Memahami Konsep Nasikh dalam Ilmu Al-Qur'an dan Hukum Islam

Konsep nasikh (abrogasi) merupakan salah satu pilar penting dalam studi ilmu Al-Qur'an dan ushul fiqh. Ia adalah sebuah mekanisme syariat yang mencerminkan kebijaksanaan Ilahi dalam menetapkan hukum-hukum-Nya secara bertahap, menyesuaikan dengan kondisi dan kemaslahatan umat. Namun, karena sifatnya yang kompleks dan memerlukan pemahaman mendalam, konsep nasikh seringkali menjadi sumber kebingungan, perdebatan, bahkan misinterpretasi. Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas konsep nasikh, mulai dari definisi dasar, landasan hukum, jenis-jenisnya, hikmah di baliknya, hingga implikasinya dalam pemahaman agama Islam secara menyeluruh.

I. Konsep Dasar Nasikh

Untuk memahami nasikh secara komprehensif, kita perlu menelusuri pengertiannya baik secara etimologis maupun terminologis.

A. Pengertian Bahasa (Etimologi)

Secara etimologi, kata nasikh (ناسخ) berasal dari akar kata Arab nasakha (نسخ) yang memiliki beberapa makna, di antaranya:

  • Menghapus atau menghilangkan (الإزالة): Seperti kalimat "نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ" (matahari menghapus bayangan), artinya menghilangkan bayangan.
  • Memindahkan atau menyalin (النقل): Seperti kalimat "نَسَخْتُ الكِتَابَ" (aku menyalin kitab), artinya memindahkan tulisan dari satu tempat ke tempat lain tanpa perubahan.
  • Mengganti atau mengubah (التحويل أو التغيير): Seperti kalimat "تَنَاسَخَ الوَرَثَةُ" (para ahli waris saling menggantikan), artinya satu generasi menggantikan generasi sebelumnya.
  • Membatalkan (الإبطال): Dalam konteks hukum, berarti membatalkan suatu ketentuan.

Makna-makna ini memberikan gambaran awal bahwa nasikh berhubungan dengan perubahan, penghapusan, atau penggantian. Namun, dalam konteks syar'i, maknanya menjadi lebih spesifik dan teknis.

B. Pengertian Istilah Syar'i (Terminologi)

Para ulama ushul fiqh mendefinisikan nasikh secara terminologi sebagai pencabutan hukum syar'i yang telah ditetapkan sebelumnya dengan hukum syar'i yang datang kemudian. Definisi ini memiliki beberapa unsur penting yang harus dipahami:

  • Pencabutan Hukum Syar'i (رفع الحكم الشرعي): Ini berarti suatu hukum yang sebelumnya berlaku dan wajib diamalkan, kini tidak berlaku lagi. Pencabutan ini bukan berarti hukum tersebut salah sejak awal, melainkan relevansinya telah berakhir dan digantikan oleh hukum yang baru.
  • Hukum Syar'i yang Ditetapkan Sebelumnya (المتقدم): Ini merujuk pada hukum awal yang akan dicabut atau diganti. Hukum ini disebut mansukh (yang dinasakh).
  • Dengan Hukum Syar'i yang Datang Kemudian (المتأخر): Ini adalah hukum baru yang menggantikan hukum sebelumnya. Hukum ini disebut nasikh (yang menasakh). Syaratnya, hukum yang baru ini harus datang setelah hukum yang lama dan bertujuan untuk menggantikannya.

Dengan demikian, nasikh bukanlah pembatalan yang menunjukkan kelemahan atau perubahan kehendak Allah. Sebaliknya, ia adalah manifestasi dari pengetahuan Allah yang Maha Luas dan hikmah-Nya dalam mengatur syariat secara bertahap demi kemaslahatan hamba-Nya. Hukum yang dinasakh adalah hukum yang relevan untuk suatu periode, dan hukum yang menasakh adalah hukum yang lebih relevan untuk periode berikutnya, atau yang bersifat final.

C. Perbedaan Nasikh dengan Konsep Serupa

Penting untuk membedakan nasikh dengan beberapa konsep lain yang kadang dianggap mirip, padahal memiliki makna dan implikasi yang berbeda:

  • Takhshish (Pengkhususan): Takhshish adalah membatasi cakupan suatu hukum yang bersifat umum, sehingga hukum tersebut hanya berlaku untuk sebagian saja, bukan keseluruhan. Hukum umum tersebut tidak dicabut, hanya ruang lingkupnya dipersempit. Misalnya, firman Allah: "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu qisas..." (QS. Al-Baqarah: 178) adalah umum. Kemudian datang ayat lain yang mengkhususkan bahwa qisas tidak berlaku bagi ayah yang membunuh anaknya. Ini bukan nasikh, karena hukum qisas tetap ada, hanya saja ada pengecualian.
  • Taqyid (Pembatasan): Taqyid adalah membatasi suatu hukum yang bersifat mutlak dengan syarat atau sifat tertentu. Hukum mutlak tersebut tidak dicabut, tetapi pelaksanaannya dibatasi. Contohnya, hukum memerdekakan budak (mutlak), kemudian dibatasi menjadi memerdekakan budak mukmin (QS. An-Nisa: 92). Ini bukan nasikh, karena konsep memerdekakan budak tetap ada.
  • Bada' (Perubahan Kehendak): Konsep bada' adalah perubahan kehendak Tuhan, di mana Tuhan mulanya menghendaki sesuatu, kemudian mengubah kehendak-Nya karena baru mengetahui hal lain. Konsep ini mustahil bagi Allah SWT yang Maha Mengetahui segalanya sejak azali. Nasikh bukan bada', karena naskh adalah bagian dari rencana Allah sejak awal, yang mengatur kapan suatu hukum relevan dan kapan harus diganti.
  • Penjelasan (Bayan): Terkadang ada ayat yang seolah-olah menasakh, padahal hanya menjelaskan atau merinci hukum yang masih samar. Misalnya, ayat tentang puasa yang boleh memilih membayar fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) kemudian dijelaskan dengan ayat kewajiban puasa (QS. Al-Baqarah: 185). Ini bukan nasikh, karena ayat pertama adalah kelonggaran di awal pensyariatan, dan ayat kedua adalah hukum final yang menjelaskan kewajiban mutlak.
Simbol Nasikh - Kitab dan Anak Panah Sebuah ilustrasi yang menggambarkan kitab suci yang terbuka, melambangkan Al-Qur'an atau Sunnah, dengan anak panah melengkung ke bawah menunjuk ke halaman yang berbeda, menyiratkan perubahan atau abogasi hukum. آية نسخ
Ilustrasi konsep Nasikh: Hukum yang baru (panah) menggantikan atau mengubah hukum yang lama (kitab).

II. Dasar Hukum (Dalil) Nasikh

Eksistensi nasikh bukan hanya berdasarkan interpretasi rasional, tetapi memiliki landasan yang kuat dari Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma' (konsensus) ulama. Ini menunjukkan bahwa nasikh adalah bagian integral dari syariat Islam.

A. Dalil dari Al-Qur'an

Al-Qur'an sendiri secara eksplisit menyebutkan adanya nasikh dalam beberapa ayat, yang paling terkenal adalah:

  1. QS. Al-Baqarah (2): 106

    "Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, pasti Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (Q.S. Al-Baqarah: 106)

    Ayat ini adalah dalil paling jelas tentang keberadaan nasikh. Kata "ننسخ" (Kami nasakhkan) secara terang-terangan menunjukkan bahwa Allah memiliki kekuasaan untuk mencabut atau mengganti suatu ayat (hukum) dengan ayat (hukum) lain yang lebih baik atau sepadan. Para mufassir sepakat bahwa "ayat" di sini merujuk pada hukum syariat, baik yang termaktub dalam Al-Qur'an maupun Sunnah. Ini menegaskan bahwa nasikh adalah tindakan Ilahi yang disengaja dan memiliki tujuan.

  2. QS. An-Nahl (16): 101

    "Dan apabila Kami tukar suatu ayat dengan ayat yang lain, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, 'Sesungguhnya kamu hanya pengada-ada saja.' Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Q.S. An-Nahl: 101)

    Ayat ini juga memperkuat QS. Al-Baqarah: 106. Frasa "Apabila Kami tukar suatu ayat dengan ayat yang lain" secara gamblang menunjukkan proses penggantian hukum. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa orang-orang kafir atau munafik pada zaman Nabi seringkali menolak konsep nasikh karena ketidakpahaman mereka, menuduh Nabi Muhammad SAW mengada-ada. Ini justru semakin memperkuat bahwa nasikh adalah realitas yang diakui dalam Al-Qur'an, dan penolakan terhadapnya berasal dari kekurangan ilmu.

  3. QS. Al-A'la (87): 6-7

    "Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) sehingga kamu tidak akan lupa, kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi." (Q.S. Al-A'la: 6-7)

    Meskipun tidak secara langsung menyebut "nasikh," sebagian ulama menafsirkan ayat ini sebagai petunjuk adanya naskh tilawah (penghapusan bacaan) di mana Allah mengizinkan Nabi melupakan bagian dari wahyu yang tilawahnya telah dicabut, sementara hukumnya mungkin masih berlaku atau juga telah dicabut. Ini menunjukkan bahwa proses wahyu, termasuk aspek penghapusan atau penggantian, sepenuhnya berada di bawah kendali Allah SWT.

B. Dalil dari As-Sunnah

Praktik nasikh juga didukung oleh banyak hadits dan peristiwa di masa Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh paling monumental adalah perubahan arah kiblat:

  • Perubahan Kiblat

    Pada awalnya, umat Islam diperintahkan untuk shalat menghadap Baitul Maqdis di Yerusalem. Ini berlangsung selama sekitar 16 atau 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Perintah ini berdasarkan Sunnah Nabi. Kemudian, turunlah firman Allah SWT:

    "Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (Q.S. Al-Baqarah: 144)

    Ayat ini menasakh hukum sebelumnya (berdasarkan Sunnah) dan menggantikannya dengan kewajiban menghadap Ka'bah di Masjidil Haram. Peristiwa ini bukan hanya perubahan arah fisik, tetapi juga perubahan hukum syar'i yang jelas dan disaksikan oleh para Sahabat. Ini adalah contoh kuat naskh Sunnah dengan Al-Qur'an.

  • Larangan Ziarah Kubur

    Pada awal Islam, Nabi Muhammad SAW melarang umatnya untuk ziarah kubur karena khawatir akan kembali kepada praktik syirik yang baru saja mereka tinggalkan. Beberapa waktu kemudian, setelah keimanan umat Islam kokoh, beliau bersabda:

    "Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah kalian ke kubur." (HR. Muslim)

    Ini adalah contoh naskh Sunnah dengan Sunnah, di mana larangan awal dicabut dan diganti dengan anjuran ziarah kubur karena hikmah dan kemaslahatan yang lebih besar.

C. Ijma' (Konsensus) Ulama

Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dan era sepakat tentang eksistensi nasikh dalam syariat Islam. Mereka menganggap bahwa mengingkari adanya nasikh berarti mengingkari dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah yang telah disebutkan. Perdebatan di kalangan ulama umumnya berpusat pada rincian, seperti jenis-jenis nasikh tertentu, syarat-syaratnya, atau contoh-contoh spesifik, bukan pada prinsip dasar keberadaannya.

Konsensus ini menegaskan bahwa nasikh bukanlah teori belaka, melainkan sebuah realitas yang diakui dan dipelajari secara mendalam dalam disiplin ilmu syariat.

D. Dalil Akal

Selain dalil naqli (Al-Qur'an dan Sunnah), akal sehat juga dapat menerima konsep nasikh. Kebijaksanaan Allah SWT dalam menetapkan syariat-Nya secara bertahap adalah hal yang logis. Manusia memiliki keterbatasan dalam menerima perubahan besar secara mendadak. Oleh karena itu, Allah, dengan hikmah-Nya, menurunkan hukum-hukum-Nya secara progresif, memudahkan umat untuk beradaptasi dan membangun fondasi keimanan yang kuat. Contohnya larangan khamar yang diturunkan dalam beberapa tahapan.

Naskh menunjukkan fleksibilitas syariat Islam untuk menghadapi kondisi dan kebutuhan yang berbeda sepanjang masa kenabian, yang puncaknya adalah penetapan hukum-hukum yang bersifat final dan abadi bagi umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

III. Jenis-Jenis Nasikh Berdasarkan Sumber Hukum

Para ulama mengklasifikasikan nasikh berdasarkan sumber hukum yang menasakh (nasikh) dan yang dinasakh (mansukh). Klasifikasi ini membantu kita memahami kompleksitas interaksi antara Al-Qur'an dan Sunnah.

A. Nasikh Al-Qur'an bi Al-Qur'an

Ini adalah jenis nasikh di mana suatu ayat Al-Qur'an mencabut hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur'an lainnya. Jenis ini adalah yang paling diterima oleh seluruh ulama dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya.

Contoh:

  1. Wasiat untuk Orang Tua dan Kerabat (Sebelum Ayat Mawaris)

    Pada awal Islam, diwajibkan bagi seseorang untuk berwasiat kepada orang tua dan kerabat terdekatnya, sebagaimana firman Allah:

    "Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (Q.S. Al-Baqarah: 180)

    Ayat ini kemudian dinasakh oleh ayat-ayat mawaris (warisan) dalam Surah An-Nisa yang secara rinci menetapkan bagian-bagian warisan bagi setiap ahli waris, termasuk orang tua dan kerabat. Nabi Muhammad SAW juga bersabda, "Tidak ada wasiat bagi ahli waris." Dengan demikian, hukum wajib berwasiat kepada ahli waris yang sudah mendapatkan bagian warisan dicabut, namun wasiat kepada selain ahli waris tetap disyariatkan dengan batasan sepertiga harta.

  2. Idah (Masa Tunggu) Wanita Ditinggal Mati Suami

    Awalnya, idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah satu tahun, sebagaimana firman Allah:

    "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah sampai setahun tanpa disuruh pindah (dari rumahnya)." (Q.S. Al-Baqarah: 240)

    Hukum ini kemudian dinasakh oleh ayat lain dalam surah yang sama, yang menetapkan idah selama empat bulan sepuluh hari:

    "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari." (Q.S. Al-Baqarah: 234)

    Ayat kedua ini mencabut hukum yang pertama, menunjukkan perubahan kemaslahatan dan ketentuan yang lebih meringankan bagi wanita.

B. Nasikh As-Sunnah bi As-Sunnah

Jenis ini terjadi ketika suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah (perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi) dinasakh oleh Sunnah lainnya. Ini juga merupakan jenis nasikh yang diterima oleh mayoritas ulama.

Contoh:

  1. Larangan dan Anjuran Ziarah Kubur

    Seperti yang telah disebutkan, Nabi Muhammad SAW awalnya melarang ziarah kubur untuk mencegah kembalinya praktik kesyirikan. Kemudian, setelah keimanan para Sahabat menguat, beliau membolehkan bahkan menganjurkannya dengan tujuan mengambil pelajaran dan mendoakan ahli kubur:

    "Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah kalian ke kubur karena ia mengingatkan akan akhirat." (HR. Muslim)

    Larangan awal adalah mansukh, dan anjuran kemudian adalah nasikh.

  2. Hukum Minum Khamar (Tahap Awal)

    Sebelum larangan total khamar (minuman keras), ada hadits-hadits yang mengisyaratkan bahwa meminumnya di waktu tertentu (misalnya sebelum shalat) dilarang, tetapi secara umum belum diharamkan sepenuhnya. Larangan bertahap ini menunjukkan bahwa hukum awal dinasakh oleh larangan yang lebih keras, yang kemudian dinasakh lagi oleh larangan total dari Al-Qur'an.

C. Nasikh Al-Qur'an bi As-Sunnah

Ini adalah jenis nasikh di mana suatu hukum yang ditetapkan oleh ayat Al-Qur'an dicabut oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW. Jenis ini paling kontroversial di kalangan ulama.

  • Pandangan yang Menerima: Sebagian ulama, seperti Imam Syafi'i (dalam sebagian pandangannya) dan sebagian ulama Hanafi, menerima jenis ini. Argumen mereka adalah bahwa baik Al-Qur'an maupun Sunnah adalah wahyu dari Allah. Sunnah menjelaskan Al-Qur'an dan dapat pula menggantinya. Mereka berdalil dengan QS. An-Najm: 3-4, "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." Ini menunjukkan bahwa Sunnah juga merupakan wahyu, sehingga memiliki kekuatan untuk menasakh Al-Qur'an.

    Contoh (berdasarkan pandangan yang menerima):

    Ayat tentang wasiat wajib kepada ahli waris (QS. Al-Baqarah: 180) dianggap dinasakh oleh hadits Nabi SAW, "Tidak ada wasiat bagi ahli waris." Namun, sebagian besar ulama menganggap ini bukan nasakh, melainkan hadits tersebut men-takhshish atau menjelaskan bahwa ahli waris telah mendapatkan bagian dari Allah, sehingga wasiat wajib kepada mereka tidak lagi diperlukan.

  • Pandangan yang Menolak: Mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi'i (dalam pandangan finalnya) dan Ahmad bin Hanbal, menolak jenis nasikh ini. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur'an memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan mutawatir (pasti dari Allah), sedangkan Sunnah bisa jadi bersifat ahad (tidak pasti dari Allah) atau zhan. Oleh karena itu, Sunnah tidak dapat menasakh Al-Qur'an. Mereka menafsirkan contoh-contoh yang diajukan sebagai bentuk takhshish, taqyid, atau bayan (penjelasan), bukan nasikh.

D. Nasikh As-Sunnah bi Al-Qur'an

Jenis ini terjadi ketika suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah dicabut oleh ayat Al-Qur'an. Jenis ini juga diterima oleh mayoritas ulama.

Contoh:

  1. Perubahan Kiblat (dari Baitul Maqdis ke Ka'bah)

    Hukum awal shalat menghadap Baitul Maqdis adalah berdasarkan Sunnah Nabi SAW (melalui ilham atau perintah awal). Kemudian, turunlah firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 144 yang memerintahkan untuk menghadap Ka'bah. Ini adalah contoh klasik naskh Sunnah oleh Al-Qur'an.

  2. Hukuman bagi Wanita Pezina di Awal Islam

    Pada awal Islam, hukuman bagi wanita pezina yang belum menikah adalah dikurung di rumah hingga meninggal atau Allah menetapkan jalan lain bagi mereka. Hukum ini dijelaskan dalam Sunnah Nabi. Kemudian turunlah ayat Al-Qur'an yang menetapkan hukuman cambuk 100 kali bagi pezina yang belum menikah:

    "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali deraan." (Q.S. An-Nur: 2)

    Ayat ini menasakh hukum pengurungan yang sebelumnya ada dalam Sunnah. Ini menunjukkan bagaimana Al-Qur'an dapat menggantikan ketentuan yang datang dari Sunnah.

IV. Kategori Nasikh Berdasarkan Perubahan Hukum dan Bacaan

Selain klasifikasi berdasarkan sumber hukum, nasikh juga dapat dikategorikan berdasarkan apa yang dinasakh: apakah hukumnya saja, bacaannya saja, atau keduanya.

A. Nasikh Hukum dan Tilawah (Bacaan)

Dalam jenis ini, baik hukum yang terkandung dalam ayat maupun bacaan ayat itu sendiri dicabut. Artinya, ayat tersebut tidak lagi dibaca sebagai bagian dari Al-Qur'an dan hukumnya pun tidak berlaku.

Contoh:

  • Ayat Rajam (Menurut Sebagian Ulama)

    Diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a. bahwa ia berkata: "Kami biasa membaca dalam Kitabullah: 'Syaikh dan syaikhah apabila berzina, rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah.' Ayat ini adalah hak dari Allah." Ayat ini, yang dikenal sebagai "Ayat Rajam," diyakini oleh sebagian ulama pernah menjadi bagian dari Al-Qur'an yang dibaca, namun tilawahnya (bacaannya) dinasakh (dihapus), sementara hukumnya (rajam bagi pezina muhshan/yang sudah menikah) tetap berlaku melalui Sunnah Nabi Muhammad SAW.

    Penting untuk dicatat bahwa isu ini sensitif dan membutuhkan pemahaman yang cermat. Intinya, Allah SWT, dengan hikmah-Nya, dapat memutuskan bahwa suatu bagian dari wahyu tidak lagi dibaca dalam mushaf, meskipun hukumnya tetap berlaku atau digantikan.

  • Ayat Sepuluh Kali Susuan yang Mengharamkan

    Aisyah r.a. meriwayatkan: "Dahulu termasuk yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah 'sepuluh kali susuan yang diketahui (sempurna) mengharamkan.' Kemudian dinasakh dengan 'lima kali susuan yang diketahui (sempurna) mengharamkan.' Kemudian Rasulullah SAW wafat dan (hukum) ini masih termasuk yang dibaca dari Al-Qur'an."

    Ini berarti ayat tentang "sepuluh kali susuan" dinasakh baik tilawah maupun hukumnya, digantikan oleh "lima kali susuan" yang kemudian hukumnya tetap berlaku meskipun tilawahnya juga dinasakh. Ini adalah contoh kompleks yang menunjukkan bagaimana beberapa lapisan naskh bisa terjadi.

B. Nasikh Hukum, Tilawah Tetap (Bacaan Tidak Dihapus)

Ini adalah jenis nasikh yang paling banyak terjadi dan disepakati oleh ulama. Hukum yang terkandung dalam ayat dicabut atau diganti, namun ayat itu sendiri tetap ada dalam Al-Qur'an dan tetap dibaca serta dihitung sebagai bagian dari Al-Qur'an.

Contoh:

  1. Idah (Masa Tunggu) Wanita Ditinggal Mati Suami

    Ayat QS. Al-Baqarah: 240 yang menetapkan idah satu tahun (hukum mansukh) dan QS. Al-Baqarah: 234 yang menetapkan idah empat bulan sepuluh hari (hukum nasikh). Kedua ayat ini masih ada dalam Al-Qur'an dan dibaca, namun hukum yang berlaku adalah yang kedua (empat bulan sepuluh hari).

  2. Pilihan Puasa atau Bayar Fidyah

    Pada awal Islam, bagi yang mampu berpuasa, diberi pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah (memberi makan orang miskin), sebagaimana firman Allah:

    "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (Q.S. Al-Baqarah: 184)

    Ayat ini dinasakh oleh ayat berikutnya yang mewajibkan puasa bagi setiap muslim yang melihat bulan Ramadhan dan tidak memiliki uzur syar'i:

    "Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Q.S. Al-Baqarah: 185)

    Kedua ayat ini masih dibaca dalam Al-Qur'an, namun hukum yang berlaku adalah wajib berpuasa, dan fidyah hanya berlaku bagi yang tidak mampu berpuasa sama sekali (seperti lansia atau sakit permanen).

C. Nasikh Tilawah, Hukum Tetap (Bacaan Dihapus, Hukum Tetap Berlaku)

Dalam jenis ini, bacaan ayat dicabut dari mushaf Al-Qur'an, namun hukum yang terkandung di dalamnya tetap berlaku. Jenis ini juga sangat sensitif dan menjadi bahan perdebatan. Beberapa ulama menganggapnya ada, sementara yang lain menafsirkan contoh-contohnya dengan cara yang berbeda.

Contoh:

  • Ayat Rajam (Menurut Sebagian Ulama)

    Sebagian ulama menganggap bahwa "Ayat Rajam" (yang dikutip oleh Umar bin Khattab) adalah contoh dari jenis ini. Tilawahnya dinasakh (tidak dibaca lagi dalam Al-Qur'an), tetapi hukum rajam bagi pezina muhshan tetap berlaku berdasarkan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

    Para ulama menjelaskan bahwa ini bukan berarti Al-Qur'an tidak lengkap atau ada bagian yang hilang, melainkan merupakan keputusan Ilahi bahwa suatu hukum yang penting dapat ditegakkan melalui Sunnah, sementara teks Al-Qur'an difokuskan pada hal-hal lain. Ini menunjukkan kemuliaan Sunnah sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur'an.

Penting untuk diingat bahwa diskusi mengenai jenis-jenis nasikh yang melibatkan penghapusan tilawah memerlukan kehati-hatian dan rujukan pada penjelasan ulama salaf yang mu'tabar (terpercaya), untuk menghindari kesalahpahaman tentang integritas Al-Qur'an.

V. Syarat-Syarat Terjadinya Nasikh

Tidak setiap adanya dua dalil yang tampak bertentangan dapat langsung dianggap sebagai nasikh. Para ulama telah menetapkan syarat-syarat ketat untuk menentukan apakah suatu kasus adalah nasikh yang sah:

  1. Adanya Kontradiksi Nyata (Ta'arudh Haqiqa): Harus ada pertentangan yang jelas dan mutlak antara dua dalil, di mana kedua hukum tidak mungkin diamalkan secara bersamaan. Jika masih ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya (misalnya dengan takhshish, taqyid, atau taswiyah/mengkompromikan), maka itu bukan nasikh.

  2. Tidak Mungkin Mengkompromikan Kedua Dalil: Jika ada cara untuk menggabungkan kedua dalil atau menafsirkannya sedemikian rupa sehingga keduanya tetap berlaku (misalnya, satu untuk kondisi tertentu dan yang lain untuk kondisi berbeda), maka nasikh tidak terjadi. Nasikh hanya terjadi jika tidak ada cara lain selain menyatakan salah satunya telah dicabut.

  3. Diketahui Mana Dalil yang Datang Lebih Dulu (Mansukh) dan Mana yang Kemudian (Nasikh): Pengetahuan tentang kronologi penurunan hukum adalah syarat mutlak. Jika tidak dapat dipastikan mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian, maka tidak bisa diputuskan adanya nasikh.

  4. Dalil yang Menasakh Harus Setara atau Lebih Kuat dari yang Dinasakh: Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalil nasikh harus memiliki kekuatan yang sama atau lebih kuat dari dalil mansukh. Misalnya, Al-Qur'an dapat menasakh Al-Qur'an, Sunnah mutawatir dapat menasakh Sunnah mutawatir, dan Sunnah mutawatir dapat menasakh Sunnah ahad. Namun, menasakh Al-Qur'an dengan Sunnah ahad adalah kontroversial.

  5. Hukum yang Dinasakh Bukan Hukum Dasar Akidah atau Prinsip Syariat yang Fundamental: Hukum-hukum dasar akidah (tauhid, kenabian, akhirat) dan prinsip-prinsip syariat yang universal (seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji) tidak dapat dinasakh, karena ini adalah pilar agama yang tidak berubah. Nasikh hanya berlaku pada hukum-hukum cabang (furu') yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan atau detail tertentu.

  6. Tidak Adanya Batasan Waktu (Tidak Mu'aqqat): Hukum yang dinasakh adalah hukum yang bersifat mutlak dan tidak dibatasi oleh waktu. Jika suatu hukum memang diturunkan untuk periode tertentu, kemudian diganti setelah periode itu selesai, maka itu bukan nasikh, melainkan hukum tersebut memang telah berakhir masa berlakunya.

Dengan adanya syarat-syarat ini, dapat dipastikan bahwa penentuan nasikh dan mansukh bukanlah perkara mudah dan memerlukan keahlian mendalam dalam ilmu-ilmu Islam.

VI. Hikmah (Kebijaksanaan) Adanya Nasikh

Keberadaan nasikh dalam syariat Islam bukanlah suatu kelemahan atau bentuk kontradiksi. Sebaliknya, ia adalah manifestasi dari hikmah dan rahmat Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Berikut adalah beberapa hikmah penting di balik adanya nasikh:

A. Mempermudah Umat (Takhfif)

Allah SWT menurunkan syariat secara bertahap, menghindari beban yang terlalu berat bagi umat yang baru beralih dari kebiasaan jahiliyah. Nasikh seringkali berfungsi untuk meringankan beban atau memberikan solusi yang lebih fleksibel. Contoh paling jelas adalah tahapan larangan khamar:

  • Tahap 1: Disebutkan bahwa khamar memiliki dosa dan manfaat, namun dosanya lebih besar dari manfaatnya (QS. Al-Baqarah: 219). Ini adalah peringatan, bukan larangan total.
  • Tahap 2: Dilarang shalat dalam keadaan mabuk (QS. An-Nisa: 43). Ini membatasi konsumsi khamar di waktu-waktu shalat.
  • Tahap 3: Dilarang total dan dianggap sebagai perbuatan syaitan (QS. Al-Ma'idah: 90-91).

Tanpa tahapan ini, larangan total di awal mungkin akan sangat memberatkan dan sulit diterima oleh masyarakat Arab kala itu. Nasikh memungkinkan transisi yang halus dan memudahkan penerimaan hukum.

B. Mencapai Kemaslahatan (Jalb al-Maslahah)

Hukum-hukum Allah SWT selalu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan (kebaikan) dan menolak mafsadat (keburukan) bagi manusia. Dengan adanya nasikh, Allah dapat menyesuaikan hukum-Nya dengan kondisi, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat pada masa kenabian, demi kemaslahatan yang lebih besar. Contohnya perubahan kiblat, yang menguji ketaatan dan mempersatukan umat Islam di bawah satu arah yang mulia.

C. Ujian Keimanan dan Ketaatan

Naskh juga berfungsi sebagai ujian bagi keimanan seseorang. Apakah mereka akan patuh dan menerima perubahan hukum yang datang dari Allah, ataukah mereka akan ragu dan menolak? Contohnya perubahan kiblat adalah ujian besar. Orang-orang yang beriman segera patuh, sementara yang munafik atau lemah iman mulai mempertanyakan. Allah berfirman: "Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu menghadapnya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot." (QS. Al-Baqarah: 143).

D. Evolusi dan Kesempurnaan Syariat

Naskh menunjukkan bahwa syariat Islam adalah hidup dan dinamis selama masa wahyu masih turun. Ini adalah bagian dari proses penyempurnaan syariat yang mencapai puncaknya dengan turunnya ayat: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Ma'idah: 3). Setelah ayat ini turun dan Nabi Muhammad SAW wafat, nasikh tidak lagi terjadi karena syariat telah sempurna dan final.

E. Membedakan antara Hukum Sementara dan Hukum Abadi

Dengan adanya nasikh, umat Islam dapat membedakan mana hukum yang bersifat sementara dan mana hukum yang bersifat abadi. Hukum yang dinasakh adalah hukum yang relevan untuk waktu tertentu, sementara hukum yang nasikh adalah hukum final yang diturunkan untuk diamalkan hingga hari kiamat.

VII. Kritik dan Mispersepsi tentang Nasikh

Meskipun nasikh merupakan konsep yang telah diterima oleh mayoritas ulama, tidak jarang muncul kritik dan mispersepsi, baik dari kalangan internal maupun eksternal Islam. Penting untuk memahami dan menjawab kritik-kritik ini dengan penjelasan yang benar.

A. Tuduhan Kontradiksi dalam Al-Qur'an

Salah satu kritik umum adalah bahwa nasikh menunjukkan adanya kontradiksi atau ketidakkonsistenan dalam Al-Qur'an. Ini adalah kesalahpahaman fatal. Naskh bukanlah kontradiksi, melainkan sebuah strategi legislasi Ilahi yang bijaksana. Kontradiksi mengimplikasikan adanya dua kebenaran yang saling bertentangan secara bersamaan, yang mustahil bagi firman Allah yang Maha Sempurna. Sebaliknya, nasikh adalah penggantian hukum lama dengan hukum baru pada waktu yang berbeda.

Analoginya seperti seorang dokter yang memberikan resep obat. Pada awal penyakit, resep A diberikan. Ketika kondisi pasien berubah atau membaik, resep A dicabut dan diganti dengan resep B. Ini bukan berarti resep A salah, tetapi resep B lebih sesuai untuk kondisi terkini. Demikian pula, hukum Allah diturunkan sesuai dengan tahapan dan kemaslahatan manusia.

B. Tuduhan Allah Berubah Pikiran

Beberapa pihak menuduh bahwa nasikh mengimplikasikan Allah SWT berubah pikiran, yang bertentangan dengan sifat Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Tuduhan ini juga keliru. Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu sejak azali, termasuk semua tahapan pensyariatan dan kapan suatu hukum akan diganti.

Naskh bukanlah perubahan kehendak Allah karena ketidaktahuan-Nya, melainkan perwujudan dari rencana-Nya yang sempurna dan telah diketahui-Nya sejak awal. Ini adalah penetapan hukum yang disesuaikan dengan kondisi hamba-Nya pada waktu tertentu, yang kemudian diganti dengan ketentuan yang lebih sesuai atau bersifat final. Allah tidak pernah "belajar" atau "mengubah pikiran" karena Dia telah mengetahui segala sesuatu.

C. Kesulitan Mengidentifikasi Nasikh dan Mansukh

Kritik lain berpusat pada kesulitan dan perdebatan di kalangan ulama dalam menentukan ayat atau hadits mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Memang, ini adalah salah satu disiplin ilmu yang paling rumit dan membutuhkan keahlian luar biasa. Kesulitan ini terkadang disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk menolak konsep nasikh secara keseluruhan.

Namun, adanya kesulitan tidak berarti konsepnya batal. Sebaliknya, itu menegaskan pentingnya mendalami ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, dan sejarah turunnya wahyu. Ulama-ulama besar telah mengabdikan hidup mereka untuk mengidentifikasi nasikh dan mansukh dengan metode ilmiah yang ketat, memastikan keabsahan dan kehati-hatian dalam penetapannya.

D. Tuduhan Ayat-ayat yang Dihilangkan (Naskh Tilawah)

Konsep naskh tilawah, di mana bacaan ayat dihapus namun hukumnya tetap berlaku atau juga dihapus, seringkali menjadi sasaran kritik yang menuduh Al-Qur'an tidak lengkap atau telah "dihilangkan" bagiannya. Ini juga mispersepsi.

Naskh tilawah adalah keputusan Ilahi bahwa Allah tidak lagi mengizinkan suatu lafal (bacaan) untuk menjadi bagian dari mushaf Al-Qur'an yang dibaca, meskipun ia pernah menjadi wahyu. Ini bukan hasil campur tangan manusia atau penghilangan yang disengaja. Allah adalah Dzat yang menurunkan Al-Qur'an, dan Dia pula yang berhak memutuskan bentuk finalnya, termasuk apa yang tetap dibaca dan apa yang tidak.

Al-Qur'an yang kita miliki saat ini adalah sempurna dan terpelihara sebagaimana janji Allah dalam QS. Al-Hijr: 9: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." Ayat-ayat yang tilawahnya dinasakh tidak mengurangi kesempurnaan Al-Qur'an yang ada saat ini, karena itu adalah bagian dari rencana pemeliharaan Ilahi.

VIII. Implikasi Memahami Nasikh dalam Studi Islam

Pemahaman yang benar tentang nasikh memiliki implikasi yang luas dan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu Islam. Tanpa pemahaman ini, seseorang berisiko jatuh pada kesalahan penafsiran dan penetapan hukum.

A. Dalam Tafsir Al-Qur'an

Seorang mufassir (penafsir Al-Qur'an) tidak akan dapat menafsirkan ayat-ayat secara akurat tanpa mengetahui mana ayat yang nasikh dan mana yang mansukh. Jika tidak memahami hal ini, ia bisa saja menafsirkan ayat yang sudah dinasakh sebagai hukum yang masih berlaku, atau sebaliknya. Pemahaman nasikh membantu mufassir menempatkan ayat dalam konteks historis dan legislatifnya yang benar, sehingga menghasilkan penafsiran yang sahih dan komprehensif.

B. Dalam Fiqh dan Penetapan Hukum

Bagi seorang faqih (ahli fiqh) atau mujtahid (ahli ijtihad), pengetahuan tentang nasikh adalah kunci untuk mengeluarkan hukum yang benar. Mengeluarkan fatwa atau menetapkan hukum berdasarkan ayat atau hadits yang telah dinasakh akan menghasilkan kekeliruan fatal dalam syariat. Oleh karena itu, para fuqaha wajib menguasai ilmu nasikh dan mansukh agar dapat membedakan hukum yang masih berlaku dari yang sudah dicabut.

C. Dalam Studi Hadits

Sama halnya dengan Al-Qur'an, Sunnah Nabi juga mengalami nasikh. Para muhaddits (ahli hadits) dan fuqaha harus mampu mengidentifikasi hadits mana yang menasakh dan hadits mana yang dinasakh. Hal ini sangat penting untuk memahami Sunnah secara keseluruhan, karena ada banyak hadits yang tampak kontradiktif jika tidak dipahami dalam konteks nasikh dan mansukh.

D. Menghargai Dinamika dan Fleksibilitas Syariat

Memahami nasikh juga membantu umat Islam menghargai dinamika dan fleksibilitas syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT, dengan rahmat-Nya, tidak membebani hamba-Nya dengan hukum yang statis dan tidak relevan, tetapi justru menetapkan syariat yang mampu beradaptasi dan berkembang sesuai dengan kemaslahatan di masa wahyu masih turun, yang semuanya menuju kesempurnaan final Islam.

E. Membendung Tuduhan dan Misinterpretasi

Pengetahuan tentang nasikh adalah benteng terhadap tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar mengenai kontradiksi dalam Al-Qur'an atau perubahan kehendak Allah. Dengan menjelaskan mekanisme nasikh secara ilmiah dan syar'i, umat Islam dapat menjawab keraguan dan misinterpretasi yang seringkali dilontarkan oleh pihak-pihak yang tidak memahami kompleksitas syariat Islam.

IX. Pentingnya Keahlian Khusus dalam Naskh

Mengingat kompleksitas dan sensitivitasnya, penentuan nasikh dan mansukh bukanlah tugas bagi sembarang orang. Ia membutuhkan keahlian khusus dan pemahaman mendalam dalam berbagai disiplin ilmu Islam. Tanpa kualifikasi ini, seseorang sangat berisiko membuat kesalahan yang serius.

A. Ilmu Al-Qur'an

Wajib bagi penentu nasikh untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur'an, termasuk asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), makki dan madani, serta konteks setiap ayat. Ini membantu dalam menentukan kronologi dan makna yang tepat.

B. Ilmu Hadits dan Sunnah

Penguasaan hadits dan Sunnah Nabi, termasuk derajat kesahihan hadits, perawi, serta asbabul wurud (sebab-sebab munculnya hadits) sangat krusial. Banyak kasus nasikh melibatkan interaksi antara Al-Qur'an dan Sunnah, atau antara hadits satu dengan hadits lainnya.

C. Bahasa Arab

Memahami Al-Qur'an dan Sunnah secara utuh mustahil tanpa penguasaan mendalam terhadap bahasa Arab, termasuk nahwu, sharaf, balaghah, dan uslub (gaya bahasa) Al-Qur'an.

D. Ilmu Ushul Fiqh

Ushul Fiqh adalah metodologi penetapan hukum Islam. Ilmu ini secara khusus membahas kaidah-kaidah nasikh dan mansukh, syarat-syaratnya, serta cara penyelesaian pertentangan dalil. Ini adalah disiplin ilmu utama yang harus dikuasai.

E. Sejarah Turunnya Wahyu

Pengetahuan tentang sirah nabawiyah dan urutan peristiwa dalam sejarah Islam sangat penting untuk menentukan kronologi turunnya ayat dan munculnya hadits, yang merupakan prasyarat mutlak dalam identifikasi nasikh.

F. Bahaya Salah Tafsir

Tanpa keahlian ini, kesalahan dalam menentukan nasikh dapat berakibat fatal. Seseorang bisa saja mengamalkan hukum yang sudah dicabut, atau sebaliknya, meninggalkan hukum yang masih berlaku. Ini akan mengacaukan syariat dan membawa umat kepada kesesatan.

Oleh karena itu, penentuan nasikh dan mansukh adalah domain para ulama mujtahid yang telah mencapai tingkatan ilmu tertentu dan memiliki otoritas dalam disiplin ini. Bagi umat Islam awam, yang terbaik adalah merujuk kepada penjelasan ulama yang mu'tabar dan kitab-kitab tafsir atau fiqh yang telah mengkaji masalah nasikh secara komprehensif.

Kesimpulan

Konsep nasikh dalam ilmu Al-Qur'an dan hukum Islam adalah sebuah pilar fundamental yang menunjukkan kebijaksanaan, rahmat, dan kesempurnaan syariat Ilahi. Ia bukanlah indikasi kontradiksi atau perubahan kehendak Allah, melainkan mekanisme progresif yang memungkinkan hukum-hukum Allah disesuaikan dengan tahapan perkembangan umat dan kemaslahatan mereka selama masa penurunan wahyu.

Dari pembahasan ini, kita dapat menyimpulkan beberapa poin utama:

  • Nasikh adalah pencabutan hukum syar'i yang telah ditetapkan sebelumnya dengan hukum syar'i yang datang kemudian, yang didasari oleh dalil-dalil kuat dari Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' ulama.
  • Ada beberapa jenis nasikh berdasarkan sumber hukum (Al-Qur'an menasakh Al-Qur'an, Sunnah menasakh Sunnah, Al-Qur'an menasakh Sunnah, dan Sunnah menasakh Al-Qur'an – dengan sebagian kontroversi pada jenis ketiga).
  • Nasikh juga diklasifikasikan berdasarkan apa yang dinasakh: hukum dan tilawah, hukum saja, atau tilawah saja.
  • Keberadaan nasikh memiliki hikmah yang agung, seperti mempermudah umat, mencapai kemaslahatan, menjadi ujian keimanan, serta menunjukkan evolusi dan kesempurnaan syariat Islam.
  • Mispersepsi mengenai nasikh sebagai kontradiksi atau Allah berubah pikiran adalah keliru, karena nasikh adalah bagian dari rencana Ilahi yang telah ditetapkan sejak azali.
  • Memahami nasikh sangat krusial dalam tafsir Al-Qur'an, penetapan fiqh, studi hadits, dan untuk membendung tuduhan yang tidak berdasar terhadap Islam.
  • Penentuan nasikh dan mansukh membutuhkan keahlian khusus dan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu Islam.

Dengan demikian, konsep nasikh merupakan salah satu aspek kekayaan intelektual Islam yang memerlukan studi serius dan hati-hati. Memahami nasikh dengan benar tidak hanya memperdalam pemahaman kita tentang teks-teks suci, tetapi juga memperkuat keyakinan kita akan kesempurnaan dan keindahan agama Islam yang relevan sepanjang masa.

🏠 Kembali ke Homepage