang bermanfaat datangnya hanya dari Allah dan dipersembahkan kembali kepada-Nya.
- Ash-Shalawaat (الصَّلَوَاتُ): Merujuk pada "segala doa" atau "segala ibadah shalat". Ini adalah pengakuan bahwa semua bentuk doa, permohonan, dan ibadah ritual yang kita lakukan pada hakikatnya ditujukan hanya untuk Allah. Tidak ada ibadah yang layak dipersembahkan kepada selain-Nya. Kata ini juga mencakup makna rahmat dan kasih sayang, menegaskan bahwa sumber rahmat sejati adalah Allah.
- At-Thayyibaat (الطَّيِّبَاتُ): Berarti "segala yang baik". Ini mencakup segala ucapan yang baik, perbuatan yang baik, sifat yang baik, dan rezeki yang baik. Kita mengakui bahwa semua kebaikan, baik yang berasal dari kita maupun yang kita terima, pada akhirnya adalah milik Allah dan untuk Allah.
Gabungan keempat kata ini menjadi sebuah deklarasi tauhid yang komprehensif: "Segala bentuk penghormatan, keberkahan, doa, dan kebaikan hanyalah milik Allah." Ini adalah bentuk penyerahan diri total seorang hamba kepada Sang Pencipta.
2. "Assalaamu 'alaika Ayyuhan Nabiyyu Warahmatullahi Wabarakaatuh"
Setelah memuji Allah, fokus beralih kepada sosok sentral dalam Islam, Nabi Muhammad SAW. Kalimat ini memiliki latar belakang sejarah yang sangat istimewa, yaitu dialog dalam peristiwa Isra' Mi'raj.
- Assalaamu 'alaika (السَّلَامُ عَلَيْكَ): "Semoga keselamatan tercurah kepadamu". Menurut riwayat, kalimat pujian sebelumnya ("Attahiyyat...") adalah ucapan Nabi Muhammad SAW ketika menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Kemudian, Allah SWT menjawab salam penghormatan tersebut dengan kalimat ini. "As-Salam" adalah salah satu Asmaul Husna (nama-nama Allah yang terbaik), yang berarti Maha Sejahtera atau Maha Pemberi Keselamatan. Maka, salam ini adalah doa agar Nabi senantiasa berada dalam naungan keselamatan dan kesejahteraan dari Allah.
- Ayyuhan Nabiyyu (أَيُّهَا النَّبِيُّ): "Wahai Sang Nabi". Panggilan ini menunjukkan kedudukan yang sangat mulia dan terhormat. Meskipun kita tidak pernah bertemu langsung, melalui shalat, kita seolah-olah menyapa beliau secara langsung, membangun ikatan spiritual yang kuat.
- Warahmatullahi Wabarakaatuh (وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ): "Beserta rahmat Allah dan keberkahan-Nya". Doa ini disempurnakan dengan permohonan agar rahmat (kasih sayang) dan barakah (kebaikan yang melimpah) dari Allah juga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW.
Kalimat ini adalah bentuk cinta, penghormatan, dan doa kita kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari kegelapan menuju cahaya iman.
3. "Assalaamu 'alainaa Wa 'alaa 'Ibaadillaahish Shaalihiin"
Ini adalah bagian yang menunjukkan betapa luhurnya akhlak Nabi Muhammad SAW. Setelah menerima salam agung dari Allah, beliau tidak menyimpannya untuk diri sendiri. Beliau langsung membagikannya.
- Assalaamu 'alainaa (السَّلَامُ عَلَيْنَا): "Semoga keselamatan tercurah kepada kami". Kata "kami" di sini merujuk pada diri orang yang shalat dan seluruh jamaah yang hadir bersamanya (jika shalat berjamaah). Ini mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan dan mendoakan sesama Muslim.
- Wa 'alaa 'Ibaadillaahish Shaalihiin (وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ): "Dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh". Doa keselamatan ini diperluas cakupannya. Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk mendoakan seluruh hamba Allah yang shaleh, di manapun mereka berada, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, dari kalangan manusia, jin, hingga malaikat. Ini adalah doa universal yang melintasi batas ruang dan waktu, menunjukkan indahnya ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam.
4. "Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaah, Wa Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah"
Setelah rangkaian pujian kepada Allah dan salam kepada Nabi serta hamba-hamba shaleh, tahiyat ditutup dengan inti dari akidah Islam, yaitu dua kalimat syahadat.
- Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaah (أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ): "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah". Kata "Asyhadu" (aku bersaksi) memiliki bobot yang sangat berat. Ini bukan sekadar "aku tahu" atau "aku percaya", melainkan "aku bersaksi". Sebuah kesaksian menuntut keyakinan yang kokoh berdasarkan ilmu dan pengalaman batin, yang siap dipertahankan. Ini adalah penegasan kembali komitmen tauhid kita, menafikan segala bentuk sesembahan selain Allah.
- Wa Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah (وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ): "Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah". Kesaksian pertama tidaklah lengkap tanpa kesaksian kedua. Mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan harus diiringi dengan pengakuan terhadap risalah yang dibawa oleh utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW. Ini berarti kita menerima Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman hidup.
Mengucapkan syahadat dalam setiap shalat berfungsi sebagai pengingat dan pembaru janji setia kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
5. "Allaahumma Shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammad"
Dalam mazhab Syafi'i, bacaan tahiyat awal dianjurkan untuk ditutup dengan shalawat singkat kepada Nabi Muhammad SAW.
- Allaahumma Shalli (اللَّهُمَّ صَلِّ): "Ya Allah, limpahkanlah shalawat". Shalawat dari Allah kepada Nabi berarti pujian, rahmat, dan pemuliaan di hadapan para malaikat-Nya. Permintaan kita agar Allah bershalawat kepada Nabi adalah bentuk pengakuan atas jasa-jasa beliau dan cara kita berterima kasih.
- 'alaa Sayyidinaa Muhammad (عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ): "Kepada junjungan kami, Muhammad". Penggunaan kata "Sayyidina" (junjungan kami) adalah bentuk adab dan pemuliaan kepada Nabi, yang banyak dianjurkan oleh para ulama.
Menutup tahiyat awal dengan shalawat ini merupakan penyempurna dari penghormatan kita dalam duduk di rakaat kedua, sebelum kembali berdiri untuk melanjutkan rakaat berikutnya.
Hukum Tahiyat Awal dalam Perspektif Fiqih
Status hukum tahiyat awal menjadi salah satu topik pembahasan yang menarik dalam ilmu fiqih. Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai kewajibannya. Memahami perbedaan ini penting untuk menumbuhkan sikap toleransi dan wawasan keislaman yang luas.
1. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali
Dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali, hukum melaksanakan tahiyat awal adalah Sunnah Ab'adh. Istilah ini merujuk pada amalan sunnah yang sangat dianjurkan (ditekankan). Jika seseorang sengaja meninggalkannya, shalatnya tetap sah namun ia kehilangan keutamaan besar. Jika ia lupa atau tidak sengaja meninggalkannya, maka dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi sebelum salam.
Dalil yang menjadi sandaran mereka adalah hadis Abdullah bin Buhainah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah lupa melakukan tahiyat awal dalam shalat Dzuhur. Beliau langsung berdiri ke rakaat ketiga. Setelah menyelesaikan shalat, sebelum salam, beliau melakukan dua kali sujud (sujud sahwi), kemudian mengucapkan salam. Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa jika tahiyat awal adalah rukun (wajib), maka shalat Nabi saat itu akan batal dan harus diulang, bukan hanya diganti dengan sujud sahwi.
2. Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang lebih kuat. Menurut mereka, hukum tahiyat awal adalah Wajib, namun bukan rukun. Dalam terminologi fiqih Hanafi, "wajib" adalah sesuatu yang harus dikerjakan, dan jika ditinggalkan dengan sengaja akan berdosa. Jika ditinggalkan karena lupa, shalatnya tidak batal tetapi wajib melakukan sujud sahwi. Meninggalkannya dengan sengaja membuat shalatnya perlu diulang (i'adah) karena dianggap cacat, meskipun secara teknis tidak batal.
Sementara itu, mazhab Maliki menganggapnya sebagai Sunnah. Namun, sama seperti Syafi'i dan Hanbali, mereka juga menganjurkan sujud sahwi bagi yang lupa mengerjakannya. Perbedaan terminologi ini menunjukkan gradasi penekanan, namun pada praktiknya, semua mazhab besar sepakat akan pentingnya tahiyat awal dan konsekuensi (berupa sujud sahwi) jika terlupakan.
Kesimpulan Hukum
Meskipun terdapat perbedaan istilah (Sunnah Ab'adh vs Wajib), mayoritas ulama sepakat bahwa tahiyat awal adalah amalan yang tidak boleh diremehkan. Meninggalkannya dengan sengaja adalah perbuatan tercela yang mengurangi kesempurnaan shalat. Anjuran untuk melakukan sujud sahwi bagi yang lupa menunjukkan kedudukannya yang sangat penting, setingkat di bawah rukun shalat.
Tata Cara Pelaksanaan Tahiyat Awal yang Sempurna
Selain bacaan, kesempurnaan tahiyat awal juga ditentukan oleh tata cara duduk dan gerakan yang menyertainya. Fiqih telah mengatur hal ini secara rinci untuk meneladani cara shalat Rasulullah SAW.
1. Posisi Duduk: Iftirasy
Posisi duduk yang disunnahkan saat tahiyat awal adalah duduk iftirasy. Caranya adalah:
- Menduduki telapak kaki kiri, menjadikannya sebagai alas.
- Menegakkan telapak kaki kanan, dengan jari-jemari kaki kanan ditekuk dan ujungnya menghadap kiblat.
- Posisi punggung tegak lurus dan pandangan mata tertuju ke arah tempat sujud, atau lebih spesifik ke arah jari telunjuk yang diisyaratkan.
Duduk iftirasy ini didasarkan pada hadis dari Abu Humaid As-Sa'idi yang menjelaskan sifat shalat Nabi SAW: "...Kemudian beliau duduk, beliau hamparkan kaki kirinya dan beliau tegakkan kaki kanannya...". Posisi ini membedakan antara duduk tahiyat awal dengan duduk tahiyat akhir, di mana pada tahiyat akhir disunnahkan duduk tawarruk.
2. Posisi Tangan
Posisi kedua tangan juga memiliki aturan spesifik:
- Tangan diletakkan di atas paha, dekat dengan lutut.
- Tangan Kiri: Diletakkan dalam keadaan terbuka dan rileks di atas paha kiri, dengan jari-jari sedikit direnggangkan dan ujungnya sejajar dengan lutut.
- Tangan Kanan: Posisinya sedikit berbeda karena akan digunakan untuk berisyarat. Jari kelingking, jari manis, dan jari tengah digenggam. Ibu jari diletakkan di samping jari tengah atau digenggamkan bersamanya, membentuk sebuah lingkaran. Jari telunjuk dibiarkan lurus, siap untuk diangkat sebagai isyarat.
3. Isyarat Jari Telunjuk
Mengangkat atau menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud adalah sunnah yang memiliki banyak riwayat. Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kapan dan bagaimana isyarat ini dilakukan.
- Waktu Mengangkat Jari: Sebagian ulama berpendapat jari diangkat ketika mengucapkan lafaz "illallaah" pada kalimat syahadat (أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ). Isyarat ini melambangkan penegasan tauhid, bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
- Gerakan Jari: Ada perbedaan pendapat mengenai apakah jari telunjuk hanya diangkat dan ditahan (diam), atau digerak-gerakkan.
- Pendapat pertama (digerakkan): Berdasarkan hadis dari Wa'il bin Hujr yang menyebutkan bahwa ia melihat Nabi "menggerak-gerakkannya" (يُحَرِّكُهَا). Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama, yang mengartikannya sebagai gerakan naik-turun atau bergetar ringan secara terus-menerus hingga salam. Hikmahnya adalah untuk mengingatkan konsentrasi dan mengusir setan.
- Pendapat kedua (hanya berisyarat/tidak digerakkan): Berdasarkan riwayat lain, seperti dari Abdullah bin Zubair, yang menyebutkan bahwa Nabi "berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakkannya". Pendukung pendapat ini mengangkat jari pada lafaz "illallaah" dan menahannya dalam posisi tersebut hingga berdiri atau hingga salam pada tahiyat akhir.
Kedua praktik ini memiliki dasar riwayatnya masing-masing. Seorang Muslim dapat memilih salah satu yang diyakininya paling kuat atau mengikuti mazhab yang dianutnya, tanpa perlu menyalahkan praktik yang lain.
Perbedaan antara Tahiyat Awal dan Tahiyat Akhir
Meskipun namanya mirip, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara tahiyat awal dan tahiyat akhir yang penting untuk diketahui agar tidak keliru.
| Aspek | Tahiyat Awal | Tahiyat Akhir |
|---|---|---|
| Hukum | Sunnah Ab'adh (Syafi'i) / Wajib (Hanafi) | Rukun Shalat (Wajib bagi semua mazhab) |
| Posisi Duduk | Iftirasy (menduduki kaki kiri) | Tawarruk (mengeluarkan kaki kiri ke kanan, duduk di lantai) |
| Bacaan | Berhenti setelah shalawat singkat kepada Nabi Muhammad SAW. | Dilanjutkan dengan Shalawat Ibrahimiyah dan doa perlindungan sebelum salam. |
| Konsekuensi jika Lupa | Shalat tetap sah, dianjurkan sujud sahwi. | Shalat tidak sah (batal) jika ditinggalkan dengan sengaja atau tidak diingat sebelum salam. |
Ketika Lupa Mengerjakan Tahiyat Awal
Lupa adalah sifat manusiawi, dan syariat Islam memberikan solusi jika seseorang lupa melakukan tahiyat awal. Kasus ini memiliki beberapa skenario:
- Teringat Sebelum Berdiri Sempurna: Jika seseorang lupa tahiyat awal dan mulai bergerak untuk berdiri, namun ia teringat sebelum posisi punggungnya tegak lurus, maka ia harus segera kembali ke posisi duduk dan melakukan tahiyat awal. Tidak perlu melakukan sujud sahwi dalam kondisi ini.
- Teringat Setelah Berdiri Sempurna: Jika ia sudah terlanjur berdiri tegak untuk rakaat ketiga dan baru teringat, maka ia tidak boleh kembali duduk. Ia harus melanjutkan shalatnya hingga selesai, dan sebelum salam, ia melakukan sujud sahwi. Kembali duduk setelah berdiri sempurna dapat membatalkan shalat menurut sebagian ulama.
- Imam Lupa, Makmum Mengingatkan: Jika imam lupa tahiyat awal dan langsung berdiri, makmum disunnahkan untuk mengingatkannya dengan mengucapkan "Subhanallah". Jika imam teringat sebelum berdiri sempurna, ia akan kembali duduk dan makmum mengikutinya. Jika imam tetap berdiri, maka makmum wajib mengikuti imam (berdiri) dan nantinya semua akan melakukan sujud sahwi bersama imam di akhir shalat.
Hikmah dan Filosofi Tahiyat Awal
Setiap syariat dalam Islam pasti mengandung hikmah yang agung. Demikian pula dengan disyariatkannya tahiyat awal dalam shalat. Beberapa hikmah yang dapat kita renungkan adalah:
- Momen Istirahat dan Refleksi: Tahiyat awal memberikan jeda fisik dan mental di tengah-tengah shalat. Ini adalah kesempatan untuk beristirahat sejenak setelah dua rakaat, sambil merenungkan kembali makna-makna agung dalam bacaan tasyahud.
- Memperbarui Komitmen Tauhid: Dengan mengulang syahadat di setiap dua rakaat, seorang Muslim terus-menerus diingatkan dan dikuatkan kembali pondasi keimanannya. Ini menjaga agar shalat tidak menjadi sekadar gerakan tanpa jiwa.
- Menjalin Hubungan Spiritual: Bacaan tahiyat adalah medium untuk menjalin ikatan spiritual dengan Allah, dengan Rasulullah SAW, dengan diri sendiri, dan dengan seluruh hamba Allah yang shaleh di seluruh dunia. Ini menumbuhkan rasa persatuan dan kepedulian universal.
- Meneladani Peristiwa Agung: Tahiyat adalah reka ulang dari dialog paling mulia dalam sejarah, yaitu percakapan antara Allah SWT dengan Nabi Muhammad SAW saat Mi'raj. Dengan membacanya, kita seolah-olah ikut serta dalam momen agung tersebut, merasakan kemuliaannya, dan meneladani adab sang Nabi.
- Pembeda Antar Bagian Shalat: Adanya tahiyat awal menjadi penanda yang jelas antara bagian pertama shalat (dua rakaat awal) dengan bagian selanjutnya, terutama dalam shalat yang lebih dari dua rakaat.
Sebagai penutup, tahiyat awal adalah salah satu pilar keindahan dalam arsitektur ibadah shalat. Ia bukan sekadar jeda, melainkan sebuah stasiun perenungan yang sarat dengan pujian, doa, kesaksian, dan penghormatan. Memahaminya secara mendalam, dari lafal hingga hikmahnya, akan membantu kita mengubah shalat dari kewajiban mekanis menjadi sebuah dialog spiritual yang penuh makna. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk dapat mendirikan shalat dengan sebaik-baiknya, menyempurnakan setiap bacaan dan gerakannya, sehingga shalat kita benar-benar menjadi penyejuk hati dan pencegah dari perbuatan keji dan munkar.