Tafsir Mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 276: Penghancuran Riba dan Pertumbuhan Sedekah

I. Pendahuluan: Kontras Abadi antara Harta dan Barakah

Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, tidak hanya mencakup hukum-hukum dasar Islam tetapi juga meletakkan fondasi etika dan moralitas dalam bermuamalah (berinteraksi sosial dan ekonomi). Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi terdalam terhadap sistem ekonomi dan keadilan sosial adalah rangkaian ayat mengenai Riba (bunga/usury) dan Sedekah (amal). Puncak dari peringatan dan janji ini terangkum dalam ayat 276, sebuah ayat yang memberikan kontras tajam antara konsekuensi materialistik yang tampak menguntungkan, dan konsekuensi spiritual serta keberkahan yang hakiki.

Ayat ini berfungsi sebagai pernyataan ilahi yang definitif mengenai hasil akhir dari dua praktik ekonomi yang secara lahiriah berlawanan. Riba, meskipun secara matematis menghasilkan pertumbuhan yang terukur dan cepat, dinilai oleh Allah SWT sebagai sesuatu yang dimusnahkan keberkahannya. Sebaliknya, Sedekah, yang secara lahiriah tampak mengurangi harta, justru dilipatgandakan dan diberkahi pertumbuhannya oleh Sang Pencipta.

Studi terhadap Surah Al-Baqarah 276 (2:276) memerlukan pemahaman tidak hanya pada tingkat terjemahan harfiah, tetapi juga pada dimensi fiqh, tauhid, dan filosofi ekonomi yang terkandung di dalamnya. Ayat ini menantang pandangan konvensional bahwa kekayaan diukur semata-mata dari angka, menggantinya dengan konsep *Barakah* (keberkahan) sebagai indikator kekayaan sejati dan berkelanjutan.

II. Analisis Tafsir Ayat 276

يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَا وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

A. Terjemahan Global

“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”

B. Tafsir Kata Per Kata

1. يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَا (Yamhaqu Allāhu ar-Ribā - Allah memusnahkan Riba)

Kata kunci di sini adalah *Yamhaqu* (يَمْحَقُ), yang berasal dari akar kata *maḥaq* (محق). Ini tidak hanya berarti 'menghapus' atau 'mengurangi', tetapi mengandung makna 'menghancurkan secara bertahap', 'menghilangkan keberkahan', atau 'melenyapkan substansinya'. Tafsir klasik, seperti yang disampaikan oleh Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa pemusnahan ini terjadi dalam beberapa dimensi:

Ibnu Katsir menambahkan bahwa kehancuran ini bisa juga berarti bahwa Allah tidak menerima amal yang dilakukan dengan harta Riba, sehingga nilai spiritualnya hilang total.

2. وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ (Wa yurbī aṣ-ṣadaqāt - dan menyuburkan sedekah)

Kata kunci *Yurbī* (يُرْبِى) memiliki akar kata yang sama dengan *Ribā* (رِبَا), yaitu *rabā* (ربا), yang berarti 'bertambah', 'tumbuh', atau 'melipatgandakan'. Kontras penggunaan akar kata yang sama ini sangat indah dan mendalam. Pada Riba (pinjaman berbunga), pertambahan itu dilarang dan dimusnahkan. Namun, pada Sedekah, pertambahan itu diizinkan dan justru dijanjikan oleh Allah SWT.

Pertambahan Sedekah terjadi dalam bentuk yang jauh lebih mulia daripada sekadar angka:

3. وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (Wallāhu lā yuḥibbu kulla kaffārin athīm - Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa)

Ayat ini menutup dengan peringatan keras, menghubungkan praktik Riba dengan sifat kekafiran (*Kaffār*) dan dosa besar (*Athīm*). Frasa *Kaffār* (bentuk mubalaghah) menunjukkan orang yang sangat ingkar, menutupi kebenaran, atau tidak bersyukur atas nikmat Allah, sementara *Athīm* menunjukkan orang yang tenggelam dalam dosa dan secara sadar melanggar batasan-batasan ilahi.

Hubungan Riba dengan kekafiran ditekankan karena praktik Riba menunjukkan ketidakpercayaan (lack of trust) terhadap janji Allah untuk memberkahi rezeki yang halal, serta penolakan terhadap keadilan sosial yang diajarkan Islam. Orang yang terus menerus memakan Riba, setelah mengetahui larangannya, telah memilih sistem ekonominya sendiri yang berlawanan dengan sistem ilahi, menempatkannya pada posisi menentang perintah Allah.

Grafik Pertumbuhan dan Kehancuran Harta Representasi visual Surah Al-Baqarah 276. Garis merah menunjukkan Riba yang berakhir dengan kehancuran, sedangkan garis hijau menunjukkan Sedekah yang tumbuh berkelanjutan dengan berkah. Konsep Barakah: Riba vs. Sedekah Awal Akhir (Waktu) Riba (Yamhaqu) Sedekah (Yurbī)

III. Dimensi Filosofis dan Teologis Kontras Riba dan Sedekah

Inti dari larangan Riba dan perintah Sedekah bukanlah sekadar hukum ekonomi, melainkan pernyataan teologis tentang hakikat kepemilikan dan sumber kekayaan. Allah SWT mengajarkan bahwa Riba adalah tindakan yang berlawanan dengan fitrah ilahi, sedangkan Sedekah adalah manifestasi keimanan dan kepasrahan.

A. Riba: Pengabaian Waktu dan Barakah

Riba secara inheren adalah sebuah klaim atas pertambahan nilai uang tanpa adanya risiko, usaha, atau nilai tambah yang riil. Ia menetapkan harga di masa depan berdasarkan uang di masa kini, mengabaikan unsur ketidakpastian (risk), tenaga (effort), dan izin Allah (barakah).

Dalam Riba, manusia bertindak seolah-olah dirinya yang paling berkuasa atas waktu dan kekayaan. Seorang pemberi Riba meyakini, secara implisit, bahwa uangnya akan beranak pinak dengan sendirinya, terlepas dari kondisi ekonomi penerima pinjaman atau campur tangan takdir. Ini adalah bentuk kesombongan ekonomi. Ketika Allah memusnahkannya (*Yamhaqu*), itu berarti Allah menarik kembali kendali atas harta tersebut, menunjukkan bahwa pertumbuhan sejati hanya berasal dari-Nya.

B. Sedekah: Investasi Jangka Panjang dalam Barakah

Sedekah, sebaliknya, adalah tindakan pelepasan kepemilikan secara sukarela untuk mencari keridaan Allah. Ini adalah pertunjukan iman bahwa rezeki tidak berkurang karena pemberian, melainkan justru akan diganti dan dilipatgandakan (Yurbī) oleh Dzat Yang Maha Memberi Rezeki.

Prof. Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa Sedekah adalah "pembangkit" barakah. Sedekah tidak hanya meningkatkan saldo pahala di akhirat, tetapi juga membersihkan sisa harta dari hak orang lain, menjamin ketenangan jiwa, dan memancing rezeki baru dari jalan yang tidak disangka-sangka (rezeki tak terduga). Pertumbuhan ini bersifat kualitatif (Barakah) dan kuantitatif (Pahala), menjadikannya aset yang tidak terdegradasi oleh inflasi duniawi.

C. Kesalahan Logika Materialis

Ayat 276 secara langsung mengoreksi logika ekonomi materialis yang mengatakan bahwa A + bunga = A + B (lebih besar). Allah menyatakan bahwa A + Riba = A - Barakah (lebih kecil nilainya). Sebaliknya, A - Sedekah = A + Barakah (jauh lebih besar nilainya, meskipun secara angka kasat mata berkurang). Ayat ini memaksa kaum Muslim untuk menempatkan Barakah di atas angka, dan Keimanan di atas Keuntungan cepat.

IV. Dimensi Fiqh: Menggali Definisi Riba dan Konteks Pengharaman

Untuk memahami sepenuhnya mengapa Allah menghancurkan Riba, kita harus memahami definisinya dalam kerangka syariat. Secara bahasa, Riba berarti kelebihan atau pertambahan. Secara terminologi syariah, Riba adalah kelebihan (ziyādah) yang disyaratkan dalam transaksi pinjaman atau pertukaran barang sejenis tanpa adanya imbalan yang seimbang (iwadh) yang dibenarkan syariat.

A. Dua Jenis Utama Riba

Hukum Islam membagi Riba menjadi dua kategori utama, keduanya dilarang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits:

1. Riba an-Nasii’ah (Riba Penangguhan/Waktu)

Ini adalah jenis Riba yang secara eksplisit ditargetkan dan dilarang dengan keras dalam Surah Al-Baqarah, khususnya ayat-ayat yang mendahului 276. Riba Nasii’ah terjadi ketika ada tambahan pembayaran sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan utang. Inilah yang kita kenal sebagai bunga pinjaman modern, di mana peminjam harus membayar lebih dari jumlah pokok hanya karena faktor waktu.

Riba ini sangat merusak karena:

2. Riba al-Fadl (Riba Kelebihan/Pertukaran)

Riba Fadl terjadi dalam pertukaran barang ribawi (emas, perak, gandum, kurma, garam, jewawut) yang sejenis, namun tidak sama ukurannya (tidak seimbang) atau tidak diserahkan secara tunai (*yadan bi yadin*). Walaupun berbeda konteks dengan pinjaman, Riba Fadl dilarang sebagai ‘jalan pintas’ (*sadd adz-dzari'ah*) menuju Riba Nasii’ah.

Para fuqaha (ahli fiqh) menetapkan bahwa larangan Riba Fadl memperkuat etika dalam bertransaksi, memastikan bahwa setiap pertukaran komoditas dasar dilakukan dengan adil dan setara, mencegah manipulasi pasar, dan menjamin nilai intrinsik mata uang atau komoditas pokok.

B. Konsensus Empat Mazhab Mengenai Penghancuran Riba

Seluruh mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) sepakat bahwa Riba Nasii’ah adalah dosa besar yang diharamkan secara mutlak (Qath’i Ad-Dalalah wa Qath’i Ats-Tsubut). Mereka menafsirkan *Yamhaqu* (memusnahkan) sebagai penarikan keberkahan dari transaksi tersebut, yang berujung pada kerugian substansial, baik spiritual maupun material, meskipun secara nominal tampak ada penambahan.

Imam Syafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa meskipun pelakunya mungkin kaya di dunia, kekayaan itu tidak memberikan manfaat sejati atau ketenangan. Harta itu ‘hangus’ di hadapan Allah, dan azab yang menantinya jauh lebih dahsyat daripada keuntungan duniawi yang sebentar.

V. Implikasi Sosial dan Ekonomi Surah 276

Larangan Riba dan perintah Sedekah bukanlah sekadar ritual, melainkan cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang adil, stabil, dan sejahtera secara kolektif. Ayat 276 menyajikan dua model ekonomi yang bertentangan, dengan hasil yang berlawanan pula.

A. Model Ekonomi Riba: Kesenjangan dan Ketidakstabilan

Sistem Riba, atau sistem bunga, didasarkan pada akumulasi kekayaan oleh mereka yang sudah memilikinya, mengabaikan kebutuhan riil masyarakat. Ketika Riba diterapkan, ia memindahkan sumber daya dari sektor produktif (yang menanggung risiko dan menciptakan lapangan kerja) ke sektor finansial murni (yang tidak menanggung risiko).

Dampak pemusnahan Riba secara sosial-ekonomi meliputi:

  1. **Konsentrasi Kekayaan:** Riba memastikan bahwa uang terus berputar di antara segelintir orang kaya, sementara masyarakat miskin terjerat dalam lingkaran utang yang terus membesar. Ini menciptakan ketidakadilan struktural yang menghancurkan kohesi sosial.
  2. **Risiko Sistemik:** Ekonomi berbasis Riba cenderung mengalami gelembung spekulatif dan krisis keuangan yang berulang. Kehancuran (*Yamhaqu*) Riba sering terwujud dalam bentuk kegagalan pasar, depresiasi nilai mata uang, atau resesi mendalam, yang pada akhirnya memiskinkan masyarakat luas.
  3. **Hilangnya Etos Kerja:** Riba mendorong orang untuk mencari keuntungan tanpa bekerja keras atau berinovasi, karena cukup dengan memiliki modal. Ini melemahkan semangat kewirausahaan dan produktivitas riil.

B. Model Ekonomi Sedekah: Pertumbuhan Inklusif dan Keadilan

Sedekah, Zakat, dan Infak (disuburkan oleh *Yurbī aṣ-ṣadaqāt*) mewakili model ekonomi sirkular. Mereka memastikan bahwa kekayaan tidak hanya diam atau terakumulasi, tetapi terus bergerak dan mengalir ke lapisan masyarakat yang membutuhkan, mengaktifkan konsumsi dan investasi.

Prinsip Sedekah menciptakan stabilitas melalui:

Ayat 276 mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sejati harus berbasis etika, partisipasi, dan berbagi risiko (prinsip *mudarabah* dan *musyarakah*), bukan eksploitasi dan pertambahan tanpa dasar (Riba).

VI. Keterkaitan Surah Al-Baqarah 276 dengan Ayat-Ayat Riba Lainnya

Ayat 276 tidak berdiri sendiri. Ia adalah kesimpulan yang kuat dari serangkaian ayat sebelumnya (275) dan berfungsi sebagai motivasi spiritual sebelum ayat-ayat tentang tuntutan amal saleh (277-281). Memahami ayat ini memerlukan konteks dari ayat-ayat terdekatnya.

A. Kontras dengan Al-Baqarah 275: Penolakan Logika Riba

Ayat 275 berbunyi: "Orang-orang yang memakan Riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan Riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba."

Ayat 275 menargetkan kesalahan logis kaum musyrikin yang menyamakan Riba dengan jual beli. Ayat 276 kemudian memberikan bukti ilahi bahwa kedua praktik tersebut tidak sama: Riba dimusnahkan, sementara jual beli (jika halal) dan sedekah disuburkan. Logika manusia mengatakan bahwa Riba dan jual beli sama-sama menghasilkan keuntungan; Logika Ilahi mengatakan hasilnya di akhir sangat berbeda—yang satu membawa Barakah, yang lain membawa kehancuran (*Yamhaqu*).

B. Perintah Menghindari Sisa Riba (Al-Baqarah 278-279)

Setelah menyatakan pemusnahan Riba, Allah SWT langsung memerintahkan kaum beriman untuk meninggalkan sisa-sisa Riba yang mungkin masih ada, dengan ancaman yang sangat keras:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakan, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.” (2:278-279)

Ancaman perang ilahi ini menunjukkan betapa seriusnya dosa Riba, menempatkannya hampir setara dengan syirik. Ini menegaskan bahwa sifat *Yamhaqu* (pemusnahan) pada Riba adalah konsekuensi yang pasti, baik di dunia maupun di akhirat.

C. Riba dan Ketakwaan (Ali Imran 130)

Ayat lain dalam Surah Ali Imran (3:130) juga memperkuat larangan Riba dengan menghubungkannya pada Ketakwaan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Konteks Ali Imran 130 sering ditafsirkan sebagai larangan terhadap praktik Riba jahiliyyah yang berlipat ganda (Riba yang terus menumpuk jika pinjaman ditangguhkan). Ayat 276 (Al-Baqarah) memperluas pemahaman ini, menunjukkan bahwa meskipun Riba tidak berlipat ganda, ia tetap dimusnahkan keberkahannya, karena ia pada dasarnya adalah kezaliman.

Timbangan Keadilan Ilahi Representasi timbangan yang miring karena kelebihan Riba, menunjukkan ketidakadilan dan dosa besar (Kaffar Athim) yang dilarang dalam Al-Baqarah 276. RIBA Dosa (Athīm) SEDEKAH Barakah (Yurbī)

VII. Hadits Nabi SAW Mengenai Riba dan Sedekah

Sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan penjelasan praktis dan penguatan teologis terhadap larangan dalam Al-Qur'an. Hadits-hadits ini menggarisbawahi urgensi pemahaman atas kata *Yamhaqu* (pemusnahan) dan *Yurbī* (penyuburan).

A. Hadits Tentang Kehancuran Harta Riba

Nabi SAW bersabda mengenai hasil akhir dari harta yang didapatkan melalui Riba, yang secara lahiriah tampak banyak:

"Riba, meskipun bertambah (banyak), tetapi ujungnya akan menuju kepada kerugian." (Hadits Riwayat Ahmad dan Hakim)

Hadits ini secara harfiah menerjemahkan makna *Yamhaqu*. Meskipun seseorang mungkin memiliki tumpukan kekayaan dari Riba, pada akhirnya kekayaan itu akan lenyap; entah melalui kerugian bisnis yang mendadak, pengeluaran besar untuk pengobatan penyakit, atau hilangnya manfaat (Barakah) yang membuat harta itu tidak mendatangkan ketenangan bagi pemiliknya maupun keluarganya.

Hadits lain yang sangat keras mencantumkan Riba dalam kategori dosa yang mematikan:

"Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan Riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan perang, dan menuduh wanita mukminah yang suci berbuat zina." (Muttafaqun Alaih)

Penyebutan Riba berdampingan dengan pembunuhan dan sihir menegaskan posisi Riba sebagai pelanggaran etika sosial tertinggi yang merusak fondasi masyarakat.

B. Hadits Tentang Pelipatgandaan Sedekah

Sebaliknya, hadits-hadits mengenai Sedekah menekankan konsep *Yurbī* (penyuburan) secara fisik dan spiritual:

"Tidaklah seorang hamba bersedekah dengan harta yang baik melainkan Allah mengambilnya dengan Tangan Kanan-Nya, lalu memeliharanya sebagaimana salah seorang di antara kalian memelihara anak kudanya atau anak untanya, hingga sedekah itu menjadi seperti gunung Uhud." (Muttafaqun Alaih)

Hadits Qudsi ini memberikan gambaran visual tentang bagaimana Sedekah yang sedikit (ibarat anak kuda) di hadapan Allah dapat tumbuh menjadi sangat besar (ibarat gunung Uhud). Pertumbuhan ini adalah manifestasi konkret dari janji Allah dalam 2:276 bahwa Dia menyuburkan Sedekah. Ini bukan pertumbuhan materi duniawi, melainkan pertumbuhan nilai spiritual dan Barakah yang kekal.

VIII. Riba dan Sedekah dalam Konteks Ekonomi Kontemporer

Meskipun ayat ini diturunkan pada abad ke-7, relevansinya tetap absolut dalam sistem keuangan global modern. Sebagian besar transaksi keuangan global, mulai dari pinjaman konsumen, hipotek, kartu kredit, hingga obligasi konvensional, didasarkan pada Riba an-Nasii’ah.

A. Tantangan Industri Keuangan Konvensional

Penerapan Surah Al-Baqarah 276 mengharuskan umat Islam menolak keseluruhan model perbankan berbasis bunga. Hal ini melahirkan industri Keuangan Syariah, yang bertujuan menyediakan alternatif transaksi yang berdasarkan prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing/PLS) seperti *Mudarabah* dan *Musyarakah*, atau jual beli yang sah (*Murabahah*) sebagai pengganti Riba.

Sistem Syariah berusaha menghidupkan kembali semangat *Yurbī aṣ-ṣadaqāt* (menyuburkan amal) dan *Yamhaqu ar-Ribā* (memusnahkan Riba) dengan dua cara:

  1. **Prinsip Risiko Bersama:** Setiap transaksi harus melibatkan berbagi risiko. Jika ada keuntungan, dibagi; jika ada kerugian, ditanggung bersama. Ini berbeda dengan Riba yang menjamin keuntungan bagi pemodal terlepas dari hasil usaha.
  2. **Keterkaitan dengan Aset Rill:** Pembiayaan harus terkait dengan aset fisik atau kegiatan ekonomi riil (anti-spekulasi), sehingga nilai tambah benar-benar tercipta melalui usaha, bukan manipulasi uang semata.

B. Menghidupkan Kembali Budaya Sedekah dan Zakat

Di tengah modernitas, peran Sedekah dan Zakat menjadi kian vital. Institusi Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) modern adalah alat untuk mewujudkan janji *Yurbī* secara terorganisir. Melalui ZIS, dana dapat dikelola secara profesional untuk pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, memastikan aliran Barakah dari golongan mampu kepada yang membutuhkan.

Jika Riba menghancurkan keadilan dan mengumpulkan kekayaan, Zakat dan Sedekah memperbaiki keretakan sosial, mendistribusikan modal kerja, dan pada akhirnya, menciptakan sistem ekonomi yang lebih tahan banting terhadap krisis, sebab ia ditopang oleh fondasi spiritual (Barakah).

Keberkahan (Barakah) yang ditimbulkan oleh sedekah dapat dilihat dalam proyek-proyek wakaf yang berkelanjutan, di mana sebuah investasi amal terus memberikan manfaat dan pahala selama puluhan bahkan ratusan tahun, membuktikan janji pelipatgandaan oleh Allah SWT.

IX. Penutup: Pilihan Jalan Hidup

Surah Al-Baqarah ayat 276 bukanlah sekadar larangan, melainkan sebuah pernyataan komprehensif mengenai sifat sejati kekayaan dan kemakmuran. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam jangka panjang, matematika ilahi akan selalu mengalahkan matematika materialis. Riba akan selalu dimusnahkan, meskipun ia menjulang tinggi pada awalnya, karena ia didasarkan pada ketidakadilan dan ketidakpercayaan pada Tuhan. Sementara itu, Sedekah akan selalu disuburkan, meskipun tampak mengurangi harta, karena ia didasarkan pada keimanan, kasih sayang, dan keyakinan mutlak pada janji Allah SWT.

Pilihan bagi seorang mukmin sangat jelas: mengikuti jalan Riba yang menjanjikan keuntungan cepat namun berakhir dengan kehancuran (*Yamhaqu*), atau memilih jalan Sedekah dan muamalah halal yang mungkin tampak lambat namun dijamin pertumbuhannya oleh Barakah ilahi (*Yurbī*). Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan, sistem keuangan mana yang kita pilih untuk membangun masa depan kita, dan apakah kita ingin harta kita menjadi sumber ketenangan atau sumber siksa di dunia dan akhirat.

Kekuatan iman seorang Muslim diuji dalam kemampuannya untuk menolak godaan Riba, bahkan ketika sistem duniawi tampak membenarkannya, dan sebaliknya, merangkul Sedekah sebagai investasi teraman dan paling menguntungkan yang pernah ada, karena penjaminnya adalah Allah, Penguasa Barakah dan Rezeki Yang Tak Terhingga.

Hak Cipta Konten Dilindungi. Dilarang menyalin tanpa izin.

🏠 Kembali ke Homepage