Tafsir Mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 275
Analisis Komprehensif Mengenai Larangan Riba, Implikasinya dalam Fiqih, Ekonomi, dan Spiritual
Surah Al-Baqarah merupakan salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an yang mencakup spektrum luas hukum, akidah, dan etika sosial. Di antara hukum yang paling fundamental dan memiliki dampak paling besar terhadap sistem kemasyarakatan adalah larangan terhadap Riba (bunga/usury). Ayat 275 dalam surah ini adalah puncak dari rangkaian ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang sedekah, infak, dan pengharaman segala bentuk eksploitasi finansial.
Latar Belakang dan Kedudukan Ayat
Ayat 275 sering disebut sebagai salah satu ayat kunci dalam penetapan hukum ekonomi Islam. Kedudukannya sangat strategis, muncul setelah Allah SWT menjelaskan pahala bagi orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, menunjukkan kontras ekstrem antara berkah dari sedekah (yang mensucikan harta) dan laknat dari riba (yang menghancurkan harta). Ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah pernyataan komprehensif yang meliputi aspek hukum duniawi, kondisi psikologis dan spiritual, serta hukuman akhirat.
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran sentuhan (gila). Yang demikian itu disebabkan mereka berkata bahwa sesungguhnya jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka baginya apa yang telah lalu (diambilnya); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barangsiapa yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
I. Tafsir Perkata dan Makna Spiritual Ayat 275
1. "ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا" (Orang-orang yang memakan riba)
Penggunaan frasa 'memakan' (ya'kulun) di sini tidak terbatas pada mengonsumsi secara fisik, tetapi merujuk pada memperoleh, memanfaatkan, dan menguasai harta yang berasal dari praktik riba. Ini mencakup pihak yang memberi pinjaman riba (kreditur), yang bertransaksi dengan riba, dan bahkan mereka yang mencatatnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih Rasulullah SAW bahwa laknat Allah menimpa pemakan riba, pemberi makan, pencatat, dan dua saksinya.
Istilah 'Riba' secara bahasa berarti tambahan (ziyadah) atau kenaikan. Secara syariat, ia adalah tambahan yang disyaratkan tanpa adanya imbalan (iwadh) yang sah secara syar'i, atau pertambahan nilai yang terjadi murni karena waktu (Riba Nasii'ah) atau pertukaran barang sejenis yang tidak sama takarannya (Riba Fadhl). Para ulama tafsir sepakat bahwa "memakan riba" adalah praktik yang dilakukan secara sadar, terus-menerus, dan menjadi sumber utama penghidupan atau kekayaan seseorang.
2. "لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ" (Tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan)
Inilah inti dari sanksi spiritual yang dijelaskan dalam ayat. Ibnu Abbas, Qatadah, dan banyak mufassir klasik lainnya menjelaskan bahwa deskripsi ini merujuk pada kondisi mereka saat dibangkitkan dari kubur pada Hari Kiamat. Mereka akan dibangkitkan dalam keadaan gila, linglung, tidak stabil, dan terjatuh-jatuh, berbeda dengan manusia lain yang berdiri tegak. Kondisi ini adalah manifestasi hukuman yang terlihat nyata (hissiyyah) atas kejahatan mereka di dunia.
Namun, para ulama kontemporer juga melihat tafsir psikologis dan duniawi (ma'nawiyah). Di dunia, pemakan riba sering kali kehilangan ketenangan batin, dihantui keserakahan yang tak terbatas, dan jiwanya tidak stabil karena ia berusaha mendapatkan kekayaan tanpa usaha dan tanpa risiko yang sah. Keadaan mental mereka di dunia, yang terdistorsi oleh materialisme serakah, termanifestasi menjadi kegilaan fisik di akhirat.
Ilustrasi perbandingan keadaan berdiri normal (jual beli sah) dan keadaan orang yang terhuyung-huyung seperti dirasuki setan (pemakan riba) pada Hari Kebangkitan.
3. "ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا" (Yang demikian itu disebabkan mereka berkata bahwa sesungguhnya jual beli sama dengan riba)
Ayat ini mengungkap rasionalisasi intelektual yang digunakan oleh para pelaku riba di masa Jahiliyah dan yang terus diulang di setiap zaman: bahwa riba hanyalah bentuk lain dari jual beli (Bai'). Mereka berargumen bahwa dalam jual beli, seseorang menjual barang seharga 100 dengan keuntungan 10, total 110. Dalam riba, seseorang meminjamkan uang 100 dan meminta pengembalian 110. Mereka melihat hasil akhir yang serupa, yaitu adanya peningkatan nilai modal, sehingga menganggap keduanya setara.
Pernyataan ini adalah penolakan terhadap pembedaan fundamental yang ditetapkan oleh syariat. Syariat menegaskan bahwa Riba adalah eksploitasi yang terjamin keuntungannya (guaranteed return) atas kebutuhan orang lain, sementara Jual Beli adalah pertukaran barang atau jasa yang melibatkan risiko (ghurm) dan usaha (khasarah), yang merupakan pilar penting dalam ekonomi yang sehat.
4. "وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا" (Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)
Ini adalah jawaban tegas dari Allah SWT yang menolak segala bentuk analogi (qiyas) yang menyamakan keduanya. Meskipun secara lahiriah keduanya melibatkan pertambahan, hakikatnya sangat berbeda. Jual beli membawa keberkahan karena melibatkan perpindahan kepemilikan, risiko kerugian, dan kontribusi terhadap peredaran barang riil. Riba, sebaliknya, melumpuhkan ekonomi produktif dan hanya menguntungkan pemilik modal yang tidak melakukan upaya riil.
Penghalalan jual beli (bai') berfungsi sebagai fondasi sistem ekonomi Islam yang didasarkan pada keadilan, sementara pengharaman riba (ziyadah tanpa risiko) adalah perlindungan terhadap penindasan ekonomi. Ayat ini menetapkan batas yang jelas antara sistem yang menghasilkan berkah dan sistem yang membawa kehancuran.
5. "فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ" (Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka baginya apa yang telah lalu; dan urusannya kepada Allah)
Ayat ini menunjukkan pintu taubat dan rahmat Allah. Setelah peringatan yang jelas (maudzihah) tentang haramnya riba disampaikan, jika seseorang segera menghentikan praktiknya (fantaha), maka harta riba yang telah ia kumpulkan sebelum ayat ini turun (ma salaf) tidak dipermasalahkan lagi baginya secara hukum dunia. Hukum ini diterapkan saat transisi dari ekonomi Jahiliyah menuju Islam. Ulama sepakat bahwa "apa yang telah lalu" ini hanya berlaku bagi periode sebelum adanya pengetahuan atau hukum yang pasti. Jika hukum sudah jelas, taubat harus disertai dengan pengembalian pokok modal tanpa tambahan riba.
Frasa "wa amruhu ila Allahi" (urusannya terserah kepada Allah) menunjukkan bahwa meskipun sanksi duniawi diangkat untuk masa lalu, perhitungan akhirat dan penerimaan taubatnya sepenuhnya berada di tangan Allah SWT, mendorong pelaku untuk bersungguh-sungguh dalam taubat dan perbaikan amal.
6. "وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ" (Dan barangsiapa yang kembali, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya)
Ini adalah ancaman paling keras dalam ayat ini, ditujukan kepada mereka yang telah mengetahui hukum, mendapatkan peringatan, namun sengaja kembali (aada) melakukan praktik riba. Ancaman kekal di neraka menunjukkan betapa besar dosa riba di sisi Allah, yang disandingkan dengan dosa-dosa besar lainnya. Sebagian ulama tafsir menjelaskan "kekal" di sini sebagai periode yang sangat lama, atau sebagai bentuk ancaman yang ditujukan kepada mereka yang menganggap riba halal (sehingga jatuh pada kekafiran), atau mereka yang mati tanpa sempat bertaubat dari dosa besar tersebut.
Keagungan ancaman ini menggarisbawahi bahwa riba bukan sekadar pelanggaran finansial; ia adalah pemberontakan terhadap perintah Ilahi dan sistem ekonomi yang adil yang telah ditetapkan oleh-Nya.
II. Dimensi Fiqih: Kategorisasi dan Batasan Riba
Untuk memahami kedalaman larangan Al-Baqarah 275, penting untuk mengkategorikan jenis-jenis riba yang disepakati para fuqaha (ahli fiqih), yang secara umum terbagi menjadi dua kelompok besar, masing-masing memiliki implikasi yang berbeda dalam transaksi modern.
1. Riba Nasii'ah (Riba Penundaan/Waktu)
Ini adalah jenis riba yang paling sering dibahas dalam konteks Al-Baqarah 275. Riba Nasii'ah adalah tambahan yang disyaratkan atas modal pinjaman (qardh) sebagai imbalan dari penundaan waktu pembayaran. Ini adalah praktik inti dari bunga pinjaman konvensional, di mana risiko ditransfer sepenuhnya kepada peminjam dan pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan yang terjamin (risk-free return).
Para ulama sepakat bahwa setiap pinjaman yang mensyaratkan adanya kelebihan pengembalian di atas pokok modal adalah Riba Nasii'ah, tanpa memandang alasan penambahan tersebut, baik karena perpanjangan waktu, inflasi, atau biaya administrasi yang tidak sesuai dengan biaya riil. Sifat kezaliman riba jenis ini terletak pada eksploitasi kebutuhan peminjam (gharim) dan pengalihan risiko yang seharusnya dibagi.
2. Riba Fadhl (Riba Kelebihan/Pertukaran)
Riba Fadhl timbul dalam pertukaran barang-barang ribawi sejenis yang memiliki kelebihan takaran atau kualitas. Rasulullah SAW menyebutkan enam jenis komoditas ribawi (al-ashnaf as-sittah) dalam hadisnya: emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam. Kaidah fiqih menetapkan: jika ditukar dengan sejenis, harus sama takaran (mitslan bi-mitslin) dan dilakukan secara tunai (yadan bi-yadin). Jika berbeda jenis tetapi sama illah-nya (misalnya emas dengan perak, atau gandum dengan kurma), boleh berbeda takaran asalkan tunai.
Meskipun Riba Fadhl tidak terkait langsung dengan utang-piutang seperti Riba Nasii'ah, ia diharamkan sebagai sarana (dzari'ah) untuk mencegah munculnya Riba Nasii'ah. Misalnya, jika seseorang menjual satu kilo emas dengan 1,1 kilo emas, kelebihan 100 gram itu adalah riba Fadhl. Pengharaman ini bertujuan menjaga kesetaraan dan mencegah praktik spekulatif dalam pertukaran komoditas dasar dan moneter.
3. Perbedaan Mendasar antara Bai' (Jual Beli) dan Riba
Inti dari argumen dalam ayat 275 adalah penolakan terhadap penyamaan jual beli dan riba. Tabel perbedaan ini sangat penting untuk memahami filosofi ekonomi Islam:
Pilar Pembeda
- Kepemilikan dan Risiko: Dalam Jual Beli, perpindahan kepemilikan aset terjadi, dan pedagang menanggung risiko kerugian (ghurm) jika harga pasar anjlok atau barang rusak. Dalam Riba, modal tetap milik pemberi pinjaman, dan keuntungan (bunga) dijamin, tanpa menanggung risiko atas kinerja bisnis peminjam.
- Tujuan Transaksi: Jual Beli bertujuan untuk menyediakan barang/jasa riil dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Riba bertujuan murni untuk menambah nilai uang dari uang, tanpa ada nilai tambah produktif yang signifikan.
- Keberkahan (Barakah): Allah memberkahi jual beli. Jual beli meningkatkan aktivitas ekonomi riil. Riba menghapus keberkahan (yamhaqullahu ar-riba) dan mengkonsentrasikan kekayaan.
Representasi ketidakseimbangan (kezaliman) Riba dibandingkan dengan keseimbangan dan keadilan Jual Beli.
III. Dampak Riba terhadap Ekonomi dan Masyarakat
Ayat 275 bukan hanya sekadar larangan ritual, tetapi merupakan fondasi bagi sistem ekonomi yang bertujuan menciptakan keadilan distributif. Pengharaman riba memiliki konsekuensi ekonomi dan sosial yang sangat mendalam, yang menjadi bukti kearifan Ilahi dalam menetapkan hukum.
1. Penghapusan Berkah (Mahq al-Riba)
Ayat 276 yang mengikuti ayat 275 menjelaskan: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." Pemusnahan (Mahq) ini bersifat ganda. Pertama, ia dapat bersifat fisik, di mana harta riba tersebut hilang atau lenyap tanpa disadari oleh pemiliknya melalui bencana atau kerugian. Kedua, dan yang lebih penting, ia adalah pemusnahan spiritual. Harta riba kehilangan keberkahannya (barakah), sehingga meskipun jumlahnya besar secara angka, ia tidak memberikan manfaat sejati bagi pemiliknya di dunia maupun akhirat.
Riba mencabut rasa syukur dan kepuasan, mendorong keserakahan yang tak berujung, dan menghilangkan kedamaian dalam harta, sehingga kekayaan tersebut menjadi sumber kecemasan dan kebinasaan, bukan ketenangan.
2. Konsentrasi Kekayaan dan Kesenjangan Sosial
Riba secara inheren mendorong konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Dalam sistem berbasis riba, uang menghasilkan uang, terlepas dari produksi riil. Hal ini menyebabkan modal yang terus menumpuk di tangan pemilik modal, sementara mereka yang bekerja (peminjam) terus terbebani utang yang bertambah tanpa henti. Riba menciptakan mekanisme di mana si kaya menjadi lebih kaya, dan si miskin menjadi terperangkap dalam siklus utang (debt trap).
Dalam jangka panjang, kesenjangan yang parah ini merusak kohesi sosial, memicu kecemburuan, dan dapat menjadi sumber instabilitas politik dan kriminalitas. Islam menentang sistem yang mengizinkan uang berputar hanya di antara orang-orang kaya (sebagaimana ditegaskan dalam Al-Hasyr: 7).
3. Melemahkan Sektor Produktif Riil
Jika seseorang dapat memperoleh keuntungan 10% yang dijamin tanpa risiko melalui riba (bunga), mengapa ia harus mengambil risiko dalam perdagangan, pertanian, atau industri? Riba memberikan insentif yang salah bagi pemilik modal untuk menjadi rentenir pasif daripada menjadi investor aktif. Ini mengalihkan modal dari investasi produktif yang berisiko tinggi (tetapi bermanfaat sosial) ke investasi finansial yang terjamin (tetapi eksploitatif).
Ekonomi Islam, melalui konsep Mudarabah (bagi hasil) dan Musyarakah (kemitraan), mendorong pemilik modal untuk berbagi risiko dengan pekerja atau pengusaha, memastikan bahwa keuntungan hanya diperoleh jika ada keuntungan riil dari proyek yang dijalankan. Ini adalah antitesis sempurna dari sistem riba.
IV. Relevansi Kontemporer dan Implementasi Hukum Riba
Debat mengenai Riba dalam konteks modern sering berpusat pada pertanyaan apakah bunga bank konvensional sama dengan Riba Nasii'ah yang diharamkan. Mayoritas mutlak ulama, baik klasik maupun kontemporer, dari berbagai mazhab, menyepakati bahwa bunga atas pinjaman dalam perbankan modern adalah bentuk Riba Nasii'ah yang jelas dan termasuk dalam larangan keras yang digariskan dalam Al-Baqarah 275.
1. Bunga Pinjaman dan Riba Nasii'ah
Bunga bank yang dikenakan atas kredit atau pinjaman modal memenuhi definisi Riba Nasii'ah karena memenuhi tiga unsur utama: adanya pinjaman uang, adanya syarat tambahan di atas pokok pinjaman, dan pertambahan tersebut dihitung berdasarkan waktu. Pemberi pinjaman (bank) dijamin mendapatkan keuntungan terlepas dari kinerja peminjam. Hal ini sejalan sepenuhnya dengan praktik riba Jahiliyah, di mana tambahan diwajibkan ketika waktu pembayaran utang diperpanjang.
2. Bunga Deposito dan Riba Fadhl/Nasii'ah
Meskipun sering dianggap lebih ringan, bunga yang diterima dari deposito tabungan juga jatuh dalam kategori riba karena merupakan keuntungan pasti atas modal yang diserahkan dalam bentuk pinjaman kepada bank. Sebagian ulama menggolongkannya sebagai Riba Nasii'ah karena bank memanfaatkan dana tersebut dan memberikan imbalan tetap yang tidak bergantung pada kinerja investasi riil bank.
3. Fiqih Keadaan Darurat (Dharurat)
Dalam menghadapi sistem ekonomi global yang didominasi riba, muncul pertanyaan mengenai penggunaan produk ribawi dalam keadaan darurat (dharurat) yang mengancam nyawa atau kebutuhan pokok esensial yang tidak dapat dipenuhi melalui cara syariah. Meskipun dharurat membolehkan yang haram (al-dharurat tubih al-mahzurat), kaidah ini diterapkan dengan sangat ketat.
Sebagian besar ulama kontemporer menegaskan bahwa dharurat tidak berlaku untuk investasi atau pinjaman konsumtif mewah. Dharurat sejati hanya berlaku jika pilihan menghindari riba benar-benar tidak ada dan ketiadaan pinjaman akan menyebabkan bahaya yang pasti (misalnya, pengobatan kritis yang harus segera dibayar). Namun, upaya kolektif untuk membangun institusi keuangan yang bebas riba (Muamalah Syariah) tetap merupakan kewajiban utama yang harus diupayakan oleh umat Islam untuk menghindari ancaman yang disebutkan dalam ayat 275.
4. Menjauhi Aspek Riba Secara Menyeluruh
Para ahli fiqih menafsirkan hadis yang melaknat empat pihak terkait riba —pemakan, pemberi makan, pencatat, dan dua saksinya— sebagai peringatan keras bahwa keterlibatan dalam sistem riba, bahkan dalam peran pendukung administratif, dilarang keras. Ini menegaskan bahwa umat Islam harus berusaha keras untuk menjauhkan diri dari rantai transaksi ribawi, sesuai dengan tuntutan kesempurnaan iman.
Bagi mereka yang telah terlanjur terlibat, ayat 275 memberikan jalan keluar yang jelas: taubat dan penghentian segera. Pengembalian pokok modal tanpa riba adalah kewajiban yang harus dipenuhi untuk membersihkan diri dari dampak transaksi masa lalu. Harta yang diperoleh dari riba, jika tidak mungkin dikembalikan kepada pemilik asalnya, harus didistribusikan untuk kepentingan umum (maslahah ammah) atau fakir miskin, tanpa niat mendapatkan pahala sedekah, melainkan sebagai proses pembersihan harta (takhlish).
V. Dimensi Akidah: Pertarungan Melawan Logika Jahiliyah
Perkataan pelaku riba, "innama al-bai'u mitslu ar-riba," bukan sekadar kesalahan ekonomi, melainkan kesalahan fundamental dalam akidah dan penentuan sumber hukum. Dengan menyamakan yang halal dan yang haram, mereka secara tidak langsung menantang otoritas penetapan hukum (tasyri') Allah SWT.
1. Penolakan terhadap Kedaulatan Hukum Ilahi
Ketika Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, ini adalah perintah mutlak (ta'abbudi). Penolakan atau penyamaan keduanya menunjukkan arogansi intelektual yang menempatkan akal dan hawa nafsu manusia di atas Wahyu. Para mufassir menekankan bahwa ancaman kekal di neraka bagi mereka yang "kembali" berbuat riba bisa jadi ditujukan pada mereka yang kembali dengan keyakinan bahwa hukum pengharaman itu tidak valid atau bahwa riba dan jual beli memang sama-sama halal.
2. Manifestasi Kemasukan Setan
Kondisi terhuyung-huyung seperti orang yang dirasuki setan pada Hari Kiamat melambangkan hilangnya kendali diri dan akal. Setan, dalam konteks ini, tidak hanya merusak fisik tetapi juga merusak persepsi dan etika. Setan menjadikan praktik kezaliman (riba) tampak adil (jual beli), sehingga individu tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah secara moral. Dalam konteks ekonomi, keserakahan yang didorong oleh riba adalah manifestasi nyata dari bisikan setan.
Ibnu Katsir menjelaskan, para pemakan riba dibangkitkan seperti orang gila sebagai hukuman karena mereka telah melakukan praktik yang gila (yaitu menafikan perbedaan antara Bai' dan Riba) di dunia. Hukuman akhirat adalah cerminan dari keburukan amal di dunia.
3. Ujian Keimanan dan Kepatuhan
Riba merupakan ujian terbesar bagi keimanan seseorang terhadap rezeki (rizq) yang telah ditetapkan Allah. Orang yang mengambil riba menunjukkan ketidakpercayaan bahwa Allah akan memberkahi harta yang diperoleh melalui cara halal. Ia memilih jalan pintas yang terjamin, meskipun haram. Sebaliknya, orang yang bersabar dalam jual beli dan berbagi risiko menunjukkan kepatuhan total kepada perintah Allah dan keyakinan bahwa berkah (barakah) jauh lebih berharga daripada pertambahan angka (ziyadah).
VI. Membangun Ekonomi Berdasarkan Prinsip Al-Baqarah 275
Penghapusan riba menuntut pembangunan sistem ekonomi alternatif yang kokoh. Sistem ini harus berakar pada konsep keadilan, risiko bersama, dan tujuan sosial (maqashid syariah).
1. Prinsip Bagi Hasil (Profit-Loss Sharing)
Alternatif utama pengganti riba adalah mekanisme Bagi Hasil (PLS), seperti Mudarabah (salah satu pihak modal, pihak lain kerja/usaha) dan Musyarakah (kedua belah pihak menyumbang modal dan usaha). Dalam model ini, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, tetapi kerugian ditanggung oleh pemilik modal (shahibul mal), kecuali kerugian disebabkan kelalaian pengusaha (mudarib).
Model PLS mewujudkan esensi dari jual beli yang dihalalkan: risiko (gharar) harus ada. Ini memastikan bahwa modal hanya mendapatkan imbalan jika proyek riil berhasil, memaksa pemilik modal untuk proaktif, berhati-hati, dan mendukung aktivitas ekonomi yang produktif.
2. Konsep Uang dalam Islam
Dalam sistem yang dilarang riba, uang (fulus) berfungsi sebagai alat tukar dan pengukur nilai, bukan komoditas untuk diperdagangkan atau diperanakkan (money begets money). Jika uang diperlakukan sebagai komoditas yang dijual dengan harga masa depan (bunga), ia akan kehilangan fungsi sosialnya sebagai jembatan untuk pertukaran barang dan jasa. Islam melihat uang sebagai potensi beli yang netral, yang baru akan menghasilkan nilai tambah jika dikombinasikan dengan usaha dan risiko riil.
3. Kewajiban Zakat dan Sedekah
Ayat-ayat Riba disandingkan dengan ayat-ayat Zakat dan Sedekah. Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah sistem dua kutub: pencegahan kezaliman (Riba) dan promosi keadilan distributif (Zakat/Sedekah). Zakat memastikan redistribusi kekayaan secara wajib, sementara larangan riba mencegah konsentrasi kekayaan pada satu pihak.
Ayat 275 mengajak kita untuk tidak hanya berhenti dari yang haram, tetapi juga aktif menyuburkan yang halal. Ketika seseorang menjauhi riba, ia sedang mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan keberkahan yang hakiki, yang jauh melampaui perhitungan matematis keuntungan sesaat. Berkah ini adalah jaminan ketenangan hati di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.
Keputusan Allah untuk menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba merupakan manifestasi dari kearifan-Nya yang sempurna, yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia secara kolektif. Larangan ini adalah perlindungan terhadap kezaliman tersembunyi yang mungkin tidak disadari oleh manusia yang serakah, namun dampaknya merusak seluruh tatanan masyarakat.
Menjelaskan secara mendalam tentang tafsir Ibnu Abbas dan tafsir kontemporer, tampak bahwa ayat ini adalah cetak biru abadi untuk memisahkan sistem ekonomi yang bersifat predator (riba) dari sistem ekonomi yang bersifat kooperatif dan saling mendukung (bai'). Ketika masyarakat mengabaikan batas ini, mereka akan menuai kegilaan, ketidakstabilan finansial, dan kehancuran moral, seperti yang diisyaratkan oleh perumpamaan orang yang kesurupan setan.
Kajian mendalam tentang konsekuensi Riba di zaman modern memperlihatkan betapa relevannya ancaman dalam ayat 275. Ketika seluruh sistem finansial didasarkan pada utang berbunga, krisis ekonomi global menjadi keniscayaan. Krisis utang, spekulasi berlebihan, dan kegagalan bank-bank besar dapat dilihat sebagai manifestasi duniawi dari 'pemusnahan' (Mahq) yang dijanjikan Allah atas harta riba. Sistem yang didirikan di atas janji keuntungan tanpa risiko pada akhirnya akan runtuh karena bertentangan dengan hukum alamiah rezeki dan keadilan Ilahi.
Oleh karena itu, setiap Muslim memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk secara aktif mencari dan menerapkan alternatif muamalah yang sesuai syariah. Ini mencakup memilih lembaga keuangan syariah, berpartisipasi dalam skema investasi bagi hasil, dan menghindari segala bentuk pinjaman konsumtif berbunga. Dengan demikian, individu tidak hanya menyelamatkan dirinya dari ancaman kekal, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekosistem ekonomi yang lebih adil dan berkah.
Perbedaan antara "Ma Salaf" (apa yang telah berlalu) dan "Man 'Ada" (barangsiapa kembali) menjadi titik penting dalam hukum taubat. "Ma Salaf" memberikan harapan bagi mereka yang berada di masa transisi, menunjukkan bahwa Islam tidak menuntut penghancuran ekonomi masa lalu, melainkan perbaikan segera ke masa depan. Namun, frasa "Man 'Ada" menegaskan bahwa setelah hukum jelas, tidak ada alasan lagi untuk kembali. Kembali ke praktik riba setelah mengetahui pengharamannya adalah tindakan pembangkangan yang disengaja, dan inilah yang memicu ancaman neraka yang kekal.
Pemahaman integral terhadap Al-Baqarah 275 tidak hanya berhenti pada pembedaan Riba Nasii'ah dan Riba Fadhl, tetapi juga merambah pada konsep Riba al-Qardh (riba pinjaman) dan Riba al-Buyu’ (riba jual beli). Riba al-Qardh adalah fokus utama ayat ini, yang menegaskan bahwa uang yang dipinjamkan harus kembali dalam jumlah yang sama; setiap tambahan adalah riba. Riba al-Buyu’ melengkapi larangan tersebut, memastikan bahwa pertukaran komoditas dasar tidak digunakan sebagai celah untuk menghasilkan keuntungan terjamin tanpa nilai tambah riil, menjaga stabilitas harga dan mencegah penimbunan.
Kekuatan ayat ini terletak pada penekanan Allah SWT bahwa Dia sendiri yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ini bukan sekadar keputusan ekonomi yang bisa dinegosiasikan, melainkan keputusan teologis yang menguji kepatuhan total umat. Mereka yang bersikeras menyamakan keduanya menunjukkan bahwa kriteria mereka dalam menilai nilai ekonomi adalah murni hasil (output), bukan proses (halal/haram). Islam mengajarkan bahwa proses yang adil (jual beli) jauh lebih penting daripada output yang tidak beretika (riba), karena keberkahan hanya melekat pada yang adil.
Perumpamaan orang yang kesurupan setan juga mengingatkan bahwa ketidakadilan ekonomi yang parah akan menyebabkan disfungsi sosial dan mental. Masyarakat yang didominasi oleh sistem riba akan menjadi masyarakat yang tidak stabil, mudah panik (seperti terguncang saat krisis), dan kehilangan arah moral, persis seperti individu yang sedang mengalami gangguan kejiwaan. Stabilitas ekonomi Islam, sebaliknya, didasarkan pada ketenangan hati yang berasal dari transaksi yang jujur dan berkah. Kekuatan yang muncul dari ketenangan ini jauh lebih stabil daripada kekayaan yang didasarkan pada eksploitasi dan kegelisahan.
Dalam konteks modern, implementasi ayat 275 memerlukan reformasi menyeluruh terhadap kontrak finansial, khususnya dalam sektor perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kontrak-kontrak ini, yang sering kali didasarkan pada skema bunga jangka panjang, menjamin akumulasi kekayaan di tangan kreditor dan membebani masyarakat dengan beban utang yang tidak proporsional. Lembaga keuangan syariah yang menawarkan pembiayaan berbasis Murabahah (jual beli dengan margin keuntungan), Ijarah (sewa), atau Musyarakah Mutanaqisah (kemitraan menurun) berusaha keras mewujudkan prinsip-prinsip ini, mengubah status utang berbunga menjadi investasi bersama atau transaksi penjualan yang sah.
Maka dari itu, tafsir Al-Baqarah 275 adalah panggilan untuk bertindak, tidak hanya untuk menjauhi dosa besar riba, tetapi juga untuk secara aktif membangun tata kelola ekonomi yang mencerminkan keadilan dan rahmat Ilahi. Ini adalah proyek kolektif untuk memastikan bahwa peredaran harta di tengah umat manusia berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan sejati, bukan sebagai alat penindasan dan kehancuran yang diancamkan bagi mereka yang kembali kepada riba.
Penting untuk dicatat bahwa dalam literatur fiqih, para ulama menekankan pentingnya menjaga nilai pokok modal (ra'sul mal). Jika terjadi kerugian yang bukan karena kelalaian, modal tersebut harus dikembalikan seutuhnya, tanpa pengurangan, namun juga tanpa tambahan. Inilah keadilan murni dalam pinjaman kebajikan (Qardh Hasan). Riba Nasii'ah menghancurkan prinsip ini dengan menuntut tambahan meskipun peminjam mengalami kerugian total. Kontras inilah yang menjadi alasan utama pengharaman yang sangat tegas dalam Al-Baqarah 275.
Melihat kembali sejarah Islam, penerapan total larangan riba, seperti yang terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khattab dan selanjutnya, menghasilkan periode stabilitas ekonomi yang luar biasa. Prinsip keberanian untuk berinvestasi dan berbagi risiko menghasilkan pertumbuhan riil yang substansial. Ini membuktikan bahwa ekonomi tanpa riba bukanlah utopia, melainkan model yang secara empiris terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan sosial secara merata. Ayat 275 adalah janji dan peringatan: kebaikan datang dari kepatuhan pada aturan-Nya, dan kehancuran datang dari penolakan terhadap pembedaan antara yang halal dan haram.
Sistem riba menciptakan masyarakat yang fokus pada 'hak' untuk mendapatkan keuntungan tanpa 'kewajiban' menanggung risiko. Dalam pandangan Islam, hak dan kewajiban harus seimbang. Keuntungan adalah imbalan atas risiko dan usaha yang nyata. Riba melanggar keseimbangan ini, yang pada gilirannya melanggar prinsip keadilan Ilahi yang merupakan esensi dari seluruh syariat Islam. Setiap individu yang terlibat dalam transaksi riba, bahkan dalam skala kecil, secara tidak sadar mendukung sistem yang dikutuk keras dalam Al-Qur'an ini.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang membaca dan merenungkan ayat 275 ini, wajib hukumnya untuk mengambil sikap tegas: menjauhi riba dan semua institusi yang mendukungnya, serta mencari dan mendukung sistem ekonomi yang berlandaskan jual beli yang jujur, berbagi risiko, dan sedekah. Ini adalah jalan menuju 'falah' (kesuksesan sejati) yang dijanjikan oleh Allah SWT, yang membersihkan harta dan jiwa dari segala bentuk eksploitasi dan ketidakadilan.
Harta yang diperoleh dari riba, bahkan jika berlipat ganda, tidak pernah menghasilkan ketenangan jiwa. Justru sebaliknya, ia membawa kecemasan dan kezaliman yang terus-menerus. Ketenangan batin (thuma'ninah) adalah hasil langsung dari keberkahan, yang hanya datang melalui ketaatan penuh. Ancaman kekal di neraka, pada akhirnya, adalah hukuman bagi jiwa yang telah memilih sistem keserakahan duniawi, menolak tawaran pengampunan (falahu ma salaf) dan kembali kepada kekafiran praktis dengan menolak pembedaan halal dan haram yang jelas.
Tafsir ini menegaskan bahwa Surah Al-Baqarah 275 adalah perintah yang menyeluruh, mencakup dimensi etika individu, hukum sosial, dan sistem ekonomi makro. Ayat ini menantang umat manusia untuk memilih antara jalan yang lurus (kepatuhan dan keadilan) atau jalan yang terhuyung-huyung (keserakahan dan kezaliman), dengan konsekuensi yang sangat kontras di dunia dan di akhirat. Keputusan ada di tangan setiap Muslim untuk mengindahkan peringatan ini dan kembali kepada prinsip dasar ekonomi yang diberkahi.