Di jantung kepulauan Nusantara, terutama di wilayah timur seperti Maluku dan Papua, serta di sebagian besar Riau dan Kalimantan, sagu (Metroxylon sago) bukan sekadar sumber karbohidrat, melainkan fondasi kehidupan, penopang budaya, dan cerminan kearifan ekologis yang telah teruji lintas generasi. Proses mendapatkan pati dari pohon ini, yang dikenal secara tradisional sebagai menokok sagu, adalah ritual yang menggabungkan kekuatan fisik, pengetahuan botani, dan teknologi tradisional yang sangat efisien.
Menokok sagu adalah sebuah rangkaian tahapan yang panjang, dimulai dari pemilihan pohon yang tepat, penebangan yang hati-hati, hingga pengeluaran inti batang (empulur) menggunakan alat pemukul khusus. Aktivitas ini adalah jantung dari industri pangan tradisional sagu, menentukan kualitas pati yang dihasilkan, dan memengaruhi kelangsungan hidup komunitas yang bergantung padanya. Tradisi ini menyimpan nilai-nilai kolektivitas, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap alam.
Dalam konteks ketahanan pangan, sagu memiliki keunggulan komparatif yang signifikan dibandingkan padi atau jagung, terutama pada lahan gambut atau rawa-rawa yang sulit diolah. Sagu tidak memerlukan perawatan intensif, tahan terhadap perubahan iklim ekstrem di lingkungan rawa, dan menghasilkan pati dalam jumlah besar hanya dari satu batang pohon. Oleh karena itu, memahami setiap detail dari proses menokok sagu adalah memahami pilar pangan alternatif di Indonesia.
Proses menokok sagu tidak dimulai dengan pemukulan, melainkan dengan observasi mendalam. Kualitas pati sagu sangat bergantung pada tingkat kematangan pohon. Sagu yang dipanen terlalu dini akan menghasilkan pati yang sedikit dan berair, sementara sagu yang terlambat dipanen (setelah berbunga) akan menyebabkan pati tersebut berubah menjadi serat, karena energi karbohidrat telah dialihkan untuk pembentukan bunga dan buah.
Penebangan dilakukan menggunakan kapak atau parang panjang. Batang sagu dipotong dekat pangkal, menyisakan tunggul yang akan memastikan regenerasi tunas baru. Setelah rebah, duri-duri pada pelepah dibersihkan. Batang kemudian dipotong-potong menjadi segmen yang lebih pendek (biasanya 1,5 hingga 2 meter), ukuran yang memudahkan pengangkutan dan penokokan.
Perhitungan logistik dalam tahap ini sangat penting. Di lingkungan rawa yang berlumpur (habitat alami sagu), pengangkutan dilakukan secara tradisional dengan ditarik atau dihanyutkan melalui kanal-kanal kecil (sungai sagu) yang dibuat khusus. Efisiensi pengangkutan menentukan seberapa segar empulur sagu saat tiba di lokasi penokokan.
Istilah menokok merujuk pada aksi memukul atau menghancurkan empulur sagu (bagian dalam batang) untuk memisahkan serat dan pati. Ini adalah proses yang membutuhkan stamina tinggi dan ritme kerja yang konsisten. Menokok umumnya dilakukan di lokasi yang dekat dengan sumber air bersih, karena tahap berikutnya adalah pencucian.
Segmen batang sagu dibelah menjadi dua memanjang. Kulit keras (dinding luar) batang sagu dipertahankan karena berfungsi sebagai wadah alami atau alas kerja selama proses penokokan berlangsung. Empulur, yang berwarna putih hingga kemerahan, kini terekspos dan siap untuk dipukul.
Alat tradisional yang digunakan untuk menokok sagu bervariasi nama di setiap daerah, namun fungsinya sama: menghancurkan struktur sel empulur tanpa merusak serat terlalu parah. Di Maluku dan Papua, alat ini sering disebut kaskadu atau emo. Alat ini biasanya terbuat dari kayu keras atau, pada adaptasi modern, menggunakan mata pemukul logam yang tajam dan bergerigi, dipasang pada gagang kayu panjang.
Setelah selesai ditokok, empulur berubah dari substansi padat menjadi serbuk kasar yang bercampur dengan serat-serat halus. Serbuk inilah yang mengandung pati sagu yang siap diekstraksi. Kualitas penokokan dinilai dari seberapa halus serbuk tersebut dan seberapa sedikit pati yang masih melekat pada serat kasarnya.
Proses menokok ini sering dilakukan secara bergotong royong. Satu tim terdiri dari beberapa orang yang bekerja dalam shift. Kekompakan dalam tim sangat vital, karena proses ini harus selesai sebelum empulur mengering dan pati sulit dikeluarkan.
Pati sagu yang telah hancur dari proses penokokan harus dipisahkan dari serat dan kotoran melalui proses pencucian basah. Tahap ini membutuhkan banyak air bersih dan infrastruktur sederhana yang disebut lungkang atau tempat pencucian.
Lungkang adalah palung panjang yang terbuat dari kayu atau, secara tradisional, menggunakan kulit batang sagu yang utuh. Palung ini berfungsi sebagai jalur aliran air dan tempat pengendapan pati. Lungkang harus miring sedikit ke bawah, memungkinkan air kotor mengalir keluar sementara pati yang berat mengendap di dasar.
Serbuk empulur yang sudah ditokok dimasukkan ke dalam wadah atau karung saring (biasanya terbuat dari anyaman kasar atau kain). Air bersih dialirkan atau ditambahkan. Pekerja kemudian meremas-remas serbuk tersebut dengan kuat.
Air pati yang keluar dari peremasan pertama masih mengandung serabut halus. Untuk mendapatkan pati murni, dibutuhkan penyaringan bertingkat. Pati disaring melalui beberapa lapisan saringan yang semakin halus, dari saringan anyaman kasar hingga saringan kain halus atau serat ijuk.
Pencucian ini bisa diulang hingga tiga atau empat kali. Kualitas pati ditentukan oleh warna air buangan. Jika air yang keluar dari proses peremasan sudah jernih, itu menandakan bahwa hampir semua pati telah berhasil diekstraksi dari seratnya.
Di beberapa wilayah seperti Kepulauan Meranti (Riau), proses pencucian seringkali melibatkan teknologi mekanis sederhana yang digerakkan oleh tenaga air atau mesin diesel. Namun, prinsip dasar pemisahan pati melalui air dan filtrasi tetap dipertahankan. Sebaliknya, di daerah pedalaman Papua, seluruh proses, termasuk pencucian, masih 100% manual.
Suspensi pati yang telah murni kemudian ditampung dalam bak pengendapan. Proses ini memakan waktu beberapa jam hingga semalam. Butiran pati akan mengendap di dasar, membentuk lapisan tebal yang padat, sementara air jernih berada di atasnya. Air jernih ini kemudian dibuang hati-hati (disebut didekantasi).
Hasil dari pengendapan ini disebut sagu basah. Sagu basah memiliki kadar air yang tinggi, dan inilah bentuk pati sagu yang paling umum digunakan untuk membuat makanan pokok seperti Papeda, atau untuk diolah lebih lanjut menjadi sagu kering (tepung sagu).
Efisiensi Pati: Satu batang sagu matang bisa menghasilkan antara 150 kg hingga 300 kg pati sagu basah, tergantung pada spesies sagu dan keahlian penokok. Angka yang fantastis ini menunjukkan betapa produktifnya tanaman sagu sebagai sumber karbohidrat primer.
Sagu basah yang didapatkan melalui proses menokok adalah bahan mentah yang serbaguna. Ia dapat langsung diolah menjadi makanan atau dikeringkan untuk penyimpanan jangka panjang atau pengiriman jarak jauh.
Untuk dijadikan tepung, sagu basah harus melewati proses pengeringan. Secara tradisional, sagu basah dijemur di bawah sinar matahari di atas tikar atau papan pengering. Pengeringan harus merata untuk mencegah pertumbuhan jamur.
Setelah kering, sagu menjadi butiran atau bubuk halus yang dikenal sebagai tepung sagu. Inilah produk yang digunakan luas dalam industri makanan (pembuatan kue, pengental, mie sagu) dan industri non-pangan (perekat, tekstil).
Keahlian menokok sagu memastikan komunitas memiliki bahan baku untuk sajian khas mereka:
Proses menokok sagu lebih dari sekadar aktivitas ekonomi; ia adalah manifestasi dari kearifan lokal yang mengikat masyarakat. Di banyak komunitas, keahlian menokok merupakan penanda kedewasaan dan tanggung jawab. Pengetahuan ini diturunkan secara lisan, memuat tata cara penebangan yang ramah lingkungan dan teknik penokokan yang paling efisien.
Di sebagian besar daerah sagu, hutan sagu tidak dianggap sebagai milik pribadi perorangan, melainkan milik komunal atau marga. Pengambilan sagu diatur oleh hukum adat yang ketat, memastikan bahwa pohon sagu yang ditebang benar-benar telah mencapai kematangan optimal dan tidak terjadi eksploitasi berlebihan. Aturan ini, yang disebut sistem hak ulayat, menjadi kunci keberlanjutan sumber daya sagu.
Aktivitas menokok, terutama jika melibatkan pemanenan dalam skala besar, sering diiringi dengan ritual adat. Di beberapa suku, terdapat doa atau nyanyian khusus saat menebang pohon sagu, sebagai bentuk penghormatan dan permintaan berkah atas hasil panen. Sifat pekerjaan yang berat mendorong sistem gotong royong yang kuat, di mana hasil pati dibagi rata atau diolah bersama untuk pesta komunal.
Meskipun proses menokok sagu secara tradisional memiliki nilai budaya yang tinggi, tekanan pasar dan tuntutan efisiensi telah mendorong adaptasi teknologi. Transisi dari kaskadu manual ke mesin penokok adalah perubahan signifikan dalam sejarah pengolahan sagu.
Mesin penokok modern, biasanya digerakkan oleh mesin diesel kecil, mampu menggantikan tenaga lima hingga sepuluh pekerja dalam waktu yang jauh lebih singkat. Mesin ini tidak hanya mempercepat proses penokokan, tetapi juga meningkatkan rendemen (jumlah pati yang dihasilkan per batang) karena alat pemukulnya lebih seragam dan efektif dalam menghancurkan serat.
Meskipun efisien, penggunaan mesin menimbulkan dilema. Biaya investasi mesin mahal, sering kali hanya terjangkau oleh pengepul besar, bukan petani individu. Selain itu, kecepatan penokokan mesin memerlukan ketersediaan air bersih dalam jumlah sangat besar, dan limbah serat yang dihasilkan juga lebih banyak, menuntut manajemen lingkungan yang berbeda dari metode tradisional.
Tekanan untuk memenuhi permintaan industri bio-energi dan makanan global kadang kala mendorong praktik penebangan yang tidak berkelanjutan, yaitu menebang pohon sagu sebelum mencapai kematangan maksimal demi memenuhi kuota. Ini adalah ancaman serius bagi kelangsungan hidup hutan sagu alam. Oleh karena itu, diperlukan integrasi antara teknologi modern dan prinsip kearifan lokal dalam memilih pohon (identifikasi matang) untuk memastikan panen sagu tetap lestari.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa proses menokok begitu krusial, kita perlu meninjau apa yang terjadi pada tingkat mikroskopis dan fisika pemrosesan.
Batang sagu, pada dasarnya, adalah silinder penyimpanan karbohidrat raksasa. Inti batang (empulur) terdiri dari sel-sel parenkim yang berfungsi menyimpan pati. Butiran pati (amiloplas) tersimpan rapat dalam dinding sel ini. Tujuan menokok adalah menghancurkan dinding sel parenkim ini secara mekanis agar butiran pati bebas dan dapat dilarutkan dalam air.
Tidak semua pohon sagu memiliki kekerasan batang yang sama. Pohon yang tumbuh di tanah mineral cenderung memiliki empulur lebih keras daripada yang tumbuh di rawa gambut. Penokok ahli dapat menyesuaikan gaya dan frekuensi pukulan mereka:
Rendemen (yield) adalah perbandingan berat pati yang didapatkan dengan berat total empulur. Teknik pencucian memiliki dampak besar terhadap rendemen akhir:
Pati yang dihasilkan dari proses yang sangat bersih, yaitu dengan pencucian dan penyaringan berulang, akan menghasilkan pati dengan kemurnian mencapai 95-98%. Pati dengan kemurnian tinggi ini dihargai lebih mahal di pasar karena cocok untuk aplikasi industri, berbeda dengan sagu basah untuk konsumsi lokal yang kemurniannya mungkin sedikit lebih rendah.
Aktivitas menokok sagu menciptakan rantai ekonomi lokal yang unik. Rantai ini berbeda antara wilayah yang berorientasi pasar ekspor (seperti Riau) dan wilayah yang berorientasi subsisten (seperti Papua pedalaman).
Dalam sistem tradisional, rantai pasoknya pendek:
Di daerah yang terhubung dengan pasar luar, pengepul memainkan peran penting. Mereka menyediakan modal untuk pembelian mesin penokok, membiayai pengangkutan, dan mengumpulkan sagu basah atau kering untuk dijual ke pabrik pengolahan di kota atau diekspor. Ini memberikan likuiditas, tetapi juga dapat menciptakan ketergantungan ekonomi bagi para penokok tradisional.
Harga pati sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk musim panen (ketersediaan), lokasi (biaya transportasi sangat tinggi di daerah terpencil), dan kadar air (semakin kering, semakin mahal). Pengetahuan dan kontrol atas kadar air sagu adalah kunci untuk mendapatkan harga jual yang optimal.
Pati sagu hasil penokokan kini tidak hanya digunakan sebagai makanan. Inovasi telah membuka pasar untuk:
Setiap peluang diversifikasi ini bergantung pada konsistensi dan kemurnian pati sagu yang dihasilkan, yang kembali lagi pada efisiensi dan keahlian dalam proses menokok dan mencuci di tingkat hulu.
Proses menokok sagu kaya akan terminologi lokal yang mencerminkan kedalaman pengetahuan masyarakat terhadap setiap tahapan pengolahan. Mempelajari istilah-istilah ini adalah kunci untuk menghargai kearifan lokal yang tersemat dalam tradisi ini.
Sagu adalah tanaman monokarpik, yang berarti ia hanya berbunga dan berbuah sekali sebelum mati. Siklus penokokan sengaja dilakukan sebelum fase generatif ini terjadi (sebelum pohon "mengeluarkan isinya" untuk bunga/buah). Jika penokok gagal mengidentifikasi waktu panen yang tepat, seluruh pati akan sia-sia.
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai waktu optimal (timing) adalah keterampilan paling berharga dari seorang penokok. Penokok yang berpengalaman dapat memprediksi kapan pohon akan berbunga hanya dengan melihat kondisi pelepah daun dan mengukur tingkat kekerasan batang, memastikan rendemen pati berada pada titik maksimal.
Konservasi Sagu: Menokok sagu sejatinya adalah praktik konservasi. Karena pohon mati setelah dipanen, praktik menyisakan tunggul dan memastikan anakan tumbuh adalah mekanisme reboisasi alami yang terintegrasi dalam budaya panen sagu, berbeda dengan praktik pertanian tanaman semusim.
Meskipun proses menokok adalah langkah yang menghasilkan serbuk pati, pemurnian pati terjadi pada fase pencucian. Ini adalah proses fisik yang melibatkan prinsip-prinsip dasar hidrolika dan sedimentasi.
Pati sagu, yang merupakan molekul karbohidrat kompleks, memiliki massa jenis sekitar 1.5 g/cm³. Serat (ampas) memiliki massa jenis yang lebih rendah. Dalam air, pati akan mengendap jauh lebih cepat daripada partikel serat halus. Efisiensi pengendapan dipengaruhi oleh:
Desain lungkang tradisional telah dioptimalkan selama ratusan tahun untuk memaksimalkan tangkapan pati. Lungkang biasanya memiliki beberapa kompartemen atau bendungan kecil. Kompartemen pertama berfungsi sebagai tempat pengendapan utama, menampung sebagian besar pati. Kompartemen kedua dan seterusnya menangkap pati yang lolos dari tahap pertama.
Bendungan kecil atau sekat-sekat (sleus) dalam lungkang berfungsi mengurangi kecepatan aliran air secara bertahap. Penurunan kecepatan aliran memaksa partikel yang lebih berat (pati) untuk jatuh ke dasar, sementara air kotor dan partikel ringan (serat) terus mengalir ke hilir.
Dalam skala pengolahan yang lebih besar, air pencucian menjadi masalah lingkungan. Solusi yang semakin diterapkan adalah sistem daur ulang air, di mana air buangan dari pengendapan disaring dan digunakan kembali untuk pencucian awal. Sementara itu, ampas serat sisa penokokan dan pencucian, yang disebut hampas sagu, merupakan sumber nutrisi yang signifikan.
Hampas sagu seringkali difermentasi atau diolah sebagai pakan ternak (babi, itik) atau dikembalikan ke hutan sagu sebagai pupuk. Ini menunjukkan bahwa sistem menokok sagu, ketika dikelola secara tradisional, adalah model ekonomi sirkular yang sangat efisien, meminimalkan limbah dan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya.
Di era globalisasi, menokok sagu menghadapi tantangan yang kompleks: bagaimana menjaga otentisitas dan kearifan lokal tanpa mengorbankan kualitas dan kuantitas yang dituntut oleh pasar modern? Jawabannya terletak pada hibridisasi proses.
Untuk bersaing di pasar global, pati sagu harus memenuhi standar kemurnian dan sanitasi tertentu. Proses menokok tradisional, yang rentan terhadap kontaminasi di lapangan, perlu ditingkatkan standarnya. Ini termasuk:
Meskipun mesin dapat mempercepat penokokan, mesin tidak dapat menggantikan keahlian penokok dalam memilih pohon matang, memprediksi hasil rendemen, atau memahami ekologi hutan sagu. Oleh karena itu, program pelatihan yang menggabungkan metode modern dengan kearifan lokal sangat penting untuk memastikan keterampilan menokok sagu tidak punah di kalangan generasi muda.
Menokok sagu adalah sebuah warisan. Ia adalah demonstrasi nyata bahwa pangan pokok dapat dihasilkan secara lestari, selaras dengan ekosistem rawa dan hutan, sambil mempertahankan struktur sosial dan budaya yang kuat. Kekuatan proses ini terletak pada kesederhanaan dan efisiensi yang telah teruji zaman, menjadikannya model ketahanan pangan yang relevan untuk masa depan.
Pekerjaan menokok sagu, dengan segala proses manualnya, mengajarkan kita tentang nilai kesabaran dan ketelitian. Hasil yang konsisten (pati berkualitas tinggi) hanya dapat dicapai melalui kepatuhan pada teknik yang benar dan pemahaman mendalam terhadap bahan baku. Proses menokok sagu tradisional berfungsi sebagai pengingat akan kemampuan manusia untuk menciptakan sistem pangan yang tangguh, memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal.
Untuk memastikan tradisi menokok sagu tetap relevan, diperlukan dukungan dari pemerintah daerah dan institusi pendidikan. Kurikulum lokal dapat memasukkan pelajaran tentang botani sagu dan teknik penokokan. Dukungan infrastruktur (akses jalan ke hutan sagu, fasilitas pengeringan yang higienis) akan memastikan bahwa hasil jerih payah para penokok dapat mencapai pasar dengan nilai jual yang lebih tinggi.
Menokok sagu adalah warisan abadi yang mendefinisikan jati diri pangan Nusantara di wilayah-wilayah kritis. Selama pohon sagu masih tumbuh subur, dan keahlian menokok terus diwariskan, ketahanan pangan Indonesia memiliki fondasi karbohidrat yang kokoh dan berkelanjutan.
Kualitas pati sagu yang dihasilkan sangat bergantung pada siklus alami pohon dan intervensi manusia dalam bentuk penokokan. Pati yang dihasilkan dari penokokan yang sempurna tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga memiliki nilai historis dan ekologis yang tak ternilai harganya. Setiap pukulan kaskadu yang dilakukan oleh para penokok adalah bagian dari cerita panjang tentang adaptasi manusia terhadap lingkungan rawa, mengubah batang berduri menjadi sumber kehidupan yang stabil.
Diskusi mengenai menokok sagu harus selalu diakhiri dengan penghormatan terhadap alam. Pengambilan hasil sagu yang bertanggung jawab memastikan bahwa ekosistem rawa tetap terjaga, dan sumber daya pangan yang penting ini akan terus tersedia bagi generasi mendatang.
Proses ini, dari memilih pohon, menebang, membelah, hingga pukulan ritmis yang melepaskan pati, pencucian yang hati-hati, dan pengendapan yang sabar, adalah sebuah mahakarya agro-teknologi tradisional yang patut dipelajari dan dilestarikan. Menokok sagu bukan hanya proses pengolahan, melainkan juga kunci menuju masa depan pangan yang lebih lestari di Indonesia.
Detail lebih lanjut mengenai ritme kerja: Ketika beberapa penokok bekerja serempak, mereka sering menciptakan ritme yang sinkron. Ritme ini bukan hanya untuk keindahan, tetapi untuk memastikan efisiensi tenaga dan mencegah kelelahan. Ritme yang konsisten memastikan bahwa setiap inci empulur terolah dengan baik, mengurangi risiko pemborosan. Kecepatan menokok rata-rata, tergantung tingkat keahlian, bisa mencapai pemrosesan seluruh batang (yang sudah terbelah) dalam waktu 4 hingga 8 jam kerja intensif. Pengalaman bertahun-tahun memungkinkan penokok untuk merasakan kepadatan batang hanya melalui getaran pada gagang kaskadu mereka.
Pengaruh varietas sagu: Terdapat beberapa varietas sagu yang dibudidayakan atau tumbuh liar (misalnya, sagu berduri dan sagu tak berduri). Sagu berduri umumnya menghasilkan pati dengan rendemen yang lebih tinggi namun lebih sulit dipanen karena risiko cedera. Sagu tak berduri lebih mudah ditangani tetapi mungkin menghasilkan pati sedikit lebih rendah. Penokok harus tahu cara memproses setiap jenis sagu secara berbeda, menyesuaikan mata kaskadu dan kekuatan pukulan. Pengetahuan ini adalah inti dari kearifan lokal yang terakumulasi.
Pengelolaan limbah cair: Air buangan dari pencucian sagu (air lirang) mengandung zat organik dan sedikit pati sisa. Jika dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan, ia dapat menyebabkan pencemaran minor. Komunitas tradisional biasanya memiliki area khusus di mana air lirang ini diresapkan ke dalam tanah, membiarkan alam membersihkannya secara alami. Dalam industri modern, air lirang harus melalui tahap pengolahan limbah (IPAL) untuk memenuhi standar lingkungan yang ketat sebelum dilepas kembali ke perairan umum. Hal ini menunjukkan kontras antara solusi berbasis alam dan solusi berbasis teknologi dalam pengolahan sagu.
Aspek nutrisi: Pati sagu yang dihasilkan dari menokok sagu murni hampir 100% karbohidrat, terutama amilosa dan amilopektin. Meskipun rendah protein dan vitamin, ia adalah sumber energi yang sangat padat dan efisien. Pengetahuan lokal mengenai konsumsi sagu selalu melibatkan pendampingan dengan lauk pauk yang kaya protein dan nutrisi mikro (ikan, sayuran hutan), menciptakan pola makan yang seimbang, bukan hanya bergantung pada pati sagu saja. Papeda yang dimakan dengan kuah kuning pedas kaya rempah dan ikan adalah contoh sempurna dari keseimbangan nutrisi ini.
Tingkat kelembaban lokasi penokokan: Menokok di lingkungan yang sangat lembab, seperti di tengah hutan rawa, memiliki tantangan unik. Kayu menjadi licin, dan risiko kontaminasi lumpur atau air rawa lebih tinggi. Penokok harus membangun platform kerja yang stabil dan tinggi (rumah sagu sementara) untuk meminimalkan kontaminasi. Ini adalah detail teknis yang membedakan kualitas pati yang dihasilkan dari lokasi yang berbeda. Hanya penokok yang memahami geografi lokal yang dapat mendirikan lokasi penokokan yang optimal.
Sagu telah menjadi bagian dari sejarah migrasi dan perdagangan di Nusantara. Pati sagu kering, karena daya tahannya, adalah komoditas penting yang digunakan para pelaut dan pedagang sebagai bekal perjalanan jauh. Kemampuan komunitas untuk menokok sagu dan mengubahnya menjadi produk yang dapat disimpan lama adalah kunci dalam mendukung eksplorasi maritim. Oleh karena itu, teknik menokok sagu tidak hanya memengaruhi dapur lokal, tetapi juga sejarah ekonomi regional. Konsistensi dalam proses penokokan adalah jaminan terhadap kualitas dagangan.
Setiap goresan pada kulit batang sagu yang terbelah, setiap tetes air yang mengalir membawa pati, dan setiap ayunan kaskadu adalah saksi bisu dari perjuangan panjang manusia memanfaatkan kekayaan alam rawa. Proses menokok sagu adalah pelajaran tentang ketekunan, ilmu ekologi praktis, dan keharmonisan antara manusia dan lingkungan tempat mereka hidup. Warisan ini harus terus dihormati dan dipraktikkan, memastikan sagu tetap menjadi pilar utama ketahanan pangan di masa depan.