Sebuah Tinjauan Mendalam atas Mekanisme Legalisasi dan Promulgasi di Indonesia
Visualisasi Prosedur Hukum: Keseimbangan dan Kepastian Setelah Pengundangan.
Proses pembentukan hukum dalam sebuah negara demokrasi modern adalah rangkaian tahapan yang kompleks, melibatkan dialog politik, analisis akademis, dan partisipasi publik. Namun, ada satu fase kritis yang sering kali luput dari sorotan detail publik, yaitu tindakan final dan definitif yang mengubah sebuah dokumen politik (Rancangan Undang-Undang atau RUU) menjadi sebuah norma hukum yang mengikat dan berlaku secara sah (Undang-Undang atau UU). Fase ini dikenal sebagai tindakan mengundangkan.
Mengundangkan bukan sekadar seremoni penandatanganan atau peletakan stempel. Ia adalah instrumen yuridis fundamental yang memberikan legitimasi formal, kepastian hukum, dan sifat mengikat universal kepada sebuah produk legislasi. Tanpa proses pengundangan yang sah, sebuah RUU, meskipun telah disetujui bersama oleh lembaga legislatif dan eksekutif, hanyalah sebatas kesepakatan politik yang belum memiliki daya paksa hukum.
Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi filosofis, landasan konstitusional, tahapan prosedural, hingga implikasi praktis dari mekanisme mengundangkan dalam konteks sistem hukum Indonesia, dengan fokus pada peran sentral lembaga eksekutif dalam menjamin keberlakuan hukum secara efektif.
Tindakan mengundangkan RUU menjadi UU merupakan manifestasi dari prinsip supremasi hukum (rule of law) dan prinsip legalitas. Filosofi dasarnya adalah bahwa tidak ada hukum yang dapat memaksa warga negara jika hukum tersebut belum diumumkan atau dipublikasikan secara resmi, memastikan bahwa masyarakat mengetahui isi dan tanggal mulai berlakunya norma tersebut. Prinsip ini berakar pada adagium kuno ignorantia juris non excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak memaafkan), yang hanya bisa diterapkan jika hukum tersebut telah tersedia dan dapat diakses publik.
Dalam terminologi hukum tata negara, 'mengundangkan' sering kali dipadankan dengan 'promulgasi'. Promulgasi adalah langkah otentikasi dan pengumuman resmi. Di Indonesia, landasan konstitusional utama kewenangan ini diatur dalam UUD 1945, yang kemudian diimplementasikan lebih lanjut melalui Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Tindakan mengundangkan menghasilkan kepastian hukum. Setelah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI), undang-undang dianggap telah diketahui oleh seluruh masyarakat (asas fiksi hukum). Asas fiksi hukum ini esensial bagi stabilitas tatanan masyarakat. Jika setiap individu harus membuktikan bahwa mereka benar-benar telah membaca dan memahami UU sebelum terikat, sistem hukum akan lumpuh. Promulgasi mengatasi masalah ini dengan menetapkan tanggal resmi pengetahuan publik.
Dalam ranah legislasi, sering terjadi kebingungan antara dua istilah penting: pengesahan (ratifikasi/persetujuan) dan pengundangan (promulgasi/penetapan). Keduanya merupakan tahap akhir yang saling terkait namun memiliki fungsi yang berbeda secara yuridis.
Tanpa pengundangan, RUU yang telah disahkan hanya akan menjadi 'hukum mati'—ia ada secara politis, tetapi tidak mengikat atau dapat ditegakkan secara hukum di pengadilan. Proses mengundangkan mengisi celah antara kemauan politik dan realitas legalitas.
Proses mengundangkan di Indonesia diatur secara ketat, terutama melalui UU P3. Proses ini melibatkan serangkaian pemeriksaan administrasi, penentuan tanggal, dan publikasi resmi yang harus diikuti tanpa terkecuali.
Setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, naskah final yang telah disahkan tersebut diserahkan kembali ke pihak eksekutif untuk diproses menjadi Undang-Undang. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 memberikan waktu maksimal 30 hari bagi Presiden untuk menandatangani RUU yang telah disahkan tersebut.
Jika Presiden menandatanganinya, RUU tersebut resmi menjadi Undang-Undang dan kemudian diundangkan. Namun, terdapat skenario kritis: jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak menandatangani RUU tersebut, Pasal 20 ayat (5) secara tegas menyatakan bahwa RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Prinsip 30 hari ini adalah mekanisme pengaman konstitusional. Ia memastikan bahwa legislasi tidak bisa di-veto secara pasif oleh Presiden hanya dengan menunda penandatanganan. Begitu batas waktu 30 hari terlewati, kehendak legislatif dan legalitas konstitusional mengambil alih, memaksa promulgasi harus dilakukan.
Meskipun kewenangan penetapan berada di tangan Presiden, pelaksanaan teknis pengundangan di Indonesia didelegasikan kepada lembaga eksekutif yang bertanggung jawab atas administrasi kenegaraan.
Secara praktis, RUU yang telah disetujui akan diproses oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Di sinilah naskah final diperiksa kembali secara cermat, disinkronkan, dan disiapkan untuk ditandatangani oleh Presiden. Tanda tangan Presiden pada naskah otentik menandai penetapan UU tersebut. Dokumen ini kemudian diteruskan ke instansi yang berwenang untuk pencatatan dan publikasi.
Berdasarkan UU P3, pengundangan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) bertanggung jawab atas pencatatan dan publikasi resmi UU dalam Lembaran Negara. Tindakan Menkumham yang memerintahkan pencatatan ini adalah inti dari proses mengundangkan secara administratif.
Tempat di mana sebuah Undang-Undang diundangkan memiliki konsekuensi hukum yang sangat spesifik. Terdapat dua instrumen publikasi utama di Indonesia:
Tanggal penerbitan dalam LNRI adalah tanggal yang diakui secara hukum sebagai tanggal pengundangan dan sering kali menjadi penentu tanggal mulai berlakunya UU, kecuali jika UU tersebut secara eksplisit menentukan tanggal berlakunya di kemudian hari (vacatio legis).
Waktu adalah elemen krusial dalam proses mengundangkan. Keterlambatan atau percepatan pengundangan membawa dampak hukum, politik, dan sosial yang signifikan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, batas 30 hari sejak persetujuan bersama DPR dan Presiden adalah mekanisme perlindungan konstitusi. Jika Presiden tidak bertindak dalam periode ini, UU tetap berlaku sah. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab mengundangkannya?
Dalam skenario ini, Kemensetneg dan Menkumham tetap harus melaksanakan tugas administratif untuk mempublikasikan naskah tersebut ke dalam LNRI. UU tersebut kemudian mencantumkan keterangan bahwa ia disahkan berdasarkan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, bukan melalui tanda tangan Presiden. Hal ini menegaskan bahwa legitimasi hukum tertinggi berasal dari Konstitusi, bukan dari kehendak pribadi pejabat eksekutif.
Meskipun UU yang diundangkan setelah 30 hari tetap sah, proses ini sering menimbulkan perdebatan. Kritik muncul bahwa jika Presiden menahan tanda tangan, ini mengindikasikan ketidaknyamanan atau keberatan eksekutif terhadap isi UU. Meskipun secara hukum UU tetap berlaku, dari sudut pandang tata kelola pemerintahan yang baik, proses ini menunjukkan adanya friksi antara cabang kekuasaan. Kualitas implementasi UU yang disahkan tanpa persetujuan eksplisit eksekutif sering menjadi tantangan awal.
Tidak semua UU berlaku efektif pada tanggal diundangkannya. Konsep vacatio legis merujuk pada periode waktu antara tanggal pengundangan dan tanggal mulai berlakunya UU.
Periode vacatio legis ini sangat penting. Tujuannya adalah memberikan waktu yang memadai bagi:
Tindakan mengundangkan adalah jembatan yang menghubungkan ranah politik dan ranah hukum. Setelah jembatan ini dilalui, konsekuensi hukum yang fundamental mulai berlaku.
Konsekuensi paling mendasar dari pengundangan adalah munculnya legitimasi hukum yang otentik. Sebelum diundangkan, naskah RUU tidak bisa digunakan sebagai dasar penuntutan, putusan pengadilan, atau keputusan administratif. Setelah diundangkan, UU tersebut memiliki daya ikat yang universal (erga omnes) terhadap semua subjek hukum, baik warga negara, badan hukum, maupun lembaga negara.
Banyak UU bersifat 'payung' (umbrella law) yang memerlukan peraturan turunan. Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) tidak dapat diterbitkan jika UU induknya belum diundangkan secara sah. Pengundangan menjadi prasyarat legal bagi rantai peraturan di bawahnya untuk dapat diciptakan dan dilaksanakan.
Pengundangan dalam LNRI juga memastikan prinsip transparansi dalam pembentukan hukum. Publikasi resmi memungkinkan setiap warga negara untuk mengakses naskah hukum secara utuh. Ini adalah pilar penting dari negara hukum demokratis, di mana hukum tidak boleh disembunyikan atau hanya diketahui oleh segelintir elite.
Setelah diundangkan, UU tersebut menjadi objek pengujian yang sah. Artinya, setelah menjadi hukum positif, masyarakat, kelompok sipil, atau lembaga negara yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pengujian materiil atau pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA).
Pengujian formil, khususnya, seringkali menyasar prosedur pembentukan hukum, termasuk apakah tahap pengundangan telah dilaksanakan sesuai dengan asas-asas yang berlaku. Jika ditemukan cacat prosedural fatal pada tahap pengundangan—misalnya, jika dokumen yang diundangkan tidak sama persis dengan yang disahkan DPR—maka UU tersebut dapat dibatalkan secara keseluruhan.
Dalam konteks kenegaraan, proses mengundangkan seringkali bukan hanya sekedar urusan administratif. Ia mencerminkan konsolidasi kekuasaan, interpretasi kebijakan, dan pemenuhan kebutuhan mendesak negara.
Mekanisme mengundangkan juga berlaku pada Perppu, namun dengan prosedur yang berbeda dan waktu yang lebih mendesak. Perppu diterbitkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Begitu ditetapkan oleh Presiden, Perppu harus segera diundangkan. Namun, berbeda dengan UU biasa, Perppu memerlukan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya untuk tetap berlaku sebagai UU.
Pengundangan Perppu memberikan kekuatan hukum segera. Ini menunjukkan bahwa meskipun Perppu masih bersifat sementara (sebelum diuji DPR), tindakan mengundangkanlah yang memberikannya otoritas hukum untuk berlaku seketika. Tanpa pengundangan, Perppu tidak dapat digunakan untuk mengatasi kegentingan yang mendesak.
Sebelum naskah RUU benar-benar diundangkan, ia harus melalui proses sinkronisasi dan harmonisasi akhir yang sangat teliti. Tugas ini diemban oleh tim ahli dari Kementerian Hukum dan HAM serta Kemensetneg. Proses ini meliputi:
Kesalahan sekecil apa pun dalam tahap ini dapat membatalkan atau melemahkan suatu UU. Ketika ditemukan kesalahan setelah diundangkan, diperlukan koreksi melalui mekanisme yang disebut Pembentukan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU Perubahan), atau yang lebih sederhana, penerbitan UU korektif, yang merupakan proses legislatif yang memakan waktu dan sumber daya.
Seiring perkembangan teknologi dan meningkatnya tuntutan transparansi publik, proses pengundangan menghadapi beberapa tantangan serius.
Di era digital, masyarakat menuntut agar UU yang telah diundangkan dapat diakses secara instan. Meskipun LNRI telah bertransformasi ke platform digital, masih sering terjadi jeda waktu antara tanggal penetapan/pengundangan resmi oleh Menkumham dan ketersediaan naskah yang dapat diunduh oleh publik.
Kesenjangan ini dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki akses lebih cepat terhadap informasi hukum, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan transparansi. Upaya pemerintah untuk membangun Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN) adalah langkah penting untuk mengatasi tantangan ini, memastikan bahwa setiap UU yang diundangkan dapat segera ditemukan oleh masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum.
Meskipun mengundangkan adalah fungsi administratif, ia sering kali menjadi alat politik. Presiden dapat menggunakan penundaan penandatanganan hingga batas 30 hari untuk mengirimkan sinyal politik kepada DPR atau publik mengenai ketidakpuasan eksekutif tanpa harus menggunakan hak veto eksplisit yang dapat memicu konflik politik langsung.
Contoh lain adalah ketika Presiden atau pejabat terkait sengaja mengundangkan suatu UU pada hari-hari libur atau menjelang akhir pekan, strategi yang bertujuan untuk meminimalisir reaksi publik dan media. Meskipun ini sah secara hukum, praktik tersebut menimbulkan pertanyaan etika tentang komitmen terhadap keterbukaan penuh dalam proses legislasi.
Proses mengundangkan tidak hanya berlaku untuk hukum domestik, tetapi juga penting dalam konteks hukum internasional. Ketika Indonesia meratifikasi sebuah perjanjian internasional (traktat) melalui Undang-Undang, UU Ratifikasi tersebut harus diundangkan agar traktat tersebut secara resmi diakui dan berlaku dalam sistem hukum nasional. Tanggal pengundangan UU Ratifikasi seringkali menjadi penentu tanggal berlakunya perjanjian internasional tersebut bagi Indonesia di mata komunitas global.
Untuk memahami kompleksitas 5000 kata mengenai 'mengundangkan', kita perlu meninjau detail teknis administrasi yang dilakukan oleh Sekretariat Negara dan Menkumham, yang merupakan inti dari legalitas dokumen.
Setiap Undang-Undang yang diundangkan harus memiliki penomoran yang sistematis. Penomoran ini tidak sembarangan, melainkan mengikuti kaidah tertentu yang mencerminkan hierarki dan kronologi hukum.
Nomor Undang-Undang ditentukan secara berurutan sesuai dengan tahun pengundangan. Misalnya, UU Nomor 1 Tahun X, UU Nomor 2 Tahun X, dan seterusnya. Penomoran ini memberikan identitas yang unik dan permanen bagi setiap UU. Penomoran yang tepat adalah kunci bagi sistem hukum untuk mengidentifikasi hukum yang berlaku (lex specialis dan lex posterior).
Proses penomoran ini melibatkan pencatatan historis yang ketat. Seluruh arsip fisik dan digital harus memastikan bahwa tidak ada duplikasi nomor dan bahwa nomor yang diberikan sesuai dengan kronologis pengundangan. Kesalahan penomoran dapat menimbulkan kekacauan interpretasi hukum tentang UU mana yang harus didahulukan atau UU mana yang telah mencabut UU sebelumnya.
Aspek fisik pengundangan masih memegang peranan penting dalam memastikan keotentikan dokumen hukum tertinggi negara. Walaupun era digital berkembang, naskah otentik yang disimpan di Lembaga Negara harus memenuhi persyaratan tertentu.
Naskah Undang-Undang yang diundangkan harus ditandatangani oleh Presiden (atau melalui mekanisme Pasal 20 ayat 5 UUD 1945), dan kemudian ditandatangani serta dibubuhi meterai oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai pihak yang bertanggung jawab atas publikasi resmi. Tanda tangan Menkumham inilah yang memberikan cap formal 'telah diundangkan'.
Dalam konteks pengundangan digital, otentikasi kini juga mencakup penggunaan tanda tangan elektronik (TTE) tersertifikasi. Hal ini bertujuan untuk memastikan integritas naskah digital yang dipublikasikan di LNRI Digital, menjamin bahwa naskah yang diakses publik tidak dimanipulasi setelah proses otentikasi final oleh pemerintah.
Meskipun Menkumham adalah pengundangnya, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), yang berada di bawah Kemenkumham, memainkan peran pendukung teknis yang vital. BPHN bertugas menjaga kualitas substansi dan teknis peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pengundangan, BPHN bertugas memastikan bahwa semua persyaratan formal dan teknis telah terpenuhi sebelum naskah diserahkan untuk publikasi di LNRI.
Peran BPHN juga meluas ke masa setelah pengundangan, yaitu dalam hal sosialisasi dan kodifikasi. Kodifikasi adalah proses pengumpulan dan penyusunan kembali hukum dalam suatu bidang tertentu. Tanpa proses pengundangan yang rapi dan terstruktur, upaya kodifikasi BPHN akan terhambat, menyulitkan aparat penegak hukum dan masyarakat dalam mencari dan menerapkan hukum yang relevasi.
Kritik sering diarahkan pada kecepatan dan efisiensi birokrasi dalam tahap mengundangkan. Walaupun batas 30 hari adalah maksimal, dalam beberapa kasus penting, terjadi penundaan yang tidak perlu dalam publikasi resmi, bahkan setelah penandatanganan Presiden.
Salah satu hambatan utama adalah koordinasi lintas sektor antara DPR, Setneg, dan Kemenkumham. Naskah yang disahkan oleh DPR harus diverifikasi ulang di Setneg, kemudian diproses otentikasinya, dan baru diserahkan ke Kemenkumham untuk dicetak dan diumumkan di LNRI. Setiap perpindahan dokumen antarlembaga, meskipun kini dibantu sistem digital, masih rentan terhadap birokrasi dan jeda waktu.
Penundaan ini menciptakan "kekosongan hukum praktis" di mana secara politik RUU sudah selesai, namun secara hukum belum dapat ditegakkan karena belum diundangkan. Kekosongan ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya, dalam kasus UU yang mengatur izin lingkungan atau investasi, di mana kepastian hukum sangat mendesak.
Perdebatan lain yang sangat akademis namun krusial adalah kapan persisnya sebuah UU memiliki kekuatan hukum mengikat. Apakah sejak persetujuan bersama DPR dan Presiden, atau sejak tanda tangan Presiden, atau sejak diundangkan dalam LNRI?
Secara yurisprudensi dan doktrin hukum tata negara Indonesia, kekuatan hukum mengikat penuh hanya muncul pada saat pengundangan di LNRI, dan berlakunya UU ditentukan oleh tanggal yang ditetapkan dalam UU itu sendiri (baik tanggal pengundangan atau vacatio legis yang ditentukan). Ini menegaskan bahwa tindakan publikasi resmi adalah kunci utama validitas dan daya paksa hukum di Indonesia.
Bayangkan sebuah RUU disahkan DPR pada tanggal 1 Januari dan baru diundangkan pada tanggal 20 Januari. Jika sebuah kasus hukum terjadi pada tanggal 10 Januari yang seharusnya diatur oleh UU baru tersebut, hakim tidak dapat menggunakan UU tersebut sebagai dasar putusan karena pada tanggal 10 Januari, UU tersebut belum diundangkan dan belum memenuhi asas fiksi hukum.
Proses mengundangkan Undang-Undang merupakan simpul terakhir dan terpenting dalam rantai kedaulatan hukum sebuah negara. Ia adalah penentu bagi transisi dari kehendak politik menjadi norma sosial yang mengikat.
Di Indonesia, mekanisme ini diatur secara tegas oleh konstitusi dan UU P3, memastikan bahwa tidak ada hukum yang dapat berlaku secara sembunyi-sembunyi. Pengundangan menjamin prinsip publisitas, legalitas, dan kepastian hukum, yang semuanya merupakan prasyarat mutlak bagi terciptanya negara hukum yang adil dan berkeadilan.
Kualitas tata kelola pemerintahan yang baik dapat dinilai dari seberapa efisien, transparan, dan akurat proses mengundangkan dilaksanakan. Dengan terus meningkatkan sistem administrasi hukum, terutama melalui digitalisasi LNRI dan koordinasi antarlembaga, Indonesia dapat memperkuat supremasi hukumnya, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses setara dan tepat waktu terhadap hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, tindakan mengundangkan bukan sekadar rutinitas birokrasi, melainkan sebuah fungsi kenegaraan yang menjaga integritas dan otoritas setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara.
Untuk memahami kedalaman filosofis tindakan mengundangkan, penting untuk melihat bagaimana praktik ini berevolusi dan bagaimana negara lain melaksanakannya, yang memberikan perspektif kritis terhadap model Indonesia.
Konsep pengumuman resmi hukum telah ada sejak zaman kuno. Di Kekaisaran Romawi, hukum (misalnya, *Lex Duodecim Tabularum* - Hukum Dua Belas Meja) dipahat di tempat umum agar semua warga negara mengetahuinya. Di Eropa Abad Pertengahan, hukum sering diumumkan melalui pembacaan di pasar-pasar kota atau penempelan pada pintu gereja. Intinya sama: hukum harus dapat diakses. Revolusi Prancis dan gerakan pencerahan menguatkan ide bahwa kedaulatan rakyat menuntut hukum yang dipublikasikan secara transparan.
Di Indonesia, praktik ini berlanjut dari era kolonial melalui *Staatsblad* (Lembaran Negara) Hindia Belanda, yang merupakan fondasi historis bagi Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) saat ini. Transisi dari *Staatsblad* ke LNRI setelah kemerdekaan adalah upaya untuk mendekolonisasi hukum, memastikan bahwa proses publikasi dan validitas hukum berasal dari kedaulatan bangsa sendiri.
Di AS, proses pengundangan (enkapsulasi) dilakukan oleh Archivist of the United States. Setelah Kongres mengesahkan RUU, dan Presiden menandatanganinya (atau terjadi veto override), naskah tersebut diserahkan kepada Archivist. Undang-Undang tersebut kemudian diberikan nomor publik (Public Law number) dan dimuat dalam *Statutes at Large*. Sementara itu, peraturan pelaksana diterbitkan dalam *Federal Register*.
Perbedaan signifikan dengan Indonesia adalah adanya proses kodifikasi berkelanjutan oleh Office of the Law Revision Counsel untuk memasukkan UU baru ke dalam *United States Code* (U.S.C.). Model AS menekankan pada kodifikasi dan revisi kode secara berkala, sedangkan model Indonesia lebih fokus pada publikasi kronologis murni melalui LNRI.
Prancis memiliki model yang sangat terpusat melalui *Journal Officiel de la République Française* (J.O.). Di Prancis, pengundangan oleh Presiden dan publikasi di J.O. adalah momen definitif berlakunya hukum. Sama seperti Indonesia, Prancis menganut prinsip bahwa hukum yang telah diumumkan harus diasumsikan diketahui oleh semua. J.O. menjadi satu-satunya sumber otentik, sangat mirip dengan peran tunggal yang dimainkan oleh LNRI di Indonesia.
Model Indonesia mengambil jalan tengah. Ia mengadopsi sentralisasi publikasi ala Eropa (LNRI) sambil mempertahankan sistem pemisahan tanggung jawab antara badan politik (DPR) dan badan administratif (Setneg/Menkumham) di tahap akhir. Keunikan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yang memungkinkan UU berlaku tanpa tanda tangan eksekutif setelah 30 hari, menempatkan kedaulatan legislatif di atas kehendak individu Presiden, sebuah fitur yang menunjukkan komitmen kuat pada prinsip demokrasi perwakilan.
Filologi hukum adalah studi tentang naskah hukum, fokus pada keaslian dan interpretasi teks. Dalam konteks mengundangkan, filologi menjadi sangat penting untuk menjamin bahwa teks yang dipublikasikan adalah teks yang benar-benar disepakati.
Setiap UU harus memiliki satu naskah otentik yang menjadi acuan primer. Naskah otentik ini adalah yang disimpan di Sekretariat Negara dan Lembaran Negara. Di masa lalu, naskah otentik berbentuk fisik (kertas), tetapi kini naskah otentik juga mencakup file digital yang ditandatangani secara elektronik.
Dalam sejarah legislasi Indonesia, pernah terjadi kasus di mana naskah yang diumumkan kepada publik berbeda substansinya dengan naskah yang disetujui DPR. Perbedaan ini, meskipun mungkin hanya berupa kesalahan pengetikan atau penghilangan kata, dapat mengubah makna hukum secara drastis. Ketika hal ini terjadi, legitimasi formal proses pengundangan dipertanyakan, memicu pengujian formil di MK.
Sebelum diundangkan, tim penyunting dari Setneg dan Kemenkumham harus bertindak sebagai pemeriksa bahasa dan teknis hukum yang ketat. Tugas mereka adalah memastikan bahwa penggunaan bahasa hukum Indonesia sesuai dengan kaidah baku, dan bahwa terminologi yang digunakan konsisten di seluruh bab. Konsistensi bahasa adalah prasyarat untuk interpretasi hukum yang stabil.
Tanggal pengundangan seringkali menjadi titik awal bagi interpretasi hukum (hermeneutika). Ketika hakim, pengacara, atau akademisi menganalisis sebuah UU, mereka harus melihat tanggal diundangkannya untuk menentukan apakah UU tersebut berlaku surut (retroaktif) atau tidak. Karena Indonesia menganut prinsip non-retroaktif dalam hukum pidana dan umumnya juga dalam hukum perdata/publik, tanggal pengundangan menjadi benteng pertahanan terhadap penerapan hukum yang tidak adil di masa lalu.
Dampak dari proses mengundangkan melampaui batas-batas hukum murni; ia memiliki resonansi ekonomi dan sosial yang luas.
Dalam sektor investasi, kepastian regulasi adalah mata uang. Ketika sebuah RUU yang mengatur insentif pajak, perizinan berusaha, atau sektor strategis telah disahkan secara politik namun belum diundangkan, investor berada dalam kondisi limbo. Mereka tidak dapat mengambil keputusan investasi besar karena peraturan yang menjadi dasar keputusan mereka belum memiliki daya ikat hukum.
Keterlambatan pengundangan, meski hanya beberapa minggu, dapat menyebabkan hilangnya peluang investasi atau penundaan proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah. Oleh karena itu, para pelaku ekonomi seringkali memberikan tekanan kuat kepada pemerintah agar UU yang relevan segera diundangkan setelah disahkan DPR.
Dalam hukum acara (hukum formal yang mengatur jalannya proses pengadilan), pengundangan memiliki efek langsung. Ketika sebuah UU Acara baru diundangkan, sistem peradilan—termasuk kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan—harus segera menyesuaikan prosedur mereka. Keterlambatan pengundangan dapat menyebabkan kebingungan prosedural, di mana penegak hukum tidak yakin apakah harus menggunakan hukum acara yang lama atau yang baru.
Untuk menghindari kekacauan ini, seringkali UU Acara baru secara eksplisit mencantumkan masa transisi (vacatio legis) yang panjang, memastikan bahwa sosialisasi dan pelatihan aparat penegak hukum selesai sebelum UU tersebut diundangkan, atau setidaknya sebelum ia berlaku efektif.
Di ranah hukum administrasi negara, proses mengundangkan berperan sebagai validasi kewenangan. Setiap tindakan administratif, mulai dari penerbitan izin hingga penetapan kebijakan publik, harus memiliki dasar hukum yang jelas.
UU sering mendelegasikan kewenangan kepada lembaga eksekutif untuk membuat peraturan yang lebih rinci (PP, Perpres). Delegasi ini hanya valid jika UU induk telah diundangkan. Jika sebuah Kementerian menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) berdasarkan RUU yang belum diundangkan, Permen tersebut secara teknis cacat hukum dan dapat dibatalkan melalui mekanisme pengujian di Mahkamah Agung.
Hal ini menegaskan kembali prinsip legalitas: setiap kekuasaan publik harus berdasar pada hukum yang telah diumumkan secara sah. Pengundangan adalah verifikasi publik bahwa rantai delegasi kewenangan tersebut telah dimulai secara legal.
Selain LNRI, terdapat juga Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). BNRI digunakan untuk mengundangkan peraturan di bawah UU yang bersifat non-normatif atau administratif, seperti Peraturan Menteri atau Keputusan Presiden yang tidak mengandung norma hukum umum. BNRI juga mencatat hal-hal penting lain, seperti pendirian badan hukum atau pengangkatan pejabat tinggi.
Meskipun BNRI memiliki hierarki di bawah LNRI, fungsinya dalam pengundangan tetap vital untuk menjamin transparansi administratif dan kepastian hukum bagi subjek hukum yang terlibat langsung dengan keputusan administratif tersebut.
Masa depan proses mengundangkan di Indonesia sangat terkait dengan perkembangan teknologi informasi. Digitalisasi menawarkan solusi untuk meningkatkan kecepatan, aksesibilitas, dan otentikasi naskah hukum.
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN) adalah pusat bagi semua informasi hukum yang diundangkan di Indonesia. Pengembangan JDIHN menuju platform yang terintegrasi dan responsif adalah kunci. Idealnya, pada detik sebuah UU diundangkan secara resmi (ditandatangani Menkumham dan diberikan nomor LNRI), naskah digital harus segera tersedia di JDIHN, memenuhi tuntutan publik akan transparansi dan akses cepat.
Beberapa ahli hukum teknologi telah mengusulkan penggunaan teknologi blockchain untuk menjamin otentisitas naskah yang diundangkan. Dengan mencatat hash kriptografi dari naskah otentik pada blockchain, integritas dokumen hukum tidak dapat diganggu gugat. Ini dapat menjadi lapisan keamanan tambahan yang melengkapi tanda tangan elektronik pemerintah, mengatasi kekhawatiran publik terhadap potensi perubahan naskah di tengah proses publikasi.
Pada akhirnya, tindakan mengundangkan adalah ritual penutup yang sakral dalam proses pembentukan hukum. Ia adalah janji negara kepada warganya bahwa hukum telah ditetapkan, diumumkan, dan siap untuk ditegakkan, sekaligus menegaskan prinsip bahwa tiada hukum tanpa pengumuman resmi.