I. Pendahuluan: Mengurai Makna Mempersendakan
Tindakan mempersendakan—atau dalam bahasa sehari-hari sering disebut mengejek, mengolok-olok, atau memperolok—adalah salah satu bentuk interaksi sosial yang paling kompleks dan seringkali destruktif. Meskipun terkadang disamarkan sebagai humor ringan, hakikat dari mempersendakan adalah upaya untuk merendahkan, mencela, atau menertawakan kekurangan, penampilan, status, atau keyakinan seseorang di hadapan publik atau pribadi.
Sejak zaman dahulu, ejekan telah menjadi alat kekuasaan, digunakan untuk menegakkan hirarki sosial, menyingkirkan kelompok minoritas, atau sekadar memuaskan kebutuhan ego yang dangkal. Dalam konteks modern, terutama dengan lahirnya ruang digital tanpa batas, praktik mempersendakan telah bermutasi menjadi fenomena yang jauh lebih cepat, luas, dan anonim, dikenal sebagai *trolling* atau *cyberbullying*. Artikel ini akan menyelami anatomi dari tindakan mempersendakan, menelusuri akar psikologisnya, menganalisis dampak etis dan sosial yang ditimbulkan, hingga menawarkan kerangka pemikiran untuk memupuk budaya empati.
1.1. Perbedaan Mendasar: Humor vs. Merendahkan
Seringkali, garis antara humor yang sehat (self-deprecating humor atau humor situasi) dan ejekan yang merusak menjadi kabur. Humor sejati bersifat inklusif; ia menyatukan orang melalui pengalaman bersama. Sebaliknya, mempersendakan adalah eksklusif; ia menciptakan pemisah antara "pengejek" dan "yang diejek," antara mayoritas yang tertawa dan minoritas yang merasa terasing. Intensi adalah kuncinya: humor bertujuan untuk menyenangkan, sedangkan mempersendakan bertujuan untuk mendominasi atau melukai, seringkali di bawah topeng keramahan palsu atau 'just kidding'.
Topeng senyum yang retak, melambangkan ejekan seringkali disamarkan sebagai humor.
II. Anatomi Psikologis Mempersendakan
Mengapa manusia merasa terdorong untuk mengejek orang lain? Jawaban atas pertanyaan ini terletak jauh di dalam struktur psikologis individu dan dinamika kelompok. Ejekan bukan sekadar respons spontan, melainkan mekanisme yang melayani berbagai fungsi psikologis, baik sadar maupun bawah sadar.
2.1. Perspektif Psikologi Evolusioner
Secara evolusioner, agresi verbal (termasuk ejekan) bisa dilihat sebagai cara non-fisik untuk menetapkan dominasi tanpa memerlukan konflik fisik yang berisiko. Dalam kelompok sosial awal, individu yang mampu merendahkan orang lain tanpa konsekuensi menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Tindakan mempersendakan berfungsi sebagai sinyal yang mengatakan: "Aku aman di sini, dan kau tidak."
2.1.1. Pengurangan Ancaman Diri (Projection)
Seringkali, orang mengejek hal-hal yang mereka takuti atau benci pada diri mereka sendiri. Mekanisme pertahanan ini, yang dikenal sebagai proyeksi, memungkinkan individu untuk mengalihkan perhatian dari ketidaknyamanan atau kekurangan internal dengan mengidentifikasinya pada orang lain dan kemudian menyerangnya. Jika seseorang merasa tidak aman tentang kecerdasannya, dia mungkin akan mengejek "kebodohan" orang lain dengan intensitas berlebihan.
2.2. Kebutuhan Akan Afiliasi dan Kekuasaan
Mempersendakan sangat erat kaitannya dengan dinamika kelompok dan pencarian kekuasaan. Ejekan internal (antar anggota kelompok) dapat berfungsi untuk menguji batas, memperkuat ikatan melalui 'shared enemy', atau memastikan bahwa semua anggota mematuhi norma kelompok.
2.2.1. Membangun Kohesi Melalui Eksklusi
Ketika sekelompok orang bersatu untuk mengejek pihak luar, ikatan mereka diperkuat. Psikologi sosial menunjukkan bahwa memiliki musuh bersama atau target ejekan bersama adalah salah satu cara tercepat untuk menciptakan kohesi kelompok. Mereka yang berpartisipasi dalam ejekan tersebut merasa lebih diterima dan aman, karena mereka telah 'membuktikan' kesetiaan mereka terhadap norma kelompok yang dominan.
2.2.2. Peran Rasa Iri dan Ketidakmampuan
Ketidakmampuan menghadapi keunggulan orang lain seringkali memicu ejekan. Jika seorang individu gagal mencapai standar tertentu, daripada mengakui kekurangan tersebut dan berusaha memperbaiki diri, mereka mungkin memilih untuk mempersendakan dan mendevaluasi pencapaian orang yang sukses. Ini adalah cara kognitif untuk menyeimbangkan ketidaknyamanan psikologis (kognitif disonansi).
2.3. Sisi Gelap Humor: Teori Superioritas
Filosofi humor telah lama memperdebatkan mengapa kita tertawa. Salah satu teori tertua, Teori Superioritas (dipromosikan oleh Plato dan Hobbes), menyatakan bahwa kita tertawa ketika kita merasa superior terhadap orang yang kita tertawakan. Mempersendakan adalah manifestasi murni dari teori ini. Tawa yang timbul dari ejekan bukanlah tawa gembira, melainkan tawa kemenangan, menandakan superioritas—bahkan jika superioritas itu hanya ilusi sesaat.
III. Konteks Sosial dan Budaya Mempersendakan
Praktik mempersendakan tidak terjadi dalam ruang hampa. Budaya, institusi, dan media massa memiliki peran signifikan dalam melegitimasi, atau bahkan merayakan, tindakan merendahkan orang lain.
3.1. Mempersendakan dalam Institusi Formal
Di lingkungan pendidikan, mempersendakan sering muncul dalam bentuk perundungan (bullying) yang ditujukan pada penampilan, status ekonomi, atau perbedaan kognitif. Sayangnya, institusi sering gagal membedakan antara 'gurauan remaja' dan agresi verbal yang sistematis, sehingga membiarkan ejekan tumbuh subur.
3.1.1. Peran Lembaga dan Norma Diam
Ketika para penguasa, guru, atau tokoh publik mempersendakan, mereka secara implisit memberikan izin sosial bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Keheningan atau tawa malu-malu dari para pengamat (bystanders) saat seseorang diejek memperkuat norma bahwa perilaku tersebut dapat diterima. Keheningan ini adalah bentuk persetujuan pasif yang mematikan empati.
3.2. Satire dan Batasan Etika
Satire, sebagai alat kritik sosial, adalah bentuk ejekan yang memiliki tujuan yang lebih tinggi—untuk menyerang ketidakadilan, korupsi, atau kekuasaan yang zalim. Namun, kapan satire melenceng menjadi mempersendakan yang tidak etis? Batasnya adalah targetnya. Satire yang etis menyerang sistem atau perilaku yang kuat; mempersendakan yang tidak etis menyerang individu yang rentan dan kelemahan yang tidak disengaja.
3.2.1. Mengidentifikasi Target Rentan
Kritik yang ditujukan pada karakteristik yang tidak dapat diubah (seperti ras, disabilitas, atau orientasi seksual) atau pada kondisi yang timbul dari kemalangan (seperti kemiskinan atau penyakit) tidak dapat disebut satire; itu adalah ejekan murni. Satire memerlukan objek yang memiliki kekuatan, sehingga ejekan tersebut berfungsi sebagai 'penyeimbang' kekuatan sosial.
3.3. Budaya Populer dan Standarisasi Kekejaman
Media populer, terutama acara komedi realitas dan program bincang-bincang, sering menggunakan ejekan sebagai inti dari hiburan. Dengan menormalkan 'roasted' atau kritik brutal, media secara tidak langsung mengajarkan kepada audiens bahwa mengejek orang lain adalah kegiatan yang menyenangkan dan menguntungkan. Hal ini berkontribusi pada desensitisasi publik terhadap penderitaan emosional yang ditimbulkan oleh ejekan tersebut.
IV. Dampak Psikologis Mendalam pada Korban
Mempersendakan sering diremehkan karena tidak meninggalkan luka fisik. Namun, luka verbal dan emosional memiliki potensi merusak yang jauh lebih besar dan jangka panjang, membentuk kembali persepsi diri korban dan hubungannya dengan dunia.
4.1. Pembentukan Citra Diri yang Negatif
Ketika seseorang terus-menerus diejek—terutama pada usia formatif—pesan negatif yang berulang-ulang dari pengejek terinternalisasi. Korban mulai percaya bahwa kekurangan atau keanehan yang diejek itu adalah kebenaran universal tentang diri mereka. Ini menghasilkan 'self-fulfilling prophecy' di mana korban menarik diri atau gagal mencapai potensi karena takut diejek lagi.
4.1.1. Rasa Malu dan Penarikan Diri
Rasa malu yang diinduksi oleh ejekan publik dapat menyebabkan penarikan diri sosial. Korban menghindari situasi di mana mereka mungkin menjadi pusat perhatian. Mereka mungkin berhenti berpartisipasi dalam kegiatan yang mereka sukai, berganti pakaian, atau bahkan mengubah cara bicara mereka, semua demi menghindari ejekan lebih lanjut. Proses ini membatasi kebebasan dan ekspresi diri mereka.
4.2. Efek Jangka Panjang dan Trauma
Ejekan yang mendalam dan sistematis, terutama jika melibatkan ancaman atau stigma, dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental yang serius, termasuk Depresi, Kecemasan Sosial, dan bahkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
4.2.1. Hiper-Sensitivitas dan Kewaspadaan Tinggi
Korban mempersendakan sering mengembangkan hiper-sensitivitas terhadap kritik dan kewaspadaan tinggi (hypervigilance) dalam interaksi sosial. Mereka terus-menerus memindai lingkungan mereka untuk tanda-tanda ancaman atau tawa tersembunyi. Kehidupan yang dijalani dalam mode pertahanan ini sangat melelahkan secara kognitif dan emosional.
4.3. Siklus Kekerasan dan Trauma Intergenerasi
Ironisnya, individu yang pernah menjadi korban ejekan yang parah terkadang menjadi pengejek itu sendiri. Ini bisa terjadi karena beberapa alasan:
- Mekanisme Pertahanan: Mereka menyerang lebih dulu untuk mencegah diserang.
- Pelepasan Dendam: Mereka ingin orang lain merasakan rasa sakit yang sama.
- Penyesuaian Sosial: Mereka mengadopsi perilaku pengejek (yang mereka lihat sebagai 'kuat') agar diterima oleh kelompok.
Dengan demikian, mempersendakan dapat menciptakan siklus kekerasan verbal yang berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya, menghancurkan empati dalam setiap tahapnya.
Retakan pada hati melambangkan kerusakan emosional dan psikologis yang diakibatkan oleh ejekan.
V. Mempersendakan di Era Digital: Krisis Empati dan Anonimitas
Internet, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, telah menjadi lahan subur bagi ejekan yang paling kejam. Anonimitas dan jarak fisik menghilangkan mekanisme umpan balik emosional (mirroring) yang penting, memicu apa yang disebut ‘Disinhibition Effect’.
5.1. Efek Disinhibisi Online
Ketika seseorang bersembunyi di balik layar, batasan moral dan sosial yang biasanya menahan perilaku agresif (seperti rasa malu, atau melihat langsung penderitaan korban) hilang. Pengejek merasa tidak bertanggung jawab atas kata-kata mereka, menganggapnya sebagai permainan atau sekadar teks di layar. Inilah yang memungkinkan orang yang secara personal adalah individu sopan berubah menjadi *troll* yang brutal di dunia maya.
5.1.1. Viralitas dan Penyebaran Cepat
Dalam ruang digital, ejekan menjadi viral. Satu komentar buruk dapat di-retweet jutaan kali, mengubah ejekan lokal menjadi aib global dalam hitungan menit. Korban tidak hanya diejek oleh satu orang, tetapi oleh ‘kerumunan’ yang tak terlihat, menciptakan beban psikologis yang masif, seringkali tanpa batas waktu, karena konten tersebut akan tetap ada di internet selamanya.
5.2. Budaya Pembatalan (*Cancel Culture*) dan Ejekan Massa
Meskipun budaya pembatalan sering berawal dari niat baik untuk meminta pertanggungjawaban publik, ia seringkali bermutasi menjadi ejekan massa yang kejam. Kesalahan kecil atau ketidaktepatan kontekstual seseorang dapat memicu ‘gerombolan digital’ yang tanpa ampun mengejek, mengancam, dan mempersendakan individu tersebut hingga karir atau kesehatan mental mereka hancur. Dalam kasus ini, ejekan berfungsi sebagai hukuman publik tanpa proses pengadilan yang adil, didorong oleh emosi kolektif dan keinginan untuk merasa benar.
5.2.2. Dehumanisasi Melalui Emoji dan Meme
Meme dan emoji, meskipun lucu dalam konteks lain, menjadi alat yang efektif untuk mempersendakan secara cepat dan dehumanisasi. Mengubah foto seseorang menjadi meme ejekan menghilangkan kemanusiaan dan konteks penderitaan mereka, menjadikannya objek lelucon sekali pakai. Ini adalah bentuk ejekan yang efisien karena memerlukan sedikit usaha kognitif dari pengejek tetapi memberikan dampak emosional yang besar pada korban.
5.3. Dampak pada Jurnalisme dan Debat Publik
Ejekan digital telah merusak kualitas debat publik. Ketika individu atau ide diejek secara brutal, daripada dikritik secara substantif, orang-orang yang memiliki pandangan berbeda atau rentan menjadi takut untuk berpartisipasi dalam diskusi publik. Lingkungan ejekan ini menciptakan ‘kebisuan mayoritas’ dan hanya menyisakan suara-suara yang paling agresif, intoleran, atau paling siap untuk diserang secara verbal.
VI. Strategi Respons dan Penanggulangan Ejekan
Menghadapi praktik mempersendakan memerlukan pendekatan multi-tingkat: dari perubahan internal pada korban hingga perubahan struktural dalam norma-norma sosial dan digital.
6.1. Pemberdayaan Korban: Mengolah Rasa Sakit Menjadi Kekuatan
Respons pertama terhadap ejekan seringkali adalah rasa sakit dan kemarahan, tetapi korban dapat belajar mengembangkan strategi untuk memitigasi dampak psikologisnya.
6.1.1. Membangun Batasan dan Validasi Diri
Korban harus berlatih validasi diri—mengingatkan diri sendiri bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh pendapat pengejek. Selain itu, penetapan batasan sangat penting. Dalam konteks digital, ini bisa berarti memblokir, melaporkan, atau menolak terlibat dalam argumen. “Don't feed the troll” adalah nasihat yang valid, karena perhatian (bahkan perhatian negatif) adalah energi yang dicari oleh pengejek.
6.1.2. Teknik 'Grey Rocking'
Dalam interaksi tatap muka, teknik ‘Grey Rocking’ (batu abu-abu) mengajarkan korban untuk merespons ejekan atau agresi verbal dengan tanggapan yang datar, membosankan, dan tanpa emosi. Pengejek mencari reaksi emosional. Jika korban berperilaku seperti batu abu-abu yang tidak menarik, pengejek akan kehilangan motivasi dan beralih mencari target yang lebih responsif.
6.2. Tanggung Jawab Pengamat (*Bystander Intervention*)
Peran pengamat (saksi) adalah kunci untuk menghentikan ejekan. Ejekan hanya efektif jika didukung oleh tawa atau keheningan dari massa. Jika pengamat bertindak, siklus ejekan dapat diputus.
6.2.1. Menantang Normativitas Ejekan
Pengamat harus berani menantang perilaku ejekan, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan pertanyaan yang memicu refleksi: "Mengapa itu lucu?", "Apakah kita benar-benar harus menertawakan hal itu?", atau "Bagaimana jika itu terjadi padamu?". Intervensi ini mengalihkan fokus dari korban ke pelaku, menempatkan pertanggungjawaban sosial pada orang yang sedang mengejek.
6.3. Pembentukan Kebijakan Anti-Ejekan
Institusi pendidikan, tempat kerja, dan platform digital harus memiliki kebijakan yang jelas dan tegas yang mengklasifikasikan ejekan sebagai kekerasan verbal, bukan hanya "gurauan yang kasar". Penegakan kebijakan ini harus konsisten dan transparan, mengirimkan pesan bahwa mempersendakan tidak ditoleransi.
VII. Filosofi Empati dan Rekonsiliasi Komunikasi
Solusi jangka panjang untuk mengatasi budaya mempersendakan terletak pada penguatan empati dan pergeseran filosofi komunikasi dari superioritas menjadi saling pengertian.
7.1. Empati Kognitif vs. Empati Emosional
Empati adalah kemampuan untuk memahami atau berbagi perasaan orang lain. Praktik mempersendakan seringkali menunjukkan kurangnya empati, tetapi penting untuk membedakan jenis empati:
- Empati Kognitif: Memahami sudut pandang orang lain. Seorang pengejek mungkin memiliki ini; mereka tahu bahwa ejekan itu menyakitkan, itulah mengapa mereka melakukannya.
- Empati Emosional: Merasakan apa yang dirasakan orang lain. Inilah yang hilang saat mempersendakan. Ketika pengejek tidak dapat secara emosional terhubung dengan rasa sakit korban, mereka dapat mengejek tanpa rasa bersalah.
Pendidikan moral dan sosial harus fokus pada penumbuhan Empati Emosional, melatih individu untuk secara aktif membayangkan dan merasakan penderitaan yang disebabkan oleh kata-kata mereka.
7.2. Prinsip Kehati-hatian dalam Berkomunikasi
Dalam komunikasi, kita harus mengadopsi Prinsip Kehati-hatian Etis: Jika ada keraguan apakah kata-kata kita akan menyakiti atau merendahkan, maka kita harus menahan diri. Prinsip ini berakar pada ‘Aturan Emas’ yang universal: perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan.
7.2.1. Ujian Tiga Pintu Socrates
Filosofi kuno menawarkan alat sederhana: sebelum menyampaikan informasi (termasuk ejekan), Saringan Tiga Pintu Socrates mengajarkan kita untuk menguji apakah kata-kata itu Benar, Baik (bermanfaat), dan Perlu. Ejekan hampir selalu gagal dalam uji 'Baik' dan 'Perlu'. Menerapkan saringan ini secara sadar dapat memfilter agresi verbal sebelum ia meninggalkan mulut atau keyboard kita.
7.3. Mempromosikan Humor Inklusif
Budaya harus secara aktif mempromosikan humor yang inklusif—humor yang berasal dari pengamatan kehidupan yang jenaka, dari permainan kata yang cerdas, atau dari sindiran terhadap kekuasaan, bukan dari merendahkan manusia. Ketika masyarakat menghargai kecerdasan daripada kekejaman, insentif untuk mempersendakan akan berkurang secara alami.
Simbol perlindungan dan empati sebagai respons terhadap ejekan.
VIII. Mendalami Akar Masalah: Kontribusi Kelemahan Ego
Mengapa sebagian besar individu yang mempersendakan orang lain secara terus-menerus seringkali menunjukkan kebutuhan yang akut akan validasi dan dominasi? Studi psikologi menemukan bahwa ejekan seringkali berasal dari kelemahan internal, bukan kekuatan sejati. Ejekan adalah tongkat penyangga bagi ego yang rapuh.
8.1. Narcissism dan Kebutuhan Panggung
Individu dengan kecenderungan narsistik menggunakan mempersendakan sebagai cara untuk mendapatkan sorotan dan menegaskan keunggulan. Ejekan mereka berfungsi sebagai panggung di mana mereka dapat menarik perhatian audiens, menunjukkan kecerdasan (atau setidaknya kecepatan) verbal mereka, dan menerima pujian (atau tawa) yang mereka butuhkan untuk mengisi kekosongan internal mereka.
8.1.1. Agresi Instrumental
Dalam kasus narsisme patologis, ejekan bukanlah hasil dari ledakan emosi, melainkan agresi instrumental yang dingin dan terencana. Mereka mengejek untuk mencapai tujuan—seperti mendiskreditkan saingan, merebut sumber daya sosial, atau memastikan ketundukan orang lain—tanpa mempertimbangkan dampak emosional pada korban.
8.2. Mekanisme Kompensasi Inferioritas
Teori Adlerian mengenai rasa inferioritas menyediakan kerangka kerja kuat lainnya. Jika seseorang merasa kurang di suatu bidang (keberanian, kekayaan, daya tarik), mereka dapat mengkompensasinya dengan berperilaku superior secara berlebihan. Mempersendakan adalah cara tercepat untuk merasa lebih tinggi, meskipun hanya bersifat komparatif, bukan intrinsik. Dengan merendahkan orang lain, jarak antara diri mereka yang dirasakan rendah dan standar ideal mereka yang tinggi terasa lebih kecil.
8.3. Dampak Stres dan Kekacauan Sosial
Dalam masyarakat yang sedang mengalami stres tinggi, ketidakpastian ekonomi, atau kekacauan politik, perilaku mempersendakan cenderung meningkat. Dalam kondisi ketidakpastian, manusia mencari kepastian, dan salah satu cara untuk menciptakan kepastian adalah dengan mendefinisikan kelompok 'luar' dan mengejeknya. Ini memberikan rasa kontrol dan prediktabilitas, meskipun dangkal, dalam dunia yang terasa di luar kendali.
IX. Konsekuensi Hukum dan Etika Mempersendakan Secara Sistematis
Di banyak yurisdiksi, mempersendakan yang mencapai tingkat perundungan atau pencemaran nama baik telah bergerak dari masalah etika sosial menjadi masalah hukum pidana atau perdata. Garis batasnya sering kali berada pada sifat berulang, publikasi, dan niat untuk menyebabkan kerugian.
9.1. Mempersendakan Sebagai Pencemaran Nama Baik
Ketika ejekan mengandung pernyataan faktual yang palsu dan merusak reputasi seseorang (defamation), konsekuensinya bisa sangat serius. Di era digital, penyebaran meme atau informasi palsu yang mengejek dapat dengan mudah memenuhi kriteria pencemaran nama baik, meskipun pengejek mengklaimnya sebagai "humor" atau "opini."
9.1.1. Bukti Niat Jahat (Malice)
Dalam beberapa kasus, pengadilan harus membuktikan niat jahat (actual malice). Jika pengejek tahu bahwa apa yang mereka katakan tidak benar, atau mereka bertindak dengan mengabaikan kebenatan secara ceroboh, dan tujuannya adalah untuk merusak, klaim humor sebagai pertahanan akan gagal. Ejekan, oleh definisinya, seringkali mengandung niat jahat untuk merendahkan.
9.2. Etika Kewarganegaraan Digital
Mempersendakan di ruang online menuntut Etika Kewarganegaraan Digital. Sebagai pengguna internet, kita memiliki tanggung jawab etis untuk menjaga ruang digital agar tetap inklusif dan aman. Kegagalan dalam menegakkan etika ini berkontribusi pada fragmentasi sosial dan krisis kesehatan mental massal.
9.2.2. Mengukur Biaya Sosial Negatif
Setiap ejekan yang berhasil memiliki biaya sosial negatif. Biaya ini termasuk hilangnya suara yang berharga dalam debat publik, biaya kesehatan mental yang ditanggung oleh korban, dan penurunan tingkat kepercayaan umum dalam masyarakat. Jika diakumulasikan, biaya sosial dari budaya mempersendakan yang endemik jauh melebihi manfaat hiburan sesaat yang diperoleh oleh pengejek.
X. Kesimpulan: Panggilan untuk Refleksi dan Keramahan
Mempersendakan bukanlah sekadar bagian tak terhindarkan dari interaksi manusia. Itu adalah pilihan komunikasi yang mencerminkan upaya untuk mendominasi, mengkompensasi rasa tidak aman, atau mendapatkan penerimaan kelompok melalui eksklusi. Dari sudut pandang psikologi, ia merupakan manifestasi dari ego yang rapuh yang mencari superioritas instan. Dari sudut pandang etika, ia melanggar prinsip dasar kemanusiaan dan martabat.
Di era di mana kata-kata dapat menyebar ke seluruh dunia dalam sekejap, kita dituntut untuk bersikap lebih reflektif dan hati-hati. Menghentikan budaya mempersendakan memerlukan lebih dari sekadar larangan; ia membutuhkan pergeseran budaya mendasar di mana tawa atas penderitaan orang lain digantikan oleh empati yang tulus dan humor yang inklusif.
Kita harus belajar bahwa kekuatan sejati terletak bukan pada kemampuan untuk merendahkan, tetapi pada kemampuan untuk mengangkat. Keramahan dan penghormatan terhadap martabat individu—terutama mereka yang berbeda atau rentan—adalah fondasi bagi masyarakat yang sehat dan matang. Pilihan ada di tangan kita: melanjutkan tradisi ejekan yang merusak, atau membangun budaya yang merayakan perbedaan tanpa harus mempersendakan kekurangan.