Keringanan Salat dalam Perjalanan (Rukhshah Safar)
Dalam syariat Islam, salat merupakan tiang agama yang wajib dilaksanakan pada waktunya. Namun, Islam dikenal sebagai agama yang penuh rahmat dan kemudahan, memberikan dispensasi atau rukhshah bagi umatnya yang berada dalam kondisi sulit, salah satunya adalah dalam perjalanan atau safar.
Mengqasar (meringkas) salat adalah keringanan yang diberikan Allah SWT untuk memendekkan jumlah rakaat salat fardhu yang asalnya empat rakaat menjadi dua rakaat. Keringanan ini berlaku untuk salat Dzuhur, Ashar, dan Isya. Adapun salat Maghrib (3 rakaat) dan Subuh (2 rakaat) tidak dapat diqasar.
Landasan utama rukhsah qasar terdapat dalam firman Allah SWT:
"Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. An-Nisa: 101)
Meskipun ayat tersebut awalnya menyebutkan adanya rasa takut (khauf) terhadap musuh, namun melalui penjelasan hadis dan ijma’ ulama, qasar salat tetap disyariatkan meskipun kondisi perjalanan aman. Ini berdasarkan pada praktik Rasulullah SAW dan penegasan dari Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum.
Para ulama berbeda pandangan mengenai status hukum qasar. Mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, menyatakan bahwa qasar adalah rukhshah (keringanan) yang bersifat mubah (boleh) atau sunnah muakkadah. Artinya, musafir boleh memilih antara mengqasar atau menyempurnakan (itmam) salat empat rakaat.
Namun, Mazhab Hanafi cenderung memandangnya sebagai azimah (hukum wajib) bagi musafir yang memenuhi syarat, sehingga makruh hukumnya jika musafir menyempurnakan salat. Perbedaan ini menunjukkan betapa pentingnya keringanan ini dalam syariat, meskipun mayoritas membolehkan pilihan.
Tidak setiap perjalanan membolehkan pelaksanaan qasar. Terdapat beberapa syarat yang disepakati oleh mayoritas ulama (Jumhur) agar rukhshah ini sah dilakukan:
Syarat utama adalah jarak perjalanan harus mencapai batas minimal yang ditetapkan syariat. Ini adalah poin yang paling banyak diperdebatkan di kalangan fuqaha:
Penting untuk dicatat bahwa perhitungan jarak dimulai sejak seorang musafir telah melewati batas desa atau kota tempat ia tinggal (melewati tembok terakhir atau tanda batas permukiman).
Perjalanan harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Jika seseorang bepergian tanpa tujuan yang pasti atau hanya mengikuti orang lain, ia tidak diperbolehkan mengqasar, kecuali setelah mencapai jarak yang disyaratkan baru kemudian ia menetapkan tujuan.
Qasar adalah pemberian (rukhshah) dari Allah. Oleh karena itu, ia hanya diberikan kepada mereka yang melakukan perjalanan untuk tujuan yang mubah (diperbolehkan), sunnah, atau wajib (seperti mencari nafkah, berdagang, silaturahmi, haji, atau jihad).
Jika perjalanan dilakukan untuk tujuan maksiat (misalnya, merampok, mencuri, atau berbuat dosa besar lainnya), maka keringanan qasar tidak berlaku menurut jumhur ulama, karena keringanan tidak diberikan untuk membantu seseorang dalam dosa.
Hanya salat yang berjumlah empat rakaat saja yang boleh diqasar. Ini meliputi salat Dzuhur, Ashar, dan Isya. Salat Maghrib tetap tiga rakaat dan Subuh tetap dua rakaat. Jika seseorang mengqasar salat Maghrib menjadi satu rakaat atau Subuh menjadi satu rakaat, salatnya batal.
Fikih mengenai qasar salat sangat detail, terutama terkait kapan status musafir itu hilang dan kapan ia wajib kembali menyempurnakan salatnya. Batasan ini disebut Iqamah.
Status sebagai musafir hilang ketika seseorang berniat untuk menetap di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. Jika status musafir hilang, maka kewajiban mengqasar pun hilang dan ia wajib menyempurnakan salat (itmam).
Menurut Mazhab Syafi'i, seorang musafir masih boleh mengqasar salatnya selama ia tidak berniat untuk menetap di suatu tempat selama empat hari penuh (tidak termasuk hari kedatangan dan keberangkatan).
Konsep empat hari ini sangat ketat dalam Mazhab Syafi'i. Misalnya, jika seseorang tiba pada hari Senin pagi dan berniat pulang hari Jumat pagi, maka ia akan menetap 4 hari penuh (Senin, Selasa, Rabu, Kamis) sehingga wajib itmam sejak tiba.
Mazhab Hambali cenderung lebih longgar, menetapkan batasan niat menetap adalah 19 kali salat (sekitar 4 hari penuh). Jika musafir berniat menetap lebih dari 4 hari, ia wajib itmam.
Mazhab Hanafi memberikan batasan niat menetap yang paling lama, yaitu 15 hari. Jika seorang musafir berniat menetap selama 15 hari atau lebih di suatu tempat, maka status musafirnya hilang dan ia wajib itmam. Jika niatnya kurang dari 15 hari, ia tetap boleh mengqasar.
Bagaimana jika seorang musafir tidak tahu pasti berapa lama ia akan menetap, misalnya ia menunggu urusan bisnis yang tidak jelas selesainya?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa selama ia belum mencapai batas niat menetap (4 hari menurut Syafi'i, 15 hari menurut Hanafi), ia tetap boleh mengqasar. Jika ia sudah tinggal lama (misalnya berminggu-minggu) namun setiap hari ia berniat "besok akan pulang," ia tetap boleh mengqasar sampai ia benar-benar pulang atau niatnya menetap.
Namun, Mazhab Syafi'i memberikan batasan: jika seseorang tinggal di suatu tempat melebihi empat hari tanpa mengetahui kapan urusannya selesai, ia wajib itmam setelah hari ke-18, karena dianggap telah menjadi mukim darurat.
Niat untuk mengqasar salat harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram. Jika seseorang sudah memulai salat empat rakaat tanpa niat qasar, maka ia harus menyempurnakannya (itmam), meskipun ia ingat bahwa ia adalah musafir.
Contoh Niat (Dzuhur diqasar): "Aku niat salat fardhu Dzuhur, dua rakaat qasar, menghadap kiblat karena Allah Ta'ala."
Jika musafir memilih melaksanakan qasar tanpa menggabungkannya (jamak), ia hanya melaksanakan salat tersebut dua rakaat, tepat pada waktunya, sesuai dengan niat qasar yang telah diikrarkan.
Dalam salat berjamaah, status qasar sangat dipengaruhi oleh status imam. Hal ini adalah ketentuan fiqih yang sangat penting:
Dalam kondisi safar, musafir juga diperbolehkan menggabungkan dua salat fardhu dalam satu waktu, yang disebut Jamak. Jamak dan Qasar seringkali dilakukan bersamaan, memberikan kemudahan yang maksimal bagi musafir.
Salat yang dapat dijamak adalah Dzuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya. Subuh tidak dapat dijamak dengan salat lain.
Jamak Taqdim berarti melaksanakan dua salat di waktu salat yang pertama, sambil meringkas (qasar).
Contoh: Dzuhur dan Ashar dilaksanakan di waktu Dzuhur.
Syarat utama Jamak Taqdim adalah tertib (melaksanakan salat pertama dulu) dan muwalat (berkesinambungan/tidak ada jeda panjang).
Jamak Ta'khir berarti melaksanakan dua salat di waktu salat yang kedua, sambil meringkas (qasar).
Contoh: Dzuhur dan Ashar dilaksanakan di waktu Ashar.
Syarat utama Jamak Ta'khir adalah niat memindahkan waktu salat pertama ke waktu salat kedua harus sudah dilakukan ketika waktu salat pertama masih ada. Urutan (tertib) dalam Jamak Ta'khir tidak diwajibkan oleh sebagian besar ulama.
Salat Maghrib tidak bisa diqasar (tetap 3 rakaat), tetapi boleh dijamak dengan Isya. Isya tetap boleh diqasar (menjadi 2 rakaat).
Pelaksanaan Jamak Taqdim (di waktu Maghrib): Maghrib (3 rakaat) diikuti Isya Qasar (2 rakaat).
Pelaksanaan Jamak Ta'khir (di waktu Isya): Isya Qasar (2 rakaat) didahulukan, diikuti Maghrib (3 rakaat). (Sebagian Syafi'iyah mewajibkan Maghrib didahulukan, meskipun dalam Jamak Ta'khir).
Konversi dua marhalah (sekitar 81-85 km) di era modern dapat menggunakan aplikasi navigasi atau peta. Yang menjadi patokan adalah jarak terpendek yang biasa ditempuh, bukan jarak tempuh aktual (misalnya, jika jalan memutar lebih panjang, tetap patokan adalah jarak lurus). Jarak 81 km dianggap sebagai titik aman untuk memulai qasar.
Jika perjalanan tidak diketahui pasti jaraknya (misalnya naik kapal laut yang tidak memiliki rute tetap), maka patokan safar adalah jika perjalanan itu membutuhkan waktu tempuh dua hari berjalan kaki normal (seperti patokan marhalah kuno).
Bagi pilot, pramugari, nahkoda, atau sopir truk jarak jauh yang menjadikan safar sebagai pekerjaan rutin, status mereka tetap musafir selama mereka berada di luar batas permukiman mereka.
Namun, jika mereka memiliki 'rumah kedua' atau tempat tinggal tetap di kota tujuan (tempat mereka sering menginap), maka ketika mereka tiba di kota tersebut, mereka dianggap mukim dan wajib itmam, meskipun durasinya singkat. Jika mereka hanya menginap di hotel tanpa niat menetap, mereka tetap musafir.
Jika seorang musafir ragu apakah ia sudah mencapai jarak minimal 81 km atau belum, maka hukum asal tetap berlaku, yaitu ia wajib itmam (menyempurnakan). Keraguan tidak membatalkan kewajiban itmam. Qasar hanya sah jika syarat jarak telah terpenuhi secara yakin.
Ketika seseorang mengqasar salat fardhu, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum salat sunnah rawatib (sunnah pengiring) yang menyertai salat Dzuhur, Ashar, dan Isya.
Untuk memahami kedalaman fikih qasar, pemahaman tentang kapan status safar berakhir adalah kunci. Fokus utama adalah pada niat menetap. Jika tidak ada niat, status safar akan terus berlanjut hingga batas waktu tertentu.
Misalnya, seseorang pergi ke Makkah untuk umrah. Ia ingin tinggal 10 hari, tetapi ia tahu bahwa urusannya bisa selesai lebih cepat atau lebih lambat. Selama 10 hari tersebut, ia tetap musafir (berdasarkan Mazhab Hanafi, atau berdasarkan Syafi'i jika urusan ini tergolong safar 'uzur). Setelah 10 hari, jika ia masih berada di sana tanpa kepastian pulang, statusnya akan diperdebatkan.
Mayoritas fukaha cenderung memberikan kemudahan, bahwa selama musafir tersebut masih ada kemungkinan untuk melanjutkan perjalanan sewaktu-waktu, ia masih menikmati rukhsah qasar.
Perlu dibedakan antara niat menetap dan tinggal sementara yang berulang. Jika seseorang secara rutin bolak-balik antara dua kota (A dan B) untuk bekerja, dan di kota B ia memiliki niat tinggal 10 hari setiap kali datang, ia adalah musafir dan boleh qasar. Namun, jika ia berniat tinggal 15 hari di kota B (menurut Hanafi) atau 4 hari di kota B (menurut Syafi'i), maka kota B menjadi tempat iqamahnya dan ia wajib itmam.
Syarat niat iqamah harus jelas dan definitif. Keraguan atau niat yang tidak pasti (misalnya, "Aku akan tinggal sampai urusanku selesai") tidak otomatis membatalkan status safar, selama durasinya belum melampaui batas toleransi mazhab yang dianut.
Kasus Safar yang paling terkenal adalah saat Haji.
Banyak ulama kontemporer cenderung mengambil kemudahan Mazhab Hanafi (batasan 15 hari) untuk tujuan ibadah haji/umrah, agar jamaah bisa lebih leluasa memanfaatkan rukhshah, mengingat kesibukan dan kesulitan logistik saat ibadah.
Keringanan qasar bukan sekadar memendekkan rakaat, tetapi mengandung hikmah yang mendalam dalam syariat Islam:
Inti dari syariat Islam adalah kemudahan. Safar secara alamiah menimbulkan kesulitan, kelelahan, dan gangguan fokus. Mengqasar salat memberikan kemudahan agar ibadah tetap dapat dilaksanakan dengan khusyuk tanpa membebani musafir yang sedang berjuang di jalan.
Allah SWT mengakui bahwa manusia memiliki batas kemampuan fisik dan mental. Keringanan ini adalah bentuk kasih sayang Ilahi, yang menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh menjadi beban yang menghambat aktivitas mubah atau wajib lainnya.
Dengan adanya qasar, seorang muslim termotivasi untuk melakukan perjalanan yang bermanfaat, karena ia tahu bahwa Allah telah menyediakan fasilitas untuk memudahkannya menjalankan kewajiban agama di mana pun ia berada, selama tujuan perjalanannya adalah kebaikan.
Para ulama berdebat, manakah yang lebih utama: mengqasar atau menyempurnakan salat saat safar?
Menurut Mazhab Syafi'i dan Maliki, jika perjalanan tersebut benar-benar sulit dan melelahkan, maka mengqasar lebih utama, karena mengambil rukhshah (keringanan) dari Allah adalah bentuk ketaatan. Jika perjalanannya sangat mudah (seperti perjalanan modern yang sangat nyaman), maka itmam (menyempurnakan) mungkin lebih utama, meskipun qasar tetap diperbolehkan.
Namun, jika kita mengikuti hadis Rasulullah SAW yang selalu mengqasar salat saat safar, maka mengqasar adalah sunnah dan afdhal bagi seorang musafir, tanpa memandang tingkat kesulitan safar modern.
Mengqasar salat adalah rukhshah yang agung, yang didasarkan pada kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-Nya. Penerapannya harus didasarkan pada ilmu dan kehati-hatian, memastikan bahwa semua syarat safar, jarak minimal (81 km), niat, dan batasan iqamah telah dipenuhi.
Dalam praktik kontemporer, musafir modern didorong untuk mengambil kemudahan ini, tetapi perlu memperhatikan niat iqamah mereka agar tidak salah menentukan apakah mereka harus mengqasar (2 rakaat) atau menyempurnakan (4 rakaat), terutama ketika menjadi makmum di belakang imam mukim.
Dengan memahami secara mendalam hukum-hukum terkait qasar dan jamak, setiap muslim dapat melaksanakan kewajiban salatnya di tengah kesibukan perjalanan tanpa merasa terbebani, sambil tetap menjaga kesempurnaan ibadah.