Mentang-Mentang: Analisis Mendalam Fenomena Hak Istimewa dan Etika

Ada frasa dalam kosakata bahasa Indonesia yang memiliki kekuatan deskriptif luar biasa dalam menyampaikan nuansa psikologis superioritas, arogansi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Frasa itu adalah "Mentang-Mentang". Dua kata ini bukan sekadar keterangan sebab akibat, melainkan gerbang menuju pemahaman mendalam tentang bagaimana keuntungan, privilege, atau keunggulan sementara dapat merusak etika sosial, menghancurkan empati, dan menghasilkan perilaku yang merugikan. Ia adalah cerminan kegagalan moral ketika seseorang diberi sedikit otoritas atau memiliki kelebihan tertentu.

Mentalitas Mentang-Mentang tidak hanya terbatas pada lingkungan formal seperti kantor atau birokrasi, tetapi meresap hingga ke sendi-sendi kehidupan sehari-hari, mulai dari cara berkendara di jalan raya, interaksi digital di media sosial, hingga dinamika internal dalam sebuah keluarga. Analisis ini akan membedah secara komprehensif akar psikologis, manifestasi sosiologis, dan konsekuensi etis dari fenomena yang sayangnya, begitu melekat dalam interaksi masyarakat kontemporer.

I. Memahami Kedalaman Makna "Mentang-Mentang"

Secara harfiah, ‘mentang’ berarti mumpung, berpegangan pada, atau merasa berhak karena memiliki suatu keunggulan. Ketika diulang menjadi ‘mentang-mentang’, maknanya diperkuat menjadi suatu klaim superioritas yang digunakan untuk membenarkan tindakan melanggar norma atau mengabaikan hak orang lain. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang terdistorsi, di mana privilege dijadikan tameng untuk memblokade kritik dan tanggung jawab.

1. Akar Filosofis Arogansi

Fenomena ini berakar pada konsep entitlement atau perasaan berhak yang berlebihan. Individu yang memiliki mentalitas ini sering kali melihat keunggulan mereka (kekayaan, jabatan, kecantikan, kecerdasan) sebagai izin mutlak untuk mendapatkan perlakuan istimewa dan menuntut kepatuhan dari lingkungan sekitarnya. Filsafat Stoikisme mengajarkan bahwa kebijaksanaan terletak pada pengenalan batasan diri. Sebaliknya, mentalitas Mentang-Mentang adalah penolakan terhadap batasan, sebuah ilusi bahwa diri sendiri berada di atas hukum sosial dan etika universal.

Keunggulan yang Terdistorsi

Keunggulan, seharusnya, menjadi modal untuk berkontribusi dan melayani, bukan untuk mendominasi. Seseorang yang 'mentang-mentang pintar' menggunakan pengetahuannya untuk merendahkan orang lain, bukan untuk mendidik. Seseorang yang 'mentang-mentang kaya' menggunakan hartanya untuk melewati antrean dan menyepelekan layanan, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, keunggulan berfungsi sebagai beban moral, yang gagal diemban dengan kerendahan hati.

"Mentalitas 'Mentang-Mentang' adalah ketika seseorang mengubah keistimewaan (privilege) menjadi senjata pemaksa, bukan alat pelayanan."

2. Psikologi di Balik Perilaku

Para psikolog sosial sering mengaitkan perilaku arogansi berlebihan dengan apa yang disebut sebagai narcissistic entitlement. Ini adalah kondisi di mana individu memiliki rasa superioritas diri yang rapuh. Mereka membutuhkan pengakuan terus-menerus dan cenderung bereaksi defensif atau agresif ketika hak istimewa mereka ditantang. Perilaku Mentang-Mentang seringkali merupakan kompensasi terhadap rasa tidak aman yang mendalam. Dengan menindas atau merendahkan orang lain, mereka secara artifisial meninggikan status diri mereka sendiri.

Dalam konteks kekuasaan, studi menunjukkan bahwa ketika individu mendapatkan kekuasaan, kemampuan mereka untuk berempati (melihat dari perspektif orang lain) seringkali menurun drastis. Kekuasaan menciptakan jarak kognitif dan emosional, membuat pemegang kekuasaan sulit membayangkan kesulitan atau perasaan orang-orang yang berada di bawahnya. Jarak inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya mentalitas Mentang-Mentang yang tak terkendali.

Ilustrasi Mahkota Miring Sebuah mahkota yang condong ke samping, melambangkan kekuasaan yang tidak stabil atau disalahgunakan.

Mahkota yang miring melambangkan arogansi yang rapuh dan kekuasaan yang disalahgunakan.

II. Manifestasi "Mentang-Mentang" di Berbagai Lapisan Masyarakat

Untuk mencapai pemahaman holistik, kita perlu mengamati bagaimana perilaku ini menjelma dalam berbagai konteks, dari yang paling personal hingga yang paling struktural. Setiap domain menawarkan cerminan unik tentang bagaimana keuntungan dapat berubah menjadi kerugian etika.

1. Konteks Sosial Harian (Mikro)

Mentang-Mentang di Jalan Raya

Jalan raya adalah panggung utama bagi pertunjukan arogansi. Pengendara mobil mewah yang merasa berhak memotong jalur, pengendara motor yang menerobos lampu merah, atau mereka yang menggunakan plat nomor khusus untuk menghindari tilang—semua adalah contoh klasik dari mentalitas ini. Mereka beroperasi dengan asumsi bahwa aturan dan keteraturan yang mengikat masyarakat umum tidak berlaku bagi mereka. Dampaknya adalah kekacauan, peningkatan risiko kecelakaan, dan erosi kepercayaan terhadap sistem penegakan hukum.

Hubungan Keluarga dan Lingkungan

Dalam lingkup keluarga, perilaku Mentang-Mentang sering kali terlihat dalam dinamika senioritas atau kekayaan. Kakak yang 'mentang-mentang lebih tua' merasa berhak mengatur hidup adiknya tanpa mempertimbangkan otonomi. Anak yang 'mentang-mentang sukses' secara finansial, bersikap merendahkan atau mengabaikan nasihat orang tua yang dianggap 'ketinggalan zaman'. Ini menciptakan lingkungan keluarga yang toksik, di mana hierarki didasarkan pada kekuasaan, bukan pada rasa hormat dan cinta.

2. Lingkungan Profesional dan Korporasi (Meso)

Dunia kerja, dengan struktur hierarkisnya yang jelas, adalah inkubator sempurna bagi mentalitas Mentang-Mentang.

Eksploitasi Atasan

Manajer atau atasan yang 'mentang-mentang pemegang keputusan' sering kali menuntut jam kerja yang tidak masuk akal, memberikan tugas di luar deskripsi pekerjaan tanpa kompensasi, atau mengambil kredit atas hasil kerja tim. Mereka menggunakan posisi mereka bukan sebagai tanggung jawab untuk memimpin, tetapi sebagai alat untuk menekan dan mengeksploitasi. Hal ini menyebabkan demotivasi, turnover tinggi, dan budaya kerja yang penuh ketakutan.

Perilaku ini diperkuat ketika ada kejelasan bahwa tidak ada mekanisme akuntabilitas yang efektif. Ketika bawahan tahu bahwa melaporkan perilaku atasan akan berujung pada pemecatan, lingkaran Mentang-Mentang terus berputar tanpa hambatan. Perusahaan yang membiarkan budaya ini berkembang akan kehilangan talenta terbaik mereka dan pada akhirnya merusak reputasi mereka di mata publik dan pasar.

Monopoli Pengetahuan

Bahkan dalam tim, ahli teknis yang 'mentang-mentang satu-satunya yang menguasai sistem' bisa menolak berbagi ilmu atau menyulitkan proses transisi. Mereka membangun benteng di sekitar pengetahuan mereka, menjadikannya sumber kekuasaan pribadi, bukan aset perusahaan. Ini melumpuhkan inovasi dan menciptakan ketergantungan yang tidak sehat.

3. Ranah Politik dan Birokrasi (Makro)

Ini adalah area di mana mentalitas Mentang-Mentang menghasilkan dampak paling merusak bagi struktur negara dan masyarakat sipil. Pejabat publik, yang seharusnya melayani, sering kali jatuh ke dalam perangkap kekuasaan absolut.

Penyalahgunaan Fasilitas Publik

Kasus 'mentang-mentang pejabat' menggunakan fasilitas negara—mobil dinas untuk urusan pribadi, anggaran perjalanan untuk liburan, atau pengamanan khusus untuk hal-hal sepele—adalah cerminan bahwa mereka melihat sumber daya publik sebagai properti pribadi yang dapat digunakan sesuai kehendak. Mereka lupa bahwa fasilitas tersebut dibiayai oleh pajak rakyat dan dimaksudkan untuk efisiensi pelayanan, bukan untuk kemewahan pribadi.

Imunitas Hukum yang Dirasakan

Yang paling berbahaya adalah keyakinan bahwa jabatan memberikan imunitas hukum. Pejabat yang 'mentang-mentang memiliki koneksi' merasa bahwa mereka bisa melanggar peraturan atau terlibat dalam korupsi tanpa konsekuensi. Keyakinan ini melemahkan sistem peradilan dan merusak fondasi demokrasi. Ketika rakyat melihat bahwa hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, kepercayaan publik pada negara akan hilang, dan rasa keadilan sosial akan terkikis.

Ilustrasi Tangan Menekan Dua tangan, di mana satu tangan menekan tangan lain ke bawah, melambangkan penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Visualisasi penindasan, di mana satu pihak menggunakan keunggulan untuk menekan pihak lain.

III. Dimensi Digital: "Mentang-Mentang" di Era Informasi

Munculnya internet dan media sosial telah membuka dimensi baru bagi manifestasi mentalitas Mentang-Mentang. Keuntungan di dunia maya—anonimitas, jumlah pengikut, dan kecepatan informasi—kini digunakan sebagai basis untuk arogansi digital.

1. Arogansi Influencer dan Selebritas

Selebritas internet atau influencer yang 'mentang-mentang punya jutaan pengikut' sering kali merasa bahwa mereka kebal dari kritik. Mereka dapat mempromosikan produk berbahaya, menyebarkan informasi palsu (hoaks), atau melanggar etika periklanan tanpa merasa perlu bertanggung jawab. Ketika dikritik, mereka akan menggunakan kekuatan massa pengikut mereka untuk menyerang balik kritikus (cyberbullying), sebuah taktik yang secara efektif membungkam suara-suara yang menuntut akuntabilitas.

Selain itu, fenomena cancel culture yang terdistorsi juga dapat menjadi manifestasi dari mentalitas ini. Sebagian besar orang yang memiliki platform besar menggunakan kekuatannya untuk memvonis orang lain tanpa proses klarifikasi yang adil, 'mentang-mentang' mereka memiliki otoritas moral di mata para pengikutnya. Kekuasaan untuk menentukan reputasi seseorang telah bergeser dari institusi ke individu dengan jangkauan besar, dan penyalahgunaannya menimbulkan korban yang signifikan.

2. Anonimitas sebagai Tameng Kesombongan

Bagi pengguna biasa, anonimitas di internet menjadi payung bagi perilaku Mentang-Mentang. Seseorang yang di dunia nyata adalah individu biasa, di dunia maya 'mentang-mentang tidak teridentifikasi' dan berani melontarkan ujaran kebencian, komentar diskriminatif, atau ancaman. Jarak fisik dan anonimitas menghilangkan sensor sosial dan empati, memungkinkan sisi terburuk dari narsisme entitlement untuk muncul tanpa hambatan.

Fenomena ini menegaskan bahwa perilaku Mentang-Mentang bukan hanya didorong oleh kekuasaan yang kasat mata (jabatan, uang) tetapi juga oleh kekuasaan yang bersifat sementara atau ilusi (anonimitas, platform). Hilangnya konsekuensi langsung menjadi katalisator bagi pelepasan agresi dan arogansi.

IV. Dampak Kerusakan Moral dan Sosial

Perilaku Mentang-Mentang, jika dibiarkan meluas, akan menghasilkan serangkaian konsekuensi negatif yang melampaui kerugian individu, merusak kohesi sosial dan fondasi etika sebuah bangsa.

1. Erosi Kepercayaan dan Rasa Aman

Ketika masyarakat secara rutin menyaksikan orang-orang berkuasa atau kaya melanggar aturan tanpa dihukum, mereka kehilangan kepercayaan pada sistem. Rasa aman bahwa hukum berlaku sama bagi semua orang (equality before the law) runtuh. Hal ini dapat memicu sinisme massal dan pandangan bahwa untuk bertahan hidup, seseorang harus menjadi bagian dari kelompok yang berkuasa atau 'berani' melanggar aturan.

Siklus Korban dan Pelaku

Korban dari mentalitas Mentang-Mentang seringkali mengalami trauma psikologis yang mendalam—rasa ketidakadilan, kemarahan yang terpendam, dan keputusasaan. Yang lebih buruk, beberapa korban, setelah mereka mencapai posisi kekuasaan, justru meniru perilaku yang pernah menindas mereka. Mereka berpikir, "Dulu aku yang ditindas, sekarang 'mentang-mentang' aku berkuasa, giliran aku yang menindas." Dengan demikian, siklus arogansi dan penindasan terus berlanjut dari generasi ke generasi atau dari posisi ke posisi.

2. Penghambatan Inovasi dan Kreativitas

Dalam lingkungan profesional yang didominasi oleh mentalitas Mentang-Mentang, ide-ide baru tidak dihargai kecuali datang dari atasan atau kelompok elite tertentu. Staf junior atau mereka yang berlatar belakang berbeda akan ragu untuk menyuarakan gagasan inovatif karena takut direndahkan atau dituduh 'sok tahu' ('mentang-mentang baru masuk'). Budaya ini mencekik keragaman pemikiran yang esensial untuk kemajuan organisasi dan masyarakat.

Kehilangan Perspektif Realitas

Orang yang terlalu lama menikmati privilege dan menggunakan mentalitas Mentang-Mentang cenderung kehilangan kontak dengan realitas mayoritas. Mereka hidup dalam gelembung di mana kebutuhan, kesulitan, dan perspektif orang biasa menjadi tidak relevan. Ketidakmampuan untuk berempati ini menghasilkan kebijakan publik yang buruk, keputusan bisnis yang merugikan, dan hubungan sosial yang hampa.

V. Antitesis dan Jalan Keluar: Menuju Budaya Kerendahan Hati

Melawan mentalitas Mentang-Mentang memerlukan lebih dari sekadar penegakan hukum; ia membutuhkan revolusi etika dan psikologis, baik di tingkat individu maupun struktural.

1. Konsep Tawadhu (Kerendahan Hati yang Hakiki)

Antitesis sejati dari arogansi adalah tawadhu atau kerendahan hati. Ini bukan berarti merendahkan diri, melainkan mengakui bahwa keunggulan atau kekuasaan yang dimiliki adalah anugerah atau pinjaman yang harus digunakan dengan penuh tanggung jawab. Individu yang memiliki tawadhu melihat posisinya sebagai kesempatan untuk melayani, bukan untuk memerintah.

Kerendahan hati mengajarkan bahwa meskipun seseorang 'mentang-mentang pintar', ia harus tetap mendengarkan perspektif yang berbeda; meskipun seseorang 'mentang-mentang kaya', ia harus menghargai kerja keras setiap individu. Ini adalah pengakuan fundamental bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh status, tetapi oleh karakter dan kontribusi mereka.

Pentingnya Tepa Selira

Konsep Jawa tentang Tepa Selira (mengukur dengan diri sendiri) sangat relevan. Ini adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain sebelum bertindak atau berbicara. Jika mentalitas Mentang-Mentang adalah kegagalan empati, maka tepa selira adalah obatnya. Dengan secara aktif mencoba merasakan dampak perilaku kita pada orang lain, kita secara otomatis akan menahan dorongan untuk menggunakan privilege secara destruktif.

2. Reformasi Struktural dan Akuntabilitas

Meskipun perubahan individu penting, sistem juga harus dirancang untuk menghukum dan mencegah perilaku Mentang-Mentang. Diperlukan:

VI. Studi Kasus Mendalam: Narasi Arogansi yang Berulang

Untuk memahami kompleksitas psikologis mentalitas Mentang-Mentang, mari kita telaah dua narasi fiktif yang merangkum manifestasi perilaku ini dalam kehidupan modern. Narasi-narasi ini memberikan daging pada kerangka konseptual yang telah kita bangun, menunjukkan betapa destruktifnya mentalitas ini ketika dihidupi.

Kisah Bima: Korupsi Kecil di Lingkungan Kerja

Bima adalah seorang manajer madya di sebuah perusahaan logistik besar. Ia menapaki karier dengan cepat, didukung oleh koneksi keluarga di dewan direksi. Inilah fondasi bagi arogansi yang ia bangun. Bima sering berujar, "Mentang-mentang kamu hanya anak magang, kamu tidak tahu apa-apa tentang proses bisnis yang sebenarnya." Frasa ini ia gunakan untuk membungkam setiap pertanyaan atau saran dari staf junior yang sebenarnya memiliki pandangan segar dan lebih efisien. Bima menganggap bahwa senioritas dan jabatan adalah pengganti pengetahuan dan kompetensi.

Arogansi Waktu dan Sumber Daya

Manifestasi paling nyata dari arogansi Bima adalah pada manajemen waktunya. Ia akan memanggil rapat mendadak lima menit sebelum jam pulang, tanpa peduli bahwa bawahannya sudah memiliki janji. Ketika bawahannya terlambat dua menit, Bima akan menghukum mereka dengan ceramah panjang tentang disiplin, padahal Bima sendiri rutin terlambat 30 menit ke kantor, 'mentang-mentang' ia tidak ada yang berani menegur. Ia menggunakan mobil dinas untuk menjemput anak sekolah, sementara biaya bensinnya di-reimburse sebagai perjalanan dinas penting ke luar kota. Sikapnya ini menunjukkan dualisme moral: standar tinggi untuk orang lain, standar nol untuk dirinya sendiri.

Suatu ketika, seorang staf baru, Risa, menemukan inefisiensi besar dalam sistem inventarisasi yang sudah berumur sepuluh tahun. Risa menghabiskan malam-malamnya merancang sistem baru berbasis digital yang jauh lebih hemat waktu dan biaya. Ketika Risa mempresentasikan idenya, Bima, alih-alih memberikan apresiasi, justru tersinggung. "Mentang-mentang lulusan baru, kamu pikir kamu bisa mengajari kami yang sudah puluhan tahun di sini?" Bima menolak proposal Risa dan bahkan menyebarkan rumor bahwa Risa adalah karyawan yang sulit diatur. Akibatnya, Risa, yang merasa bahwa kontribusinya sia-sia, memutuskan untuk resign. Perusahaan logistik tersebut kehilangan potensi efisiensi jutaan rupiah setiap bulan, semua karena arogansi satu manajer yang merasa superior dan menolak diintervensi oleh ide 'bawahan'. Kerusakan yang ditimbulkan oleh Bima bukan hanya pada moral Risa, tetapi juga pada kinerja finansial perusahaan itu sendiri.

Kisah Laras: Superioritas Berbasis Materi

Laras adalah sosialita yang dikenal memiliki kekayaan luar biasa warisan keluarga. Bagi Laras, kekayaan adalah tiket untuk mendapatkan perlakuan istimewa di mana pun ia berada. Di pusat perbelanjaan mewah, ia akan menuntut staf toko untuk membuka toko di luar jam operasional, ‘mentang-mentang’ ia pembeli terbesar. Ketika staf tersebut menolak karena kebijakan perusahaan, Laras mengancam akan memboikot toko tersebut, menggunakan kekuasaannya sebagai konsumen elite untuk memaksakan kehendak yang tidak wajar.

Pelayan dan Kemiskinan Empati

Perilaku Mentang-Mentang Laras paling terlihat dalam interaksinya dengan para pekerja layanan, terutama asisten rumah tangga dan sopirnya. Sopirnya, Pak Joko, diminta bekerja 16 jam sehari tanpa lembur yang memadai. Ketika Pak Joko sakit, Laras justru marah-marah, "Mentang-mentang gajimu dibayar penuh, kamu seenaknya mengambil cuti sakit di hari penting." Ia gagal menyadari bahwa gaji yang ia berikan, meskipun besar di matanya, tidak sebanding dengan waktu dan kesehatan yang dikorbankan Pak Joko. Ia melihat Pak Joko bukan sebagai manusia, tetapi sebagai properti yang berfungsi penuh 24 jam sehari.

Suatu hari, Laras mengadakan pesta besar. Katering yang ia pesan, yang dijalankan oleh seorang wanita bernama Ibu Ani, melakukan kesalahan kecil dalam penyajian salah satu hidangan penutup. Laras langsung melampiaskan amarahnya di media sosial. Ia tidak hanya mengkritik hidangan, tetapi secara pribadi menyerang integritas Ibu Ani dan mengunggah foto wajahnya, menulis, "Mentang-mentang katering rumahan, masakannya seperti sampah, jangan pernah pakai dia kalau tidak mau malu." Serangan digital tersebut, yang dipicu oleh emosi sesaat dan rasa superioritas materi, menghancurkan reputasi bisnis kecil Ibu Ani yang dibangun selama bertahun-tahun. Ibu Ani harus menutup usahanya, padahal kesalahan itu murni karena miskomunikasi bahan baku, bukan kualitas. Laras tidak pernah merasa bersalah; baginya, 'mentang-mentang' ia konsumen yang membayar, ia berhak menentukan nasib bisnis orang lain.

VII. Eksplorasi Filosofis: Kekuasaan, Kebenaran, dan Kehancuran Diri

Di balik gemerlap kemewahan dan formalitas jabatan, mentalitas Mentang-Mentang adalah kisah tentang kehancuran diri yang lambat. Filsafat moral menawarkan lensa tajam untuk mengupas mengapa perilaku ini tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga si pelaku itu sendiri.

1. Distorsi Kebenaran dan Realitas

Individu yang terus-menerus bertindak atas dasar Mentang-Mentang mulai kehilangan kemampuan untuk menerima umpan balik yang jujur. Lingkungan mereka, yang terdiri dari penjilat dan mereka yang takut, hanya akan memberikan pujian dan konfirmasi, menciptakan filter realitas yang berbahaya. Mereka mulai yakin bahwa arogansi mereka adalah kepemimpinan yang tegas, dan penindasan mereka adalah efisiensi manajemen.

Distorsi kebenaran ini membuat mereka semakin rentan terhadap kesalahan strategis yang fatal, karena mereka tidak pernah mendapatkan informasi yang akurat tentang situasi di lapangan. Dalam politik, hal ini berujung pada kebijakan yang gagal; dalam bisnis, berujung pada kebangkrutan karena keputusan didasarkan pada ilusi kekuasaan, bukan data nyata. Ironisnya, kekuasaan yang mereka gunakan untuk menindas justru memisahkan mereka dari kebenaran yang dibutuhkan untuk mempertahankan kekuasaan tersebut.

2. Etika Kewajiban vs. Etika Konsekuensi

Dari sudut pandang etika Kantian (Etika Kewajiban), perilaku Mentang-Mentang gagal total karena melanggar categorical imperative. Arogansi tidak bisa dijadikan hukum universal. Kita tidak ingin hidup di dunia di mana setiap orang yang memiliki sedikit keunggulan merasa berhak menindas orang lain. Tindakan tersebut murni egois dan tidak dapat dirasionalisasi sebagai kewajiban moral. Kewajiban moral yang benar justru menuntut penggunaan keunggulan untuk mengangkat, bukan merendahkan.

Dari sudut pandang Etika Konsekuensi (Utilitarianisme), mentalitas Mentang-Mentang juga merugikan karena ia menghasilkan lebih banyak penderitaan dan ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Sementara si pelaku mungkin mendapatkan kepuasan sesaat dari superioritasnya, kerugian kolektif (kehilangan kepercayaan, lingkungan kerja toksik, ketidakadilan) jauh melampaui keuntungan individu tersebut. Ia adalah perilaku yang tidak efisien dalam menciptakan kesejahteraan umum.

VIII. Pendidikan dan Warisan: Membangun Generasi Anti-Arogansi

Menghentikan siklus Mentang-Mentang membutuhkan investasi jangka panjang dalam pendidikan dan pembentukan nilai-nilai dasar. Kita harus mengubah paradigma bahwa kesuksesan finansial atau status sosial adalah tujuan akhir, dan menggantinya dengan paradigma bahwa integritas dan empati adalah mata uang sejati.

1. Peran Keluarga dan Sosialisasi Dini

Akar dari entitlement sering ditanamkan sejak kecil. Orang tua yang terlalu memanjakan atau yang mengajarkan anak bahwa status keluarga mereka membuat mereka lebih baik dari yang lain, secara tidak langsung menciptakan mentalitas Mentang-Mentang. Pendidikan di rumah harus fokus pada mengajarkan anak-anak untuk menghormati pekerja layanan, menghargai uang hasil kerja keras, dan mengakui bahwa semua manusia, tanpa memandang pekerjaan atau kekayaan, memiliki martabat yang sama.

Anak-anak perlu belajar bahwa ketika mereka mendapatkan nilai A, itu adalah hasil usaha, bukan karena mereka 'mentang-mentang pintar'. Ketika mereka mendapatkan hadiah, itu adalah anugerah, bukan hak. Pergeseran bahasa ini sangat krusial dalam membentuk pola pikir anti-arogansi sejak dini.

2. Membudayakan Sanksi Sosial

Di luar sanksi formal (hukum), sanksi sosial memiliki peran kuat. Masyarakat harus berani menegur, meskipun teguran tersebut ditujukan pada orang yang lebih berkuasa. Jika perilaku Mentang-Mentang selalu diterima atau diabaikan karena ketakutan, ia akan terus tumbuh subur. Namun, jika ada konsensus sosial bahwa arogansi adalah perilaku yang tidak dapat diterima, secara perlahan perilaku tersebut akan terkikis.

Media, sebagai pengawas sosial, harus secara konsisten menyoroti dan menganalisis kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, bukan untuk menghakimi tanpa dasar, tetapi untuk mendidik publik tentang konsekuensi etis dari perilaku Mentang-Mentang. Dengan demikian, kita menciptakan lingkungan di mana kerendahan hati menjadi norma yang dihargai, dan arogansi menjadi pengecualian yang dikucilkan.

Ilustrasi Timbangan Keadilan Sebuah timbangan yang seimbang, melambangkan keadilan, kesetaraan, dan etika.

Keseimbangan etika harus ditegakkan untuk melawan penyalahgunaan hak istimewa.

IX. Refleksi Akhir: Menuju Masyarakat yang Dewasa Secara Etika

Perjalanan kita menganalisis "Mentang-Mentang" adalah perjalanan menuju pengakuan bahwa privilege dan kekuasaan adalah ujian karakter, bukan hak istimewa untuk bersikap semena-mena. Frasa ini menyimpan dalam dirinya sejarah panjang ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Ia adalah patologi sosial yang hanya dapat disembuhkan melalui dosis besar empati, akuntabilitas, dan kerendahan hati yang tulus.

Masyarakat yang matang secara etika adalah masyarakat di mana keunggulan (kekayaan, jabatan, kecerdasan) secara otomatis memicu kewajiban untuk melayani dan berbagi, bukan untuk menuntut perlakuan khusus. Di mana 'mentang-mentang' seseorang memiliki lebih, justru ia merasa lebih bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan. Ini adalah cita-cita yang harus terus kita kejar, demi memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang status atau kelebihan, diperlakukan dengan martabat dan rasa hormat yang pantas mereka dapatkan.

Penguatan etika ini membutuhkan kesadaran kolektif bahwa setiap kali kita membiarkan diri kita atau orang lain menggunakan privilege sebagai lisensi untuk melanggar norma, kita sedang meracuni lingkungan sosial kita sendiri. Tanggung jawab untuk menghentikan siklus Mentang-Mentang dimulai dari diri kita sendiri, dari kesediaan untuk menanggalkan jubah arogansi, dan mengenakan mantel pelayanan. Ini adalah panggilan untuk introspeksi mendalam: apakah kekuasaan yang kita miliki telah membuat kita menjadi manusia yang lebih baik, atau justru menjadi sumber arogansi yang menghancurkan.

Jika kita ingin membangun peradaban yang berlandaskan keadilan, kita harus secara tegas menolak logika arogansi, menolak pembenaran diri yang didorong oleh keuntungan sesaat, dan secara konsisten memilih jalan kerendahan hati dan empati. Hanya dengan begitu, frasa 'Mentang-Mentang' akan kehilangan daya sihir negatifnya dan hanya menjadi kenangan pahit dari masa lalu yang didominasi oleh ego.

Setiap interaksi sosial adalah ujian kecil atas karakter. Apakah kita memilih untuk menggunakan keunggulan kita untuk menindas atau untuk memberdayakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas masyarakat kita. Mentalitas arogansi adalah musuh kemajuan sejati, dan hanya dengan penolakan kolektif terhadapnya, kita bisa melangkah maju menuju masa depan yang lebih adil dan bermartabat. Ini memerlukan pengulangan prinsip yang sama: bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab, dan privilege datang dengan tugas. Tidak ada pengecualian. Tidak ada pembenaran. Tidak ada ruang untuk sikap 'Mentang-Mentang' dalam jiwa yang beradab dan masyarakat yang sehat. Penolakan terhadap narsisme sosial ini adalah tanda kedewasaan. Kita perlu terus menerus menyuarakan pentingnya kesetaraan, bukan hanya dalam teks hukum, tetapi dalam setiap tindakan dan ucapan kita sehari-hari, memastikan bahwa keunggulan seseorang tidak pernah lagi dijadikan alasan untuk mengabaikan hak asasi dan martabat orang lain. Ini adalah fondasi etika yang tak tergoyahkan.

Pembahasan mendalam tentang 'Mentang-Mentang' membawa kita pada realitas yang sering dihindari: setiap keuntungan yang kita peroleh adalah potensi sumber kejatuhan moral jika tidak dikelola dengan kebijaksanaan. Kekayaan bisa melahirkan kikir; kecantikan bisa melahirkan kesombongan; kekuasaan bisa melahirkan tirani. Kesemuanya berujung pada mentalitas 'Mentang-Mentang'. Oleh karena itu, perjuangan melawan arogansi adalah perjuangan untuk mempertahankan kemanusiaan itu sendiri. Ini adalah peperangan tanpa akhir melawan ego yang selalu mencari pembenaran untuk melanggar batas, dan satu-satunya senjata yang efektif adalah kesadaran diri yang konstan dan komitmen teguh terhadap nilai-nilai universal yang menghargai setiap jiwa. Mari kita tanamkan budaya di mana keistimewaan dilihat sebagai amanah, bukan sebagai hak mutlak untuk berbuat sewenang-wenang.

Kita harus selalu kembali pada prinsip dasar: bahwa struktur sosial yang sehat didasarkan pada rasa hormat timbal balik, bukan pada ketakutan terhadap superioritas. Jika seseorang 'mentang-mentang' memiliki gelar tinggi, seharusnya ia merasa lebih wajib untuk mengajarkan ilmunya dengan sabar. Jika seseorang 'mentang-mentang' berasal dari suku mayoritas, ia harus menjadi pelopor toleransi. Pergeseran perspektif ini adalah kunci dari semua reformasi etika. Tanpa pergeseran ini, semua upaya hukum dan struktural akan selalu gagal menghadapi serangan arogansi personal yang tak terbatas. Tantangan kita bukan hanya mengubah aturan, tetapi mengubah hati—dari hati yang menuntut menjadi hati yang memberi, dari hati yang merasa berhak menjadi hati yang merasa berutang budi kepada masyarakat yang telah membesarkannya.

🏠 Kembali ke Homepage