Tindakan meriwayatkan adalah inti dari peradaban manusia. Ia bukan sekadar proses bercerita; ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, sebuah mekanisme vital untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai, dan pelajaran dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa kemampuan untuk meriwayatkan, memori kolektif suatu bangsa akan terputus, dan identitas kultural akan kehilangan fondasi utamanya. Oleh karena itu, studi mengenai bagaimana riwayat itu dibentuk, disampaikan, dan dipertahankan merupakan diskursus abadi dalam historiografi, sosiologi, dan filsafat.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam spektrum kompleks dari periwayatan. Kita akan membahas tradisi-tradisi lisan yang telah membentuk lanskap budaya Nusantara, mengupas metodologi kritis yang digunakan untuk memverifikasi kebenaran sebuah narasi, menelaah evolusi media transmisi, dan akhirnya, menganalisis tantangan signifikan yang dihadapi riwayat di era disrupsi digital saat ini. Memahami proses periwayatan berarti memahami bagaimana kita membentuk pemahaman kolektif kita tentang dunia.
Istilah meriwayatkan merujuk pada aktivitas sistematis penyampaian suatu narasi, kabar, atau kejadian secara berantai, seringkali melibatkan sumber primer dan sekunder yang terstruktur. Dalam konteks sejarah dan keagamaan, periwayatan menuntut akuntabilitas yang tinggi. Ini bukan fiksi, melainkan upaya mendokumentasikan fakta atau peristiwa sebagaimana yang dilihat, didengar, atau dialami oleh saksi mata.
Jauh sebelum penemuan aksara dan penciptaan medium tulis, manusia bergantung sepenuhnya pada tradisi lisan untuk menjaga kelangsungan pengetahuannya. Di Nusantara, tradisi meriwayatkan telah terinternalisasi melalui berbagai bentuk budaya, seperti hikayat, babad, mantra, dan dongeng. Para narator—seperti pujangga, dalang, atau tukang kaba—memainkan peran sentral sebagai perpustakaan berjalan. Mereka adalah pemegang kunci memori kolektif, yang tugasnya memastikan bahwa setiap detail dari asal-usul suku, silsilah raja, atau hukum adat, diucapkan dan dihafal dengan presisi yang memadai.
Keakuratan dalam transmisi lisan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama:
Ketika peradaban bergerak menuju sistem tulis, tantangan baru muncul. Meskipun dokumentasi tertulis menjanjikan ketahanan dan kekekalan riwayat, ia juga berisiko menghilangkan kekayaan konteks non-verbal yang terkandung dalam tradisi lisan. Suara, intonasi, ekspresi wajah, dan latar belakang emosional yang menyertai suatu riwayat seringkali tereduksi menjadi teks hitam di atas kertas. Oleh karena itu, transisi dari lisan ke tulis memerlukan metodologi yang ketat untuk mengawetkan makna, bukan hanya kata-kata. Hal ini memicu perlunya ilmu khusus—seperti historiografi—yang berfokus pada kritik sumber dan analisis teks.
Rantai Transmisi Riwayat (Sanad). Menggambarkan alur kritis dari sumber asal ke penerima akhir.
Periwayatan yang hanya mengandalkan ingatan atau catatan tunggal sangat rentan terhadap eror dan bias. Untuk memastikan keabsahan, khususnya dalam sejarah yang memiliki implikasi hukum, sosial, atau keagamaan, peradaban telah mengembangkan metodologi verifikasi yang sangat ketat. Konsep ini paling jelas terlihat dalam disiplin ilmu hadis (ilmu periwayatan Islam) yang dikenal sebagai Ilmu Riwayah, namun prinsip-prinsip dasarnya berlaku universal dalam kritik sumber historiografi modern.
Sanad, atau rantai narator, adalah tulang punggung dari setiap riwayat yang diklaim otentik. Dalam sistem ini, fokus utama adalah pada kualitas dan integritas dari individu-individu yang membentuk rantai transmisi. Verifikasi sanad memerlukan studi biografi yang sangat mendalam, yang mencakup aspek-aspek berikut:
Proses ini menunjukkan bahwa meriwayatkan sejarah bukanlah kegiatan pasif, melainkan sebuah proses penyaringan yang sangat aktif. Seseorang yang meriwayatkan harus mampu menunjukkan kredibilitas tidak hanya dari isinya, tetapi juga dari sumber daya manusia yang menopangnya. Kegagalan pada satu mata rantai dapat melemahkan keseluruhan narasi.
Setelah rantai perawi diverifikasi, fokus beralih pada matan, atau isi dari narasi itu sendiri. Sebuah riwayat, meskipun disampaikan oleh perawi yang jujur, dapat dianggap lemah atau palsu jika isinya bertentangan dengan fakta yang telah mapan atau logika yang diterima. Analisis matan melibatkan:
Integrasi antara kritik sanad dan kritik matan adalah esensial. Sebuah riwayat dianggap kuat hanya jika ia memiliki rantai transmisi yang sempurna dan isi yang logis, konsisten, serta tidak bertentangan dengan bukti-bukti yang lebih kuat. Inilah landasan utama dalam menjaga kesucian proses meriwayatkan.
Periwayatan selalu terikat pada teknologi dan media yang tersedia pada masanya. Evolusi media transmisi telah mengubah cara riwayat dibuat, disimpan, dan diakses, membawa serta peluang baru untuk penyebaran sekaligus ancaman terhadap otentisitas.
Munculnya media tulis—dari prasasti batu, daun lontar, hingga kertas—merevolusi konsep periwayatan. Keuntungan utama adalah kemampuan untuk membekukan narasi dalam bentuk yang relatif permanen, melampaui keterbatasan memori individu. Manuskrip-manuskrip kuno, seperti serat, babad, dan kitab sejarah, menjadi sumber primer yang tak ternilai. Namun, medium tulis juga membawa tantangan, seperti:
Revolusi percetakan mengubah periwayatan dari transmisi elit menjadi penyebaran massal. Riwayat dapat direplikasi secara seragam dan cepat, memasyarakatkan pengetahuan dan mengurangi risiko kesalahan penyalinan manual. Media massa seperti surat kabar, radio, dan televisi kemudian mempercepat proses ini, memungkinkan riwayat disampaikan hampir secara instan ke jutaan orang. Perubahan ini membawa dampak ganda:
Simbol Dokumentasi Riwayat: Perpaduan antara tradisi naskah dan buku cetak modern.
Era internet dan media sosial telah mengubah definisi meriwayatkan menjadi sebuah aktivitas yang sepenuhnya demokratis, namun seringkali anarkis. Setiap individu kini memiliki platform untuk menjadi perawi dan penerbit, menghilangkan peran penjaga gerbang tradisional. Keuntungan terbesarnya adalah pelestarian data yang masif—dengan arsip digital yang tak terhingga dan rekaman sejarah lisan yang dapat diakses oleh siapa pun, di mana pun. Namun, tantangannya adalah yang terbesar dalam sejarah umat manusia:
Fenomena 'informasi yang berlebihan' (information overload) membuat proses kritik sumber menjadi sangat sulit bagi pengguna biasa. Garis antara riwayat yang sah (fakta yang terverifikasi) dan disinformasi (riwayat yang sengaja dimanipulasi) menjadi kabur. Kecepatan penyebaran narasi palsu seringkali melampaui kemampuan akademisi atau institusi media untuk melakukan koreksi, menciptakan ‘fakta alternatif’ yang diyakini oleh sebagian besar populasi. Dalam konteks digital, metodologi kritik sanad dan matan harus diperbarui dengan menambahkan verifikasi digital (melalui metadata, pemeriksaan URL, dan analisis kecerdasan buatan) untuk melawan krisis otentisitas.
Tidak ada riwayat yang sepenuhnya steril dari interpretasi manusia. Bahkan riwayat yang paling ketat secara metodologi pun harus menghadapi ancaman distorsi yang berasal dari bias, politik, dan degradasi alami memori.
Sejarah sering kali ditulis oleh pemenang atau oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk mendanai dokumentasinya. Oleh karena itu, riwayat yang dominan dalam suatu masyarakat mungkin secara inheren bersifat partisan. Proses meriwayatkan dapat menjadi alat legitimasi kekuasaan, di mana peristiwa yang tidak menguntungkan dihilangkan atau ditafsirkan ulang, dan pahlawan tertentu ditinggikan melebihi proporsi historis yang sebenarnya. Tantangan bagi sejarawan adalah menggali narasi-narasi yang terpinggirkan (counter-narratives) dan meriwayatkan suara-suara yang dibungkam, demi mencapai gambaran sejarah yang lebih utuh dan adil.
Riwayat yang disampaikan melalui lensa kekuasaan seringkali berfungsi sebagai mitologi pendiri negara, bukan sebagai laporan objektif. Mengkritisi riwayat ini memerlukan keberanian intelektual untuk mempertanyakan fondasi yang diyakini secara kolektif.
Psikologi modern menunjukkan bahwa memori manusia sangat rentan terhadap eror. Kesaksian mata rantai pertama, yang merupakan sumber primer terpenting dalam proses meriwayatkan, dapat dipengaruhi oleh faktor emosi, trauma, dan waktu. Seseorang mungkin percaya bahwa ia meriwayatkan kebenaran, padahal yang ia ingat adalah versi yang telah diwarnai oleh pengalaman pribadi atau saran dari orang lain (false memory syndrome). Dalam periwayatan sejarah lisan, perawi harus secara eksplisit mendokumentasikan konteks psikologis kesaksian tersebut, dan bukan hanya isi verbalnya.
Degradasi memori kolektif juga terjadi seiring berjalannya waktu. Detail-detail penting hilang, nama-nama terlupakan, dan alih-alih meriwayatkan fakta, generasi penerus mulai meriwayatkan interpretasi. Inilah mengapa pentingnya dokumentasi segera dan perbandingan silang dengan bukti-bukti fisik lainnya.
Dalam ekosistem digital, periwayatan dihadapkan pada ancaman baru: filter algoritma. Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik secara emosional dan sesuai dengan keyakinan pengguna (confirmation bias). Hal ini menciptakan ‘ruang gema’ (echo chambers) di mana riwayat palsu, sensasional, atau ekstremis terus diulang dan diperkuat, sementara riwayat yang seimbang dan didukung bukti ilmiah kurang mendapat perhatian.
Tugas para pengawas riwayat hari ini bukan hanya memverifikasi fakta, tetapi juga memahami bagaimana mekanisme penyebaran digital mengubah persepsi otentisitas itu sendiri. Sebuah riwayat palsu yang viral dan diyakini oleh jutaan orang secara efektif menjadi ‘benar’ dalam konteks sosiologis mereka, meskipun bertentangan dengan semua bukti historis. Ini menuntut pendekatan yang lebih proaktif dan edukatif dalam mengajarkan masyarakat bagaimana cara kritis meriwayatkan dan menerima informasi.
Periwayatan tidak hanya bersifat retrospektif (melihat ke belakang); ia juga bersifat formatif (membentuk). Cara suatu masyarakat meriwayatkan masa lalunya menentukan bagaimana ia melihat dirinya di masa kini dan bagaimana ia merencanakan masa depannya.
Identitas nasional suatu negara sangat bergantung pada serangkaian riwayat inti yang berfungsi sebagai perekat sosial. Di Indonesia, riwayat tentang perjuangan kemerdekaan, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah fondasi yang terus-menerus diriwayatkan dan diinterpretasikan ulang. Narasi-narasi ini memberikan makna kolektif, tujuan bersama, dan rasa kepemilikan. Keberhasilan suatu bangsa dalam menjaga stabilitasnya seringkali berkorelasi dengan kemampuannya untuk menjaga konsensus atas riwayat-riwayat kuncinya, meskipun selalu ada ketegangan dalam interpretasi subyektif oleh berbagai kelompok etnis atau politik.
Banyak riwayat—terutama dalam tradisi lisan dan kesusastraan klasik—memiliki fungsi pedagogis. Kisah-kisah epik, mitos, dan dongeng tidak hanya meriwayatkan kejadian masa lalu, tetapi juga menyampaikan pelajaran moral, etika, dan norma sosial. Misalnya, riwayat tentang kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam menanamkan rasa hormat terhadap lingkungan; riwayat kepahlawanan menanamkan nilai pengorbanan dan keberanian. Dengan meriwayatkan kisah-kisah ini, masyarakat mempertahankan kerangka etika mereka. Periwayatan, dalam esensinya, adalah pendidikan karakter yang berbasis pada pengalaman kolektif.
Aktivitas meriwayatkan hari ini seringkali berfokus pada upaya rekonstruksi dan revitalisasi riwayat-riwayat yang hilang atau terpinggirkan. Hal ini termasuk:
Dalam konteks modern, kegiatan meriwayatkan merupakan bentuk aktivisme budaya dan politik, sebuah perjuangan untuk inklusivitas narasi. Ini adalah pengakuan bahwa sejarah yang komprehensif haruslah polifonik, terdiri dari banyak suara yang meriwayatkan pengalaman dari berbagai sudut pandang.
Melihat kompleksitas dan tantangan di era informasi, masa depan periwayatan menuntut pendekatan yang lebih terintegrasi. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan satu jenis sumber atau satu metodologi kritik; kita harus mensintesiskan metode lama dengan teknologi baru.
Metodologi periwayatan masa depan akan semakin mengandalkan Ilmu Data (Data Science) dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk membantu proses verifikasi. Meskipun kritik sumber tradisional (sanad dan matan) tetap fundamental, kemampuan untuk menganalisis miliaran keping data secara cepat akan membantu mengidentifikasi pola-pola disinformasi, membandingkan varian teks dalam skala besar, dan memvalidasi kronologi dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Historiografi kritis harus beradaptasi dengan alat-alat baru ini sambil tetap mempertahankan skeptisisme intelektual yang menjadi ciri khasnya. Tugas utama AI adalah membantu menemukan korelasi, tetapi tugas sejarawan adalah meriwayatkan makna di balik korelasi tersebut.
Dengan mudahnya mempublikasikan riwayat di era digital, etika perawi menjadi lebih penting. Siapa pun yang memilih untuk meriwayatkan harus memikul tanggung jawab moral yang besar. Etika ini mencakup:
Paradoksnya, meskipun teknologi digital mengancam tradisi lisan, ia juga menawarkan peluang untuk melestarikannya. Video, podcast, dan platform streaming memungkinkan tradisi meriwayatkan cerita secara lisan dihidupkan kembali dalam format baru. Suara dan ekspresi para penutur adat, yang dahulu hanya dinikmati oleh komunitas lokal, kini dapat diarsipkan dan diakses secara global, memastikan bahwa kekayaan konteks non-verbal yang sering hilang dalam teks tetap terjaga.
Proyek-proyek sejarah lisan (Oral History Projects) kini memanfaatkan teknologi ini untuk merekam pengalaman hidup para saksi sejarah, menciptakan basis data riwayat yang kaya dan multidimensional. Upaya ini memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang setara untuk meriwayatkan dan meninggalkan jejak naratif mereka untuk masa depan.
Kesinambungan budaya bergantung pada kemampuan suatu masyarakat untuk melatih generasi barunya agar menjadi perawi yang kompeten dan pendengar yang kritis. Jika kita gagal dalam mengajarkan metodologi verifikasi riwayat, kita berisiko terombang-ambing dalam lautan informasi palsu, kehilangan arah historis, dan pada akhirnya, kehilangan identitas kolektif kita.
Aktivitas meriwayatkan adalah tindakan pemeliharaan memori yang terus-menerus dan penuh perjuangan. Dari gurun pasir yang sunyi di mana perawi awal menghafal teks suci, hingga ruang gema (echo chamber) yang ramai di media sosial, tantangan untuk menyampaikan kebenaran tetap menjadi isu sentral. Metodologi yang dikembangkan oleh peradaban kuno—berfokus pada integritas perawi (Sanad) dan konsistensi isi (Matan)—tetap relevan, bahkan ketika alat bantu verifikasi kita berevolusi.
Tugas kita sebagai pewaris peradaban adalah menjadi penjaga yang tekun, kritis, dan beretika dalam proses meriwayatkan. Kita harus menyadari bahwa riwayat adalah energi yang dinamis, terus-menerus dibentuk oleh penerima, dan rentan terhadap distorsi. Dengan memegang teguh prinsip otentisitas dan transparansi, kita dapat memastikan bahwa memori kolektif kita bukan hanya sekadar koleksi cerita lama, melainkan fondasi kokoh yang memandu langkah kita menuju masa depan.