Dalam sejarah peradaban manusia, konflik—atau yang dalam bahasa Indonesia sering disebut meribut—bukanlah sekadar anomali, melainkan sebuah manifestasi inheren dari interaksi antarindividu, kelompok, atau ideologi yang bertabrakan. Dari debat filosofis di agora kuno hingga perdebatan sengit di lini masa media sosial, keributan berfungsi sebagai cermin yang memantulkan ketegangan, aspirasi, dan kerapuhan psikologis kolektif kita. Namun, di era konektivitas tanpa batas ini, cara kita meribut telah mengalami transformasi radikal. Keributan tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan menyebar cepat dan destruktif melalui jaringan digital, menciptakan dimensi kekacauan yang kompleks dan seringkali tak terkelola.
Artikel ini akan menyelami secara mendalam anatomi keributan modern, mengupas tuntas akar psikologis, pergeseran sosiologis yang dipicu oleh teknologi, serta implikasi filosofis dari perdebatan yang terjadi dalam hitungan milidetik. Kita akan menguraikan mengapa di tengah akses informasi yang melimpah, kemampuan kita untuk berdialog secara konstruktif justru terkikis, dan bagaimana dinamika meribut online membentuk ulang realitas sosial dan politik kontemporer.
Keributan, pada intinya, adalah produk dari ketidaksesuaian antara harapan internal dan realitas eksternal, diperburuk oleh serangkaian bias kognitif yang melekat pada cara kerja otak manusia. Memahami psikologi keributan adalah kunci untuk mengidentifikasi mengapa percakapan seringkali beralih dari diskusi rasional menjadi serangan personal dan emosional.
Salah satu pendorong utama di balik kebutuhan untuk meribut adalah pertahanan ego. Ketika pandangan kita ditantang, otak seringkali memproses tantangan tersebut sebagai ancaman fisik terhadap diri, memicu respons fight or flight. Di ranah digital, ancaman ini diperkuat oleh identitas yang terikat pada opini atau afiliasi kelompok tertentu. Individu tidak hanya membela ide, tetapi membela diri mereka sendiri sebagai anggota kelompok yang benar (in-group). Ketika identitas sosial terancam, agresi verbal seringkali dianggap sebagai cara untuk menegaskan kembali posisi dan status dalam kelompok tersebut.
Fenomena ini dikenal sebagai Teori Identitas Sosial. Keinginan untuk melihat kelompok sendiri sebagai superior (in-group bias) membuat kita secara otomatis mendiskreditkan argumen dari kelompok luar (out-group). Keributan daring menjadi ritual penguatan batas kelompok; setiap serangan verbal kepada lawan adalah afirmasi loyalitas kepada komunitas sendiri. Dalam konteks keributan digital, validasi dari anggota kelompok dalam bentuk 'likes' atau 'retweets' berfungsi sebagai hadiah neurokimia yang memperkuat perilaku konfrontatif, menciptakan siklus umpan balik positif terhadap agresi.
Keributan jarang terjadi dalam vakum rasional. Sebaliknya, mereka didorong oleh mekanisme berpikir yang secara fundamental cacat, yang kita sebut sebagai bias kognitif. Tiga bias berikut ini sangat vital dalam menjelaskan intensitas keributan kontemporer:
Ini adalah kecenderungan alami kita untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang hanya mendukung keyakinan atau hipotesis yang sudah ada. Dalam keributan, ini berarti bahwa tidak peduli seberapa kuat data yang disajikan oleh pihak lawan, kita akan secara selektif fokus pada satu kelemahan kecil, atau bahkan mengabaikan seluruh argumen karena tidak sesuai dengan narasi kita. Di platform digital, algoritma memperburuk bias ini dengan hanya menyajikan konten yang memvalidasi pandangan kita, mengisolasi kita dalam apa yang disebut filter bubble atau gelembung filter, membuat kejutan dan konflik lebih mudah terjadi ketika kita akhirnya bertemu pandangan yang bertentangan.
Bias ini menggambarkan kecenderungan individu untuk menafsirkan tindakan atau maksud orang lain sebagai permusuhan, bahkan ketika tindakan tersebut ambigu atau netral. Di ranah digital, di mana komunikasi miskin nada suara, bahasa tubuh, dan konteks, bias ini menjadi sangat merusak. Sebuah komentar sederhana yang bertujuan untuk bertanya dapat diinterpretasikan sebagai serangan sarkastik, yang kemudian memicu respons defensif yang agresif. Keributan digital seringkali bermula bukan dari ketidaksepakatan faktual, tetapi dari salah tafsir emosional dan atribusi niat jahat yang tidak berdasar.
Efek Dunning-Kruger menjelaskan mengapa individu yang kurang kompeten dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka sendiri. Dalam keributan, ini berarti bahwa orang yang hanya memiliki pengetahuan permukaan (atau bahkan salah informasi) mengenai suatu topik akan menjadi pihak yang paling vokal, paling yakin akan kebenaran mutlaknya, dan paling sulit untuk diyakinkan. Mereka tidak memiliki metakognisi yang diperlukan untuk menyadari keterbatasan mereka, sehingga mereka akan terus meribut dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, seringkali menenggelamkan suara-suara ahli yang lebih hati-hati dan bernuansa.
Jika psikologi menjelaskan mengapa individu meribut, maka sosiologi menjelaskan bagaimana medium digital telah mengubah skala dan dampak dari keributan tersebut. Ruang publik tradisional, yang diatur oleh norma kesopanan dan keterbatasan fisik, telah digantikan oleh ruang digital yang anonim, tanpa batas, dan dipercepat.
Filsuf Jerman Jürgen Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai arena tempat individu berkumpul untuk berdiskusi rasional guna membentuk opini publik. Media sosial awalnya dijanjikan sebagai versi digital dari ruang publik ini. Namun, sebaliknya, ia telah memecah ruang publik menjadi jutaan gelembung gema (echo chambers).
Di dalam gelembung gema, individu hanya berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa. Hal ini menghasilkan dua efek merusak yang memperkuat intensitas keributan:
Fenomena ini menantang prinsip dasar demokrasi. Keributan yang konstruktif memerlukan paparan terhadap perbedaan; keributan digital modern justru didesain untuk meminimalkan paparan tersebut, sehingga ketika perbedaan muncul, hasilnya adalah ledakan, bukan dialog.
Keributan seringkali melibatkan massa, bukan hanya individu. Psikologi massa menunjukkan bahwa ketika seseorang menjadi bagian dari kerumunan, identitas pribadi mereka dapat larut dalam identitas kolektif, sebuah proses yang disebut deindividuasi. Di dunia maya, anonimitas dan rasa jarak fisik sangat memperkuat deindividuasi.
Ketika ribuan akun mulai meribut dan menyerang satu target (fenomena yang dikenal sebagai flaming atau cyber-mobbing), tanggung jawab moral individu berkurang drastis. Setiap orang merasa hanya berkontribusi sedikit pada keseluruhan kekejaman, tetapi secara kolektif, dampaknya menghancurkan. Mobilitas digital tidak hanya menyebarkan opini, tetapi juga menyebarkan kemarahan dengan kecepatan virus. Keributan semacam ini jarang bertujuan mencari solusi; tujuannya adalah memenangkan konflik melalui penghancuran moral dan reputasi lawan.
Tekanan untuk berpartisipasi dalam keributan massa juga didorong oleh ketakutan kehilangan (FOMO) dan keinginan untuk sinyal kebajikan (virtue signaling). Individu mungkin bergabung dalam keributan bukan karena mereka sangat peduli terhadap isunya, tetapi karena takut dicap sebagai orang luar oleh kelompok mereka jika mereka diam, atau karena ingin menunjukkan moralitas mereka secara publik.
Algoritma platform digital didesain untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement). Sayangnya, emosi kuat—terutama kemarahan, kejutan, dan jijik—adalah pendorong keterlibatan yang paling efisien. Konten yang memicu keributan mendapatkan jangkauan dan visibilitas yang jauh lebih besar dibandingkan konten yang bernuansa, moderat, atau informatif.
Ini menciptakan insentif ekonomi untuk memproduksi dan menyebarkan konflik. Media, baik tradisional maupun sosial, mendapat keuntungan dari keributan karena keributan menghasilkan klik, tayangan, dan iklan. Dengan demikian, arsitektur kekacauan digital secara aktif memberikan penghargaan kepada mereka yang paling provokatif, paling ekstrem, dan paling mampu memicu kemarahan, menjamin bahwa keributan akan terus menjadi fitur dominan dari ekosistem informasi kita.
Keributan di era digital tidak hanya tentang perbedaan pendapat, tetapi juga tentang perebutan realitas. Misinformasi dan disinformasi telah menjadi senjata utama dalam eskalasi konflik, memastikan bahwa keributan tidak pernah sampai pada resolusi karena para pihak beroperasi dari basis fakta yang sama sekali berbeda.
Misinformasi adalah informasi yang salah tetapi disebarkan tanpa niat jahat. Namun, dalam konteks keributan, misinformasi bertindak sebagai katalis. Seseorang yang terlibat dalam keributan akan dengan cepat mengadopsi potongan informasi yang, meskipun salah, mendukung argumen mereka (kembali ke Bias Konfirmasi). Karena kecepatan penyebaran informasi online, kebohongan dapat menyebar ke ribuan orang sebelum fakta yang benar dapat diverifikasi.
Yang lebih berbahaya adalah Disinformasi: informasi palsu yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menyebabkan kerugian atau memanipulasi opini. Aktor jahat, baik itu politik, komersial, atau individu, memanfaatkan keributan yang sudah ada. Mereka memasukkan narasi palsu yang dirancang untuk memecah belah dan memperkuat polarisasi, memastikan keributan yang ada tidak hanya terus berlangsung tetapi juga semakin tajam dan tidak dapat diperbaiki. Ini adalah strategi yang dikenal sebagai Wedge Issue Manipulation.
Keributan yang terus menerus memiliki konsekuensi epistemologis: ia mengikis kepercayaan pada kebenaran obyektif. Fenomena Efek Kebenaran Ilusif (Illusionary Truth Effect) menunjukkan bahwa semakin sering kita mendengar sebuah klaim, semakin besar kemungkinan kita mempercayainya sebagai benar, terlepas dari validitasnya. Dalam keributan yang berulang, klaim yang emosional dan sederhana (walaupun salah) diulang ribuan kali oleh para partisan, akhirnya mengambil bobot yang setara, atau bahkan lebih besar, daripada fakta yang kompleks dan diverifikasi.
Ini menciptakan lingkungan post-truth (pasca-kebenaran), di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta obyektif. Ketika keributan terjadi dalam lanskap pasca-kebenaran, tujuan perdebatan berubah. Tujuannya bukan lagi untuk menemukan kebenaran atau mencapai pemahaman, tetapi semata-mata untuk mengalahkan lawan dan memenangkan hati publik yang haus akan drama dan validasi emosional. Kegagalan mencapai konsensus faktual menjamin bahwa keributan yang sama akan terus berulang tanpa henti.
Keributan digital sering mengikuti siklus empat tahap yang dipercepat oleh algoritma:
Kecepatan internet telah menghilangkan ruang hening yang diperlukan untuk refleksi kognitif. Kita dipaksa untuk merespons keributan secara instan, memicu respons emosional, bukan respons analitis. Ketiadaan jeda inilah yang membuat keributan digital menjadi sangat tidak produktif dan berpotensi merusak.
Meskipun beberapa filsuf memandang konflik sebagai dorongan yang diperlukan untuk kemajuan sosial, jenis keributan yang terjadi saat ini—seringkali didorong oleh kebencian, misinformasi, dan agresi tanpa batas—menimbulkan kerugian signifikan pada kesehatan individu dan kohesi masyarakat.
Keterpaparan terus-menerus terhadap keributan dan kemarahan online menyebabkan fenomena yang disebut kelelahan empati (empathy fatigue). Individu yang terus-menerus melihat serangan dan perdebatan sengit cenderung menjadi mati rasa terhadap penderitaan orang lain sebagai mekanisme pertahanan. Kita menarik diri dari diskusi, atau yang lebih buruk, kita menjadi sinis dan menerima tingkat toksisitas yang tinggi sebagai norma baru.
Bagi mereka yang aktif terlibat dalam meribut, tingkat stres, kecemasan, dan bahkan depresi dapat meningkat. Pertarungan online yang intens, terutama yang mengarah pada ancaman atau doxing (pembocoran informasi pribadi), dapat menyebabkan Trauma Stres Pascatrauma (PTSD) digital. Ironisnya, aktivitas yang seringkali dimulai dengan tujuan untuk menegakkan keadilan atau kebenaran justru berujung pada kerusakan mental para pelakunya.
Keributan massa juga memengaruhi pengambilan keputusan publik. Ketika politisi, perusahaan, atau lembaga berada di bawah tekanan keributan yang masif (seperti cancel culture), keputusan yang mereka ambil seringkali didorong oleh manajemen citra publik dan ketakutan akan kerugian finansial, bukan oleh analisis etis atau pertimbangan jangka panjang. Keputusan yang dibuat dalam kekacauan seringkali reaksioner, tidak berkelanjutan, dan hanya berfungsi untuk memadamkan api keributan sesaat, tanpa mengatasi akar masalahnya.
Keributan yang hiper-polarisasi merusak modal sosial—jaringan hubungan timbal balik dan kepercayaan yang membuat masyarakat berfungsi. Ketika individu tidak lagi dapat mempercayai bahwa tetangga, rekan kerja, atau sesama warga negara memiliki niat baik atau beroperasi berdasarkan seperangkat fakta yang sama, kerja sama dan kolaborasi menjadi mustahil.
Keributan, ketika mencapai tingkat toksisitas tertentu, tidak lagi berfungsi sebagai katarsis atau alat perubahan, melainkan sebagai disintegrator. Masyarakat yang terus-menerus meribut tentang realitas dasar (seperti data ilmiah, hasil pemilu, atau sejarah) akan menemukan bahwa institusi mereka—media, pendidikan, pemerintahan—kehilangan legitimasi. Tanpa kepercayaan pada institusi, setiap perbedaan pendapat, sekecil apa pun, berpotensi memicu keributan yang menghabiskan energi masyarakat.
Keributan yang melibatkan kritik terhadap figur publik (selebriti, politisi) juga menunjukkan ambiguitas etis yang mendalam. Di satu sisi, keributan dapat menjadi mekanisme akuntabilitas yang diperlukan. Di sisi lain, ia seringkali berubah menjadi perburuan penyihir yang tidak proporsional, di mana hukuman publik (dibatalkan) jauh lebih besar daripada kejahatan yang dilakukan, melucuti setiap kesempatan untuk penebusan atau pembelajaran. Batasan antara kritik yang sah dan meribut yang menghukum menjadi buram, dan ini menjadi topik keributan itu sendiri.
Tantangan terbesar di era digital bukanlah menghentikan meribut, karena konflik adalah bagian dari kehidupan. Tantangannya adalah mengubah keributan destruktif menjadi dialog yang produktif dan konstruktif. Hal ini memerlukan perubahan dalam filosofi komunikasi kita dan penerapan strategi kognitif baru.
Untuk memutus siklus emosi-respon instan, individu harus secara sadar menerapkan 'jeda kognitif' sebelum menanggapi keributan. Ini melibatkan teknik metakognitif untuk memeriksa motivasi respons kita:
Diperlukan kesadaran kolektif bahwa tujuan keributan bukanlah menghancurkan, tetapi menajamkan pandangan. Filosofi dialog yang sehat, seperti yang diajarkan oleh tradisi Sokratik, menekankan bahwa kita harus lebih mencintai pertanyaan daripada jawaban kita sendiri. Jika seseorang memasuki keributan dengan keinginan untuk belajar (bukan hanya menang), sifat interaksi akan berubah secara fundamental.
Keributan digital seringkali gagal karena beroperasi pada biner: benar atau salah, baik atau buruk. Realitas, terutama masalah sosial dan politik yang kompleks, selalu berada dalam nuansa abu-abu. Strategi untuk meredakan keributan adalah dengan secara eksplisit mengenalkan kompleksitas. Ini bisa berupa:
Ketika kita mengakui bahwa suatu isu memiliki banyak sisi, kita menghilangkan bahan bakar emosional yang seringkali memicu keributan destruktif. Nuansa adalah musuh polarisasi.
Tanggung jawab tidak hanya terletak pada pengguna; arsitektur platform digital harus diubah. Jika platform terus memberikan insentif moneter pada kemarahan, keributan akan terus mendominasi. Beberapa solusi struktural yang diperdebatkan meliputi:
Platform memiliki kekuatan untuk mengubah norma sosial meribut. Jika mereka mulai memberikan penghargaan pada kesopanan dan kedalaman, bukan hanya pada kemarahan, arah percakapan publik dapat bergeser dari kekacauan menuju diskusi yang lebih bertanggung jawab.
Seiring dengan meningkatnya intensitas dan dampak sosial keributan digital, perhatian beralih ke peran penegakan hukum dan manajemen etika di ruang maya. Siapa yang bertanggung jawab ketika keributan melampaui batas perbedaan pendapat dan memasuki ranah pelecehan, intimidasi, atau ancaman kekerasan?
Mendefinisikan batas antara 'keributan' (perdebatan yang kuat) dan 'pelecehan' (serangan yang tidak proporsional dan berbahaya) adalah inti dari tantangan regulasi digital. Di banyak negara demokratis, kebebasan berekspresi adalah hak fundamental, namun hak ini tidak mutlak. Hukum seringkali bergulat dengan bagaimana menerapkan batasan-batasan ini di dunia digital, terutama mengingat kesulitan yurisdiksi dan volume data yang besar.
Ketika keributan melibatkan ujaran kebencian atau hate speech, platform dan pemerintah didorong untuk melakukan intervensi. Namun, keputusan untuk menghapus konten (moderasi) seringkali dianggap sebagai tindakan sepihak yang membatasi dialog. Ini menciptakan dilema etis: apakah mengizinkan keributan yang toksik demi kebebasan berpendapat, atau membatasinya demi kesehatan mental dan keamanan publik?
Masalah ini diperparah oleh perbedaan budaya. Apa yang dianggap sebagai keributan wajar di satu budaya bisa dianggap sangat ofensif di budaya lain. Platform global menghadapi tekanan untuk menciptakan norma moderasi yang seragam, meskipun konteks lokal sangat bervariasi. Kegagalan dalam moderasi yang adil dan konsisten dapat memicu lebih banyak keributan dan menuduh platform bias atau tidak efektif.
Keributan destruktif menghasilkan eksternalitas negatif, yaitu biaya yang ditanggung oleh pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Contoh eksternalitas ini meliputi:
Melihat keributan dari sudut pandang ekonomi sosial membantu kita memahami bahwa perilaku individu di ruang digital memiliki dampak yang meluas dan kolektif. Keributan bukanlah sekadar hiburan; ia adalah aktivitas sosial yang berharga mahal bagi masyarakat.
Untuk meredam dampak keributan yang toksik, diperlukan kontrak sosial baru dalam komunikasi digital. Kontrak ini harus mencakup pengakuan bahwa meskipun kita memiliki hak untuk berpendapat (meribut), kita juga memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ekspresi kita tidak secara disengaja merusak atau meracuni ruang bersama. Ini memerlukan:
Untuk benar-benar memahami fenomena meribut, kita harus turun ke tingkat neurobiologis dan kembali pada pertanyaan filosofis dasar mengenai peran konflik dalam perkembangan ide.
Mengapa kita merasa ketagihan pada keributan, meskipun itu membuat kita tidak bahagia? Jawabannya terletak pada neurologi penghargaan dan hukuman. Ketika kita memenangkan perdebatan, atau bahkan hanya menerima dukungan dari kelompok kita, otak melepaskan dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan penghargaan dan motivasi. Sensasi kemenangan digital—meski palsu atau sepele—memberi kita dorongan dopamin cepat, memperkuat perilaku agresif yang memicu kemenangan tersebut. Ini menjelaskan mengapa beberapa individu secara konsisten mencari platform untuk meribut; mereka kecanduan respons neurologis dari kemenangan konflik.
Sebaliknya, menghadapi kritik yang sah atau kalah dalam perdebatan memicu respons amygdala (pusat ketakutan) dan korteks prefrontal mengalami kesulitan dalam mengatur emosi. Semakin emosional keributan, semakin terhambat kemampuan kita untuk berpikir secara logis. Dalam keributan digital, kecepatan interaksi memastikan bahwa kita tetap berada dalam mode amygdala yang reaktif, menjauh dari pemikiran kritis yang lambat. Pemahaman ini memperkuat kebutuhan untuk 'jeda kognitif' sebagai alat fisik untuk memulihkan fungsi korteks prefrontal.
Dalam filsafat, terutama dalam tradisi Hegelian, konflik (atau dialektika) dianggap sebagai motor kemajuan. Dialektika terdiri dari tesis (ide awal), antitesis (ide yang menentang), dan sintesis (resolusi baru yang lebih tinggi yang dihasilkan dari konflik kedua ide tersebut).
Teori ini memberikan perspektif bahwa meribut seharusnya tidak dilihat sebagai kegagalan total, tetapi sebagai proses yang diperlukan untuk evolusi ide. Masalah dengan keributan digital kontemporer adalah bahwa ia terhenti pada tahap antitesis. Kita memiliki tesis dan antitesis yang bertabrakan dengan keras, tetapi jarang sekali ada ruang yang diciptakan untuk sintesis.
Keributan yang produktif harus bertujuan pada sintesis. Ini berarti bahwa pada akhir konflik, kedua pihak (atau pengamat) harus memiliki pemahaman yang lebih kaya dan kompleks daripada sebelum konflik dimulai. Jika keributan digital hanya menghasilkan polarisasi dan penguatan identitas kelompok tanpa kemajuan intelektual, maka itu adalah kegagalan filosofis, bukan hanya kegagalan sosial.
Filosofi Timur sering menekankan bahwa konflik eksternal adalah cerminan dari konflik internal. Ketika kita terlalu reaktif terhadap keributan online, itu mungkin merupakan indikasi area kerentanan psikologis kita sendiri—keyakinan yang tidak aman, kebutuhan akan validasi, atau trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Keributan digital menyediakan medan tempur yang nyaman untuk melampiaskan ketegangan internal ini.
Oleh karena itu, penangkal paling efektif terhadap keributan destruktif adalah refleksi diri. Sebelum kita mengirimkan respons yang berapi-api, kita harus bertanya: "Mengapa argumen ini membuat saya begitu marah? Apa yang saya takutkan akan hilang jika saya menerima pandangan lawan?" Seringkali, kemarahan dalam keributan adalah tentang diri kita sendiri, bukan tentang lawan yang sebenarnya.
Perjuangan untuk menahan diri dari godaan meribut adalah perjuangan untuk kedaulatan kognitif di era yang dirancang untuk merampas perhatian dan emosi kita. Ini adalah tindakan pemberontakan yang paling tenang dan paling kuat dalam lanskap digital yang didominasi oleh kebisingan.
Fenomena meribut di era digital adalah konsekuensi logis dari konvergensi antara sifat dasar manusia yang rentan bias, arsitektur teknologi yang mengutamakan emosi di atas rasio, dan krisis kepercayaan terhadap kebenaran obyektif. Keributan tidak dapat dihilangkan; upaya untuk melakukannya hanya akan memindahkan konflik ke bawah tanah. Namun, kita bisa mengelola dampaknya.
Mengelola keributan memerlukan pendekatan berlapis: psikologis, dengan menguasai bias kognitif; sosiologis, dengan menuntut transparansi dari platform dan menolak gelembung gema; dan filosofis, dengan kembali pada tujuan sejati dialog—yaitu pencarian kebenaran bersama, bukan penghancuran lawan. Masyarakat yang matang adalah masyarakat yang tahu bagaimana meribut dengan rasa hormat, bagaimana berkonflik tanpa menghancurkan, dan bagaimana menggunakan gesekan ide sebagai katalis untuk inovasi dan pemahaman yang lebih mendalam.
Pada akhirnya, kualitas peradaban kita mungkin tidak diukur dari seberapa sedikit kita meribut, tetapi dari seberapa baik dan bertanggung jawab kita melakukannya. Tugas yang menanti kita adalah mengubah arus kebisingan digital menjadi sungai dialog yang mengalirkan pemahaman, meskipun jalannya penuh dengan bebatuan perbedaan yang tajam.
***
(Artikel ini membahas secara rinci dan mendalam berbagai aspek psikologis dan sosiologis dari konflik digital. Pembahasan mencakup teori-teori seperti Dunning-Kruger, Bias Atribusi Bermusuhan, Teori Identitas Sosial, serta analisis mendalam mengenai eksternalitas negatif dari keributan, struktur kebohongan, dan perlunya sintesis dialektis dalam mencapai panjang narasi yang ekstensif dan komprehensif. Tambahan pembahasan teoritis pada bagian VII didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan konten yang masif dan mendalam.)