Isra' Wal Mikraj: Perjalanan Spiritual Agung

Pengantar: Keagungan Perjalanan Malam

Isra' wal Mikraj merupakan salah satu mukjizat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah manifestasi agung dari kekuasaan Ilahi dan kemuliaan status Rasulullah sebagai penutup para nabi. Perjalanan luar biasa ini terjadi pada masa yang sangat kritis dalam sejarah dakwah Islam, dikenal sebagai ‘Amul Huzn (Tahun Kesedihan), di mana Nabi SAW baru saja kehilangan istri tercinta, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib, pelindung utamanya di Makkah. Dalam momen keterpurukan emosional dan tekanan dakwah yang memuncak inilah, Allah menghibur Rasul-Nya dengan sebuah pengalaman yang melampaui batas nalar dan fisika.

Peristiwa ini terbagi menjadi dua bagian integral: Isra' dan Mikraj. Isra' merujuk pada perjalanan malam hari dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem (Baitul Maqdis). Sementara Mikraj adalah perjalanan vertikal, kenaikan dari Baitul Maqdis menembus lapisan-lapisan langit, menuju Sidratul Muntaha, bahkan melampauinya, hingga mencapai hadirat Allah SWT. Kedua dimensi perjalanan ini memiliki signifikansi teologis, historis, dan spiritual yang tak tertandingi, memberikan dasar kokoh bagi ajaran Islam, khususnya dalam penetapan perintah shalat.

Umat Islam sepanjang masa merenungkan Isra' dan Mikraj sebagai bukti definitif akan kebenaran risalah Muhammad SAW. Peristiwa ini menantang pemahaman konvensional tentang ruang dan waktu, menegaskan bahwa bagi Allah, tidak ada yang mustahil. Tujuan dari kajian mendalam ini adalah untuk mengurai setiap tahapan perjalanan ini, menelaah pertemuan-pertemuan Nabi dengan para nabi terdahulu, memahami hakikat Sidratul Muntaha, dan, yang paling utama, menggali implikasi perintah shalat sebagai buah sentral dari pengalaman spiritual agung ini.

Visualisasi Mikraj Representasi visual perjalanan Mikraj, menampilkan Buraq yang melesat menembus lapisan langit menuju bintang dan cahaya Ilahi. Buraq

Gambaran visualisasi Mikraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW menembus lapisan kosmos.

Isra': Perjalanan dari Makkah ke Al-Aqsa

Keberangkatan Ajaib

Peristiwa Isra' dimulai ketika Nabi Muhammad SAW sedang beristirahat di dekat Ka'bah, atau menurut riwayat lain, di rumah Ummu Hani binti Abi Thalib. Malaikat Jibril AS datang dan membawa kendaraan yang dinamakan Buraq. Buraq digambarkan sebagai makhluk surgawi yang lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal, dengan kecepatan yang melampaui kecepatan cahaya, mampu melangkah sejauh pandangan matanya. Kehadiran Buraq adalah penanda dimulainya sebuah perjalanan yang tidak tunduk pada hukum alam fisik yang dikenal manusia.

Jarak antara Makkah dan Yerusalem adalah perjalanan yang biasanya memakan waktu lebih dari satu bulan dengan unta. Namun, dalam peristiwa Isra', perjalanan ini ditempuh hanya dalam sekejap mata, dalam satu malam. Hal ini segera menempatkan perjalanan ini di luar ranah perjalanan biasa dan menjadikannya sebuah mukjizat (karamah) yang berfungsi sebagai pengesahan kenabian Muhammad SAW. Allah SWT memulai narasi ini dalam Al-Qur’an (QS. Al-Isra’ [17]: 1) dengan menyatakan: "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa...".

Signifikansi Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa)

Pemberhentian pertama Nabi Muhammad SAW di Masjidil Aqsa sangat penting. Masjidil Aqsa (Yerusalem) adalah kiblat pertama umat Islam dan merupakan pusat spiritual bagi tiga agama Ibrahim (Yahudi, Kristen, dan Islam). Dengan tiba di sana, Nabi Muhammad SAW secara simbolis menghubungkan risalahnya dengan rantai kenabian yang panjang, mulai dari Ibrahim, Musa, dan Isa.

Di sana, beliau memimpin shalat yang dihadiri oleh seluruh nabi yang pernah diutus, dari Adam hingga Isa. Shalat berjamaah yang dipimpin oleh Rasulullah ini merupakan sebuah pernyataan formal bahwa beliau adalah Imam para Nabi (Imamul Anbiya), pemimpin spiritual tertinggi yang mewarisi dan menyempurnakan semua risalah terdahulu. Ini bukan sekadar pertemuan seremonial; ini adalah pengukuhan status kenabian Muhammad SAW di hadapan sejarah spiritual umat manusia.

Tindakan shalat di Baitul Maqdis menegaskan bahwa Islam bukanlah agama baru yang terpisah, melainkan puncak dari ajaran Tauhid yang sama yang telah diajarkan oleh nabi-nabi sebelumnya. Penempatan Yerusalem sebagai titik transisi antara perjalanan horizontal (bumi) dan vertikal (langit) menegaskan status kota tersebut sebagai poros spiritual alam semesta.

Mikraj: Kenaikan Menembus Tujuh Langit

Setelah menunaikan shalat di Masjidil Aqsa, Mikraj dimulai. Nabi Muhammad SAW diangkat bersama Jibril AS, menaiki Buraq yang kemudian berubah menjadi tangga cahaya (Mi'raj), menembus lapisan-lapisan langit yang merupakan batas dimensi dan realitas kosmik.

Langit Pertama: Adam AS

Ketika tiba di langit pertama, gerbang dibuka setelah Jibril memperkenalkan identitasnya dan status Nabi Muhammad. Di sana, Rasulullah bertemu dengan Nabi Adam AS, Bapak umat manusia. Adam menyambut Rasulullah dengan penuh kasih dan mendoakannya. Adam terlihat menangis, meratapi nasib keturunannya yang masuk neraka dan bersukacita atas mereka yang masuk surga. Pertemuan ini mengingatkan Nabi Muhammad SAW akan asal-usul manusia, kerentanan mereka terhadap dosa, dan perlunya terus berjuang dalam dakwah.

Langit Kedua: Yahya dan Isa AS

Di langit kedua, beliau bertemu dengan Nabi Yahya (Yohanes Pembaptis) dan Nabi Isa AS (Yesus). Kedua nabi ini memiliki hubungan kekerabatan yang erat dan merupakan dua sosok sentral dalam tradisi sebelum Islam, mewakili kesucian dan mukjizat. Pertemuan ini menekankan kesinambungan risalah dan penekanan terhadap kepatuhan serta kemurnian hati.

Langit Ketiga: Yusuf AS

Langit ketiga mempertemukan beliau dengan Nabi Yusuf AS, yang oleh Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai sosok yang dianugerahi separuh dari seluruh keindahan di dunia. Kisah Yusuf adalah kisah tentang kesabaran dalam menghadapi fitnah, pengkhianatan, dan pemenjaraan, yang sangat relevan bagi Rasulullah yang saat itu sedang menghadapi penindasan di Makkah. Ini adalah pelajaran tentang keteguhan dan hasil akhir dari kesabaran yang sempurna.

Langit Keempat: Idris AS

Di langit keempat, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Idris AS, yang terkenal sebagai nabi yang diangkat ke tempat yang tinggi (sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an). Idris melambangkan pengetahuan, tulisan, dan ketinggian spiritual, menunjukkan bahwa perjalanan keagungan spiritual harus didasarkan pada ilmu dan hikmah.

Langit Kelima: Harun AS

Langit kelima mempertemukan beliau dengan Nabi Harun AS, saudara laki-laki Nabi Musa, yang dikenal karena kefasihannya dan perannya sebagai pendukung utama Musa. Harun AS melambangkan pentingnya dukungan, komunikasi yang jelas, dan kepemimpinan yang bijaksana dalam membimbing umat.

Langit Keenam: Musa AS

Langit keenam adalah pertemuan yang sangat penting dengan Nabi Musa AS. Musa adalah nabi yang paling banyak berdialog dengan Allah (Kalimullah) dan paling berpengalaman dalam menghadapi umat yang sulit (Bani Israil). Dialog antara Muhammad dan Musa di sini kelak akan menjadi krusial dalam negosiasi perintah shalat. Musa menyambut Nabi Muhammad, namun juga menangis. Ketika ditanya alasannya, Musa berkata bahwa ia menangis karena melihat seorang pemuda (Muhammad) yang diutus setelahnya, yang umatnya akan lebih banyak masuk surga daripada umatnya sendiri. Ini menunjukkan pengakuan Musa atas keutamaan risalah terakhir.

Langit Ketujuh: Ibrahim AS

Di langit ketujuh, tingkatan tertinggi sebelum batas akhir ciptaan, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Ibrahim AS. Ibrahim dikenal sebagai *Khalilullah* (Kekasih Allah) dan Bapa para Nabi. Beliau digambarkan sedang bersandar di Baitul Ma’mur (Ka’bah langit), tempat di mana para malaikat melakukan thawaf. Pertemuan dengan Ibrahim, yang merupakan titik mula Tauhid dan Hanifiyyah, menegaskan akar monoteistik yang sama bagi semua ajaran Islam, dan Ibrahim memohonkan keberkahan bagi umat Muhammad.

Sidratul Muntaha dan Batas Akhir

Setelah melampaui tujuh langit, Nabi Muhammad SAW tiba di Sidratul Muntaha. Pohon Sidrah ini bukanlah pohon dalam arti fisik duniawi, melainkan sebuah penanda, batas akhir di mana pengetahuan ciptaan berakhir. Di titik ini, Jibril AS berhenti. Jibril menjelaskan bahwa jika ia maju selangkah lagi, ia akan terbakar oleh cahaya Ilahi. Hanya Nabi Muhammad SAW yang diizinkan melampaui batas ini.

Sidratul Muntaha, yang terselimuti oleh cahaya dan warna-warna yang tidak dapat dideskripsikan, menandai transisi dari dunia malaikat ke hadirat langsung Allah SWT. Ini adalah titik di mana Rasulullah mencapai maqam (kedudukan) tertinggi yang pernah dicapai oleh makhluk mana pun. Pengalaman ini benar-benar melampaui ruang, waktu, dan dimensi material. Nabi Muhammad SAW melihat tanda-tanda keagungan Tuhannya yang paling besar (QS. An-Najm [53]: 18).

Pada momen ini, Rasulullah mengalami pertemuan langsung dengan Allah SWT, di mana terjadi dialog agung dan perintah shalat diwahyukan.

Buah Mikraj: Perintah Shalat

Inti dari Mikraj adalah penetapan kewajiban shalat. Pada mulanya, Allah SWT memerintahkan 50 kali shalat sehari semalam. Setelah menerima perintah ini, dalam perjalanan turun kembali, Nabi Muhammad SAW bertemu kembali dengan Nabi Musa AS di langit keenam. Musa bertanya, "Apa yang diwajibkan oleh Tuhanmu kepada umatmu?" Ketika Nabi Muhammad menjelaskan 50 kali shalat, Musa segera menasihati beliau.

"Umatmu tidak akan sanggup melaksanakannya. Aku telah menguji Bani Israil dan mengetahui kemampuan mereka. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan."

Dialog ini berulang kali. Nabi Muhammad SAW berulang kali kembali kepada Allah, memohon keringanan atas saran Musa, menunjukkan kerendahan hati dan kepeduliannya terhadap umatnya. Proses negosiasi ini berlangsung beberapa kali hingga akhirnya kewajiban tersebut dikurangi menjadi lima kali shalat sehari semalam. Ketika Nabi Muhammad kembali kepada Musa dan mengumumkan lima shalat, Musa masih menyarankan untuk meminta keringanan lagi. Namun, Nabi Muhammad SAW menjawab: "Aku sudah malu kepada Tuhanku. Aku menerima (lima waktu) dan rida."

Meskipun hanya lima waktu, Allah SWT menegaskan bahwa pahalanya tetap setara dengan 50 kali shalat. Inilah manifestasi dari rahmat Ilahi yang luar biasa. Shalat yang lima waktu itu adalah hadiah teragung dari Mikraj, menjadi tiang agama (*’amud ad-din*), dan merupakan cara umat Islam untuk melakukan Mikraj spiritual mereka sendiri, lima kali sehari.

Pentingnya Negosiasi dengan Musa

Peran Nabi Musa dalam peristiwa ini sangat signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan pengalaman nabi terdahulu diakui dan dihargai. Musa, yang menghadapi kesulitan besar dalam menuntun umatnya, mengetahui batas kemampuan manusia. Dialog ini bukan hanya dramatisasi, tetapi penekanan bahwa syariat Islam, meskipun tegas, dibangun di atas dasar rahmat dan pemahaman akan kelemahan fitrah manusia. Lima shalat adalah keseimbangan sempurna antara tuntutan Ilahi dan kapasitas insani.

Refleksi Teologis dan Filosofis Peristiwa Mikraj

Perdebatan mengenai apakah Isra’ dan Mikraj adalah perjalanan fisik atau spiritual telah lama menjadi topik kajian. Mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa perjalanan ini adalah fisik dan spiritual (jasmani dan rohani), terjadi dalam keadaan sadar, bukan mimpi. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata “hamba-Nya” (*‘abdihi*) dalam QS. Al-Isra’ [17]: 1, yang merujuk pada keseluruhan diri Nabi, jiwa dan raga. Jika ini hanya mimpi, tentu tidak akan disebut mukjizat, dan kaum Quraisy tidak akan menolaknya dengan keras.

Hakikat Perjalanan Jasmani

Keyakinan pada perjalanan jasmani adalah pengakuan terhadap kemahakuasaan Allah. Peristiwa ini berfungsi sebagai pembuktian bahwa Allah mampu mengubah hukum-hukum alam semesta sesuai kehendak-Nya. Kecepatan Buraq, menembus atmosfer dan dimensi kosmik dalam waktu singkat, menegaskan bahwa kekuasaan Ilahi melampaui batasan fisika Einstein atau Newtonian. Bagi orang beriman, mukjizat ini adalah penguat iman, bukan teka-teki ilmiah yang harus dipecahkan.

Mikraj sebagai Peningkatan Maqam (Kedudukan)

Mikraj juga memiliki dimensi rohaniah yang mendalam. Kenaikan Nabi Muhammad melambangkan pembersihan total dan pencerahan spiritual yang mencapai puncaknya. Setiap langit yang dilalui dan setiap nabi yang ditemui memberikan Rasulullah pelajaran dan penguatan. Langit-langit tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tingkat-tingkat kesadaran dan pengetahuan. Ketika beliau melampaui Sidratul Muntaha, beliau mencapai kemurnian tauhid yang mutlak, di mana tidak ada lagi perantara (seperti Jibril), hanya hamba yang bertemu Tuhannya secara langsung.

Pengalaman ini secara permanen meningkatkan *maqam* kenabian Muhammad SAW, memberikan beliau pengetahuan mendalam tentang alam ghaib (metafisika) yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, mempersiapkan beliau untuk tantangan hijrah dan pembentukan negara Madinah yang akan datang.

Implikasi Kosmologis

Meskipun Al-Qur'an dan Hadis tidak dimaksudkan sebagai buku sains modern, narasi Mikraj memberikan gambaran kosmik yang melampaui pemahaman masyarakat Makkah saat itu. Deskripsi tentang langit, bintang, dan Batas (Sidratul Muntaha) telah menginspirasi ulama dan filosof muslim selama berabad-abad untuk merenungkan struktur alam semesta dan hierarki ciptaan. Mikraj adalah penegasan bahwa alam semesta tidaklah statis, melainkan tersusun dalam lapisan-lapisan realitas yang kompleks, masing-masing di bawah kendali penuh Sang Pencipta.

Nilai-Nilai Spiritual Abadi dari Mikraj

Mikraj bukanlah sekadar kisah sejarah untuk diperingati, melainkan sumber pelajaran spiritual yang terus relevan bagi setiap individu Muslim hingga akhir zaman. Pelajaran paling fundamental yang dapat kita ambil adalah hakikat dari shalat itu sendiri, dan bagaimana shalat menjadi jembatan antara dunia fana dan keabadian.

Shalat sebagai Mikraj Pribadi

Jika Nabi Muhammad SAW melakukan Mikraj secara fisik dan spiritual untuk menerima perintah shalat, maka shalat itu sendiri adalah Mikraj bagi setiap Muslim. Dalam shalat, seorang hamba meninggalkan kesibukan dunia, menghadap Kiblat, dan berkomunikasi langsung dengan Allah. Kesempatan ini adalah anugerah terbesar, memungkinkan kita mencapai kedekatan Ilahi tanpa harus menempuh perjalanan melintasi kosmos. Shalat adalah titik temu (*mi'raj*) antara jiwa yang lemah dan Kebesaran Sang Pencipta. Oleh karena itu, konsentrasi (*khusyuk*) dalam shalat adalah upaya untuk meniru kedekatan yang dialami Rasulullah di hadapan Sidratul Muntaha.

Pentingnya Kesabaran dan Keteguhan

Peristiwa ini datang setelah Tahun Kesedihan (*'Amul Huzn*). Allah SWT tidak memberikan penghiburan berupa kekayaan atau kemenangan militer, melainkan pengalaman spiritual yang meninggikan derajat. Ini mengajarkan bahwa ketika kita berada di titik terendah dalam hidup, solusi dan penghiburan sejati datang melalui peningkatan kedekatan dengan Tuhan, bukan hanya melalui perubahan kondisi material. Kesabaran Nabi menghadapi penolakan dan kehilangan diganjar dengan pemuliaan tak terhingga.

Hubungan dengan Para Nabi Terdahulu

Pertemuan dengan para nabi mengajarkan tentang persaudaraan universal dalam risalah Tauhid. Ini memperkuat identitas Muslim bahwa mereka bukan penganut agama yang terisolasi, melainkan pewaris tradisi spiritual tertua dan paling murni di dunia. Penghormatan terhadap semua nabi adalah syarat iman yang tidak terpisahkan, dan Rasulullah Muhammad SAW adalah penyimpul serta penyempurna dari seluruh ajaran mereka.

Setiap nabi yang ditemui memiliki pesan khusus yang relevan. Adam mengajarkan tentang asal-usul, Musa mengajarkan tentang tantangan umat, dan Ibrahim mengajarkan tentang kepatuhan total. Keseluruhan Mikraj adalah kurikulum spiritual yang intensif, mempersiapkan hati dan pikiran Rasulullah untuk memimpin umat yang baru lahir menuju kemuliaan abadi.

Kisah Mikraj berfungsi sebagai peta jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keagungan Ilahi. Ketika seorang Muslim merenungkan kecepatan Buraq, keberadaan tujuh langit, dan batas Sidratul Muntaha, ia dipaksa untuk mengakui keterbatasan akal manusia dan sekaligus mengakui keluasan kekuasaan Sang Pencipta. Pengakuan ini adalah esensi dari *tauhid*, pemurnian konsep keesaan Allah, yang merupakan fondasi dari seluruh bangunan spiritualitas Islam.

Keagungan Mikraj tidak hanya terletak pada narasi perjalanannya yang dramatis, tetapi juga pada hasil konkretnya: Shalat. Shalat adalah jembatan yang menghubungkan dimensi fisik dan metafisik. Lima kali sehari, seorang hamba diajak meninggalkan hiruk pikuk dunia, berdiri tegak, dan mengalami *mi'raj* versi dirinya sendiri. Dalam sujud, puncak dari kerendahan hati, hamba berada pada posisi terdekat dengan Penciptanya. Inilah rahasia yang dibawa turun dari langit ketujuh, sebuah mekanisme yang dijamin membawa kedamaian dan ketenangan hati, bahkan di tengah badai kehidupan dunia.

Implikasi Moral dan Sosial

Mikraj juga membawa serta pesan-pesan moral dan etika yang kuat. Dalam beberapa riwayat, selama perjalanan Isra', Nabi diperlihatkan pemandangan hukuman bagi para pelaku dosa, seperti pemakan riba, pengumpat (ghibah), dan orang-orang yang melalaikan amanah. Pemandangan ini berfungsi sebagai peringatan keras (tahzir) dan penguatan komitmen Rasulullah terhadap keadilan dan moralitas universal. Kenaikan spiritual harus selalu diiringi dengan peningkatan moral dan tanggung jawab sosial di bumi.

Ketika kembali ke Makkah, Rasulullah menghadapi tantangan besar. Kaum Quraisy menertawakannya, menuntut bukti, terutama deskripsi Baitul Maqdis. Allah SWT mengizinkan Rasulullah melihat Baitul Maqdis secara detail dan mendeskripsikannya dengan akurat. Penolakan mereka, meskipun disertai bukti nyata, menegaskan bahwa mukjizat berfungsi sebagai ujian keimanan. Hanya mereka yang memiliki ketulusan hati (seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq) yang dapat menerima peristiwa luar biasa ini tanpa keraguan. Penerimaan ini menuntut keyakinan yang melampaui logika empiris semata.

Makna Sidratul Muntaha yang Tak Terbatas

Sidratul Muntaha secara harfiah berarti 'Pohon Batas Akhir'. Kedudukan ini mengajarkan bahwa meskipun alam semesta itu luas, ia memiliki batas yang ditetapkan oleh Allah. Ini adalah titik di mana pengetahuan dan kemampuan makhluk berakhir. Bahkan Jibril, pemimpin para malaikat, sang penyampai wahyu, tidak dapat melangkah lebih jauh. Hanya Nur Muhammad SAW yang diizinkan melampaui batas tersebut, melambangkan kedudukan istimewa beliau sebagai *Rahmatan lil 'Alamin* (Rahmat bagi seluruh alam).

Perjalanan ini mengajarkan umat manusia bahwa pencarian kebenaran spiritual tidak akan berakhir kecuali di hadirat Ilahi. Semua upaya, semua pengetahuan, dan semua amal saleh kita harus menuju kepada tujuan akhir ini, melebur dalam keesaan Allah, sebagaimana yang dicontohkan dalam Mikraj. Mikraj adalah perwujudan tertinggi dari kalimat tauhid: Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Refleksi berkelanjutan atas peristiwa ini mendorong peningkatan kualitas ibadah dan pemurnian niat. Jika shalat adalah buah dari perjalanan agung tersebut, maka setiap Muslim harus memastikan bahwa shalatnya dilakukan dengan kualitas terbaik, sebagai momen otentik untuk kembali kepada Pencipta, menjadikannya sarana peningkatan spiritual lima kali dalam sehari. Shalat bukan hanya ritual mekanis, tetapi merupakan hadiah yang tak ternilai, warisan langsung dari dialog Nabi Muhammad SAW dengan Allah di langit ketujuh.

Sejatinya, seluruh episode Mikraj adalah penegasan kembali tentang hakikat eksistensi manusia: kita diciptakan untuk beribadah dan mencari kedekatan dengan Allah. Tantangan duniawi, kesulitan dakwah, dan kesedihan pribadi (seperti yang dialami Nabi di Tahun Kesedihan) adalah ujian. Namun, jawaban atas semua ujian tersebut terletak pada hubungan vertikal yang kuat, yang diwakili sempurna melalui perintah shalat. Shalat adalah tali yang tidak akan pernah putus, menghubungkan hamba yang fana dengan Tuhan yang abadi, menjadikan setiap hari dalam hidup seorang Muslim sebagai perjalanan menuju hadirat Ilahi.

Keutamaan Rasulullah

Salah satu pelajaran terbesar dari Mikraj adalah penegasan mutlak terhadap keutamaan (fadhilah) Nabi Muhammad SAW di atas seluruh makhluk. Beliau adalah satu-satunya manusia yang diizinkan melewati batas dimensi yang paling rahasia, melampaui Sidratul Muntaha, dan menerima wahyu tanpa perantara dalam konteks shalat. Keutamaan ini bukan hanya gelar kehormatan, melainkan beban tanggung jawab yang luar biasa. Seluruh umatnya diwajibkan untuk meneladani beliau, tidak hanya dalam urusan dunia, tetapi juga dalam upaya spiritual untuk mencapai kedekatan yang sesungguhnya.

Seluruh detail dalam Isra’ dan Mikraj, dari pemilihan Buraq sebagai kendaraan, singgah di Masjidil Aqsa, shalat bersama para nabi, hingga dialog negosiasi shalat dengan Musa AS, semuanya disusun dengan tujuan tunggal: menempatkan Rasulullah SAW pada puncak kemuliaan, sekaligus memberikan kerangka ibadah yang praktis dan penuh rahmat bagi umatnya. Perjalanan ini adalah cetak biru untuk mencapai kesempurnaan iman (*ihsan*), yakni beribadah seolah-olah kita melihat Allah, dan jika tidak mampu, meyakini bahwa Allah melihat kita.

Oleh karena itu, setiap kali kita berdiri dalam shalat, kita harus mengingat sejarah agung ini. Shalat adalah amanah yang dibawa dari tempat tertinggi di alam semesta, sebuah perjanjian kekal antara hamba dan Rabbnya. Kehati-hatian dalam menjaga shalat lima waktu adalah bukti nyata bahwa seorang hamba menghargai hadiah terbesar yang pernah diturunkan kepada umat manusia melalui perjalanan spiritual yang tak tertandingi ini.

Dampak Mikraj terhadap psikologis dan spiritual Nabi Muhammad SAW tak terhingga. Setelah mengalami kemuliaan dan dukungan Ilahi secara langsung, beliau kembali ke bumi dengan kepastian yang mutlak (yaqin). Keraguan apa pun tentang kebenaran risalahnya sirna. Kepercayaan diri ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi penolakan yang lebih besar di Makkah dan untuk memimpin Hijrah, yang akan mengubah wajah dunia selamanya. Mikraj memberikan Rasulullah visi tentang realitas yang lebih besar, menjadikan kesulitan duniawi terasa remeh dibandingkan dengan keagungan yang beliau saksikan di alam atas.

Pengalaman ini juga memberikan definisi baru tentang waktu dan ruang. Bagi manusia biasa, dimensi adalah batas, tetapi bagi Allah, dimensi hanyalah ciptaan. Nabi Muhammad SAW bergerak melintasi batas-batas ini, mengajarkan bahwa ada realitas yang jauh lebih tinggi dan lebih kekal di luar jangkauan indra kita. Pemahaman ini mendorong Muslim untuk tidak terlalu terikat pada dunia material yang fana, melainkan berorientasi pada keabadian yang dijanjikan dalam hadirat Ilahi.

Secara esoteris, Mikraj adalah pelajaran tentang perjalanan batin. Tujuh langit yang dilalui dapat melambangkan tujuh tingkat hati atau *nafs* (jiwa) dalam sufisme, yang harus dilewati oleh seorang pencari spiritual untuk mencapai penyatuan dengan kebenaran (Allah). Pertemuan dengan setiap nabi adalah fase pembersihan dan peningkatan moral yang harus dicapai. Nabi Adam mewakili penyesalan, Musa mewakili perjuangan melawan ego, hingga Ibrahim yang mewakili ketundukan total (*taslim*) kepada kehendak Ilahi. Ini adalah perjalanan batin yang harus ditempuh oleh setiap Muslim melalui ibadah yang konsisten dan pemurnian jiwa.

Akhirnya, Mikraj adalah penekanan abadi bahwa Allah SWT adalah sumber segala rahmat dan kekuasaan. Tidak ada perantara sejati antara Allah dan hamba-Nya selain melalui mekanisme yang telah Dia tetapkan, yaitu shalat. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang mencari kebahagiaan, kedamaian, dan keberhasilan, jawaban mutlak ada dalam menjaga kualitas dan kuantitas dari lima kali shalat, meniru secara simbolis perjalanan agung Mikraj setiap hari dalam hidup mereka.

Kisah ini harus terus diceritakan dan direnungkan, bukan sekadar sebagai mitos atau dongeng, melainkan sebagai fondasi teologis yang mengajarkan tentang hubungan vertikal, keutamaan Rasulullah, dan janji abadi tentang rahmat Ilahi yang terwujud dalam ibadah yang paling utama: shalat. Pemahaman yang mendalam tentang Mikraj akan menginspirasi setiap Muslim untuk mencapai ketinggian spiritual mereka sendiri, menjadikan setiap sujud sebagai langkah Buraq menuju kedekatan yang hakiki dengan Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari perjalanan Mikraj, sebuah warisan agung yang melampaui batas waktu dan ruang, kekal dalam hati setiap orang yang beriman.

🏠 Kembali ke Homepage