Ilustrasi 1: Struktur Kekuasaan Global
Konsep dominasi, kekuasaan, dan pengaruh merupakan inti dari studi hubungan internasional, sosiologi, dan filsafat politik. Dalam konteks global yang kompleks dan saling terhubung, upaya untuk menghegemoni—yaitu, untuk mendominasi tidak hanya melalui kekuatan paksaan tetapi juga melalui persetujuan ideologis—adalah fenomena yang terus-menerus membentuk lanskap peradaban. Hegemoni bukanlah sekadar superioritas militer atau kekayaan finansial; ia adalah kemampuan untuk memaksakan visi dunia, mengatur norma, dan menentukan batas-batas pemikiran yang dianggap ‘normal’ atau ‘universal’ oleh pihak lain. Upaya menghegemoni menuntut strategi yang berlapis, menggabungkan kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power) dalam sebuah orkestrasi yang rumit.
Dalam artikel ini, kita akan membongkar secara detail mekanisme di balik upaya entitas—negara, korporasi, atau ideologi—untuk menghegemoni sistem global. Kita akan menjelajahi berbagai dimensi, mulai dari fondasi teoretis yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci hingga manifestasi praktisnya dalam perdagangan internasional, teknologi, dan industri budaya yang sangat berpengaruh.
Kata kerja menghegemoni merujuk pada proses aktif menciptakan dan mempertahankan hegemoni. Istilah hegemoni sendiri mendapat popularitas besar melalui karya filsuf Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang menulis tentang konsep ini dari penjara pada awal abad ke-20. Bagi Gramsci, hegemoni adalah dominasi yang dilembagakan yang melampaui paksaan fisik.
Gramsci membedakan antara ‘Dominasi’ (yang dicapai melalui koersi atau kekuatan militer/polisi) dan ‘Hegemoni’ (yang dicapai melalui konsensus intelektual dan moral). Kekuatan yang menghegemoni berhasil membuat kelas atau negara yang didominasi percaya bahwa tatanan yang ada, termasuk posisi subordinat mereka, adalah tatanan yang alami, adil, atau setidaknya, tatanan yang tak terhindarkan. Upaya untuk menghegemoni adalah proses terus-menerus dalam memenangkan hati dan pikiran masyarakat sipil.
Gramsci mengidentifikasi institusi masyarakat sipil—seperti sekolah, gereja, media, dan serikat pekerja—sebagai medan pertempuran utama. Kekuatan yang menghegemoni beroperasi melalui lembaga-lembaga ini untuk menanamkan ideologi dominan. Ini adalah perang posisi (war of position) yang lambat, bertahap, dan jauh lebih efektif dalam jangka panjang daripada perang manuver (war of maneuver) yang berbasis militer.
Hegemoni juga terwujud dalam pembentukan 'Blok Historis'—aliansi antara basis ekonomi (struktur) dan institusi politik/ideologis (suprastruktur). Sebuah kekuatan baru yang ingin menghegemoni harus membangun aliansi lintas sektor, menyatukan kepentingan ekonomi dan budaya mereka sehingga terlihat sebagai kepentingan universal, bukan hanya kepentingan kelas atau negara tertentu.
Dalam studi hubungan internasional, terutama tradisi Realisme dan Neorealisme, upaya menghegemoni seringkali dilihat sebagai perebutan kekuasaan murni antarnegara. Hegemon adalah negara yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang sedemikian besar sehingga mampu mendikte aturan main sistem internasional.
Teori Stabilitas Hegemonik berpendapat bahwa sistem internasional paling stabil ketika ada satu kekuatan dominan (hegemon) yang bersedia dan mampu menyediakan barang publik global—seperti keamanan maritim (kebebasan navigasi) dan sistem perdagangan terbuka. Dalam pandangan ini, negara hegemon bertanggung jawab menghegemoni tatanan demi kebaikan bersama (yang juga menguntungkannya). Ketika kemampuan hegemon melemah, sistem menjadi rentan terhadap konflik dan proteksionisme.
Proses menghegemoni dalam konteks modern seringkali dipahami dalam kerangka uni-polaritas, di mana satu negara memiliki keunggulan tak tertandingi di semua domain kekuasaan: ekonomi, militer, teknologi, dan diplomatik. Namun, bahkan dalam sistem uni-polar, hegemoni tidak pernah absolut; ia selalu menghadapi resistensi, baik dari kekuatan besar yang bangkit maupun dari gerakan sosial di pinggiran.
Upaya menghegemoni, oleh karena itu, adalah tindakan yang berorientasi pada pembangunan infrastruktur kekuasaan (militer dan ekonomi) sekaligus pembangunan suprastruktur ideologis (budaya dan politik) untuk memastikan persetujuan dan legitimasi dominasinya.
Salah satu medan paling fundamental dalam upaya menghegemoni adalah bidang ekonomi. Kontrol atas sumber daya, jalur perdagangan, dan terutama, standar keuangan, memungkinkan suatu entitas untuk memaksakan kehendaknya tanpa perlu menembakkan satu peluru pun. Hegemoni ekonomi adalah fondasi tempat semua bentuk dominasi lainnya dibangun.
Aspek paling vital dari upaya menghegemoni ekonomi adalah penetapan mata uang dominan (reserve currency). Mata uang ini digunakan untuk menetapkan harga komoditas global (khususnya energi), menyelesaikan transaksi internasional, dan dijadikan cadangan oleh bank sentral negara lain. Status ini memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada negara penerbit.
Negara yang mata uangnya menghegemoni pasar menikmati "hak istimewa yang berlebihan" (exorbitant privilege). Mereka dapat mencetak uang untuk membiayai defisit perdagangan mereka tanpa memicu krisis likuiditas, dan mereka dapat meminjam dengan suku bunga yang jauh lebih rendah. Lebih jauh, mereka dapat menggunakan sistem pembayaran mereka sebagai senjata, misalnya, dengan menerapkan sanksi finansial yang secara efektif memutuskan target dari sistem perdagangan global.
Upaya menghegemoni di bidang ekonomi dilakukan melalui kontrol struktural terhadap institusi global seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Melalui kepemilikan suara dan kepemimpinan strategis, kekuatan dominan dapat memastikan bahwa kebijakan yang dipromosikan (misalnya, liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi) selaras dengan kepentingan ekonomi mereka sendiri, bahkan jika kebijakan tersebut merugikan negara-negara berkembang.
Di era digital, upaya menghegemoni telah bergeser ke ranah teknologi. Siapa pun yang menetapkan standar teknis global—mulai dari sistem operasi, arsitektur internet, hingga protokol telekomunikasi (seperti 5G)—memperoleh keuntungan struktural jangka panjang yang hampir tak terhindarkan.
Sebuah negara atau korporasi yang produknya menghegemoni pasar perangkat lunak (misalnya, sistem operasi desktop dan seluler) secara otomatis mendapatkan akses data, memengaruhi perilaku pengguna, dan mengontrol infrastruktur penting negara lain. Ketergantungan global pada teknologi inti ini menciptakan asimetri kekuasaan yang sangat besar.
Proses menghegemoni rantai pasok global melibatkan kontrol atas titik-titik kritis—produksi semikonduktor canggih, pengiriman maritim, atau sumber daya mineral langka. Dengan menguasai titik-titik penyempitan (chokepoints) ini, hegemon dapat mengganggu atau membatasi pertumbuhan ekonomi negara pesaing, memaksa kepatuhan melalui ancaman pemutusan pasokan.
Ilustrasi 2: Rantai Dominasi Ekonomi
Jika hegemoni ekonomi mengikat dompet, hegemoni budaya berupaya menghegemoni jiwa. Soft power adalah kemampuan untuk memengaruhi preferensi dan perilaku pihak lain melalui daya tarik budaya, nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Ini adalah bentuk dominasi yang paling halus namun paling tahan lama, karena menghasilkan persetujuan sukarela.
Industri hiburan, media berita global, dan platform media sosial adalah alat utama dalam upaya menghegemoni budaya. Kekuatan yang dominan memproduksi dan mendistribusikan konten yang secara implisit mempromosikan nilai-nilai, gaya hidup, dan struktur sosial mereka sebagai ideal yang harus ditiru.
Proses menghegemoni melalui budaya melibatkan komodifikasi identitas. Film, musik, dan mode global mengekspor citra ideal—kebebasan individu, konsumerisme, atau demokrasi tertentu—yang kemudian ditiru oleh masyarakat di seluruh dunia. Peniruan ini bukan paksaan, melainkan hasil dari daya tarik yang cermat, sehingga membuat norma-norma asing terasa seperti aspirasi pribadi.
Bahasa yang dominan (lingua franca) dalam sains, diplomasi, bisnis, dan internet adalah senjata hegemoni yang kuat. Bahasa tidak hanya alat komunikasi; ia membawa serta kategori pemikiran dan kerangka kerja kognitif. Ketika suatu bahasa berhasil menghegemoni diskursus global, ia membuat ide-ide yang berasal dari budaya dominan lebih mudah diserap dan ide-ide non-dominan lebih sulit diartikulasikan atau diakui secara internasional.
Sistem pendidikan tinggi memainkan peran krusial. Kekuatan yang menghegemoni seringkali memiliki universitas dan pusat penelitian terkemuka yang tidak hanya menghasilkan inovasi ilmiah tetapi juga mendefinisikan apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang sah.
Model kurikulum, metodologi pengajaran, dan struktur administrasi universitas yang dikembangkan di negara hegemon seringkali diekspor dan diadopsi secara luas. Ini menciptakan homogenitas intelektual, memastikan bahwa generasi pemimpin di negara-negara lain dilatih dalam kerangka berpikir yang mendukung status quo global yang didominasi.
Program beasiswa yang menargetkan elit di negara berkembang berfungsi sebagai saluran untuk menghegemoni kepemimpinan masa depan. Para pemimpin ini kembali ke negara asal mereka dengan jaringan profesional dan, yang lebih penting, afiliasi ideologis yang selaras dengan pandangan dunia negara hegemon, menjadikannya agen internal yang efektif bagi dominasi yang lembut.
Meskipun hegemoni membutuhkan persetujuan, ia tidak akan bertahan tanpa kemampuan untuk melakukan paksaan. Kekuatan militer dan kontrol atas arsitektur politik internasional adalah pilar ‘hard power’ yang mendukung semua upaya menghegemoni.
Negara yang berhasil menghegemoni tatanan militer memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan ke hampir setiap sudut planet ini. Kehadiran militer global ini berfungsi sebagai penjamin keamanan jalur perdagangan dan mencegah munculnya pesaing yang berpotensi menantang status quo.
Pembentukan dan pemeliharaan aliansi militer berfungsi untuk melegitimasi intervensi dan membagi beban keamanan, namun pada dasarnya, ini adalah strategi untuk menghegemoni kebijakan luar negeri negara-negara sekutu. Negara-negara kecil secara sukarela menyerahkan sebagian kedaulatan strategis mereka demi jaminan keamanan yang diberikan oleh hegemon.
Upaya menghegemoni kini meluas ke domain-domain baru: ruang angkasa (kontrol atas satelit komunikasi dan navigasi) dan dunia maya (kemampuan perang siber yang ofensif dan defensif). Dominasi di domain-domain ini memastikan bahwa hegemon memiliki keunggulan informasi yang tidak tertandingi, sebuah prasyarat untuk memenangkan konflik modern.
Aspek penting dari upaya menghegemoni adalah kemampuan untuk mendirikan dan mengelola rezim hukum internasional yang tampak netral dan universal, tetapi pada kenyataannya mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan struktural hegemon.
Melalui PBB dan badan-badan internasional lainnya, hegemon berupaya untuk melegitimasi tindakannya, baik itu intervensi militer, sanksi ekonomi, atau perjanjian dagang yang menguntungkan. Kekuatan ini berhasil menghegemoni definisi ‘keadilan’ dan ‘hukum’ internasional, sehingga tindakan mereka jarang dipertanyakan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai penegakan tatanan.
Promosi nilai-nilai politik tertentu (seperti demokrasi atau hak asasi manusia) juga menjadi bagian dari upaya menghegemoni moral global. Meskipun secara intrinsik positif, promosi ini seringkali selektif dan dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menekan atau mendiskreditkan rezim pesaing yang tidak patuh terhadap kepentingan hegemon.
Proses menghegemoni bukanlah fenomena baru. Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh kekaisaran atau negara-bangsa yang berupaya memaksakan tatanan mereka kepada dunia. Mempelajari kasus-kasus ini membantu kita memahami kompleksitas dan evolusi strategi dominasi.
Pada abad ke-19, Imperium Inggris berhasil menghegemoni sebagian besar sistem global melalui kombinasi kekuatan keras dan lunak. Hegemoni ini didasarkan pada dua pilar utama:
Angkatan Laut Kerajaan menjamin Pax Britannica, memastikan keamanan jalur laut (terutama di Samudra Atlantik dan India). Ini adalah syarat fundamental yang memungkinkan perdagangan bebas berkembang. Inggris berinvestasi dalam menghegemoni lautan untuk memastikan aliran komoditas dan modal yang tidak terputus, menguntungkan industri dan keuangannya.
Penerapan Standar Emas dioperasikan dan dikelola oleh City of London. Standar ini memaksakan disiplin moneter tertentu pada negara-negara yang berpartisipasi, secara efektif menyerahkan otonomi kebijakan moneter mereka kepada pasar yang dikendalikan Inggris. Ini adalah contoh klasik bagaimana hegemon menghegemoni sistem keuangan demi stabilitasnya sendiri.
Setelah Perang Dunia II, AS membangun hegemoni yang jauh lebih canggih, sering disebut sebagai "Imperium Persetujuan" (Empire by Invitation). AS berupaya menghegemoni tatanan liberal internasional melalui pembentukan institusi Bretton Woods (IMF, Bank Dunia) dan aliansi militer NATO.
Melalui Konsensus Washington (serangkaian rekomendasi kebijakan ekonomi liberal), AS berhasil menghegemoni cara pandang pembangunan dan pengelolaan ekonomi di negara-negara berkembang. Ideologi pasar bebas, deregulasi, dan privatisasi menjadi norma yang universal, yang secara struktural menguntungkan korporasi multinasional Amerika.
Industri film Hollywood, musik pop, dan merek-merek ikonik (Coca-Cola, McDonald’s) secara efektif menghegemoni selera dan aspirasi global. Kekuatan budaya ini menciptakan lingkungan yang reseptif terhadap kepentingan politik dan ekonomi AS, melunakkan resistensi terhadap dominasi kerasnya.
Ilustrasi 3: Pengaruh Budaya Melalui Media
Hegemoni tidak bersifat permanen. Kekuatan yang menghegemoni selalu rentan terhadap erosi internal dan tantangan eksternal. Pergeseran kekuasaan global adalah hasil dari dekonstruksi ideologi hegemoni dan kebangkitan kekuatan pesaing.
Upaya menghegemoni yang berlebihan dapat membebani hegemon itu sendiri. Kelelahan militer (imperial overstretch) dan defisit fiskal yang besar dapat melemahkan fondasi kekuatan keras. Lebih serius lagi, hegemoni dapat runtuh jika narasi ideologisnya kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat global atau bahkan domestik.
Ketika model ekonomi yang dipromosikan hegemon (misalnya, neoliberalisme) menghasilkan ketidaksetaraan yang ekstrem atau krisis keuangan yang parah, maka persetujuan ideologis yang menjadi dasar hegemoni akan terkikis. Negara-negara subordinat mulai mempertanyakan apakah tatanan yang ada benar-benar menguntungkan mereka. Ini membuka peluang bagi ideologi tandingan untuk menghegemoni wacana alternatif.
Gerakan sosial, partai politik populis, atau aliansi regional dapat menantang hegemoni dengan mengembangkan ‘kesadaran kontra-hegemonik’—pemahaman bahwa kepentingan mereka bertentangan dengan kepentingan hegemon. Taktik ini sering berfokus pada dekolonisasi pikiran, menolak standar budaya dominan, dan mencari otonomi ekonomi sejati.
Tantangan paling serius datang dari negara-negara pesaing yang bangkit dan berupaya menghegemoni wilayah regional mereka sendiri, atau bahkan tatanan global secara keseluruhan. Transisi hegemoni sering kali merupakan periode yang sangat berbahaya dalam sejarah internasional.
Kekuatan yang menantang tidak hanya menentang institusi yang ada, tetapi juga membangun institusi paralel mereka sendiri (misalnya, bank pembangunan regional atau perjanjian perdagangan alternatif). Upaya ini bertujuan untuk menyediakan pilihan pendanaan atau kerangka kerja normatif yang tidak didominasi oleh hegemon lama, secara bertahap mengurangi ketergantungan global.
Persaingan untuk menghegemoni di bidang teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan komputasi kuantum, merupakan penentu utama kekuasaan masa depan. Siapa pun yang memimpin dalam domain ini akan memiliki keuntungan struktural yang mendalam untuk abad mendatang, menggeser basis kekuasaan dari kontrol militer dan minyak menuju kontrol data dan algoritma.
Masa depan tatanan global tampaknya menuju ke arah multi-polaritas, di mana upaya menghegemoni oleh satu kekuatan tunggal menjadi semakin sulit. Meskipun demikian, konsep hegemoni tidak akan hilang; ia hanya akan menjadi lebih tersebar dan spesifik.
Di masa depan, kita mungkin melihat hegemoni tersegmentasi, di mana kekuatan yang berbeda menghegemoni domain spesifik. Misalnya, satu negara mungkin dominan secara militer, sementara negara lain dominan dalam standar manufaktur hijau, dan kelompok korporasi lain mendominasi infrastruktur data cloud global. Dominasi menjadi lebih bersifat fungsional daripada teritorial.
Korporasi global (bukan hanya negara) kini menjadi pemain kunci dalam upaya menghegemoni. Mereka memiliki anggaran yang melebihi PDB banyak negara dan mengontrol aliran informasi serta modal. Upaya dominasi mereka berfokus pada standarisasi pasar global dan penentuan perilaku konsumen secara massal.
Kemampuan untuk menghegemoni narasi dan memanipulasi informasi melalui media sosial dan perang siber akan menjadi bentuk kekuasaan yang tak ternilai. Ini adalah bentuk hegemoni yang beroperasi secara real-time, menargetkan persepsi publik dan proses demokrasi di negara lain.
Bagi negara-negara yang tidak memiliki kemampuan untuk menghegemoni, strategi terbaik adalah adaptasi dan diversifikasi. Ini melibatkan:
Untuk benar-benar memahami upaya menghegemoni, kita harus menggali lebih dalam pada lapisan filosofis yang mendasari pembentukan kekuasaan ini. Hegemoni berakar pada pembenaran diri yang diinternalisasi.
Upaya menghegemoni tidak hanya bertujuan untuk menguasai materi (ekonomi, militer), tetapi juga untuk menguasai metafisika—yaitu, cara kita memahami dunia. Kekuatan yang dominan berupaya mendefinisikan apa yang ‘rasional,’ ‘ilmiah,’ atau ‘beradab.’
Hegemoni modern sering didorong oleh Rasionalitas Instrumental, di mana tujuan utama adalah efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan optimalisasi. Kekuatan yang menghegemoni membuat nilai-nilai ini terlihat netral dan universal, padahal rasionalitas ini dapat mengorbankan nilai-nilai lain seperti keadilan distributif atau keberlanjutan ekologis. Penolakan terhadap model ini sering dianggap sebagai ‘kemunduran’ atau ‘irasional.’
Dalam pandangan Michel Foucault, kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Kekuatan yang menghegemoni berhasil mengontrol wacana. Mereka menentukan bahasa yang digunakan untuk membahas isu-isu global (misalnya, “terorisme,” “pasar bebas,” “pembangunan”). Mengganti wacana adalah langkah pertama untuk mengganti hegemoni. Misalnya, mendefinisikan ulang perubahan iklim bukan sebagai masalah lingkungan, tetapi sebagai masalah keamanan dan keadilan global, merupakan upaya kontra-hegemonik.
Salah satu trik terkuat dari kekuatan yang menghegemoni adalah kemampuan untuk memproyeksikan kepentingan sempit mereka sebagai kepentingan universal umat manusia. Mereka mengklaim diri sebagai pelindung nilai-nilai tertinggi, padahal tindakan mereka sering kali kontradiktif.
Hegemon sering beroperasi dengan etika pengecualian, di mana aturan yang mereka tetapkan untuk orang lain tidak berlaku bagi mereka sendiri. Misalnya, menuntut ketaatan pada hukum internasional, tetapi memberikan pengecualian bagi operasinya sendiri. Kontradiksi ini secara inheren merusak legitimasi mereka, namun selama mereka dapat menghegemoni narasi media, mereka dapat meredam kritik ini sebagai propaganda pesaing.
Upaya menghegemoni tatanan ekonomi liberal telah mengubah kapitalisme tidak hanya menjadi sistem ekonomi, tetapi menjadi cara untuk mengetahui dan berinteraksi dengan dunia (epistemologi). Sistem ini menekankan kompetisi, akumulasi, dan individualisme sebagai sifat manusia yang tak terhindarkan. Kekuatan yang menghegemoni telah berhasil menghilangkan imajinasi kolektif akan alternatif sistem.
Abad ke-21 menghadirkan tantangan unik terhadap upaya menghegemoni tatanan global. Ancaman transnasional seperti perubahan iklim, pandemi, dan migrasi massal tidak dapat diatasi oleh satu hegemon saja, memaksa bentuk kerja sama yang berbeda.
Bencana iklim dan pandemi menunjukkan keterbatasan kekuatan keras dalam menghegemoni. Tidak ada jumlah kapal induk atau triliunan dolar yang dapat menghentikan peningkatan suhu atau penyebaran virus. Ini mengalihkan fokus dari dominasi vertikal (atas-bawah) ke manajemen horizontal, di mana kedaulatan dibagikan atau dipadukan.
Meskipun demikian, bahkan dalam isu transnasional, persaingan untuk menghegemoni solusi tetap ada. Negara-negara berlomba untuk memimpin dalam teknologi energi hijau atau produksi vaksin, bukan hanya untuk keuntungan, tetapi untuk menetapkan standar global dan mendapatkan pengaruh diplomatik yang dihasilkan dari peran ‘penyelamat’ global.
Internet dan teknologi blockchain telah memperkenalkan elemen desentralisasi yang secara inheren menentang upaya menghegemoni yang terpusat. Meskipun platform-platform besar telah berusaha menghegemoni ruang digital, sifat jaringan yang terdistribusi memungkinkan munculnya gerakan-gerakan kontra-hegemonik global yang cepat dan efisien, seperti gerakan keadilan sosial global.
Aktor non-negara (LSM, yayasan filantropi, kelompok teroris, dan jaringan kriminal) kini memiliki kemampuan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memengaruhi politik global. Meskipun mereka tidak dapat menghegemoni dalam arti tradisional, mereka dapat secara signifikan mengganggu kemampuan hegemon untuk mempertahankan stabilitas dan kontrol, menciptakan ketidakpastian yang berkelanjutan.
Upaya menghegemoni tatanan global adalah proses yang dinamis, berkelanjutan, dan penuh kontradiksi. Itu adalah perebutan tak hanya atas sumber daya fisik, tetapi juga atas definisi realitas dan legitimasi moral. Kekuatan yang berhasil menghegemoni adalah kekuatan yang tidak hanya mendominasi, tetapi yang juga berhasil meyakinkan dunia bahwa dominasinya adalah tatanan yang adil dan tak terhindarkan. Namun, seiring pergeseran fokus kekuasaan ke data, teknologi, dan isu transnasional, strategi hegemoni di masa depan pasti akan berevolusi, menjadi lebih halus, lebih terfragmentasi, dan lebih sulit untuk dilawan tanpa kesadaran kritis yang mendalam.
Dalam menghadapi kompleksitas ini, pemahaman kritis terhadap bagaimana hegemoni dibentuk, dipertahankan, dan ditantang adalah prasyarat untuk setiap aktor yang ingin mempertahankan otonomi mereka atau, dalam kasus tertentu, berupaya menghegemoni tatanan masa depan sesuai dengan visi mereka sendiri. Setiap keputusan politik, ekonomi, atau budaya di panggung global kini menjadi bagian dari permainan hegemoni yang jauh lebih besar.
Perluasan analisis terhadap bagaimana upaya menghegemoni bekerja di sektor keuangan menunjukkan mekanisme yang jauh lebih halus daripada sekadar kekuatan militer. Kekuasaan ini dilembagakan melalui aturan dan kepatuhan yang sukarela namun terstruktur.
Salah satu cara utama untuk menghegemoni sistem perbankan global adalah melalui penetapan regulasi modal yang diterima secara universal, seperti Basel Accords. Meskipun ditujukan untuk stabilitas, standar-standar ini seringkali mencerminkan praktik dan struktur perbankan negara-negara pendiri, memberikan keuntungan kompetitif yang tersembunyi. Kepatuhan terhadap Basel menjadi prasyarat untuk berpartisipasi dalam pasar modal internasional, memaksa negara-negara lain untuk mengadopsi kerangka kerja yang tidak sepenuhnya mereka rancang.
Kontrol atas infrastruktur pembayaran global, terutama jaringan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), adalah senjata hegemoni yang sangat ampuh. Negara yang mampu menghegemoni kontrol atau akses terhadap SWIFT dapat secara sepihak memutuskan negara lain dari sistem keuangan global, sebuah tindakan yang setara dengan blokade ekonomi total tanpa harus melibatkan pertempuran fisik. Ini menunjukkan pergeseran kekuasaan dari lapangan tembak ke server data.
Upaya menghegemoni juga terlihat jelas dalam domain hukum dagang dan perlindungan kekayaan intelektual (KI). Kekuatan dominan menetapkan rezim KI yang sangat ketat melalui WTO (misalnya, perjanjian TRIPS). Rezim ini memaksa negara-negara berkembang untuk melindungi hak paten secara agresif, seringkali menghambat transfer teknologi atau akses terhadap obat-obatan vital.
Klausa Investor-State Dispute Settlement (ISDS) dalam banyak perjanjian dagang adalah mekanisme kuat untuk menghegemoni kedaulatan hukum negara yang lebih lemah. ISDS memungkinkan korporasi multinasional menggugat pemerintah atas kebijakan publik (lingkungan, kesehatan) jika kebijakan tersebut dianggap mengurangi keuntungan investor. Mekanisme ini menciptakan 'efek pendingin' (chilling effect), di mana negara-negara kecil enggan mengatur industri yang penting demi menghindari tuntutan hukum arbitrase internasional, yang prosesnya cenderung menguntungkan investor dari negara hegemon.
Karena hegemoni tidak pernah lengkap atau absolut, selalu ada ruang untuk resistensi. Gerakan kontra-hegemonik adalah upaya sadar untuk menciptakan kesadaran, wacana, dan struktur alternatif untuk melawan dominasi.
Resistensi dimulai dari dekonstruksi narasi. Gerakan kontra-hegemonik berupaya menghegemoni ruang publik dengan memperkenalkan interpretasi tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda. Ini melibatkan penggunaan media alternatif, gerakan seni kritis, dan pendirian lembaga pendidikan yang berfokus pada kritik tatanan global.
Teori-teori seperti post-kolonialisme dan teori dependensi berfungsi sebagai alat intelektual untuk kontra-hegemoni. Mereka menantang klaim universalitas yang dibuat oleh negara-negara dominan, menyoroti bahwa 'pembangunan' yang disarankan seringkali merupakan kelanjutan dari eksploitasi kolonial melalui mekanisme ekonomi baru. Dengan menghegemoni narasi akademik di negara-negara Selatan, mereka berhasil menciptakan kesadaran kritis terhadap hubungan Utara-Selatan.
Di tingkat negara, tantangan utama terhadap hegemoni global datang dari aliansi regional yang berupaya memaksakan otonomi mereka. Upaya untuk menghegemoni regional seringkali merupakan strategi untuk memproyeksikan kekuatan yang cukup untuk menahan tekanan hegemon global.
Gerakan Non-Blok (GNB), meskipun melemah, mewakili upaya historis yang signifikan untuk menolak keharusan memilih pihak dalam permainan hegemoni Perang Dingin. Dalam konteks modern, negara-negara semakin menekankan 'kedaulatan mutlak,' menolak intervensi luar yang dilegitimasi oleh norma-norma hegemonik, terutama yang berkaitan dengan urusan internal dan hak asasi manusia.
Dampak paling jauh dari upaya menghegemoni adalah pada tingkat kognitif—bagaimana kita memproses informasi, membuat keputusan, dan membayangkan masa depan. Kekuasaan kognitif adalah bentuk hegemoni yang paling sulit untuk diidentifikasi dan dilawan.
Melalui dominasi media dan pendidikan, kekuatan yang menghegemoni tanpa disadari menanamkan bias kognitif. Misalnya, konsep 'pasar bebas' disajikan sebagai sistem yang secara inheren efisien dan adil, padahal kenyataannya pasar selalu tunduk pada regulasi dan distribusi kekuasaan. Bias ini membuat solusi non-pasar sulit dibayangkan atau dibahas secara serius dalam wacana publik.
Hegemoni juga menormalisasi kekerasan struktural—ketidakadilan dan kerugian yang dilembagakan. Kemiskinan ekstrem di negara-negara tertentu, degradasi lingkungan yang cepat, atau eksploitasi tenaga kerja seringkali disajikan sebagai konsekuensi 'alami' atau 'tidak terhindarkan' dari persaingan global, bukan sebagai hasil dari kebijakan yang dirancang oleh hegemon. Dengan menghegemoni definisi normalitas ini, resistensi terhadap perubahan sistem menjadi sangat sulit.
Bahkan ilmu pengetahuan tidak luput dari upaya menghegemoni. Kekuatan dominan menetapkan agenda penelitian, menentukan apa yang layak didanai, dan di mana publikasi yang paling bergengsi berada. Hal ini menyebabkan marginalisasi pengetahuan lokal dan epistemologi non-Barat.
Bahasa Inggris yang menghegemoni publikasi ilmiah global menghambat partisipasi ilmuwan non-penutur asli, yang ide-ide dan perspektifnya sering kali tidak mendapatkan pengakuan, meskipun berpotensi sangat berharga. Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang memperkuat dominasi intelektual dan metodologis dari pusat-pusat penelitian hegemonik.
Secara keseluruhan, upaya menghegemoni adalah proyek yang melibatkan kohesi ekonomi, kecanggihan teknologi, kekuatan militer, dan penanaman ideologis yang mendalam. Memahami semua lapisan ini adalah kunci untuk menganalisis tatanan global saat ini dan merumuskan strategi untuk masa depan yang lebih adil.
Di ambang revolusi teknologi keempat, upaya menghegemoni telah menemukan medan baru yang tak terbatas: Kecerdasan Buatan (AI). AI bukan hanya alat; ia adalah infrastruktur kognitif masa depan yang akan menentukan distribusi kekuasaan secara mendasar.
Siapa pun yang berhasil menghegemoni data global dan menguasai teknologi algoritma inti akan memegang kunci kekuasaan abad ke-21. Data adalah sumber daya paling berharga saat ini, dan negara atau perusahaan yang dapat mengumpulkan, memproses, dan memanfaatkannya dalam skala besar akan mendapatkan keuntungan prediktif dan kontrol yang tak tertandingi.
Kekuatan hegemonik sedang berlomba untuk menetapkan standar etika dan tata kelola AI global. Ini bukan hanya masalah teknis; ini adalah upaya untuk menghegemoni bagaimana teknologi ini digunakan untuk mengatur masyarakat, memastikan bahwa nilai-nilai pengembang—baik itu individualisme liberal atau kontrol negara yang ketat—tersemat dalam kode dan sistem yang pada akhirnya mengatur perilaku manusia di seluruh dunia.
Dengan AI, hegemoni bisa menjadi otomatis. Algoritma dapat mengambil keputusan militer, finansial, dan logistik yang sangat cepat, membenarkan dan memperkuat dominasi tanpa memerlukan intervensi manusia yang terlihat. Ini menciptakan 'hegemoni tak terlihat,' di mana kekuasaan dijalankan melalui keputusan teknokratis yang sulit ditantang atau didekonstruksi secara politik.
Jalur pipa minyak abad ke-20 telah digantikan oleh kabel serat optik dan pusat data abad ke-21. Upaya menghegemoni jalur data kritis ini, termasuk kepemilikan atas kabel bawah laut dan pusat data hiperskal, merupakan strategi dominasi ekonomi yang baru.
Banyak negara, termasuk yang kaya, sangat bergantung pada penyedia layanan cloud computing yang berasal dari negara hegemon. Ketergantungan ini mencakup penyimpanan data sensitif pemerintah, infrastruktur keuangan, dan layanan kesehatan. Ini adalah bentuk hegemoni struktural yang membuat pemutusan hubungan hampir mustahil tanpa melumpuhkan perekonomian nasional.
Chip semikonduktor canggih, terutama yang digunakan untuk AI, adalah ‘emas baru.’ Negara-negara berlomba untuk menghegemoni rantai pasok manufaktur chip, menyadari bahwa kontrol atas produksi chip yang paling canggih berarti kontrol atas hampir setiap teknologi masa depan, dari pertahanan hingga mobil listrik. Kegagalan dalam rantai pasok ini menunjukkan betapa cepatnya kedaulatan ekonomi dapat terancam oleh dominasi teknologi tunggal.
Perjuangan untuk menghegemoni tatanan global adalah inti abadi dari sejarah manusia dan hubungan antarnegara. Dari kapal perang abad ke-19 hingga algoritma AI abad ke-21, alat dominasi terus berubah, namun esensi perjuangan—untuk memaksakan kehendak dan memenangkan persetujuan ideologis—tetap sama.
Hegemoni adalah sistem kekuasaan yang paling efektif karena ia berhasil mengubah subjek yang didominasi menjadi partisipan sukarela dalam dominasi mereka sendiri. Dengan menyajikan kepentingannya sebagai 'kemajuan' atau 'universalitas' yang tak terbantahkan, kekuatan yang menghegemoni memastikan keberlanjutan kekuasaannya. Oleh karena itu, tugas intelektual dan politik paling penting bagi masyarakat di seluruh dunia adalah menjaga kesadaran kritis yang tajam, terus-menerus menanyakan: Kepentingan siapakah yang dilayani oleh tatanan yang ada, dan narasi siapa yang berhasil menghegemoni pikiran kita?
Mengidentifikasi dan mendekonstruksi mekanisme halus hegemoni—baik di pasar keuangan, di layar ponsel kita, maupun di kurikulum pendidikan—adalah langkah pertama menuju pembentukan tatanan global yang lebih setara dan multi-perspektif. Karena selama ada kekuasaan, akan selalu ada upaya untuk menghegemoni, dan sebaliknya, akan selalu ada perlawanan.
***
Institusi global yang diciptakan pasca-Perang Dunia II adalah arsitektur yang paling efektif yang digunakan oleh kekuatan hegemonik untuk melembagakan dominasi mereka. Struktur-struktur ini memungkinkan kekuatan hegemon untuk menghegemoni keputusan tanpa terlihat melakukan paksaan sepihak.
Dana Moneter Internasional (IMF) berperan sentral dalam menghegemoni kebijakan ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Melalui 'kondisionalitas,' IMF mensyaratkan reformasi kebijakan yang ketat sebagai prasyarat pinjaman. Reformasi ini, yang sering mencakup pemotongan subsidi, privatisasi aset negara, dan liberalisasi perdagangan/keuangan, secara efektif memaksakan model ekonomi neo-liberal yang menguntungkan modal asing dan mengikis kemampuan negara untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan independen.
Meskipun IMF memiliki unit mata uangnya sendiri (SDR), operasi utamanya didasarkan pada mata uang dominan, Dolar AS. Semua penyesuaian struktural yang dipaksakan melalui kondisionalitas harus terjadi dalam kerangka pasar yang dikendalikan oleh Dolar. Upaya ini secara inheren memperkuat kemampuan hegemon untuk menghegemoni sistem moneter global melalui instrumen multilateral.
Meskipun PBB dianggap sebagai forum multilateral yang demokratis, kekuasaan yang menghegemoni di dalamnya dilakukan melalui mekanisme formal dan informal. Kontrol formal dipegang melalui Dewan Keamanan PBB (DK PBB), di mana hak veto memungkinkan kekuatan hegemonik untuk memblokir tindakan yang menentang kepentingan vital mereka.
Secara informal, upaya menghegemoni terlihat dalam perumusan agenda global. Misalnya, perumusan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melibatkan banyak konsultasi, tetapi konsep inti, metrik pengukuran, dan prioritas pendanaan sering kali mencerminkan kepentingan dan prioritas negara-negara donor besar. Mereka berhasil menghegemoni definisi 'pembangunan berkelanjutan' itu sendiri, memastikan bahwa solusi yang diusulkan selaras dengan kerangka ekonomi global yang sudah ada.
Hegemoni juga beroperasi pada tingkat bahasa dan filosofi yang digunakan untuk memahami realitas. Jika suatu kekuatan dapat menghegemoni bahasa berpikir, mereka akan mengendalikan apa yang mungkin untuk dipikirkan.
Dalam ilmu sosial dan humaniora, dominasi bahasa Inggris telah menjadi hegemoni yang menghancurkan keragaman epistemik. Sebagian besar teori dan kerangka kerja yang dianggap 'universal' atau 'mutakhir' berasal dari pusat-pusat akademik Anglophone. Ketika akademisi dari negara lain menulis atau mengajar, mereka seringkali merasa wajib untuk menggunakan referensi dan terminologi yang telah menghegemoni bidang mereka.
Upaya menghegemoni ini mengakibatkan marginalisasi dan devaluasi pengetahuan yang dihasilkan dalam bahasa lain atau berdasarkan konteks non-Barat. Misalnya, metode penelitian tradisional atau sistem pengetahuan adat seringkali dianggap 'tidak ilmiah' atau 'primitif' karena tidak sesuai dengan standar metodologi yang telah dihegemonikan oleh universitas-universitas Barat.
Think tank dan lembaga pelobi yang didanai dengan baik dari negara-negara hegemon memainkan peran penting dalam proses menghegemoni kebijakan publik di negara lain. Mereka memproduksi laporan, data, dan rekomendasi kebijakan yang didistribusikan secara luas dan dianggap sebagai 'analisis ahli' yang objektif.
Lembaga-lembaga ini secara aktif mendorong 'transfer kebijakan,' di mana model kebijakan yang berhasil di negara hegemon (atau sesuai dengan kepentingannya) direplikasi di negara-negara pinggiran, seringkali tanpa memperhatikan konteks sosial, politik, dan budaya lokal. Transfer kebijakan ini adalah manifestasi konkret dari upaya menghegemoni cara pemerintah mengatur masyarakat dan ekonominya.
Proses menghegemoni melalui budaya kini bergerak sangat cepat berkat infrastruktur media sosial dan layanan streaming. Hegemoni ini tidak lagi terikat oleh batas geografis.
Platform media sosial global menggunakan algoritma yang menentukan konten apa yang dilihat oleh miliaran pengguna. Algoritma ini, meskipun diklaim netral, seringkali didesain dengan asumsi budaya dan legal yang berasal dari negara asal platform. Oleh karena itu, mereka secara efektif menghegemoni ruang perhatian dan filter informasi yang diterima oleh masyarakat global, seringkali memprioritaskan konten yang mempromosikan nilai-nilai tertentu (misalnya, estetika konsumeris, atau bentuk-bentuk humor spesifik).
Ketika sebuah kekuatan berhasil menghegemoni industri hiburan, ia menciptakan 'ketergantungan naratif' di mana penonton global secara otomatis mengharapkan dan menghargai narasi yang disusun dalam format dan gaya yang dominan, membuat narasi lokal terasa kurang 'berkualitas' atau 'menarik.' Ini adalah persetujuan sukarela terhadap subordinasi budaya.
Bahkan dalam hal makanan dan gaya hidup, upaya menghegemoni sangat jelas. Promosi makanan cepat saji atau gaya hidup tertentu melalui pemasaran global tidak hanya mengubah pola makan, tetapi juga mendefinisikan apa yang dianggap sebagai 'modern' atau 'aspirasional.' Merek-merek global berupaya menghegemoni aspirasi kelas menengah baru di seluruh dunia.
Standar kesehatan dan kecantikan yang dipromosikan melalui media dominan dapat memiliki dampak kesehatan masyarakat yang serius, mempromosikan standar tubuh tertentu atau gaya hidup tertentu yang mungkin tidak realistis atau sehat bagi populasi yang berbeda. Ini adalah hegemoni estetika yang memaksakan ideal yang sulit dicapai tanpa membeli produk dan layanan dari industri hegemonik.
Dalam semua dimensi ini—dari struktur moneter hingga algoritma media sosial—upaya untuk menghegemoni terus berlanjut dengan kompleksitas dan kedalaman yang meningkat, menuntut analisis yang tidak hanya melihat kekuasaan sebagai paksaan, tetapi sebagai persetujuan yang terstruktur dan terlembaga.
Upaya menghegemoni melalui kekuatan militer tidak hanya bergantung pada jumlah kapal atau bom, tetapi pada hubungan simbiosis antara pemerintah dan industri senjata domestik, yang dikenal sebagai kompleks militer-industri.
Negara hegemon memanfaatkan kompleks militernya untuk menghegemoni pasar senjata global. Dengan menjual perangkat keras canggih kepada sekutu dan negara-negara mitra, mereka menciptakan ketergantungan logistik dan pelatihan yang abadi. Ketika sebuah negara membeli sistem pertahanan tertentu (misalnya, jet tempur atau sistem radar), ia tidak hanya membeli mesin; ia membeli rantai pasok suku cadang, pelatihan teknisi, dan doktrin operasi militer yang berasal dari negara hegemon.
Konsep ‘interoperabilitas’ dalam aliansi militer (seperti NATO) berfungsi sebagai alat halus untuk menghegemoni standar pertahanan. Anggota aliansi dipaksa untuk menggunakan sistem komunikasi dan persenjataan yang kompatibel, yang biasanya dikembangkan oleh dan menguntungkan industri negara hegemon. Keterikatan teknis ini memastikan bahwa sekutu tidak dapat dengan mudah beralih ke pemasok atau doktrin militer alternatif.
Di era informasi, upaya menghegemoni telah meluas ke domain intelijen dan pengawasan massal. Kemampuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data komunikasi global memberikan keuntungan strategis yang tak tertandingi, memungkinkan hegemon untuk memprediksi dan memengaruhi peristiwa di seluruh dunia.
Kontrol atas standar enkripsi dan ekspor perangkat lunak pengawasan (spyware) adalah senjata hegemoni yang senyap. Negara hegemon berupaya menghegemoni arsitektur keamanan siber global, memastikan bahwa mereka memiliki pintu belakang (backdoors) atau akses khusus, sementara menuntut pihak lain mematuhi standar keamanan yang ketat—sebuah kontradiksi yang memperkuat asimetri kekuasaan.
Hegemoni modern tidak hanya dilakukan oleh negara-negara. Aktor non-negara yang kuat, terutama yayasan filantropi dan organisasi non-pemerintah (ORNOP) global, memainkan peran vital dalam membentuk konsensus global.
Yayasan filantropi besar, seringkali didanai oleh kekayaan yang terakumulasi melalui sistem ekonomi hegemonik, memegang kekuasaan luar biasa dalam menetapkan agenda pembangunan global. Mereka dapat menghegemoni prioritas di bidang kesehatan (vaksinasi), pendidikan, dan perubahan iklim, mendanai penelitian dan proyek yang sejalan dengan visi dunia mereka.
Proses menghegemoni melalui filantropi seringkali melibatkan depolitisasi masalah sosial. Masalah kemiskinan atau penyakit disajikan sebagai kegagalan teknis atau manajemen yang membutuhkan solusi teknokratis, bukan sebagai masalah struktural yang memerlukan reformasi kekuasaan radikal. Dengan menyalurkan dana besar, mereka efektif menghegemoni ruang solusi, menyingkirkan kritik struktural yang lebih dalam.
Peringkat universitas global, indeks kemudahan berbisnis, dan pengukuran transparansi korupsi adalah alat hegemoni yang kuat. Mereka tampak objektif, tetapi metrik yang digunakan untuk menilai dan memberi peringkat sering kali mencerminkan asumsi dan nilai-nilai yang mendukung tatanan hegemonik.
Sebuah negara yang ingin dianggap 'baik' atau 'berkembang' oleh komunitas internasional merasa tertekan untuk memperbaiki peringkatnya dalam indeks-indeks ini. Tekanan ini memaksa perubahan kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan domestik tetapi selaras dengan standar yang telah menghegemoni definisi kinerja dan keberhasilan global.
Jika transisi dari hegemoni tunggal ke sistem multi-polar atau 'multi-hegemoni' terjadi, sistem global akan menghadapi risiko ketidakstabilan yang besar. Upaya untuk menghegemoni ruang pengaruh yang tumpang tindih dapat memicu konflik.
Dalam sistem multi-hegemoni, tidak ada kekuatan tunggal yang memiliki insentif atau kemampuan untuk menyediakan barang publik global (seperti keamanan atau perdagangan bebas). Setiap kekuatan hanya akan menghegemoni domain yang menguntungkannya. Hal ini dapat menyebabkan fragmentasi perdagangan, peningkatan konflik regional, dan kegagalan kolektif dalam mengatasi tantangan transnasional.
Persaingan untuk menghegemoni teknologi, standar, dan wilayah pengaruh dapat memicu bentuk 'Perang Dingin' yang lebih kompleks, di mana aliansi bersifat cair, dan loyalitas bergantung pada keuntungan teknologi atau ekonomi sesaat. Negara-negara harus memilih antara ekosistem teknologi yang berbeda (misalnya, jaringan 5G yang didominasi satu pihak versus jaringan 5G yang didominasi pihak lain), yang semuanya merupakan upaya untuk menghegemoni jalur digital global.
Dalam setiap aspek kehidupan kontemporer—dari politik internasional hingga keputusan konsumen—kita melihat hasil dan proses dari perjuangan abadi untuk menghegemoni. Memahami sifat dominasi ini adalah langkah krusial untuk membayangkan dan membangun alternatif yang lebih berkeadilan.
***
Kekuatan yang berupaya menghegemoni tatanan tidak pernah beristirahat. Perjuangan ini berlangsung di ruang rapat Dewan Keamanan, di ruang server data center, di ruang kuliah universitas terkemuka, dan dalam setiap tayangan media yang kita konsumsi. Pengaruh hegemoni telah menyerap ke dalam struktur dasar masyarakat global, mengubah preferensi, mengarahkan investasi, dan membatasi pilihan politik bagi negara-negara yang tidak memiliki kekuatan dominan.
Melawan upaya menghegemoni menuntut lebih dari sekadar penolakan militer atau sanksi ekonomi; ia menuntut 'perang posisi' Gramscian di bidang ideologi dan budaya. Ini berarti menciptakan counter-institusi, mengembangkan narasi alternatif yang koheren, dan yang paling penting, mempromosikan kesadaran kritis yang memungkinkan masyarakat untuk melihat dan menolak konsensus yang dipaksakan oleh kekuatan yang dominan. Hanya dengan pemahaman yang mendalam tentang mekanisme kekuasaan ini, dunia dapat berharap untuk bergerak menuju tatanan multi-polar yang benar-benar adil, di mana tidak ada satu pun kekuatan yang dapat sepenuhnya menghegemoni pikiran dan masa depan kita.