Hidup adalah rangkaian peristiwa yang tak terduga, sebuah simfoni kompleks antara suka dan duka, kepastian dan ketidakpastian. Dalam hiruk pikuk eksistensi modern, salah satu keterampilan paling berharga yang dapat kita kembangkan adalah seni yang seringkali terabaikan: seni merangkul. Merangkul bukan hanya sekadar tindakan fisik; ia adalah filosofi mendasar, sebuah sikap mental yang memungkinkan individu untuk menerima kenyataan secara utuh, tanpa syarat, dan tanpa perlawanan yang sia-sia.
Konsep merangkul melampaui toleransi pasif. Ia menuntut keterlibatan aktif dengan realitas, baik realitas internal diri kita—termasuk kekurangan, trauma, dan ambisi yang belum tercapai—maupun realitas eksternal yang terus bergolak—perubahan sosial, ketidakadilan, dan dinamika alam semesta. Ini adalah fondasi psikologis bagi ketahanan sejati dan kunci menuju kedamaian batin yang berkelanjutan. Ketika kita memilih untuk merangkul, kita memilih untuk menghentikan perjuangan melawan apa yang sudah terjadi, dan mengalihkan energi kita untuk membentuk apa yang akan datang.
Perjalanan merangkul selalu dimulai dari dalam. Sebelum kita dapat menerima dunia yang kacau di sekitar kita, kita harus terlebih dahulu berdamai dan menerima kompleksitas diri sendiri. Ini adalah proses yang seringkali menantang, membutuhkan keberanian untuk melihat bayangan dan cahaya kita tanpa menghakimi.
Dalam budaya yang sering memuja kekuatan dan ketidakgoyahan, kerentanan sering disalahpahami sebagai kelemahan. Padahal, kerentanan adalah inti dari kemanusiaan. Merangkul kerentanan berarti mengakui bahwa kita adalah makhluk yang rapuh, rentan terhadap rasa sakit, ketakutan, dan kegagalan. Ketika kita menolak kerentanan, kita membangun tembok pertahanan psikologis yang menghalangi kita dari pengalaman hidup yang utuh. Tembok ini mungkin melindungi dari rasa sakit sementara, namun juga mencegah masuknya kegembiraan, cinta, dan koneksi yang mendalam.
Kerentanan menjadi kekuatan ketika kita mengizinkan orang lain melihat kita secara apa adanya. Hal ini menciptakan ruang bagi empati dan koneksi interpersonal yang otentik. Tokoh-tokoh psikologi humanistik sering menekankan bahwa pengakuan terhadap kelemahan diri adalah langkah pertama menuju integrasi kepribadian. Tanpa pengakuan ini, energi mental kita terkuras habis untuk mempertahankan fasad kesempurnaan yang tidak realistis. Merangkul ketidaksempurnaan adalah tindakan revolusioner terhadap tuntutan sosial yang selalu meminta kita menjadi lebih baik, lebih kaya, atau lebih kuat—daripada hanya menjadi diri sendiri.
Setiap individu membawa sejarah—serangkaian keputusan, kegagalan, dan kemenangan. Banyak orang terjebak dalam siklus penyesalan atau idealisasi masa lalu, yang menghalangi mereka untuk sepenuhnya hadir di masa kini. Merangkul sejarah personal berarti menerima semua bab dalam buku kehidupan kita, termasuk yang paling kelam atau memalukan. Ini bukan berarti membenarkan kesalahan, tetapi memahami bahwa setiap pengalaman, bahkan yang menyakitkan, telah membentuk kita menjadi sosok yang sekarang.
Proses ini melibatkan pemisahan identitas kita dari kesalahan yang pernah dilakukan. Kegagalan di masa lalu adalah tindakan yang terjadi, bukan definisi siapa kita. Dengan merangkul sejarah, kita membebaskan diri dari beban rasa bersalah kronis. Ini memungkinkan kita untuk menarik pelajaran berharga dari trauma dan menggunakan hikmah tersebut sebagai kompas untuk masa depan. Tanpa penerimaan penuh terhadap sejarah, kita secara psikologis terus-menerus kembali ke masa lalu, mengulangi argumen dan keputusan yang tidak dapat diubah.
Konsep integrasi sisi gelap, yang dipopulerkan oleh psikologi Jungian, adalah aspek paling mendalam dari merangkul diri. Sisi gelap (shadow) adalah kumpulan sifat, dorongan, dan emosi yang dianggap tidak dapat diterima oleh ego dan oleh karena itu disingkirkan ke alam bawah sadar. Ini bisa berupa kemarahan yang tidak terekspresikan, kecemburuan yang ditekan, atau ambisi yang ditolak karena dianggap ‘tidak pantas’.
Merangkul sisi gelap tidak berarti melepaskan dorongan destruktif, melainkan menyinari kesadaran pada aspek-aspek ini. Ketika kita menolak sisi gelap, ia tidak hilang; ia justru bermanifestasi secara tidak sadar melalui proyeksi (melihat kekurangan diri pada orang lain) atau perilaku autodestruktif. Dengan mengakui dan mengintegrasikan bayangan, kita dapat menyalurkan energi yang sebelumnya terbuang untuk represi menjadi kekuatan kreatif. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan kejujuran brutal, namun hasilnya adalah kepribadian yang lebih utuh, terintegrasi, dan lebih stabil secara emosional.
Dunia adalah entitas yang terus bergerak, selalu berubah. Ironisnya, manusia sering mencari stabilitas dan kepastian absolut dalam lingkungan yang secara intrinsik tidak pasti. Penolakan terhadap perubahan adalah sumber utama penderitaan dan kecemasan. Merangkul perubahan adalah keterampilan bertahan hidup di abad ini, yang menuntut fleksibilitas kognitif dan emosional yang tinggi.
Banyak tradisi filosofis, terutama Buddhisme, berpusat pada konsep ketidakkekalan (anicca). Segala sesuatu yang lahir pasti akan binasa; segala sesuatu yang diciptakan pasti akan berubah. Memahami dan menerima ketidakkekalan ini adalah langkah revolusioner. Ketika kita berhenti berpegangan pada harapan bahwa keadaan saat ini (baik atau buruk) akan bertahan selamanya, kita mengurangi cengkeraman ketakutan dan penderitaan.
Merangkul ketidakkekalan mengubah perspektif kita terhadap kehilangan. Kehilangan, baik itu pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan, menjadi bagian alami dari siklus hidup, bukan kegagalan sistematis. Penerimaan ini memberikan izin untuk mengalami kesedihan tanpa perlu mengunci diri dalam penolakan. Ini memungkinkan kita untuk menghargai momen sukacita saat ia ada, karena kita tahu betapa berharganya ia sebelum ia berlalu.
Di era digital, laju perubahan teknologi dan sosial seringkali melebihi kemampuan adaptasi individu. Merangkul perubahan menuntut kita untuk mengembangkan fleksibilitas kognitif—kemampuan untuk beralih antara kerangka berpikir yang berbeda, menerima informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan lama, dan dengan cepat mempelajari keterampilan baru. Individu yang kaku secara kognitif akan mengalami kesulitan besar, merasa terancam setiap kali sistem atau norma yang mereka yakini berubah.
Merangkul transformasi ini berarti melihat setiap perubahan sebagai tantangan, bukan sebagai ancaman yang menghancurkan. Ini adalah panggilan untuk terus belajar dan mengkalibrasi ulang pemahaman kita tentang dunia. Dunia tidak berutang pada kita stabilitas; kita berutang pada diri kita sendiri kemampuan untuk beradaptasi dengan aliran energi yang dinamis.
Kecemasan adalah respons alami terhadap ketidakpastian. Ketika kita mencoba mengendalikan masa depan yang tidak dapat dikendalikan, kita menciptakan penderitaan yang tak berkesudahan. Merangkul ketidakpastian berarti mengakui bahwa ada batas yang jelas antara apa yang dapat kita kontrol (aksi dan reaksi kita) dan apa yang tidak dapat kita kontrol (hasil, tindakan orang lain, peristiwa global).
Pendekatan ini sangat berkaitan dengan konsep stoicisme, di mana fokus diletakkan pada kebajikan dan tindakan dalam kendali kita. Dengan merangkul ketidakpastian, kita menggeser fokus dari mencoba memprediksi setiap variabel menjadi mempersiapkan diri secara internal untuk menghadapi setiap kemungkinan. Kita belajar untuk hidup dalam zona 'mungkin' daripada menuntut kepastian 'harus'. Ini melepaskan tekanan mental yang luar biasa dan mengizinkan kita untuk bertindak dengan lebih tenang dan terukur, bahkan ketika kabut masa depan tebal.
Di luar diri dan perubahan, tantangan terbesar merangkul terjadi dalam interaksi kita dengan orang lain. Kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh keragaman budaya, politik, dan keyakinan yang luar biasa. Penolakan terhadap perbedaan seringkali menjadi akar konflik dan polarisasi sosial. Merangkul keragaman adalah tindakan etis dan psikologis yang esensial untuk pembangunan masyarakat yang harmonis dan berkelanjutan.
Toleransi seringkali dipandang sebagai standar etika tertinggi, namun toleransi sering kali hanya berarti ‘mengizinkan keberadaan sesuatu tanpa menyetujuinya’. Merangkul keragaman menuntut kita melampaui toleransi menuju apresiasi dan keingintahuan. Ini melibatkan pengakuan bahwa perbedaan bukan hanya harus ditanggung, tetapi juga dapat memperkaya kehidupan kita dan memperluas perspektif kita.
Merangkul keragaman berarti secara aktif mencari pemahaman tentang sudut pandang yang bertentangan atau cara hidup yang berbeda. Hal ini membutuhkan kerendahan hati intelektual—pengakuan bahwa pengetahuan kita terbatas dan bahwa kebenaran mungkin memiliki banyak segi. Ketika kita merangkul keragaman, kita melihat setiap orang sebagai ensiklopedia hidup dengan pengalaman dan kearifan yang unik untuk dibagikan.
Banyak orang menghindari konflik karena menganggapnya sebagai tanda kegagalan hubungan atau kekerasan emosional. Namun, konflik adalah hasil alami dari perbedaan pandangan—dan karena itu, konflik adalah tak terhindarkan dan seringkali diperlukan. Merangkul konflik secara konstruktif berarti melihat perbedaan pendapat bukan sebagai pertempuran yang harus dimenangkan, tetapi sebagai peluang untuk pertumbuhan dan kejernihan.
Pendekatan ini membutuhkan keterampilan komunikasi yang kuat, terutama mendengarkan secara aktif dan validasi emosional. Alih-alih merespons dengan defensif, merangkul konflik memungkinkan kita untuk memproses emosi yang muncul, mencari akar penyebab masalah, dan bernegosiasi untuk solusi yang lebih baik. Tanpa merangkul konflik, perbedaan akan terpendam dan pada akhirnya meledak, menciptakan kerusakan yang jauh lebih besar daripada dialog yang sulit pada awalnya.
Inti dari merangkul keragaman adalah kemampuan untuk berempati, yang merupakan kemampuan untuk membayangkan dan merasakan pengalaman orang lain. Empati adalah jembatan yang melintasi jurang antara 'Aku' dan 'Engkau'. Untuk mencapai empati yang sejati, kita harus melepaskan kecenderungan ego sentris kita—asumsi bahwa pengalaman kita adalah norma universal.
Merangkul penderitaan orang lain, misalnya, tidak berarti mengambil rasa sakit mereka, tetapi berdiri bersama mereka dalam pengakuan bahwa rasa sakit itu nyata. Proses merangkul ini memungkinkan kita untuk menjadi agen perubahan sosial. Ketika kita benar-benar merangkul penderitaan dan realitas hidup orang yang termarjinalkan, motivasi kita untuk keadilan tidak lagi didasarkan pada kewajiban moral yang dingin, tetapi pada koneksi manusia yang hangat dan mendalam. Pelepasan ego sentris ini membuka jalan bagi tindakan kolektif dan kemajuan masyarakat.
Tidak ada pengalaman manusia yang lebih universal, dan lebih ditolak, daripada rasa sakit dan penderitaan. Baik fisik, emosional, maupun eksistensial, penderitaan adalah bagian integral dari keberadaan. Merangkul rasa sakit adalah paradoks paling sulit dalam seni penerimaan, namun ini adalah jalur tercepat menuju kebebasan psikologis.
Seringkali, rasa sakit (pain) adalah stimulus sensorik atau emosional yang tak terhindarkan (misalnya, kehilangan, penyakit, penolakan). Penderitaan (suffering), di sisi lain, seringkali merupakan respons mental kita terhadap rasa sakit—penolakan, perlawanan, dan penambahan cerita negatif pada rasa sakit tersebut. Sering dikatakan bahwa "Rasa sakit itu tak terhindarkan; penderitaan itu opsional."
Merangkul rasa sakit berarti merasakan emosi atau sensasi yang tidak nyaman tanpa mencoba melarikan diri atau menekannya. Ketika kita merangkul rasa sakit, kita membatasi kemampuan rasa sakit itu untuk berkembang menjadi penderitaan kronis. Ini membutuhkan praktik kesadaran (mindfulness), di mana kita mengamati rasa sakit tanpa melekatkan label penilaian atau narasi bencana padanya. Ketika kita mengizinkan rasa sakit untuk ada, ironisnya, ia cenderung berkurang intensitasnya lebih cepat.
Penerimaan radikal adalah konsep yang berasal dari Terapi Perilaku Dialektis (DBT), yang menekankan penerimaan total terhadap realitas seperti apa adanya, bahkan ketika realitas itu menyakitkan atau tidak adil. Ini adalah antitesis dari penolakan. Penerimaan radikal tidak sama dengan persetujuan; kita masih bisa berjuang untuk mengubah situasi di masa depan, tetapi kita harus menerima fakta bahwa situasinya saat ini adalah seperti ini.
Misalnya, merangkul penyakit kronis berarti menerima batasan fisik saat ini, yang membebaskan energi mental dari perjuangan terus-menerus melawan fakta tersebut. Energi yang tersisa kemudian dapat digunakan untuk mengelola gejala atau mencari solusi yang dapat dilakukan. Penerimaan radikal adalah tindakan keberanian, karena ia menghadapi ilusi kontrol kita secara langsung. Hanya setelah kita menerima realitas, barulah kita dapat mulai menyusun strategi yang efektif untuk melangkah maju.
Viktor Frankl, seorang penyintas Holocaust dan pendiri logoterapi, mengajarkan bahwa bahkan dalam kondisi yang paling mengerikan sekalipun, manusia masih dapat menemukan makna. Penderitaan, ketika dirangkul dan dialami dengan kesadaran, dapat menjadi katalisator pertumbuhan spiritual dan moral yang luar biasa. Merangkul penderitaan adalah upaya untuk mencari makna, bahkan ketika makna itu tidak jelas pada pandangan pertama.
Ini mungkin melibatkan pertanyaan reflektif: Apa yang dapat diajarkan oleh rasa sakit ini kepada saya? Bagaimana pengalaman ini dapat memperluas empati saya terhadap orang lain? Penderitaan yang diintegrasikan menjadi kebijaksanaan; penderitaan yang ditolak hanya menjadi trauma yang berulang. Merangkul penderitaan adalah proses alkimia, mengubah timah rasa sakit menjadi emas pertumbuhan jiwa.
Budaya modern sangat berorientasi pada hasil dan pencapaian. Merangkul hasil akhir, tanpa menghargai perjalanan, seringkali menghasilkan kekecewaan dan kecemasan kinerja. Merangkul proses adalah filosofi yang mengajarkan bahwa kualitas hidup terletak pada bagaimana kita terlibat dalam upaya sehari-hari, bukan hanya pada hasil yang kita capai di akhir.
Ketika kita merangkul proses, kita menerapkan kehadiran penuh (mindfulness) pada setiap langkah. Ini berarti benar-benar tenggelam dalam tugas yang sedang dihadapi—apakah itu bekerja, memasak, atau hanya mendengarkan. Dengan fokus pada proses, kita melepaskan diri dari tekanan hasil yang tidak terjamin. Kekhawatiran tentang kegagalan di masa depan atau obsesi terhadap kesuksesan yang diimpikan memudar, digantikan oleh pengalaman yang kaya dari momen saat ini.
Merangkul upaya juga melindungi kita dari sindrom "tiba-tiba sukses." Orang yang hanya berfokus pada hasil seringkali mendapati bahwa ketika mereka mencapai tujuan, kegembiraan yang mereka rasakan hanya bersifat sementara. Mereka kehilangan penghargaan terhadap ratusan jam kerja yang membangun kesuksesan tersebut. Individu yang merangkul proses menemukan kepuasan yang berkelanjutan dalam melakukan hal-hal dengan baik, terlepas dari pengakuan eksternal.
Dalam paradigma merangkul, kegagalan diinterpretasikan ulang. Kegagalan bukan lagi antitesis dari kesuksesan, melainkan bagian penting dari prosesnya. Setiap kegagalan adalah iterasi (pengulangan dengan modifikasi), sebuah data berharga yang memberi tahu kita apa yang tidak berhasil dan bagaimana kita harus menyesuaikan langkah selanjutnya. Penolakan terhadap kegagalan adalah penolakan terhadap pembelajaran.
Merangkul kegagalan berarti membiarkan diri kita merasa kecewa atau sedih, namun segera bangkit dan menganalisis mengapa sesuatu tidak berhasil, tanpa melibatkan penghakiman diri yang merusak. Ini adalah kunci dari mentalitas pertumbuhan (growth mindset). Perusahaan dan individu paling inovatif adalah mereka yang paling bersedia merangkul eksperimen dan risiko, yang secara inheren membawa potensi kegagalan. Ketika kita merangkul kegagalan, kita membuka pintu bagi inovasi yang sesungguhnya.
Pada tingkat tertinggi, seni merangkul mengajak kita untuk melampaui fokus sempit pada kehidupan pribadi kita dan menempatkan diri dalam konteks kosmik yang lebih besar. Ini adalah perjalanan dari ego ke ekosistem, dari individu ke alam semesta.
Meskipun kita memiliki kemampuan luar biasa, kita adalah makhluk fana, terbatas dalam waktu, energi, dan pengetahuan. Merangkul keterbatasan manusia adalah tindakan pembebasan yang besar. Ini adalah pengakuan bahwa kita tidak harus tahu semuanya, tidak harus melakukan semuanya, dan tidak harus bertanggung jawab atas segalanya. Seringkali, tekanan untuk menjadi ‘super-manusia’ adalah sumber kelelahan dan kecemasan.
Merangkul keterbatasan memungkinkan kita untuk mendelegasikan, untuk meminta bantuan, dan yang paling penting, untuk beristirahat tanpa rasa bersalah. Ketika kita menerima bahwa kita hanyalah satu bagian kecil dari sistem yang jauh lebih besar, kita melepaskan beban megalomania yang secara halus menuntut kesempurnaan dan kontrol total. Dalam keterbatasan inilah kita menemukan kerendahan hati yang esensial.
Banyak penderitaan modern berasal dari pemutusan hubungan kita dengan ritme alam dan skala waktu kosmik. Merangkul perspektif kosmik berarti melihat hidup kita dalam konteks miliaran tahun sejarah Bumi dan alam semesta yang tak terbatas. Masalah yang terasa mendesak hari ini akan menjadi debu yang tak terlihat dalam skala waktu geologis.
Merangkul alam adalah merangkul siklus kehidupan, kematian, dan regenerasi. Ini mengingatkan kita bahwa kita adalah bagian dari jaringan kehidupan, bukan penguasanya. Praktik ini sering membawa rasa kagum yang mendalam (awe), yang terbukti secara psikologis dapat mengurangi stres dan meningkatkan kepuasan hidup. Dengan merangkul koneksi ini, kita menemukan ketenangan dalam mengetahui bahwa bahkan setelah kita tiada, siklus kehidupan akan terus berlanjut.
Merangkul bukanlah ide abstrak; ini adalah serangkaian keterampilan yang dapat dipelajari dan dipraktikkan setiap hari. Penerapan praktis ini memerlukan disiplin dan komitmen untuk menghadapi kenyataan secara langsung.
Meditasi penerimaan adalah teknik inti untuk melatih pikiran agar tidak menolak pengalaman internal yang tidak nyaman. Ketika sensasi atau emosi yang tidak menyenangkan muncul (misalnya, sakit kepala, kecemasan, atau rasa bosan), alih-alih mencoba menekannya atau mengalihkan perhatian, praktisi secara sadar melabelinya dan mengizinkannya untuk ada.
Langkah-langkahnya meliputi: Mengidentifikasi emosi yang muncul; Menghirup dan menghembuskan napas di sekitar emosi itu; Mengatakan pada diri sendiri, "Saya merangkul sensasi ini saat ini, tanpa perlawanan." Latihan ini secara bertahap melemahkan respons otomatis penolakan dan memperkuat kapasitas kita untuk hadir dalam setiap kondisi.
Menulis jurnal adalah alat kuat untuk merangkul pengalaman masa lalu dan saat ini. Latihan jurnalisme penerimaan melibatkan penulisan tentang suatu peristiwa yang sangat menyakitkan atau membuat stres, namun dengan fokus eksplisit pada penerimaan radikal.
Untuk merangkul diri dan orang lain, kita harus menciptakan lingkungan—baik fisik maupun relasional—di mana ketidaksempurnaan disambut. Dalam hubungan dekat, ini berarti secara eksplisit memberi izin kepada pasangan atau teman untuk menjadi rentan dan membuat kesalahan tanpa takut dihakimi. Dalam pekerjaan, ini berarti membangun budaya di mana kegagalan diakui sebagai bagian dari proses belajar.
Di tingkat pribadi, ini berarti berhenti menghukum diri sendiri atas kesalahan kecil. Ketika Anda membuat kesalahan, bukannya melancarkan kritik internal yang brutal, berikanlah diri Anda empati dan afirmasi. Perlakukan diri Anda dengan kebaikan yang sama seperti yang Anda berikan kepada sahabat terbaik Anda. Hanya dalam zona aman ini kita dapat benar-benar melepaskan kebutuhan akan kesempurnaan yang melumpuhkan.
Ketika praktik merangkul telah terinternalisasi, dampaknya terhadap kualitas hidup adalah transformatif. Ini menciptakan fondasi bagi ketahanan, kedamaian, dan koneksi yang lebih dalam.
Ketahanan bukanlah kemampuan untuk menghindari pukulan hidup, tetapi kemampuan untuk pulih setelah pukulan itu terjadi. Orang yang merangkul realitas memiliki tingkat ketahanan yang jauh lebih tinggi. Mereka tidak menyia-nyiakan energi dengan bertanya, "Mengapa ini terjadi pada saya?" (sebuah pertanyaan yang didasarkan pada penolakan), melainkan bertanya, "Sekarang setelah ini terjadi, bagaimana saya harus merespons?" Mereka menerima bahwa kesulitan adalah bagian dari permainan dan berfokus pada adaptasi cepat daripada perlawanan yang melelahkan.
Kedamaian sejati bukanlah ketiadaan masalah, tetapi ketiadaan perlawanan terhadap apa yang ada. Selama kita melawan realitas, kita akan selalu berada dalam konflik. Merangkul menawarkan kedamaian yang abadi karena ia didasarkan pada persahabatan yang mendalam dengan kenyataan, bukan pada kondisi eksternal yang sempurna. Bahkan di tengah badai, individu yang merangkul dapat menemukan titik jangkar ketenangan dalam diri mereka, mengetahui bahwa mereka telah menerima apa pun yang mungkin terjadi.
Ketika kita merangkul diri kita sendiri—termasuk ketidaksempurnaan kita—kita membebaskan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Kita tidak lagi membutuhkan orang lain untuk menjadi sempurna atau untuk memvalidasi fasad kita. Koneksi yang didasarkan pada penerimaan timbal balik ini jauh lebih kuat, lebih jujur, dan lebih memuaskan. Merangkul menciptakan ruang bagi cinta tanpa syarat, karena ia melepaskan tuntutan bahwa orang lain harus memenuhi cetakan ideal kita. Kita melihat mereka apa adanya, dan itu adalah tindakan cinta yang paling mendalam.
***
Seni merangkul mencapai klimaksnya ketika kita mampu menerima dan hidup dalam harmoni dengan paradoks-paradoks besar yang mendefinisikan keberadaan manusia. Kehidupan dipenuhi oleh pasangan kontradiktif: kebahagiaan dan kesedihan, makna dan ketiadaan makna, kebebasan dan takdir.
Banyak budaya kuno memahami bahwa kegembiraan dan kesedihan tidak saling eksklusif, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Psikologi modern sering mencoba mengkategorikan emosi, membuat kita percaya bahwa kita harus ‘bahagia’ atau ‘sedih’. Merangkul kontradiksi berarti mengizinkan dualitas ini ada secara bersamaan.
Seseorang bisa merasakan duka yang mendalam atas kehilangan, namun pada saat yang sama, merasakan kegembiraan atas kenangan indah yang ditinggalkan. Merangkul paradoks ini adalah tentang menyadari kedalaman penuh pengalaman manusia. Ini adalah bentuk kebijaksanaan yang menolak simplifikasi emosional, memungkinkan kita untuk hidup dalam dunia yang kaya dan bernuansa, di mana cahaya dan bayangan selalu berdampingan.
Dalam pengambilan keputusan besar, kita sering mengalami ambivalensi—merasakan pro dan kontra secara bersamaan. Seseorang mungkin merangkul komitmen serius (misalnya, pernikahan atau pindah negara) sambil meratapi hilangnya kebebasan atau kenalan lama. Merangkul ambivalensi adalah kunci untuk komitmen yang matang. Jika kita menuntut perasaan 'benar 100%' sebelum berkomitmen, kita akan lumpuh. Kedewasaan adalah merangkul keraguan dan memilih untuk bergerak maju meskipun ada aspek diri yang masih menentang keputusan tersebut. Ini adalah merangkul diri yang terbagi namun tetap bertindak secara utuh.
Filosofi eksistensialis menekankan bahwa manusia dikutuk untuk bebas—kita bertanggung jawab penuh atas makna yang kita ciptakan dalam hidup kita. Kebebasan ini membawa serta tanggung jawab yang menakutkan (kecemasan eksistensial). Merangkul kebebasan berarti menerima bahwa tidak ada buku petunjuk, tidak ada otoritas eksternal yang dapat memberikan arti hidup kita secara definitif.
Ketika kita merangkul tanggung jawab ini, kita berhenti menyalahkan keadaan, takdir, atau orang lain atas posisi kita. Kita mengakui kekuatan yang kita miliki untuk memilih respons kita terhadap situasi, dan dalam pengakuan itu, kita menemukan kekuatan. Ini adalah merangkul ‘beban’ kehidupan, mengubahnya menjadi kesempatan untuk mendefinisikan diri kita sendiri melalui tindakan dan pilihan yang otentik.
Banyak penderitaan muncul dari kesenjangan antara bagaimana kita berharap hal-hal seharusnya terjadi (ideal) dan bagaimana hal-hal sebenarnya terjadi (realitas). Kita memiliki gambar ideal tentang diri kita, pasangan kita, karir kita, atau masyarakat kita. Ketika realitas gagal memenuhi cetakan ideal tersebut, kita mengalami rasa frustrasi yang mendalam dan penolakan.
Merangkul kesenjangan ini berarti mencintai apa yang ada, bahkan ketika kita bekerja menuju apa yang ideal. Ini adalah prinsip yang berakar pada psikologi Timur: berjuang tanpa berjuang, berusaha tanpa keterikatan pada hasil. Kita menerima pasangan kita apa adanya, sambil tetap mendukung pertumbuhan mereka. Kita menerima keadaan kerja kita saat ini, sambil berusaha untuk promosi. Penerimaan bukanlah pengunduran diri; itu adalah titik awal yang kokoh untuk perubahan yang terukur.
Akhirnya, merangkul merentang melampaui masa hidup kita sendiri, memaksa kita untuk melihat diri kita sebagai bagian dari garis waktu yang lebih besar—warisan yang kita tinggalkan dan cara kita melampaui batas-batas eksistensi fisik.
Ketakutan terhadap kematian adalah ketakutan paling primal manusia, dan penolakan terhadap kefanaan seringkali membuat kita hidup dengan setengah hati. Ironisnya, hanya dengan merangkul kematian—sebagai kepastian tak terhindarkan dan sebagai penutup dari cerita kita—kita dapat benar-benar mulai hidup.
Merangkul kefanaan memberikan urgensi yang sehat pada pilihan dan waktu kita. Itu memaksa kita untuk memprioritaskan hubungan, pengalaman, dan kontribusi yang paling berarti, alih-alih menunda kebahagiaan untuk masa depan yang mungkin tidak pernah datang. Penerimaan terhadap akhir adalah sumber energi untuk permulaan yang baru, karena setiap hari yang kita miliki menjadi hadiah yang berharga dan tidak disangkal.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kesadaran akan kematian (terutama melalui praktik meditatif atau filosofis) meningkatkan kualitas hidup, memperdalam rasa syukur, dan mengurangi kekhawatiran yang dangkal. Ketika kita merangkul bayangan kematian, kita membebaskan diri dari belenggu ketakutan dan mulai menjalani hidup dengan integritas yang lebih besar, memastikan bahwa warisan kita mencerminkan nilai-nilai terdalam kita.
Seni Wabi-Sabi dari Jepang adalah contoh budaya merangkul ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan. Keindahan ditemukan dalam sifat yang tidak sempurna, tidak lengkap, dan sementara. Benda yang rusak dan diperbaiki dengan emas (Kintsugi) dianggap lebih indah karena sejarahnya dan bekas luka yang dirangkul. Kehidupan kita sendiri adalah mahakarya Kintsugi yang kompleks.
Merangkul keindahan impermanen berarti menghargai senja karena kita tahu ia akan segera berlalu, mencintai masa muda anak kita saat ia berubah menjadi masa dewasa, dan menghormati keausan fisik kita sebagai tanda waktu yang dihabiskan dengan baik. Ini adalah penolakan terhadap tuntutan palsu keabadian dan kesempurnaan artifisial. Dalam merangkul ketidaksempurnaan ini, kita menemukan kedalaman estetika dan spiritual yang jauh lebih besar daripada dalam kesempurnaan yang steril.
Merangkul secara holistik adalah puncak dari perkembangan psikologis dan spiritual. Ini adalah pengakuan bahwa kita adalah manusia yang sedang berproses, terikat pada realitas yang terus berubah, dan terhubung dengan jaringan kehidupan yang lebih besar. Ini bukan tentang menjadi pasif, tetapi tentang menjadi pejuang yang bijaksana, memilih kapan harus melawan (ketidakadilan) dan kapan harus menerima (fakta yang tidak dapat diubah). Dalam tindakan merangkul inilah, kita menemukan kebebasan terbesar yang mungkin dimiliki oleh seorang manusia.
***
Merangkul bukan sekadar emosi; ini adalah proses kognitif yang melibatkan restrukturisasi cara kita memandang pikiran, perasaan, dan lingkungan. Psikologi Terapi Penerimaan dan Komitmen (ACT) memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami mekanisme ini.
Inti dari banyak penderitaan adalah peleburan kognitif (cognitive fusion)—keyakinan bahwa pikiran kita adalah kebenaran literal yang mutlak dan harus ditanggapi secara serius. Misalnya, jika kita memiliki pikiran, "Saya adalah pecundang," kita melebur dengan pikiran itu dan memperlakukannya sebagai fakta tentang identitas kita.
Merangkul menuntut defusion kognitif. Ini adalah praktik melihat pikiran sebagai 'peristiwa mental' yang lewat, seperti awan di langit, bukan sebagai perintah atau deskripsi realitas yang sebenarnya. Dengan merangkul pikiran-pikiran yang sulit (seperti kritik diri atau kekhawatiran), kita memberi ruang bagi mereka untuk ada, tanpa membiarkan mereka mendikte tindakan kita. Kita bisa berkata, "Saya memperhatikan bahwa saya memiliki pikiran bahwa saya adalah pecundang," yang secara otomatis menciptakan jarak psikologis. Jarak inilah yang merupakan esensi dari merangkul.
Penerimaan penuh membutuhkan kontak yang jelas dengan momen sekarang (present moment awareness). Ketika kita merangkul sepenuhnya, kita melepaskan lapisan penilaian, harapan, dan ingatan yang biasanya menutupi pengalaman langsung kita. Penilaian—baik atau buruk, suka atau tidak suka—adalah bentuk penolakan halus terhadap realitas apa adanya.
Praktik merangkul dalam konteks ini adalah memusatkan diri pada sensasi fisik, suara, dan pemandangan tanpa segera mengkategorikannya. Jika kita merasakan ketegangan, alih-alih segera menilai, "Ini buruk, saya harus menghilangkannya," kita hanya mencatat sensasi tersebut: "Ada ketegangan di bahu saya." Merangkul pengalaman tanpa penilaian membuka pintu menuju respons yang lebih bijaksana daripada reaksi otomatis.
Salah satu alasan utama mengapa kita takut merangkul rasa sakit adalah karena kita khawatir itu berarti kita harus berhenti berjuang untuk hal-hal yang kita hargai. ACT mengajarkan bahwa merangkul rasa sakit harus terjadi dalam layanan nilai-nilai inti kita. Nilai-nilai inti adalah kompas yang menunjukkan bagaimana kita ingin bertindak di dunia (misalnya, menjadi orang tua yang penyayang, rekan kerja yang jujur, atau seniman yang berani).
Merangkul kesulitan berarti menerima ketidaknyamanan yang menyertai upaya yang berarti. Seorang seniman harus merangkul rasa takut akan kegagalan untuk menciptakan sesuatu yang baru (nilai inti: keberanian kreatif). Seorang aktivis harus merangkul keputusasaan atau kemarahan agar dapat bertindak demi keadilan (nilai inti: keadilan sosial). Dengan merangkul kesulitan demi nilai, kesulitan itu menjadi saksi kesetiaan kita pada apa yang benar-benar penting, bukan hambatan yang harus dihindari.
Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan dan informasi, kita sering lupa merangkul keheningan dan ruang kosong—baik dalam percakapan, dalam jadwal kita, maupun dalam pikiran kita.
Keheningan seringkali menakutkan karena keheningan memaksa kita untuk menghadapi diri kita sendiri dan pikiran-pikiran yang selama ini kita coba hindari dengan gangguan eksternal. Merangkul keheningan adalah tindakan yang berani dan menyembuhkan. Ini memberi sistem saraf kita kesempatan untuk beristirahat dan memproses pengalaman yang terpendam. Ketika kita secara sadar mencari keheningan, kita membangun kembali hubungan internal yang terputus oleh hiruk pikuk kehidupan.
Dalam komunikasi, merangkul keheningan memungkinkan kita untuk mendengar tidak hanya kata-kata, tetapi juga apa yang tidak dikatakan. Keheningan yang dirangkul dalam interaksi interpersonal menciptakan ruang bagi pemahaman dan empati yang lebih dalam, jauh melampaui pertukaran informasi yang dangkal.
Dalam manajemen waktu dan energi, banyak orang mencoba mengisi setiap detik dengan kegiatan. Merangkul ruang kosong dalam jadwal kita, atau bahkan dalam rumah kita, menciptakan ruang untuk kemungkinan. Kreativitas dan inovasi seringkali tidak muncul ketika kita bekerja keras, tetapi ketika pikiran kita bebas untuk mengembara dalam kekosongan yang dirangkul.
Merangkul 'ketiadaan' adalah pengakuan bahwa hidup tidak harus selalu ‘penuh’. Ruang kosong memungkinkan hal-hal tak terduga untuk terjadi. Dengan merangkul kekosongan, kita melepaskan cengkeraman obsesi kita terhadap kontrol dan mengundang kejutan, yang seringkali menjadi sumber kegembiraan tak terduga.
***
Perjalanan untuk merangkul adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Ini adalah proses seumur hidup yang menuntut kesabaran, belas kasih diri, dan keberanian yang tak terbatas. Merangkul segala sesuatu—diri kita yang cacat, sejarah kita yang rumit, perubahan yang tak terhindarkan, orang lain yang berbeda, dan kepastian kefanaan—adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang otentik dan utuh.
Pada akhirnya, merangkul bukanlah tentang menjadi bahagia setiap saat, tetapi tentang menjadi manusia seutuhnya. Ini adalah tentang mengizinkan spektrum penuh pengalaman hidup masuk, merasakan suka dan duka dengan intensitas yang sama, dan berdiri tegak dalam penerimaan bahwa kita adalah bagian dari tarian kosmik yang jauh lebih besar dan lebih indah daripada yang bisa kita pahami sepenuhnya. Dalam pelukan inilah kita menemukan kedamaian, kekuatan, dan makna sejati.
Marilah kita terus berlatih merangkul, hari demi hari, momen demi momen, sebagai janji tertinggi yang dapat kita berikan kepada diri kita sendiri dan dunia.