Panduan Lengkap Niat Puasa Asyura

Setiap kali bulan Muharram tiba, umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan semangat spiritual yang baru. Bulan pertama dalam kalender Hijriah ini memegang posisi istimewa, bahkan dijuluki sebagai Syahrullah atau Bulan Allah. Di antara hari-hari mulia di bulan Muharram, terdapat satu hari yang sangat dianjurkan untuk diisi dengan ibadah puasa, yaitu hari Asyura. Puasa Asyura adalah amalan sunnah yang sarat dengan keutamaan, sejarah, dan hikmah yang mendalam. Kunci utama untuk meraih kesempurnaan ibadah ini terletak pada sebuah fondasi yang seringkali tak terlihat namun sangat menentukan: niat. Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal yang berkaitan dengan niat puasa Asyura, mulai dari lafalnya, makna yang terkandung di dalamnya, hingga tata cara dan keutamaannya.

Ilustrasi Kaligrafi dan Lentera عاشوراء Ilustrasi lentera islami dengan kaligrafi kata 'Asyura' di dalamnya, melambangkan cahaya petunjuk dan ibadah di hari Asyura.

Memahami Lafal dan Makna Niat Puasa Asyura

Niat adalah rukun pertama dan terpenting dalam setiap ibadah. Ia adalah pembeda antara sebuah kebiasaan dengan ibadah, antara aktivitas duniawi dengan amalan ukhrawi. Tanpa niat yang tulus karena Allah, sebuah amalan, sebesar apa pun, bisa menjadi sia-sia. Untuk puasa Asyura, para ulama telah merumuskan lafal niat yang dapat diucapkan untuk memantapkan hati.

Penting untuk diingat bahwa tempat niat yang sesungguhnya adalah di dalam hati. Melafalkannya dengan lisan hukumnya sunnah menurut sebagian besar ulama mazhab Syafi'i, dengan tujuan membantu konsentrasi dan mengukuhkan kehendak hati. Berikut adalah lafal niat puasa Asyura yang umum digunakan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ العَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta'âlâ.


Artinya: "Saya niat berpuasa sunnah Asyura esok hari karena Allah Ta'ala."

Menyelami Makna di Balik Setiap Kata dalam Niat

Untuk lebih meresapi ibadah ini, mari kita bedah makna yang terkandung dalam setiap kata pada lafal niat tersebut:

Waktu yang Tepat untuk Membaca Niat Puasa Asyura

Salah satu kemudahan yang diberikan Allah dalam pelaksanaan puasa sunnah adalah fleksibilitas dalam waktu berniat. Berbeda dengan puasa wajib di bulan Ramadhan yang niatnya harus ditetapkan pada malam hari sebelum fajar, niat puasa sunnah seperti puasa Asyura memiliki kelonggaran.

Menurut pandangan mayoritas ulama, niat puasa Asyura dapat dilakukan:

  1. Pada Malam Hari: Ini adalah waktu yang paling utama (afdhal). Berniat di malam hari, yaitu sejak terbenamnya matahari pada tanggal 9 Muharram hingga sebelum terbit fajar pada tanggal 10 Muharram, menunjukkan kesungguhan dan persiapan yang matang. Lafal niat yang menggunakan kata "ghadin" (esok hari) relevan untuk waktu ini.
  2. Pada Siang Hari: Jika seseorang lupa atau belum sempat berniat di malam hari, ia masih bisa berniat di siang hari pada tanggal 10 Muharram tersebut. Syaratnya adalah ia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar menyingsing. Batas waktunya adalah sebelum tergelincirnya matahari (waktu Zuhur). Niat yang dilakukan pada siang hari tentu saja tidak perlu lagi menggunakan kata "ghadin". Lafalnya bisa disederhanakan menjadi: "Nawaitu shauma hadzal yaumi 'an adâ'i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta'âlâ" yang artinya, "Saya niat berpuasa sunnah Asyura pada hari ini karena Allah Ta'ala."

Kelonggaran ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, di mana pada suatu hari Nabi Muhammad ﷺ bertanya kepadanya, "Apakah ada sesuatu untuk sarapan?" Aisyah menjawab, "Tidak ada." Maka beliau bersabda, "Kalau begitu, aku berpuasa." (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa niat puasa sunnah bisa dilakukan secara mendadak di pagi hari.

Sejarah Agung di Balik Pensyariatan Puasa Asyura

Puasa Asyura bukanlah ibadah yang baru muncul di masa kenabian Muhammad ﷺ. Akarnya terentang jauh ke masa-masa sebelumnya, bahkan sebelum Islam datang. Memahami latar belakang sejarahnya akan menambah kekhusyukan kita dalam melaksanakannya.

Pra-Islam dan Awal Kedatangan di Madinah

Jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, hari Asyura sudah menjadi hari yang dimuliakan. Kaum Quraisy di Mekkah pada zaman Jahiliyah sudah terbiasa berpuasa pada hari itu. Diriwayatkan bahwa dahulu Ka'bah diberi kain penutup (kiswah) pada hari Asyura, dan mereka merayakannya. Rasulullah ﷺ sendiri, bahkan sebelum menjadi nabi, juga turut berpuasa pada hari tersebut.

Titik balik yang menjadi landasan utama pensyariatan puasa Asyura bagi umat Islam terjadi ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Setibanya di sana, beliau mendapati kaum Yahudi juga sedang berpuasa pada hari Asyura. Beliau pun bertanya kepada mereka:

"Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir'aun beserta bala tentaranya. Maka, Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur kepada Allah, dan kami pun mengikutinya."

Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda dengan kalimat yang penuh makna dan menegaskan posisi umat Islam:

"Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian."

Maka, Rasulullah ﷺ pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk turut berpuasa. Peristiwa ini menunjukkan kesinambungan ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi, dari Nabi Musa 'alaihissalam hingga Nabi Muhammad ﷺ. Puasa Asyura menjadi simbol syukur atas pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Evolusi Hukum: Dari Wajib Menjadi Sunnah Mu'akkadah

Pada awal periode Madinah, sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, hukum puasa Asyura adalah wajib bagi umat Islam. Ini adalah puasa wajib pertama yang ditetapkan dalam syariat Islam. Namun, setelah Allah Ta'ala mewajibkan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan melalui firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 183, status hukum puasa Asyura berubah.

Puasa Ramadhan menjadi satu-satunya puasa yang diwajibkan. Adapun puasa Asyura, hukumnya menjadi sunnah mu'akkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan dan hampir tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda, "Hari ini adalah hari Asyura, dan tidak diwajibkan atas kalian untuk berpuasa. Siapa yang mau, silakan berpuasa, dan siapa yang tidak mau, silakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun tidak lagi wajib, anjuran yang kuat dan keutamaan yang besar membuat para sahabat dan generasi setelahnya senantiasa bersemangat untuk melaksanakannya.

Keutamaan Luar Biasa dari Puasa Asyura

Setiap amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ pasti mengandung kebaikan dan keutamaan yang besar. Puasa Asyura, dengan sejarahnya yang agung, dijanjikan ganjaran yang sangat istimewa. Keutamaan utamanya terangkum dalam sebuah hadis yang sangat masyhur.

Ketika Rasulullah ﷺ ditanya mengenai keutamaan puasa pada hari Asyura, beliau menjawab:

"Puasa itu dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim)

Ini adalah sebuah anugerah yang luar biasa dari Allah. Hanya dengan berpuasa satu hari, seorang hamba diberi kesempatan untuk membersihkan catatan amalnya dari dosa-dosa yang telah berlalu selama satu tahun penuh. Para ulama menjelaskan lebih lanjut mengenai makna "menghapus dosa" dalam hadis ini:

Selain penghapusan dosa, keutamaan lain dari puasa Asyura adalah meneladani sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan para nabi sebelumnya, khususnya Nabi Musa 'alaihissalam. Dengan berpuasa, kita turut bersyukur atas nikmat keselamatan yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, sebuah pelajaran universal tentang kemenangan kebenaran atas kebatilan.

Menyempurnakan Amalan: Puasa Tasu'a di Hari ke-9

Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah ﷺ memberikan sebuah petunjuk penting yang menjadi penyempurna ibadah puasa Asyura. Beliau bertekad untuk tidak hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi juga menyertainya dengan puasa pada hari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Muharram, yang dikenal sebagai puasa Tasu'a.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani." Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan." (HR. Muslim)

Sayangnya, Rasulullah ﷺ wafat sebelum sempat melaksanakannya. Namun, tekad beliau ini menjadi sunnah yang sangat dianjurkan bagi umatnya. Hikmah utama di balik anjuran berpuasa pada hari Tasu'a (9 Muharram) adalah untuk mukhalafah, yaitu membedakan diri dari tradisi ibadah kaum Yahudi. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki identitas dan ciri khas tersendiri dalam beribadah, meskipun asal-usul syukurnya sama.

Berdasarkan anjuran ini, para ulama merinci tingkatan dalam melaksanakan puasa di bulan Muharram ini:

  1. Tingkatan Paling Sempurna: Berpuasa tiga hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 9 (Tasu'a), 10 (Asyura), dan 11 Muharram.
  2. Tingkatan di Bawahnya: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Ini adalah tingkatan yang paling umum dan sesuai dengan tekad Rasulullah ﷺ.
  3. Tingkatan Minimal: Berpuasa pada tanggal 10 Muharram (Asyura) saja. Ini tetap sah dan mendapatkan keutamaan penghapusan dosa setahun, meskipun kurang afdhal dibandingkan dua tingkatan di atasnya.

Niat Puasa Tasu'a

Bagi yang ingin melaksanakan puasa Tasu'a, niatnya pun harus dikhususkan. Lafal niatnya mirip dengan puasa Asyura, hanya saja mengganti kata "Âsyûrâ" dengan "Tâsû'â".

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i sunnatit tâsû'â lillâhi ta'âlâ.


Artinya: "Saya niat berpuasa sunnah Tasu'a esok hari karena Allah Ta'ala."

Tata Cara Pelaksanaan Puasa Asyura

Pelaksanaan puasa Asyura pada dasarnya sama seperti puasa pada umumnya. Rukun dan syaratnya pun identik, yang membedakan hanyalah niat yang dikhususkan. Berikut adalah panduan praktisnya:

1. Niat yang Tulus

Seperti yang telah dibahas panjang lebar, mulailah dengan niat yang ikhlas di dalam hati, baik di malam hari atau di siang hari (jika belum makan/minum). Mantapkan hati bahwa puasa ini semata-mata untuk mengikuti sunnah dan mengharap ridha Allah.

2. Makan Sahur

Meskipun bukan rukun, makan sahur adalah sunnah yang sangat dianjurkan dan penuh berkah. Rasulullah ﷺ bersabda, "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat berkah." (HR. Bukhari dan Muslim). Sahur memberikan kekuatan fisik untuk berpuasa seharian dan menjadi pembeda antara puasa umat Islam dengan puasa umat lainnya. Akhirkan waktu sahur hingga mendekati waktu imsak atau azan Subuh.

3. Menahan Diri

Inti dari puasa adalah menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkannya. Ini mencakup:

Namun, puasa yang berkualitas tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Ia juga merupakan latihan untuk menahan hawa nafsu secara keseluruhan. Jagalah lisan dari perkataan dusta, ghibah (menggunjing), dan perkataan sia-sia. Tahan pandangan dari hal-hal yang haram dan jaga pendengaran dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Jadikan hari puasa sebagai momen introspeksi dan perbaikan diri secara total.

4. Memperbanyak Amal Saleh

Gunakan waktu di hari Asyura untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan. Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, dan hari Asyura adalah puncaknya. Isi waktu luang dengan membaca Al-Qur'an, berzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir), istighfar, bershalawat kepada Nabi, serta memperbanyak sedekah. Menyantuni anak yatim pada hari Asyura juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan dan memiliki keutamaan tersendiri.

5. Menyegerakan Berbuka

Ketika waktu Maghrib tiba, yang ditandai dengan terbenamnya matahari dan kumandang azan, segerakanlah untuk berbuka. Ini adalah sunnah Nabi ﷺ. Beliau bersabda, "Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim). Berbukalah dengan beberapa butir kurma atau seteguk air, sesuai dengan tuntunan Rasulullah, sebelum melaksanakan shalat Maghrib.

Jangan lupa untuk memanjatkan doa saat berbuka, karena waktu tersebut adalah salah satu waktu yang mustajab. Salah satu doa yang bisa dibaca adalah:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dzahabazh zhoma'u wabtallatil 'uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah.
Artinya: "Telah hilang rasa dahaga, dan urat-urat telah basah, dan semoga pahala tetap terlimpahkan, insya Allah."

Kesimpulan: Meraih Ampunan Melalui Niat yang Benar

Puasa Asyura adalah sebuah permata di antara amalan-amalan sunnah. Ia bukan sekadar ritual menahan lapar dan haus, melainkan sebuah ibadah yang kaya akan nilai sejarah, spiritualitas, dan pelajaran hidup. Ia mengajarkan kita tentang syukur, tentang kesinambungan risalah para nabi, tentang pentingnya memiliki identitas sebagai seorang Muslim, dan yang terpenting, tentang betapa luasnya pintu ampunan Allah.

Semua keutamaan ini bermuara pada satu titik awal yang fundamental: niat puasa Asyura. Dengan niat yang benar, tulus, dan sesuai tuntunan, ibadah satu hari ini dapat menjadi sarana pelebur dosa setahun, peninggi derajat, dan pemberat timbangan amal di akhirat kelak. Mari kita manfaatkan kesempatan emas ini setiap tahunnya dengan persiapan terbaik, dimulai dari memantapkan niat di dalam hati, untuk berpuasa semata-mata karena Allah Ta'ala.

🏠 Kembali ke Homepage