Fondasi Etika Ilahi: Kajian Mendalam Surah Al-Isra Ayat 17–32

Gulungan Kitab Suci Ilustrasi gulungan kitab suci yang melambangkan wahyu dan ajaran etika. (Alt Text: Gulungan Kitab Suci)

Alt Text: Gulungan Kitab Suci yang Melambangkan Wahyu dan Panduan Hidup

Surah Al-Isra, yang dinamakan dari peristiwa perjalanan malam Nabi Muhammad ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, memiliki posisi yang sangat penting dalam Al-Qur'an. Di tengah kisah spiritual dan mukjizat yang agung, surah ini menyematkan rangkaian perintah dan larangan yang menjadi pilar utama etika dan moralitas dalam Islam.

Ayat 17 hingga 32 dari Surah Al-Isra sering disebut sebagai Sepuluh Perintah Ilahi versi Al-Qur'an, karena memuat ringkasan komprehensif tentang hubungan manusia dengan Pencipta (Tauhid), hubungan dengan sesama manusia (Hak Adami), dan panduan untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Kajian ini akan menelaah secara mendalam setiap perintah, menggali konteks, makna, dan relevansinya yang abadi bagi kehidupan modern.

Rangkaian ayat ini dimulai dengan peringatan tentang kehancuran umat terdahulu dan berlanjut ke fondasi monoteisme yang ketat, sebelum merinci hak-hak sosial, ekonomi, dan pribadi yang harus dijaga oleh setiap Muslim. Pemahaman yang utuh atas ayat-ayat ini adalah kunci untuk mengamalkan Islam secara kaffah (menyeluruh).

Bagian I: Pengantar dan Peringatan Sejarah (Ayat 17–21)

Ayat 17: Peringatan Akan Kehancuran Umat Terdahulu

وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِن بَعْدِ نُوحٍ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

Ayat ke-17 berfungsi sebagai pembuka retorika etis. Allah memperingatkan bahwa banyak generasi yang telah dimusnahkan setelah masa Nabi Nuh akibat dosa-dosa mereka. Ayat ini mengingatkan bahwa pengetahuan Allah tentang perbuatan hamba-hamba-Nya adalah sempurna (Khobir) dan pengawasan-Nya tidak pernah luput (Bashir). Ini menanamkan rasa takut dan tanggung jawab, menegaskan bahwa hukum sejarah berlaku: penyimpangan moral akan membawa konsekuensi sosial dan kehancuran, sebagaimana yang terjadi pada umat-umat sebelum bangsa Quraisy dan umat saat ini.

Pesan Inti: Sejarah adalah saksi. Kekuatan militer atau kekayaan tidak menjamin kelangsungan hidup jika fondasi moral masyarakat telah runtuh. Ayat ini menghubungkan takdir suatu kaum dengan kualitas amal perbuatan individu di dalamnya.

Ayat 18–21: Fokus Duniawi vs. Akhirat dan Konsep Keadilan Pembalasan

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا (18) وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا (19) كُلًّا نُّمِدُّ هَٰؤُلَاءِ وَهَٰؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ ۚ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا (20) انظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا (21)

Ayat-ayat ini memperkenalkan dikotomi fundamental dalam pilihan hidup manusia: mengejar dunia (al-'Ajilah) atau mengejar akhirat (al-Akhirah). Ayat 18 menjelaskan bahwa bagi mereka yang hanya fokus pada kesenangan duniawi dan mengabaikan tuntutan ilahi, Allah mungkin memberikan sebagian dari yang mereka inginkan, namun pemberian itu terbatas (diberikan kepada siapa yang Kami kehendaki, sebatas yang Kami kehendaki) dan tanpa nilai abadi, diakhiri dengan azab di neraka.

Sebaliknya, Ayat 19 memuji mereka yang menginginkan kehidupan akhirat dan berusaha keras (sa’yaha) untuk mencapainya dengan dilandasi iman. Usaha mereka adalah yang disyukuri (Mashkuran) dan dihargai tanpa batas. Hal ini menekankan bahwa bukan sekadar keinginan, tetapi usaha nyata yang didorong oleh keyakinan, yang menentukan keberhasilan di akhirat.

Keadilan Ilahi dalam Rezeki Dunia

Ayat 20 menegaskan universalitas rezeki Allah. Baik yang berorientasi dunia maupun akhirat, keduanya mendapatkan rezeki di dunia ini. Karunia Tuhan tidak pernah terbatas. Prinsip ini mengajarkan bahwa kesuksesan material di dunia bukanlah indikator otomatis dari keridaan Allah. Ini adalah ujian, dan rezeki dunia diberikan kepada semua manusia tanpa terkecuali, sesuai dengan hukum kausalitas (sebab-akibat) yang telah ditetapkan-Nya.

Ayat 21 menyimpulkan bagian ini dengan perbandingan. Di dunia saja, manusia sudah memiliki perbedaan derajat dan kekayaan yang mencolok. Namun, perbandingan itu hanyalah hal kecil dibandingkan perbedaan derajat, kemuliaan, dan keutamaan yang menanti di akhirat. Ayat ini memotivasi Mukmin untuk berinvestasi pada hal yang memiliki nilai abadi, karena perbedaan pahala di Akhirat jauh lebih besar dan lebih permanen.

Bagian II: Pilar Tauhid dan Hak Orang Tua (Ayat 22–24)

Setelah meletakkan dasar motivasi (peringatan sejarah dan perbandingan dunia-akhirat), rangkaian perintah etika yang sesungguhnya dimulai. Ayat 22 hingga 39 dikenal sebagai panduan moral yang sempurna, yang dimulai dengan perintah terpenting: Tauhid.

Ayat 22: Fondasi Monoteisme Mutlak

لَّا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُومًا مَّخْذُولًا

Perintah pertama dan utama. "Janganlah engkau jadikan bersama Allah ilah yang lain." Ini adalah fondasi Islam. Syirik (menyekutukan Allah) adalah dosa yang tidak diampuni jika dibawa mati. Konsekuensi dari syirik dijelaskan dengan dua kata kuat: madzmuman (tercela/terhina) dan makhdzula (tertinggalkan/tak tertolong). Orang yang syirik tidak hanya tercela di hadapan Allah, tetapi juga ditinggalkan dan tidak akan mendapatkan pertolongan sejati dari sekutu-sekutu yang ia ciptakan.

Pentingnya Tauhid ini diletakkan sebagai prasyarat bagi semua etika sosial berikutnya. Tanpa Tauhid yang murni, amal kebaikan sosial—betapa pun banyaknya—akan sia-sia di hadapan Allah.

Ayat 23–24: Hak Kedua Terbesar: Birrul Walidain (Berbakti kepada Orang Tua)

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)

Pentingnya Ihsan

Ayat 23 menggabungkan Tauhid dan Birrul Walidain (berbakti kepada orang tua) dalam satu kalimat. Ini menunjukkan bahwa hak orang tua adalah hak kedua terbesar setelah hak Allah. Perintah yang ditekankan bukanlah sekadar berbuat baik, tetapi Ihsan (kebaikan yang paripurna dan terbaik).

Fokus ayat ini beralih kepada kondisi orang tua yang memasuki usia lanjut (al-Kibar). Pada usia ini, orang tua seringkali rentan, cerewet, dan membutuhkan perhatian ekstra yang menguji kesabaran anak. Dalam kondisi inilah ujian bakti yang sesungguhnya terjadi.

Larangan dan Perintah Detil

1. Larangan "Uff": Larangan pertama adalah mengucapkan kata "Uff" (ah, ish, atau ungkapan ketidaksenangan sekecil apa pun). Larangan ini tidak hanya mencakup kata-kata kasar, tetapi juga menunjukkan keengganan atau ekspresi ketidaknyamanan batin.

2. Larangan Menghardik: "Janganlah engkau membentak mereka (tanharhuma)." Ini mencakup larangan menaikkan suara, membentak, atau menggunakan nada bicara yang merendahkan.

3. Perintah Qawlan Karima: Sebaliknya, kita diperintahkan untuk mengucapkan perkataan yang mulia (Karim), yaitu kata-kata yang penuh penghormatan, sopan, dan menenteramkan hati.

Kerendahan Hati dan Doa

Ayat 24 memerintahkan kerendahan hati: "rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang" (seperti merendahkan sayap). Ini adalah gambaran visual tentang sikap tawadhu yang total di hadapan mereka, bukan karena kita lemah, tetapi karena kasih sayang dan penghargaan atas jerih payah mereka.

Puncaknya adalah doa. Bahkan setelah kita berbuat baik secara fisik, kewajiban kita adalah mendoakan mereka: "Ya Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil." Ini adalah pengakuan bahwa balasan atas kebaikan mereka tidak akan pernah bisa tuntas dilakukan oleh anak, sehingga harus diserahkan kepada rahmat Allah.

Bagian III: Etika Keluarga, Ekonomi, dan Sosial (Ayat 25–30)

Ayat 25: Niat dan Pengetahuan Allah

رَّبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ ۚ إِن تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا

Ayat ini berfungsi sebagai sisipan moral yang sangat penting, terutama setelah perintah berat tentang orang tua. Ayat ini mengingatkan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati (niat dan motivasi). Jika seseorang melakukan kesalahan dalam perlakuan terhadap orang tua karena keterbatasan atau kelemahan manusiawi—bukan karena pembangkangan atau niat buruk—dan ia termasuk al-Awwabin (orang yang senantiasa kembali/bertaubat kepada Allah), maka Allah Maha Pengampun.

Ayat ini memberikan harapan, menekankan bahwa meskipun perintahnya sangat ketat, Allah menilai kejujuran niat batin dan kesediaan untuk bertaubat. Ini adalah mekanisme koreksi diri yang terus-menerus bagi seorang Mukmin.

Ayat 26–27: Hak Kerabat, Miskin, dan Pemborosan

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

Prioritas Kebaikan Sosial (Ayat 26)

Setelah hak vertikal (Allah dan Orang Tua), kini masuk ke hak horizontal. Ayat 26 menetapkan tiga kelompok prioritas dalam pengeluaran harta:

  1. Dza al-Qurba (Kaum Kerabat): Menjaga silaturahmi dan memastikan kebutuhan kerabat dekat adalah kewajiban sosial yang pertama.
  2. Al-Miskin (Orang Miskin): Mereka yang tidak memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan dasar.
  3. Ibnu as-Sabil (Musafir yang Kehabisan Bekal): Mewakili mereka yang terdampar atau membutuhkan bantuan saat jauh dari rumah.

Larangan Israf dan Tabdzir (Pemborosan)

Ayat 26 diakhiri dengan larangan tegas: "Janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) secara berlebihan (Tabdziran)." Islam mempromosikan keseimbangan ekonomi. Pemborosan (Tabdzir) didefinisikan sebagai membelanjakan harta pada hal-hal yang tidak perlu, haram, atau secara berlebihan tanpa tujuan yang bermanfaat, bahkan jika pelakunya kaya.

Ayat 27 memberikan konsekuensi spiritual yang keras terhadap pemborosan. Orang yang memboroskan harta disebut saudara (ikhwan) setan. Hubungan ini menunjukkan bahwa Tabdzir adalah sifat yang disukai setan, karena ia merusak tatanan sosial, menghilangkan rasa syukur, dan mendorong ketidakadilan distribusi. Setan sendiri digambarkan sebagai makhluk yang sangat ingkar (kafura) terhadap Tuhannya.

Ayat 28: Etika Menolak Bantuan

وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِّن رَّبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا

Ayat ini membahas situasi dilematis: bagaimana jika kita tidak mampu memberikan bantuan finansial kepada kerabat, fakir miskin, atau musafir yang meminta? Ayat ini mengajarkan etika komunikasi dalam kesulitan ekonomi. Kita diperintahkan untuk menolak dengan cara yang baik dan lembut, menggunakan Qawlan Maisura (perkataan yang mudah/lembut dan menjanjikan). Artinya, menolak dengan menjelaskan bahwa saat ini belum ada rezeki, sambil mendoakan mereka atau menjanjikan bantuan jika kelak rezeki tiba.

Ini menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi kehormatan penerima bantuan. Penolakan sekalipun harus dilakukan tanpa melukai perasaan atau merendahkan martabat peminta.

Ayat 29–30: Keseimbangan dalam Pengeluaran (Tawazun Mali)

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا (29) إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا (30)

Jalan Tengah (Wasathiyyah) Ekonomi

Ayat 29 adalah salah satu ayat terpenting tentang ekonomi Islam, mengajarkan jalan tengah (moderasi). Ayat ini menggunakan metafora tangan:

  1. Janganlah jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (Maghluulah): Larangan terhadap sifat kikir (pelit) dan menahan harta yang seharusnya dikeluarkan (seperti zakat atau nafkah). Orang kikir akan dicela (Maluman).
  2. Janganlah pula engkau mengulurkannya selebar-lebarnya (Tabsuthha): Larangan terhadap pemborosan ekstrem atau terlalu dermawan hingga menghabiskan seluruh hartanya. Orang yang melakukan ini akan berakhir dalam keadaan menyesal, merana, dan duduk tak berdaya (Mahsura).

Intinya adalah menjaga keseimbangan antara menunaikan hak dan menghindari kehancuran finansial pribadi. Ini adalah perintah untuk hidup hemat tanpa menjadi kikir, dan dermawan tanpa menjadi bodoh secara finansial.

Ayat 30 memberikan penutup teologis bagi diskusi ekonomi ini, mengingatkan bahwa Allah yang melapangkan rezeki (yabsutu) dan menyempitkannya (yaqdiru). Rezeki adalah di tangan-Nya, dan Dia Maha Mengetahui kebutuhan serta niat hamba-hamba-Nya.

Timbangan Keadilan Ilustrasi timbangan yang seimbang, melambangkan keadilan, moderasi, dan keseimbangan dalam etika. (Alt Text: Timbangan Keadilan yang Seimbang)

Alt Text: Timbangan Keadilan yang Menunjukkan Prinsip Moderasi dan Keseimbangan (Tawazun)

Bagian IV: Larangan Dosa Besar dan Etika Kehidupan (Ayat 31–32)

Rangkaian perintah berlanjut dengan larangan keras terhadap dosa-dosa besar yang mengancam eksistensi individu dan tatanan sosial, yaitu pembunuhan anak, perzinahan, dan pembunuhan tanpa hak.

Ayat 31: Larangan Pembunuhan Anak Karena Takut Miskin

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Ayat ini secara eksplisit melarang praktik membunuh anak (termasuk aborsi yang tidak diizinkan syariat) karena kekhawatiran akan kemiskinan (khashyata imlaq). Praktik ini umum terjadi pada masyarakat pra-Islam, dan ayat ini menghapusnya secara tuntas.

Alasan larangan ini bersifat teologis dan ekonomi: "Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu." Ayat ini mengajarkan bahwa setiap jiwa membawa rezekinya sendiri. Kekhawatiran rezeki adalah bentuk ketidakpercayaan (kurangnya tawakkal) terhadap janji Allah.

Konsekuensi: Pembunuhan anak di sini disebut sebagai Khith’an Kabira (dosa besar yang sangat besar). Dalam konteks modern, ayat ini juga menjadi landasan kuat untuk menentang kebijakan yang mendasarkan pengendalian populasi pada ketakutan ekonomi semata, mengingatkan bahwa perencanaan keluarga harus dilakukan dengan etika dan tanpa melanggar hak hidup.

Ayat 32: Larangan Mendekati Zina

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Ayat ini melarang perzinahan (Zina) dengan menggunakan frase yang lebih kuat daripada sekadar melarang perbuatan itu sendiri: "Janganlah kamu mendekati Zina." Larangan mendekati Zina (La taqrabu) mencakup semua pendahuluan yang dapat mengarah kepada perbuatan tersebut, seperti pandangan yang tidak senonoh, sentuhan yang tidak halal, atau perkataan yang merangsang (khalwat).

Alasannya diberikan: Zina adalah Fahisyah (perbuatan keji, sangat buruk, dan kotor secara moral) dan Saa'a Sabila (jalan yang paling buruk). Kerusakan yang diakibatkan Zina sangat luas, mencakup:

Bagian V: Etika Keadilan dan Hak Hidup (Lanjutan dari Perintah Sosial)

Ayat 33: Larangan Pembunuhan Jiwa yang Diharamkan Allah

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Ayat ini menjamin hak hidup, yang merupakan salah satu dari lima tujuan utama (Maqashid) syariah. Pembunuhan jiwa diharamkan kecuali bil-haq (dengan alasan yang benar). Alasan yang benar dalam Islam terbatas pada penerapan hukum pidana (qishash), pertahanan diri yang sah, atau perangi pemberontakan yang sah.

Hak Ahli Waris (Wali)

Jika seseorang dibunuh secara zalim (Mazhluman), Allah memberikan kekuasaan (Sulthan) kepada ahli waris (Wali) korban untuk menuntut keadilan. Namun, kekuasaan ini dibatasi: "Janganlah ia berlebihan dalam membunuh." Ini melarang balas dendam yang melampaui batas (misalnya, membunuh lebih dari satu orang untuk satu korban, atau menyiksa pembunuh).

Perintah ini membentuk dasar sistem peradilan pidana Islam, menekankan bahwa meskipun korban memiliki hak untuk menuntut balasan setimpal, pelaksanaan keadilan harus proporsional dan tidak diwarnai oleh kebencian yang meluap-luap. Sang Wali itu akan dibantu (Manshura) untuk mendapatkan keadilannya.

Ayat 34: Etika Harta Anak Yatim dan Pemenuhan Janji

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

Menjaga Harta Yatim

Perintah berikutnya adalah menjaga harta anak yatim. Sama seperti larangan Zina, ayat ini menggunakan frasa "Janganlah mendekati harta anak yatim", kecuali dengan cara yang paling baik (illā billati hiya ahsan) hingga ia mencapai kedewasaan (Baligha asyuddahu). Cara yang paling baik berarti mengelolanya agar harta tersebut berkembang, bukan mengonsumsinya atau menghabiskannya.

Kewajiban ini sangat ditekankan karena anak yatim adalah pihak yang paling rentan dalam masyarakat dan tidak memiliki pembela. Kedewasaan di sini tidak hanya merujuk pada usia, tetapi juga kematangan akal dan kemampuan mengelola harta.

Pemenuhan Janji

Paruh kedua ayat ini beralih ke prinsip keadilan umum: "Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya (mas’ula)." Ini mencakup janji kepada Allah (sumpah), janji kepada sesama manusia, dan kontrak bisnis. Pemenuhan janji adalah tanda dari keimanan sejati dan akan dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat. Pelanggaran janji adalah kezaliman tersendiri.

Bagian VI: Keadilan Ekonomi dan Personal (Ayat 35–39)

Ayat 35: Keadilan dalam Timbangan dan Takaran

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Ayat ini kembali ke etika ekonomi, menekankan pentingnya kejujuran dalam perdagangan. Perintahnya adalah "Sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan timbangan yang lurus (al-Qisthas al-Mustaqim)." Timbangan yang lurus berarti timbangan yang akurat, adil, dan tidak dimanipulasi.

Keadilan dalam takaran ini disebut khairun wa ahsanu ta'wila (lebih baik dan lebih baik akibatnya). Kebaikan ini bukan hanya dalam hal spiritual (pahala), tetapi juga membawa keberkahan dan kepercayaan dalam sistem ekonomi masyarakat. Bangsa-bangsa terdahulu sering dihancurkan karena curang dalam timbangan.

Ayat 36: Larangan Mengikuti Apa yang Tidak Diketahui

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Ayat 36 adalah perintah mendasar tentang epistemologi dan tanggung jawab intelektual. "Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui (la taqfu ma laisa laka bihi ilm)." Ini adalah larangan terhadap asumsi, tuduhan tanpa dasar (fitnah), menyebarkan rumor, atau bersaksi palsu.

Ayat ini menekankan pertanggungjawaban indra utama yang digunakan manusia untuk memperoleh pengetahuan:

Dalam era informasi dan media sosial modern, ayat ini menjadi filter etis utama. Seorang Mukmin harus selalu memastikan validitas dan kebenaran informasi sebelum menerima atau menyebarkannya. Menyebarkan kebohongan (hoaks) adalah pelanggaran langsung terhadap perintah ini.

Ayat 37: Larangan Kesombongan dan Keangkuhan

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا

Larangan terakhir dalam rangkaian ini adalah larangan terhadap kesombongan dan keangkuhan. "Janganlah kamu berjalan di bumi dengan sombong (Marahan)." Kesombongan (Marah) adalah sikap merasa diri lebih mulia dari orang lain, yang diekspresikan melalui cara berjalan, bersikap, dan berbicara.

Allah memberikan dua perumpamaan yang meruntuhkan kesombongan manusia: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi, dan sekali-kali kamu tidak akan mencapai setinggi gunung." Betapa pun kuat dan kayanya manusia, ia tetaplah makhluk yang terbatas dan tunduk pada hukum alam. Kesombongan adalah sifat yang bertentangan dengan Tauhid karena hanya Allah yang berhak atas keagungan.

Ayat 38–39: Kesimpulan dan Peringatan

كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِندَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا (38) ذَٰلِكَ مِمَّا أَوْحَىٰ إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتُلْقَىٰ فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَّدْحُورًا (39)

Ayat 38 menutup daftar larangan (dari ayat 22 hingga 37) dengan pernyataan tegas: "Semua kejahatan dari hal-hal itu dibenci di sisi Tuhanmu (Makruhan)." Ini menetapkan bahwa daftar larangan ini bukanlah sekadar saran, melainkan batasan ilahi yang harus dihindari.

Ayat 39 merangkum keseluruhan bagian ini, menegaskan bahwa semua perintah dan larangan ini adalah bagian dari Al-Hikmah (kebijaksanaan) yang diwahyukan. Ayat ini mengulang kembali perintah pertama (Tauhid) sebagai penutup, menekankan bahwa kunci untuk menjalankan semua etika ini adalah Tauhid yang murni. Pelanggaran terhadap Tauhid akan menyebabkan seseorang dilemparkan ke neraka dalam keadaan tercela (Maluman) dan terusir (Madhuran).

Analisis Tematik dan Implementasi Kontemporer

Rangkaian ayat 17 hingga 32 Surah Al-Isra menyajikan sebuah konstitusi etis yang terpadu dan universal. Perintah-perintah ini tidak terpisah-pisah, melainkan saling terkait, membentuk sistem kehidupan yang harmonis, yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa tema utama:

1. Hierarki Hak dan Kewajiban

Ayat-ayat ini menetapkan hierarki yang jelas dalam tanggung jawab seorang Mukmin, yang bersifat piramidal:

Penempatan hak orang tua segera setelah Tauhid mengajarkan bahwa keimanan sejati harus termanifestasi dalam perlakuan yang sempurna terhadap sumber eksistensi fisik kita.

2. Prinsip Tawazun (Keseimbangan) Ekonomi

Etika ekonomi dalam Surah Al-Isra sangat menekankan keseimbangan dan keadilan. Islam menolak ekstremisme finansial, baik kekikiran yang menahan harta (yada maghluulah) maupun pemborosan yang merusak (tabdzir). Prinsip ini relevan dalam manajemen keuangan pribadi, investasi, dan filantropi. Harta harus digunakan sebagai alat untuk mencari rida Allah, bukan sebagai tujuan akhir atau sarana kesombongan.

Implikasi kontemporer dari Ayat 29 menuntut agar umat Islam tidak terjebak dalam budaya konsumtif yang berlebihan atau, sebaliknya, menahan investasi sosial yang dibutuhkan masyarakat. Keseimbangan menuntut perencanaan keuangan yang bijak.

3. Etika Keadilan dan Integritas (Al-Qisthas)

Beberapa ayat berfokus pada keadilan dalam interaksi:

4. Integritas Personal dan Sosial

Ayat-ayat ini melindungi masyarakat dari kerusakan internal:

Kajian mendalam Surah Al-Isra 17-32 menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi secara rinci menyusun blueprint untuk kehidupan yang etis, adil, dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip ini bersifat universal, berlaku melintasi zaman dan geografi, menjadikannya pedoman abadi bagi kemaslahatan umat manusia.

Perintah dan larangan yang terangkum dalam rangkaian ayat ini melampaui sekadar aturan hukum; ia adalah pendidikan jiwa. Larangan kesombongan (Ayat 37) dan perintah Birrul Walidain (Ayat 23) adalah praktik batin yang harus senantiasa diasah. Dengan demikian, surah ini menjadi pengingat konstan bahwa kesuksesan sejati diukur bukan dari kekayaan duniawi, melainkan dari kedalaman integritas moral dan kepatuhan terhadap batasan ilahi.

Kepatuhan terhadap ayat-ayat ini menjamin individu Muslim mencapai al-Falah (kesuksesan sejati) dan memastikan bahwa masyarakat yang dibangun di atas dasar etika ini adalah masyarakat yang stabil, adil, dan dirahmati.

Setiap Mukmin wajib meninjau kembali perilaku sehari-hari mereka dalam bingkai ayat-ayat ini, memastikan bahwa setiap interaksi, keputusan finansial, dan pandangan hidup didasarkan pada Tauhid, rasa tanggung jawab, dan pengejaran Al-Hikmah yang ditawarkan oleh Surah Al-Isra.

Rangkaian ajaran ini adalah intisari dari Kebijaksanaan Ilahi yang dirancang untuk menjaga kehormatan manusia (karamah insaniyyah), mulai dari cara seorang anak berbicara kepada orang tuanya, cara seorang pemimpin mengelola harta rakyat (atau wali mengelola harta yatim), hingga cara seorang pedagang menggunakan timbangannya. Semua aspek kehidupan diatur dengan presisi agar tercipta keadilan dan ketenangan, baik di dunia maupun di akhirat.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara spiritualitas dan materialisme, antara dunia dan akhirat, yang termaktub dalam ayat 17 hingga 39 ini, adalah manifestasi sempurna dari Rahmat Allah. Mengabaikannya berarti mengundang kehancuran, sebagaimana yang diperingatkan pada Ayat 17, sementara mengamalkannya adalah jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan abadi.

Pilar-pilar etika ini, yang dimulai dari kemurnian Tauhid dan diakhiri dengan peringatan untuk tidak sombong, menunjukkan bahwa pembangunan karakter adalah proyek seumur hidup, di mana setiap detik dan setiap keputusan memiliki bobot di timbangan Ilahi.

Penting untuk memahami bahwa larangan mendekati dosa, seperti yang diungkapkan dalam larangan mendekati zina (Ayat 32) dan larangan mendekati harta anak yatim (Ayat 34), adalah prinsip preventif yang sangat mendasar dalam Syariat. Pendekatan ini mengajarkan umat Islam untuk menjauhi faktor-faktor pemicu keburukan (sadd ad-dzari'ah), memastikan bahwa benteng moralitas tetap kokoh, tidak hanya menjaga diri dari kejatuhan total, tetapi juga dari erosi moral sedikit demi sedikit.

Dalam konteks modern, di mana godaan moralitas dan finansial begitu mudah diakses, prinsip "Janganlah kamu mendekati" menuntut kehati-hatian maksimal dalam penggunaan teknologi dan interaksi sosial. Menghindari ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya khalwat (berduaan dengan bukan mahram), menjaga pandangan dari konten yang tidak senonoh, dan membangun batasan yang jelas dalam kemitraan bisnis adalah implementasi langsung dari perintah ilahi ini.

Adapun mengenai etika ekonomi dan sosial, khususnya Ayat 26, perintah untuk menunaikan hak kerabat, fakir miskin, dan musafir, menempatkan kewajiban distribusi kekayaan (infaq dan sedekah) bukan sebagai tindakan sukarela yang opsional, melainkan sebagai hak yang melekat pada harta. Ketika ayat itu memerintahkan "berikanlah haknya," ini menggarisbawahi bahwa sebagian dari harta yang kita miliki adalah milik orang lain yang Allah titipkan kepada kita.

Ini menciptakan sistem jaring pengaman sosial yang berlandaskan iman, bukan semata-mata sistem bantuan pemerintah. Kekuatan sosial yang sebenarnya muncul ketika individu secara sadar dan sukarela, atas dasar ketakwaan, memikul tanggung jawab terhadap lingkaran kerabatnya yang paling membutuhkan, sebelum meluas kepada masyarakat umum.

Kembali ke fondasi Tauhid (Ayat 22 dan 39), seluruh rangkaian etika ini—dari etika berbicara kepada orang tua hingga etika berdagang—dianggap sebagai ibadah ketika didasarkan pada keyakinan murni kepada Allah. Jika Tauhid adalah akar, maka semua perintah etika ini adalah buah yang harus dihasilkan oleh pohon keimanan. Kegagalan dalam salah satu perintah etika berarti ada cacat pada manifestasi keimanan seseorang.

Surah Al-Isra, dengan rangkaian perintahnya yang mendalam dan komprehensif, mengajak Mukmin untuk menjalani kehidupan yang dihiasi dengan kesadaran penuh, di mana setiap tindakan, perkataan, dan bahkan niat batin, senantiasa berada dalam pengawasan Dzat Yang Maha Mengetahui, dan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Kesimpulan yang paling kuat dari kajian ini adalah bahwa Hikmah (kebijaksanaan) yang diwahyukan oleh Allah bukanlah serangkaian aturan yang kaku, melainkan panduan fleksibel yang memastikan martabat spiritual dan material manusia dipertahankan. Hikmah ini mengajarkan bahwa menjadi manusia yang baik, adil, dan beretika adalah prasyarat untuk menjadi hamba Allah yang sejati.

Penyempurnaan etika diri, yang diajarkan dalam ayat-ayat ini, merupakan investasi terbesar bagi kehidupan seorang Muslim, karena nilai dari amal kebaikan tersebut akan terus berlipat ganda, jauh melampaui semua perbandingan dan keutamaan duniawi, sebagaimana ditekankan dalam penutup rangkaian ini tentang keagungan derajat di Akhirat.

Dengan mengamalkan setiap butir perintah ini, dari Birrul Walidain hingga Tawazun finansial, seorang Muslim tidak hanya mencapai ketenteraman pribadi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang mencerminkan Keadilan Ilahi di muka bumi.

🏠 Kembali ke Homepage