Membedah Peran Agung Muroqi pada Shalat Jumat

Ilustrasi seorang Muroqi di masjid Gambar siluet seorang Muroqi yang berdiri di dekat mimbar, melantunkan seruan sebagai bagian dari ritual Shalat Jumat.

Ilustrasi seorang Muroqi sedang bertugas di depan mimbar masjid.

Setiap pekannya, umat Islam di seluruh dunia berkumpul untuk menunaikan salah satu ibadah paling agung: Shalat Jumat. Di tengah kekhusyukan dan keheningan yang menyelimuti masjid, sesaat sebelum khatib naik ke mimbar, sering kali terdengar suara lantang yang menggema. Suara itu bukan adzan, bukan pula iqamah, melainkan serangkaian kalimat penuh makna yang dilantunkan oleh seorang petugas khusus. Sosok inilah yang dikenal sebagai Muroqi atau sering juga disebut Bilal Jumat. Meski perannya terlihat singkat, ia adalah penjaga ritus, pengantar pesan, dan penanda transisi agung dari hiruk pikuk duniawi menuju keheningan spiritual untuk menyimak khutbah.

Kehadiran Muroqi adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi Shalat Jumat di banyak belahan dunia, terutama di Nusantara. Ia bertindak sebagai jembatan antara adzan kedua dan khutbah, memastikan seluruh jamaah berada dalam kondisi siap secara mental dan spiritual. Seruannya, yang dikenal dengan istilah tarqiyyah, bukan sekadar pengumuman, melainkan sebuah nasihat, pengingat, dan permohonan yang sarat akan nilai-nilai teologis dan adab. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Muroqi Jumat, mulai dari definisi, sejarah, tugas-tugas spesifik, bacaan yang dilantunkan, hingga kedudukannya dalam pandangan fikih serta hikmah mendalam di balik perannya yang sering kali dianggap remeh namun sejatinya sangat fundamental.

Definisi dan Sejarah Peran Muroqi

Secara etimologis, kata "Muroqi" (مُرَقِّي) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata ra-qa-ya (ر-ق-ي) yang berarti naik, meningkat, atau menaikkan. Dalam konteks ini, Muroqi dapat diartikan sebagai "orang yang menaikkan" atau "orang yang membuat (khatib) naik". Penamaan ini sangat relevan karena tugas utama Muroqi adalah mempersiapkan "panggung" bagi khatib untuk naik ke mimbar dan menyampaikan khutbahnya. Ia seolah-olah "menaikkan" perhatian jamaah dan mengantarkan khatib ke posisi tertingginya dalam ritual Jumat tersebut.

Adapun penyebutan "Bilal Jumat" merujuk pada sahabat Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah, yang merupakan muazin pertama dalam sejarah Islam. Meskipun peran Muroqi modern tidak sepenuhnya identik dengan tugas Bilal pada zaman Rasulullah, penyematan nama ini merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan atas fungsi sentralnya yang berkaitan dengan seruan dalam ibadah, sama seperti Bilal bin Rabah.

Jejak Sejarah Praktik Tarqiyyah

Praktik Muroqi dengan bacaan tarqiyyah seperti yang kita kenal sekarang tidak ditemukan secara eksplisit pada masa Nabi Muhammad SAW maupun masa Khulafaur Rasyidin. Pada zaman Rasulullah, prosesi Jumat lebih sederhana. Bilal bin Rabah akan mengumandangkan adzan sekali ketika Nabi SAW telah duduk di mimbar, kemudian Nabi langsung memulai khutbahnya. Setelah khutbah selesai, Bilal akan mengumandangkan iqamah untuk shalat.

Perkembangan signifikan terjadi pada masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan RA. Ketika populasi Madinah semakin padat dan wilayahnya meluas, suara adzan dari Masjid Nabawi tidak lagi terdengar oleh mereka yang berada di pasar atau di pinggiran kota. Untuk mengatasi hal ini, Khalifah Utsman berijtihad untuk menambahkan adzan pertama yang dikumandangkan dari tempat yang lebih tinggi di pasar bernama Az-Zaura'. Tujuannya adalah sebagai penanda bahwa waktu shalat Jumat telah masuk, sehingga masyarakat bisa segera bersiap-siap dan berangkat ke masjid. Adzan kedua tetap dikumandangkan di dalam masjid sesaat sebelum khatib naik mimbar, sebagaimana praktik di zaman Nabi. Praktik dua adzan ini kemudian diadopsi secara luas oleh umat Islam.

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban Islam ke berbagai wilayah, muncul kebutuhan untuk lebih mengkondisikan jamaah yang semakin heterogen. Di sinilah peran Muroqi mulai terbentuk. Para ulama di masa-masa berikutnya memandang perlu adanya sebuah pengingat tambahan setelah adzan kedua dan sebelum khutbah dimulai. Pengingat ini bertujuan untuk:

Praktik ini kemudian dilembagakan dan diwariskan dari generasi ke generasi, terutama di kalangan mazhab Syafi'i yang dominan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bacaan yang dilantunkan pun distandarisasi hingga menjadi apa yang kita kenal sebagai bacaan tarqiyyah. Jadi, meskipun bukan praktik yang berasal langsung dari zaman Nabi, peran Muroqi muncul sebagai hasil ijtihad dan pengembangan tradisi Islam untuk menjawab kebutuhan zaman demi menjaga kekhidmatan dan kesempurnaan ibadah Shalat Jumat.

Peran dan Tugas Rinci Seorang Muroqi

Tugas seorang Muroqi tidak sesederhana kelihatannya. Ia adalah manajer panggung spiritual dalam prosesi Shalat Jumat. Tanggung jawabnya menuntut ketepatan waktu, suara yang jelas, pemahaman akan bacaan, serta koordinasi yang baik dengan khatib dan imam. Berikut adalah rincian tugas seorang Muroqi secara kronologis:

1. Sebelum Adzan Pertama

Jauh sebelum waktu dzuhur tiba, seorang Muroqi biasanya sudah berada di masjid. Ia memastikan kesiapan pengeras suara, berkoordinasi dengan petugas lain, dan yang terpenting, mengetahui siapa yang akan bertugas menjadi khatib dan imam pada hari itu. Komunikasi ini penting untuk memastikan kelancaran transisi antar prosesi.

2. Mengumandangkan Adzan Pertama

Ketika waktu dzuhur tiba, tugas pertama Muroqi adalah mengumandangkan adzan pertama. Adzan ini berfungsi sebagai panggilan umum kepada masyarakat luas bahwa waktu Shalat Jumat telah masuk dan ibadah akan segera dimulai. Setelah adzan pertama, jamaah biasanya melaksanakan shalat sunnah qabliyah Jumat atau shalat sunnah lainnya sambil menunggu khatib naik mimbar.

3. Mengumandangkan Adzan Kedua

Ini adalah momen krusial. Ketika khatib telah siap dan berjalan menuju mimbar, Muroqi berdiri dan mengumandangkan adzan kedua. Adzan ini lebih bersifat internal, sebagai penanda bagi jamaah di dalam masjid bahwa khutbah akan segera dimulai. Adzan kedua dikumandangkan dengan posisi khatib sudah duduk di atas mimbar.

4. Melantunkan Bacaan Tarqiyyah

Inilah puncak dari peran seorang Muroqi. Segera setelah adzan kedua selesai, Muroqi tidak langsung duduk. Ia akan menghadap ke arah jamaah, sering kali sambil memegang sebuah tongkat yang nantinya akan diserahkan kepada khatib, lalu melantunkan serangkaian bacaan yang disebut tarqiyyah. Bacaan ini berisi nasihat untuk diam, dalil-dalil terkait, serta shalawat kepada Nabi. Suaranya yang lantang dan penuh penjiwaan diharapkan mampu menggetarkan hati jamaah dan menciptakan atmosfer yang khusyuk.

5. Menyerahkan Tongkat kepada Khatib

Di banyak masjid di Indonesia, Muroqi memegang sebuah tongkat (atau terkadang tombak/pedang sebagai simbol). Setelah selesai membaca tarqiyyah, ia menyerahkan tongkat tersebut kepada khatib. Tongkat ini memiliki makna simbolis yang mendalam. Sebagian ulama berpendapat bahwa ini adalah sunnah, berpegang pada riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW berkhutbah sambil memegang tongkat atau busur panah. Tongkat ini membantu khatib untuk lebih rileks, fokus, dan juga sebagai simbol kepemimpinan dan kekuatan dalam menyampaikan kebenaran.

6. Mengumandangkan Iqamah

Setelah khatib menyelesaikan kedua khutbahnya dan turun dari mimbar, tugas terakhir Muroqi adalah mengumandangkan iqamah. Iqamah ini menjadi penanda bahwa Shalat Jumat berjamaah akan segera dilaksanakan. Setelah iqamah, perannya pada hari itu telah selesai, dan ia bergabung dengan jamaah lain untuk melaksanakan shalat di belakang imam.

Analisis Mendalam Bacaan Tarqiyyah Muroqi

Bacaan tarqiyyah adalah inti dari tugas Muroqi. Meskipun terdapat sedikit variasi redaksi di beberapa tempat, strukturnya secara umum seragam. Mari kita bedah setiap bagian dari bacaan ini beserta makna filosofisnya.

Bacaan ini biasanya dimulai dengan seruan yang sangat populer, ditujukan kepada seluruh jamaah yang hadir. Seruan ini adalah penegasan identitas kolektif dan pengingat akan status mereka sebagai hamba Allah yang sedang beribadah.

مَعَاشِرَالْمُسْلِمِيْنَ، وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهِ

Ma'aasyirol muslimiin, wa zumrotal mu'miniina rohimakumulloh.

"Wahai segenap kaum muslimin, dan golongan kaum mukminin, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kalian."

Analisis: Kalimat pembuka ini berfungsi sebagai sapaan yang agung dan doa. Dengan menyebut "kaum muslimin" dan "kaum mukminin", Muroqi merangkul seluruh jamaah tanpa terkecuali. Kata Ma'asyirol (segenap/seluruh golongan) dan zumrotal (rombongan/kelompok) memberikan kesan kebersamaan dan persatuan. Diakhiri dengan doa "rohimakumulloh" (semoga Allah merahmati kalian), seruan ini langsung menciptakan ikatan spiritual antara pembicara dan pendengar, serta memohonkan berkah bagi majelis yang mulia tersebut.

رُوِيَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ruwiya 'an abii huroirota rodhiyallohu 'anhu, annahu qoola, qoola rosuulullohi shollallohu 'alaihi wa sallam.

"Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda."

Analisis: Bagian ini adalah sanad atau rantai periwayatan singkat dari hadis yang akan dikutip. Dengan menyebutkan nama sahabat besar Abu Hurairah, Muroqi membangun otoritas dan legitimasi atas nasihat yang akan disampaikannya. Ini bukanlah kata-kata Muroqi pribadi, melainkan sebuah pesan yang bersumber langsung dari lisan mulia Rasulullah SAW. Penyebutan ini mengkondisikan jamaah untuk menyimak dengan lebih serius karena mereka akan mendengarkan sabda Nabi mereka.

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ (أَنْصِتْ)، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ

Idzaa qulta lishoohibika yaumal jumu'ati (anshit), wal imaamu yakhtubu, faqod laghouta.

"Apabila engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat (diamlah!), sementara imam sedang berkhutbah, maka engkau telah berbuat sia-sia."

Analisis: Inilah inti pesan pertama. Hadis yang sangat terkenal ini (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) memberikan standar yang sangat tinggi untuk adab mendengarkan khutbah. Bahkan, menegur orang lain untuk diam pun dianggap sebagai perbuatan laghwu (sia-sia) yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala Jumat seseorang. Dengan mengutip hadis ini, Muroqi secara tegas namun elegan menyampaikan bahwa satu-satunya tindakan yang benar saat khutbah berlangsung adalah diam total dan fokus mendengarkan. Pesan ini jauh lebih efektif daripada sekadar teriakan "Harap tenang!".

أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهِ

Anshituu wasma'uu wa athii'uu rohimakumulloh.

"Diamlah, dengarkanlah, dan taatilah, semoga Allah merahmati kalian."

Analisis: Kalimat ini merupakan perintah langsung yang merangkum tiga adab utama: Anshituu (diamlah secara total dari perkataan), wasma'uu (dengarkanlah dengan saksama), dan athii'uu (taatilah apa yang disampaikan). Ini adalah tiga tingkatan kepatuhan: fisik (diam), mental (mendengarkan), dan spiritual (siap untuk taat). Perintah ini kembali ditutup dengan doa "rohimakumulloh", melembutkan sebuah perintah yang tegas menjadi sebuah ajakan yang penuh kasih sayang.

أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Anshituu wasma'uu wa athii'uu la'allakum turhamuun.

"Diamlah, dengarkanlah, dan taatilah, agar kalian mendapatkan rahmat."

Analisis: Ini adalah pengulangan dengan sedikit modifikasi pada bagian akhir. Jika sebelumnya Muroqi mendoakan rahmat, kali ini ia menjelaskan bahwa tindakan diam, mendengar, dan taat itu sendiri adalah sebab turunnya rahmat Allah. Frasa la'allakum turhamuun (agar kalian dirahmati) diambil dari penggalan akhir surat Al-A'raf ayat 204, yang memerintahkan hal yang sama ketika Al-Qur'an dibacakan. Ini menghubungkan adab mendengarkan khutbah dengan adab mendengarkan Al-Qur'an, menunjukkan betapa sakralnya khutbah Jumat.

Setelah serangkaian nasihat untuk diam, Muroqi biasanya akan menutup dengan membaca firman Allah dari surat Al-Ahzab ayat 56, yang memerintahkan orang beriman untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

Innalloha wa malaa-ikatahuu yusholluuna 'alan-nabiyy, yaa ayyuhallaziina aamanuu sholluu 'alaihi wa sallimuu tasliimaa.

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya."

Analisis: Pembacaan ayat ini berfungsi sebagai transisi sempurna menuju khutbah. Khutbah Jumat sendiri selalu mengandung rukun shalawat kepada Nabi. Dengan mengajak jamaah bershalawat terlebih dahulu, Muroqi mempersiapkan mereka untuk memasuki salah satu rukun khutbah yang paling penting. Ayat ini juga mengingatkan jamaah akan kedudukan agung Nabi Muhammad SAW, di mana Allah dan para malaikat-Nya pun bershalawat kepadanya. Ini menumbuhkan rasa cinta dan hormat kepada Nabi, yang merupakan kunci untuk menerima ajaran yang akan disampaikan melalui lisan khatib.

Kedudukan Muroqi dalam Perspektif Fikih

Sebagaimana telah disinggung, praktik Muroqi dengan bacaan tarqiyyah tidak ada pada zaman Nabi. Hal ini memunculkan perbincangan di kalangan para ulama mengenai status hukumnya. Secara umum, terdapat dua pandangan utama mengenai hal ini, yang keduanya harus dipahami dengan bijak.

Pandangan yang Mendukung (Sebagai Bid'ah Hasanah)

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, yang banyak dianut di Indonesia, memandang praktik ini sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik). Argumentasi mereka didasarkan pada beberapa hal:

Ulama yang mendukung pandangan ini melihat peran Muroqi sebagai sebuah kearifan lokal yang terbukti efektif dalam mengelola jamaah dalam jumlah besar, sebuah tantangan yang skalanya berbeda dengan zaman Nabi.

Pandangan yang Tidak Menganjurkan

Di sisi lain, sebagian kalangan, terutama yang mengikuti pendekatan yang lebih tekstualis, berpendapat bahwa praktik ini sebaiknya ditinggalkan. Argumentasi mereka adalah:

Penting untuk dicatat bahwa perbedaan pandangan ini berada dalam ranah furu'iyyah (cabang-cabang agama), bukan ushul (pokok-pokok agama). Oleh karena itu, menyikapinya harus dengan lapang dada, saling menghormati, dan menghindari perpecahan. Di masjid yang mempraktikkannya, jamaah sebaiknya mengikuti tradisi yang ada. Di masjid yang tidak, jamaah juga tidak perlu mempermasalahkannya.

Kualifikasi dan Etika Seorang Muroqi

Menjadi seorang Muroqi bukanlah tugas yang bisa diemban oleh sembarang orang. Diperlukan serangkaian kualifikasi dan etika agar perannya dapat dijalankan dengan baik dan efektif. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Kualitas Vokal yang Baik: Suara seorang Muroqi haruslah lantang, jelas, dan bersih. Makharijul huruf (tempat keluarnya huruf) dan tajwidnya harus benar, terutama saat melafalkan ayat Al-Qur'an dan Hadis. Suara yang merdu adalah nilai tambah yang dapat lebih menyentuh hati jamaah.
  2. Pemahaman dan Penghayatan: Ia harus memahami makna dari setiap kalimat yang diucapkannya. Penghayatan yang mendalam akan terpancar dari intonasi dan cara penyampaiannya, sehingga pesan yang disampaikan tidak terasa hampa.
  3. Kepercayaan Diri dan Mental yang Kuat: Berdiri di hadapan ratusan atau bahkan ribuan jamaah membutuhkan mental yang kuat dan kepercayaan diri. Ia tidak boleh gugup atau ragu-ragu.
  4. Akhlak yang Mulia: Sebagai salah satu petugas masjid yang menjadi sorotan, seorang Muroqi hendaknya memiliki kepribadian yang baik, rendah hati, dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Tugas ini adalah pengabdian, bukan ajang untuk pamer suara.
  5. Disiplin dan Tepat Waktu: Kedisiplinan adalah kunci. Ia harus hadir lebih awal dan memastikan seluruh rangkaian tugasnya berjalan sesuai jadwal tanpa menunda-nunda.
  6. Kemampuan Berkoordinasi: Ia harus mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik dengan Ketua DKM, khatib, imam, dan petugas masjid lainnya.

Hikmah dan Filosofi di Balik Peran Muroqi

Di balik serangkaian tugas teknisnya, peran Muroqi mengandung hikmah dan filosofi yang mendalam bagi kesempurnaan ibadah Shalat Jumat.

1. Pencipta Keheningan Suci

Muroqi adalah dirigen yang memimpin orkestra keheningan. Seruannya yang tegas namun penuh doa berfungsi sebagai "tombol" yang mematikan segala kebisingan duniawi. Percakapan, diskusi, bahkan bisikan, semuanya terhenti oleh seruannya. Ia menciptakan sebuah ruang vakum audio, sebuah keheningan suci yang sangat diperlukan agar firman Allah dan sabda Rasul yang akan disampaikan oleh khatib dapat meresap ke dalam jiwa tanpa gangguan.

2. Jembatan Transisi Spiritual

Shalat Jumat adalah puncak spiritualitas dalam sepekan. Namun, jamaah datang dari berbagai latar belakang dan kondisi pikiran. Ada yang datang dari pasar, kantor, atau perjalanan, dengan pikiran yang masih kalut oleh urusan dunia. Peran Muroqi adalah sebagai jembatan transisi. Adzan pertama memanggil fisik mereka, tetapi seruan tarqiyyah memanggil ruh mereka. Ia menarik kesadaran jamaah dari alam materi ke alam ruhani, mempersiapkan "wadah" batin mereka untuk diisi dengan nasihat takwa.

3. Penegak Adab dan Disiplin Ibadah

Tanpa pengingat yang otoritatif, sulit untuk menjaga disiplin ribuan orang dalam satu ruangan. Muroqi bertindak sebagai penegak adab majelis. Dengan mengutip dalil langsung dari Nabi, ia tidak hanya memerintah, tetapi juga mendidik jamaah tentang betapa pentingnya menghormati khutbah. Ia menanamkan pemahaman bahwa mendengarkan khutbah bukanlah aktivitas pasif, melainkan bagian aktif dari ibadah yang bernilai pahala tinggi.

4. Simbol Penghormatan kepada Ilmu dan Ulama

Seluruh prosesi yang dilakukan Muroqi, mulai dari seruan hingga penyerahan tongkat, adalah bentuk penghormatan yang luar biasa kepada khatib sebagai penyampai ilmu. Ia mempersiapkan panggung, mengkondisikan audiens, dan secara simbolis menyerahkan "otoritas" kepada sang khatib. Ini mengajarkan kepada jamaah untuk memuliakan ilmu dan para ulama, karena dengan memuliakan mereka, kita sejatinya sedang memuliakan warisan para nabi.

Kesimpulan

Muroqi Jumat, atau Bilal Jumat, adalah sosok yang perannya jauh lebih besar dari durasi penampilannya yang singkat. Ia adalah penjaga gerbang kekhusyukan, pengatur ritme ibadah, dan penyambung lidah tradisi yang telah mengakar kuat di banyak komunitas Muslim. Melalui lantunan tarqiyyah-nya, ia tidak hanya meminta jamaah untuk diam, tetapi juga mengajak mereka untuk membuka telinga, hati, dan pikiran agar siap menerima petunjuk ilahi yang akan disampaikan melalui khutbah.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan fikih mengenai status hukumnya, keberadaannya secara fungsional telah terbukti membawa maslahat besar dalam menjaga ketertiban dan kekhidmatan Shalat Jumat. Ia adalah bukti bagaimana tradisi Islam dapat beradaptasi dan mengembangkan mekanisme untuk menjaga esensi ibadah di tengah perubahan zaman dan tantangan sosial. Oleh karena itu, menghargai peran seorang Muroqi adalah bagian dari upaya kita bersama untuk menyempurnakan ibadah Jumat, menjadikannya bukan sekadar ritual mingguan, tetapi sebuah momentum transformatif yang menginspirasi dan memperbaharui iman kita.

🏠 Kembali ke Homepage